Anda di halaman 1dari 9

No 11 (22-11-2016)

SEJARAH KESULTANAN PONTIANAK (AL-QADARIAH)


Eni Rahayu, 1506681185
Program Studi Arab,Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Enirahayu120@gmail.com
Abstrak
Jurnal ini membahas sejarah perkembangan Islam di Kesultanan Pontianak (Al-Qadariah). Metode yang
digunakan dalam penulisan ini adalah metode sejarah dengan tinjauan pustaka. Hasil dari tulisan ini, kita
mampu mengetahui bagaimana Islam masuk ke Pontianak, bagaimana kesultanan Pontianak (al-qadriah)
berkembang di Pontianak, serta peninggalan-peninggalan apa saja yang dapat kita lihat dari Kesultanan
Pontianak (al-Qadriah).

Kata Kunci: Sultan; Pontianak; Islam


A.Pendahuluan
Kesultanan Pontianak merupakan salah satu kesultanan di Kalimantan Barat, dimana
kesultanan ini dirintis dan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Dayak, Melayu dan
Bugis. Kesultanan Pontianak berdiri pada 23 Oktober 1771 bersamaan 27 Rajab 1185 H, 1 ini
merupakan kesultanan yang terakhir dibangun dalam lintasan sejarah Kalimantan Barat.
Dikatakan demikian, karena tidak ada kesultanan atau kerajaan lainnya, selain kesultanan ini,
yang berdiri pada periode atau tarikh yang sama dengan atau lebih akhir maupun setelah
tanggal kehadiran Kesultanan Pontianak.
Kesultanan Pontianak, meskipun kesultanan termuda di antara kerajaan yang lebih
dahulu ada, akan tetapi ia mampu menjadi penerima dan pemegang supremasi serta hegemoni
dalam segala bidang atas kerajaan-kerajaan lain di Kalimantan Barat.
Rumusan masalah penelitian ini ialah bagaimana kedatangan Islam di Pontianak?
Kapan berdirinya Kesultanan Pontianak? Siapa saja raja Kesultanan Pontianak? Bagaimana
kehidupan masyarakat di Kesultanan Pontianak? Serta bagaimana perkembangan Islam di
Pontianak hingga saat ini? Tujuan akhir penelitian ini adalah Mengetahui bagaimana
kedatangan Islam di Pontianak. Mengetahui kapan berdirinya Kesultanan Pontianak.
1

Sayyid Hamid Husein Alk, Sejarah Alhabib Husin, belum diterbitkan, (disunting dari
bahasa Arab), Pontianak, 1970, hal 15.

Mengetahui Siapa saja raja di Kesultanan Pontianak. Mengetahui bagaimana kehidupan


masyarakat di Kesultanan Pontianak. Serta mengetahui bagaimana perkembangan Islam di
Pontianak saat ini.
B.Metodologi dan Kerangka Teori
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode sejarah. Dalam metode ini,
dilakukan studi masa lampau dengan menggunakan paparan dan penjelasan. Metode Sejarah
adalah metode yang bertujuan untuk memulihkan kejadian masa lalu secara sistematis dan
objektif dengan mengakumulasikan data-data dari buku-buku sejarah untuk menetapkan fakta
dan menghasilkan kesimpulan yang kompleks.
C.Pembahasan
1. Kedatangan Islam di Pontianak
Terdapat berbagai versi tentang sejarah masuknya islam di Kalimantan Barat. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada abad
ke-15, dan ada juga pendapat lain yang mengatakan Islam masuk Kalimantan Barat pada
abad ke-16. Menurut Hermansyah , masuknya Islam di Kalimantan Barat secara umum dapat
dilihat melalui dua jalur.
a. Islamisasi Pesisir Barat dan Selatan
Informasi tentang keberadaan orang Islam yang pertama kali datang ke Kalimantan Barat
pada awal abad ke-15 oleh orang china. Diketahui bahwa pada tahun 1407 M di Sambas
didirikan Muslim/Hanafi sebuah komunitas China. Komunitas ini memiliki hubungan
dengan Tiongkok yang kemudian mengalami penyusutan pada tahun 1450-1475 M.
Kemudian pada tahun 1463 M, Laksamana Cheng Ho, memimpin ekspedisi ke Nan Nyang.
Beberapa anak buahnya kemudian ada yang menetap di Kalimantan Barat dan membaur
dengan masyarakat setempat.
Informasi lain menyebutkan keberadaan Islam di Kalimantan Barat ialah ketika berdiri
kerajaan Islam Sambas. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Sulaiman ( 1009-1081 M ). Proses
Islamisasi proses islamisasi kerajaan Hindu menjadi kerajaan Islam Sambas dimulai dari
kedatangan Raja Tengah ke Sambas. Raja tengah adalah putra Sultan Abdul Jalil Akbar dari
Brunei. Ketika sudah cukup dewasa, Raja Tengah diberi kepercayaan untuk memerintah
negeri Sarawak. Tidak lama setelah memerintah negeri Sarawak, baginda mengunjungi negeri

