Anda di halaman 1dari 2

FREKUENSI SINUSITIS MAKSILARIS ODONTOGEN DIPERLUAS KE SINUS

ETHMOID ANTERIOR DAN RESPON TERHADAP TERAPI BEDAH


Abstrak
Tujuan: sinusitis odontogenik biasanya mempengaruhi sinus maksilaris tetapi dapat meluas
ke sinus ethmoid anterior. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan persentase
sinusitis maksila odontogenik yang meluas ke sinus ethmoid anterior serta menentukan
perbedaan resolusi bedah antara sinusitis maksila odontogenik dan sinusitis maksila
odontogenik yang

terkait dengan sinusitis ethmoid anterior.

Desain Studi: Studi kohort retrospektif dilakukan pada 55 pasien yang didiagnosis sinusitis
odontogenik dan dilakukan pembedahan dengan pembedahan sinus endoskopik fungsional.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa 52,7% dari sinusitis maksila odontogenik
menyebar ke anterior ethmoid, sehingga menyebabkan terjadinya sinusitis ethmoid anterior.
Kami menemukan bahwa 92,3% dari sinusitis maksilaris odontogenik (yang menjalani
antrostomy meatal tengah) dan 96,5% dari sinusitis maksilaris odontogenik diperluas ke
ethmoid anterior (diobati dengan antrostomy meatal tengah dan ethmoidektomi anterior)
sembuh.
Kesimpulan: Keterlibatan ethmoid sering terjadi pada sinusitis maksila odontogenik.
Keterlibatan ethmoid tidak memperburuk hasil "bedah sinus endoskopi fungsional" yang
diterapkan pada sinusitis odontogenik.
Kata kunci : sinusistis maksilaris odontogenik, ethmoiditis, bedah sinus endoskopi fungsional
Peran Atopi pada Otitis Media dengan Efusi pada Anak-anak Sekolah Dasar:
Penelitian Audiologi
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi peran atopi pada otitis media
dengan efusi (OME) pada anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar di Sisilia bagian
barat, penelitian ini berfokus pada karakteristik audiologi antara subyek atopik dan nonatopik penderita OME. Sebanyak 310 anak-anak (5-6 tahun) di-screening dengan tes kulit
dan dibagi menjadi kelompok atopik (G1) dan non-atopics (G2). Sampel diperiksa
menggunakan otoskop pneumatik, tympanogram dan tes refleks akustik untuk mengevaluasi
OME. Parameter yang digunakan adalah: tercatat menderita efusi telinga tengah menetap
menggunakan pemeriksaan otoskopi selama minimal 3 bulan; adanya tympanogram B atau
C; tidak adanya refleks akustik ipsilateral dan hilangnya pendengaran konduktif lebih besar
dari 25 dB pada frekuensi berapapun dari 250 Hz sampai 4 kHz. Sebanyak 56 anak (18,06%)
didapatkan atopi sedangkan 254 anak non-atopi. OME diidentifikasi pada 24 anak atopik dan
16 anak non-atopik dengan jumlah keseluruhan 40 anak; angka prevalensi secara keseluruhan
adalah 12,9% (42,85% untuk G1 dan 6,30% untuk G2). OME ditemukan bilateral pada 28

anak (70%), dengan perbedaan signifikan antara G1 (79,17%) dan G2 (56,25%). Prevalensi
tympanogram B adalah 70,59%, dengan 79,07% untuk G1 dan 56% untuk G2. Konduksi
udara rata-rata nada murni adalah, masing-masing, 31,97 dB untuk G1 dan 29,8 dB untuk G2.
Nilai prevalensi OME pada anak-anak atopik, yang didukung oleh dominasi bilateralitas yang
lebih tinggi, tympanogram B dan kehilangan pendengaran dalam kelompok ini, dapat
membuktikan pentingnya peran alergi dalam patogenesis OME.
Kata kunci OME, Otitis media dengan efusi, Alergi, Disfungsi tuba eustachius
EPIDEMIOLOGI, RESISTENSI ANTIBIOTIK DAN PASCA-PEMBUANGAN ABSES
PERITONSILLAR DI LONDON, ONTARIO
Abstrak
Latar Belakang: abses Peritonsillar (PTA) adalah komplikasi umum dari tonsilitis.
Data epidemiologi global terbaru mengenai PTA telah diperagakan meningkatkan pola
resistensi antimikroba. Tidak ada penelitian serupa yang dilakukan di Kanada dan tidak ada
penelitian Kanada yang meneliti post-discharge course pasien yang diobati.
Metode: Sebuah penelitian observasional prospektif epidemiologi, resistensi antibiotik
dan post-discharge course pasien dengan abses peritonsillar di bagian gawat darurat di
London, Ontario lebih satu tahun. Sebuah survei telepon tindak lanjut dilakukan 2-3 minggu
setelah drainase abses.
Hasil: 60 pasien didiagnosis dengan abses, memiliki insiden 12/100.000. 46 pasien
yang terdaftar dalam penelitian ini; durasi rata-rata gejala sebelum presentasi adalah 6 hari,
dengan 51% diobati dengan antibiotik sebelum presentasi. Streptococcus pyogenes dan
Streptococcus anginosus hadir dalam 56% dari isolat dan diantaranya, 7/23 (32%) dari
spesimen menunjukkan resistensi terhadap klindamisin. Delapan pasien diobati dengan
klindamisin dan memiliki hasil kultur yang resisten, namun hanya satu memiliki
kekambuhan. Follow-up via telepon dilakukan bagi 38 pasien: 51% pasien melaporkan
kembali ke makanan padat dalam waktu 2 hari, dan 75% melaporkan tidak ada rasa sakit
dalam 5 hari. Resolusi trismus membutuhkan waktu seminggu atau lebih sekitar 51%.
Interpretasi: Resisten pada klindamisin diidentifikasi pada sepertiga dari isolat
Streptococcus, yang harus diperhitungkan ketika diberikan resep antibiotik. Kultur yang rutin
tampaknya tidak perlu bagi pasien yang cepat sembuh setelah drainase dan terapi empirik,
dengan sedikit rasa sakit seperti yang diperkirakan, tapi trismus membutuhkan waktu untuk
sembuh.
Kata kunci: Epidemiologi, Peritonsillar abses, resistensi antibiotik, Mikrobiologi,
Pain, Post-operative follow-up.

Anda mungkin juga menyukai