TB Anemia
TB Anemia
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang berobat ke poliklinik YARSI dengan keluhan sering
merasa lekas lelah setelah bekerja 2 bulan yang lalu. Riwayat keluarga dengan keluhan yang
sama tidak ada. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit paru-paru, jantung atau kelainan
ginjal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : keadaan umum tampak pucat, tinggi badan 160cm, berat
badan 50 kg, frekuensi pernafasan 24x/menit, tekanan darah 110/60mmHg, frekuensi nadi
98x/menit, suhu tubuh 36,8 oC, tekanan vena jugularis normal, konjungtiva palpebra
inferior pucat. Pada pemeriksaan jantung: bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar
gallop dan murmur. Pada pemeriksaan paru dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8gr/dl, Ht 25%, MCV 70 fl, MCH 20 pg,
MCHC 25%, sediaan darah apus tepi dengan pewarnaan Wright terdapat sel pensil. Dokter
mengatakan pasien mengalami anemia dan disarankan pemeriksaan kadar besi serum (TI),
kadar ferin dan kapasitas ikat besi total (TIBC)
SASARAN BELAJAR
LI 1 Memahami dan Menjelaskan Mengapa Terjadi Eritropoesis
LO 1.1 Definisi Eritropoesis
LO 1.2 Mekanisme Eritropoesis
LO 1.3 Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis
LI 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin
LO 2.1 Definisi dan Fungsi Hemoglobin
LO 2.2 Struktur Hemoglobin
LO 2.3 Biosintesis Hemoglobin
LO 2.4 Interaksi Hemoglobin dengan O2
LI 3 Memahami dan Menjelaskan Bagaimana Terjadinya Anemia
LO 3.1 Klasifikasi Anemia
LO 3.2 Etiologi Anemia
LO 3.3 Pemeriksaan
LO 3.4 Manifestasi Klinis
LO 3.6 Memahami dan Menjelaskan Mengapa Terjadi Defisiensi Besi
LO 3.1 Patologi Anemia Defisiensi Besi
LO 3.2 Diagnosis
LO 3.3 Penatalaksanaan
LO 3.4 Pencegahan
sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan
menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.
Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di
luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai
eritropoesis ekstra meduler
LO 1.3 Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis
Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya
keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah.
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi
dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang sehat.
Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi,
asam amino dan vitamin B tertentu.
Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin ( EPO )
dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO. Ketika
sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ), ginjal akan mempercepat pelepasan
eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi
besi )
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran
O2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi
eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan
langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan
stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone sex
wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita
lebih rendah daripada pria.
Eritropoeitin
Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati
Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke dalam
darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan
pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkatkapasitas darah mengangkut O2 dan
penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus awal yang mencetuskan
sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
Pasokan O2 ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun
Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus berproliferasi
menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
Bekerja pada sel-sel tingkat G1
Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O 2 & kebutuhan
mengatur pembentukan eritrosit.
LI 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin
LO 2.1 Definisi dan Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel arah merah yang berfungsi sebagai
media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa
karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam
hemoglobin membuat darah bewarna merah. Nilai normal hemoglobin adalah sebagai
berikut:
Anak-anak
11 13 gr/dl
Lelaki dewasa
14 18 gr/dl
Wanita dewasa
12 16 gr/dl
Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan
akan mengakibatkan polinemis.
LO 2.2 Struktur Hemoglobin
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu
molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein
(globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA)
terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang
masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul
hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein), yang
terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunitsubunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang
menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang
mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga
secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul
heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah,
zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.
2,3 bifosfogliserat banyak terdapat pada eritrosit, merupakan suatu rantai anion
bermuatan tinggi yang berikatan pada -deoksihaemoglobin. Peningkatan 2,3
bifosfogliserat akan menggerser kurva ke kanan yang akan mengakibatkan banyak O2
yang dilepas ke jaringan. 2,3 bifosfogliserat akan menurun jika pH darah turun akibat
dari terhambatnya proses glikolisis. Hormon tiroid, pertumbuhan dan androgen akan
meningkatkan kadar 2,3 bifosfogliserat
Mendaki ke prmukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini
terjadi karena meningkatnya pH darah.
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan meningkat pada anemia dan penyakit yang
menimbulkan hipoksia kronik. Keaadaan ini akan memudahkan pengangkutan O 2 ke
jaringan melalui peningkatan PO2 saat O2 dilepaskan di kapiler perifer.
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari
Gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan
yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan
myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan
ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik.
Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan
sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada
anemia sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua
keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi
secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang
bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi
sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan Menyerupai anemia
defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis.
Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan
sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara
episodik (self limiting).
LO 3.2 Etiologi Anemia
1. Karena cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM
sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat
mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM
menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini
menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
2. Karena kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor
luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat
diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati
umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit
yang terjadi.
3. Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar dan
dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena
kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha
akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah
darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan
bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak
seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM
akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun. 1.
LO 3.3 Pemeriksaan
---Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor.
RDW (red cell
distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah
dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering
turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul
perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit
dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus
ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok kelompok normo-blast
basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecilkecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350
mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi
besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat
menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang
rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau
meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia
untuk mengaarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium.
dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang
diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase,
kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.
o Fase corporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang
membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah
berada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat
seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi
kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum
tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan
hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks
besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada
sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit
mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari 11 pembongkaran eritrosit. Bila jumlah
total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam
bentuk yang tidak larut (hemosiderin).
Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam
plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin
menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga
menimbulkan berbagai gejala.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1. Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot.
2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.
3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga
menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko
prematuritas dan gangguan partus.
LO 3.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1.
2.
3.
4.
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP) harus
dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun Red cell distribution width (RDW) > 17%
2. FEP meingkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat
1%/hari
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6
mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat
dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.
LO 3.3 Penatalaksanaan
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing tambang,
pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak dilakukan maka anemia
akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral
ferrous sulphat dosis 3 x 200 mg (murah)
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate (lebih
mahal)
Sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih banyak
dibanding setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual, muntah, serta konstipasi.
Pengobatan diberikan selama 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi
cadangan besi tubuh. Kalau tidak, maka akan kembali kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:
Intoleransi oral berat
Kepatuhan berobat kurang
Kolitis ulserativa
Perlu peningkatan Hb secara cepat
Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex
diberikan secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut, dan sinkop.
c) Pengobatan lain
Diet: makanan bergizi dengan tinggi protein (protein hewani)
Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg perhari untuk meningkatan absorpsi besi
Transfusi darah: jarang dilakukan
LO 3.4 Pencegahan
Beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada awal
kehidupan adalah sebagai berikut :
Memberi bayi makanan yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan
asam askorbat (jus buah).
DAFTAR PUSTAKA
Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A
Guide to Diagnosis and Management. New York; McGraw Hill, 1995 : 72-85.
Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2.
New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 : 35-50.
Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood.
Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-25.
Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. Dalam : McMillan JA, DeAngelis CD,
Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oskis Pediatrics : Principles and Practice. Edisi ke3. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999 : 1447-8.
Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia ; Saunders, 2000 :
1469-71.
Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta
http://www.pediatrik.com