johor. Setelah kurang lebih dua tahun di zohor, baginda kembali ke serawak. Namun ditengah
perjalanan pulang tersebut perahu baginda ditempa angina kencang sehingga terdanpar di
sukadana. Kedatangan Raja Tengah ke Tukadana disambut baik oleh Palembahan Sukadana.
Bahkan kemudian Raja Tengah diangkat menjadi wazir, setelah beberapa lama di sukadana
Raja Tengah berniat mengunjungi Sambas yang ketika itu masih berpusat di kota lama.
Kehadiran raja tengah disambut baik oleh ratu sepudak. Perangai baik yang ditunjukkan oleh
raja tengah mendorong ratu sepudak untuk lebih menjalin hubungan mereka. Hubungan erat
ini ditandai dengan menikahkan putra sulung raja tengah yaitu raden sulaiman dengan adek
bungsu raden sepudak yakni Mas Ayu Bungsu. Selama di Sambas, Raja Tengah menceritakan
sangat giat menyebarkan agama islam. Dalam waktu yang relative singkat banyak orang yang
memeluk agama islam.2
b. Islamisasi Pedalaman (Jalur Timur)
Sebuah manuskrip yang ditulis pada tahun 1241 H oleh pangeran Ratu Idrisi mencatat
bahwa Islam di kerajaan Sintang pertama kali di bawa oleh Muhammad Saman dari
Banjarmasin da cik Shamad dari Sarawak. Tidak ada catatan kapan dan bagaimana kedua
orng ini sampai ke Sintang. Menurut manuskrip itu, sebelum menjadi kerajaan Islam, Sintang
merupakan kerajaan Hindu. Islam pertama kali disebarkan di Sintang ketika kawasan itu
diperintah oleh seorang raja yang bernama Pangeran Agung Abang Pincin. Raja ini berhasil
diislamkan oleh Muhammad Saman dan cik Shamad. Setelah pangeran Agung wafat, Sintang
diperintah oleh putranya Pangeran Tunggal. Pada masa ini umat islam semakin bertamabah.
Pengajaran agama islam semakin ditingkatkan seperti pelaksanaan salat pada mulanya belum
diajarkan dan digalakkan.
c. Pola Islamisasi di Kalimantan Barat
Menurut Soedarto (Juniar Purba dkk, 2011) ada empat pola dalam islamisasi di Kalimantan
Barat.
1. Langsung , yakni seorang raja mendapat kesan langsung keutamaan seorang ulama
yang datang di kerajaanya, raja tersebut kemudian menyatakan keislamanya dan
mengajak seluruh pejabat kerajaan untuk memeluk islam.
2. Tidak langsung, penguasa local menerima baik kedatangan ulama penyebar islam dan
memberikan keleluasaan kepadanya unyuk mengajarkan islam, sebagian mereka lalu
di kawinkan dengan keluarga istana.
2

3. Melalui transaksi dagang, pedagang-pedagang muslim yang umumnya datang dan


kemudian bermukim di daerah pertemuan sungai melakukan transaksi dagang dengan
penduduk hulu sungai. Sebagian penduduk local tertarik dengan agama yang dianut
oleh para pedagang muslim tersebut.
4. Pengangkatan pejabat, tokoh-tokoh masyarakat yang berjasa bagi kerajaannya biasa
diangkat oleh raja menjadi pejabat, sekalipun tokoh itu bukan muslim. Sebagian
mereka menyatakan keislamaanya.
2. Berdirinya Kesultanan Pontianak
Kesulatanan Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman al Qadrie pada 23 Oktober
1771. Kesultanan Pontianak juga dikenal dengan nama Kesultanan al-Qadriah, mengingat
peletak dasarnya dari Dinasti al-Qadri. Dimana ayahanda Syariff Abdurrahman yakni Sayyid
Husein al-Qadrie adalah seorang ulama besar keturunan sayyid dan penyiar agama Islam
yang berasal dari kota kecil Tirm Hadraulmaut atau yang sekarang dikenal dengan nama
Yaman Selatan.3 Jauh sebelum Abdurrahman lahir, ayahnya al-Habib Husein al-Qadrie datang
ke kerajaan Matan di Ketapang. Kedatangan beliau disambut baik oleh Raja Matan dengan
diangkat sebagai Multi Peradilan Agama dan sekaligus penyebar syariat agama islam. Setelah
cukup lama di Kerajaan Matan, pada tahun 1750 Masehi, al-Habib Husin beserta keluarganya
hijrah ke Kerajaan Mempawah. Di Mempawah keluarga al-Habib disambut dengan gembira
oleh Panembahan Daeng Menambo dan dibuatkan tempat serta surau sesuai permintaannya.
Abdurrahman pun meikah dengan putri Opu Daeng Menambon yang bernama Utin
Tjandramidi.4
Setelah 3 bulan wafatnya ayahanda pada tahun 1771 di Mempawah, Sultan Syarif
Abdurrahman

bersama keluarga dan pengikutnya ia menebas hutan dan membangun

pemukiman di tepi pertemuan Sungai Kapuas Besar , Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai
Landak. Ia mengajak keluarga dan pengikutnya untuk meninggalkan Mempawah, kemudian
mereka berangkat dengan menggunakan 14 kapal atau perahu yang bernama Kakap. Di
malam gelap berhentilah mereka untuk menunggu hari siang. Tempat peristirahatan mereka
oleh penduduk dinamai dengan sebutan Kelapa tinggi segedong. Hampir- hampir mereka
mendirikan pusat kerajaannya di tempat ini. Karena tidak sesuai dengan maksud
Abdurrahman, maka berangkatlah mereka memutar haluan masuk sungai Kapuas Kecil.
3

J.U. Lontan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pemda TK.I Kal-Bar/Offset Bumi
Restu, Pontianak/Jakarta, Th. 1975, hal.228 - 229
4
Lisyawati Nurhcahyani, Kota Pontianak sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra , Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Jakarta , Th.1999, hal.11

Sepanjang menyusuri sungai Kapuas Kecil di daerah Batu Layang, tak henti-hentinya
gangguan mahluk-mahluk halus , alias hantu pontianak yang menakutkan, itu adalah salah
satu gangguan yang menghambat perjalanan mereka. Setelah memperoleh tempat yang dirasa
cocok, yaitu tempat jatuhnya peluru meriam yang telah ditentukannya maka dibangunlah
masjid yang sekarang terkenal dengan sebutan Masjid Jami Abdurrahman. 5
Kemudian setelah selesai baru didirikanlah keraton sebagai tempat tinggal raja dan
sekaligus sebagai pusat pemerintahannya. Keraton itu dikenal dengan nama keraton Kadriah,
Abdurrahman mengangkat dirinya sebagai pusat pemerintahannya. Keraton ini dikenal
dengan nama

Keraton Kadriah. Abdurrahman mengangkat dirinya sebagai raja dengan

bergelar Sultan Syarif, Abdurrahman Al Qadrie.6


3. Raja Kesultanan Pontianak
a. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
Sultan Syarif Abdurrahman yang lahir di Matan tahun 1739 merupakan pendiri
Kesultanan Pontianak (Al-Qadariah). Delapan tahun lamanya setelah membangun dan
bermukim di Kerjaan Pontianak ia dinobatkan oleh Sultan Haji (Raja Riau) sebagai sultan
pertama di istana Qadriah Pontianak pada hari senin 8 Syakhban 1192 H atau bertepatan
dengan 1778 M.
Dalam kepemimpinannya Kerajaan Pontianak mengalami masa kejayaan. Dalam
memerintah Abdurrahman begitu giat mengembangkan perdagangan, sehingga berkembang
pesat. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan Sambas, Pemangkat, Sellakau, Sebakau,
Singkawang, S.Pinyuh berjalan dengan lancar. Salah satu ciri khas yang paling menonjol
dalam perdagangan di Pontianak pada masa itu berlaku berlaku bagi para pedagang dari
berbagai suku, bangsa, dan agama disambut ramah oleh sultan. Mereka diwajibkan
membayar upeti kepada Sultan dan tunduk kepada hukum kerajaan. 7

Lisyawati Nurcahyani, Kota Pontianak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra,


Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1999 hal 12.
6
Lisyawati Nurcahyani, Kota Pontianak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra,
Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1999 hal 12.
7

Muhammad Irsyad.Tinjauan Arsitektur Kota Pontianak,(Depok,2008), hal 10.

4.Kehidupan Masyarakat Kesultanan Pontianak


a. Keadaan Sosial
Kepududukan di Pontianak bersifat heterogen, karena kota Pontianak menjadi kota
migrasi, dan juga tempat urbanisasi penduduk dari

daerah. Ada tiga faktor yang

menyebabkan kota Pontianak menjadi pilihan untuk bermigrasi yaitu, pertama sebagai pusat
pemerintahan Kalimantan Barat, kedua sebagai kota dagang, dan ketiga sebagai kota
pelabuhan. 8
Penduduk yang berurbanisasi di Kalimantan Barat semakin bertambah tiap tahun,
sementar disisi lain perkembangan kota pontianak justru kurang menarik minat bagi suku
Dayak. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan dari suku Dayak bahwa hakekat dari
pada hidup adalah sebagai petani. Untuk itu, mereka lebih tertarik mencari lahan pertanian di
daerah pedalaman, yang belum banyak dihuni orang.
Kota Pontianak yang berada di persimpangan sungai, membagi wilayahnya menjadi
beberapa bagian, yaitu Pontianak Timur, dan Utara, di sebelah timur Sungai Kapuas,
Pontianak Barat dan Selatan di sisi lain. Dari pembagian wilayah menyebabkan adanya
kecenderungan dalam sistim pelapisan sosial. Di sebelah timur pelapisan sosial cenderung
didasarkan pada agama dan keturunan. Keluarga raja yang bergelar Syarif maupun Syarifa
menduduki lapisan atas, sedang rakyat biasa menduduki tempat kedua atau lapisan bawah.
Sedangkan wilayah sebenarnya cenderung memandang penguasa sebagai lapisan atas, alim
ulama tokoh masyarakat dan orang-orang kaya sebagai golongan menengah. Golongan
bawah diduduki petani, pedagang kecil, buruh dan lain-lainnya. Dalam pergaulan sehari-hari
pun begitu terasa kesenjangan di antara warga dari pelapisan tersebut.Warga yang lebih tinggi
merasa kurang sesuai bergaul bebas dengan warga dari pelapisan yang rendah, begitu pula
sebaliknya.9
b. Keadaan Ekonomi
c. Keadaan Budaya
Salah satu dasar budaya yang penting adalah agama. Unsur ini sangat penting bagi
masyarakat pribumi, terutama untuk meniti hidup dalam mencapai kebahagiaan baik metrial

Lisyawati Nurcahyani, Kota Pontianak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra,


Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1999 hal 12.
9
Syarif Ibrahim dan Pandil Sastrowardoyo, Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta: Th.1984, hal 32.

maupun spiritual. Pada dasarnya sistim kebudayaan di Kalimantan Barat dapat dibagi
menjadi tiga :
Sistim Budaya Penduduk Asli
Sebelum Islam masuk ke Kalimantan Barat, penduduk asli telah memiliki unsur-unsur
budaya tersendiri yang mengatur kehidupan mereka. Mereka sering menyebutnya sebagai
sistim budaya etnis. Dimana mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Sistim Budaya Hindu/Budha
Sistim ini berlaku di kalangan kerajaan-kerajaan tradisional sebelum kedatangan
Islam di Kalimantan Barat. Dimana pada saat itu, nilai-nilai kharismatik dari seorang raja
masih sangat di junjung tinggi, sehingga apa yang dilakukan rajanya menjadi panutannya.
Sistem kerajaan Hindu/Budha ini pernah hidup di kerajaan Tanjungpura, Sintang, Sanggau,
dan lain-lain.
Sistim Budaya Islam
Budaya Islam memasuki kerajaan setelah masuknya budaya Hindu dan Budha.
Masuknya budaya Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat, karena agama Islam
tidak mengenal apa yang disebut strata atau tingkatan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan Islam, membuat agama ini berkembang pesat
di kota kota seperti Pontianak, Sintang, Sanggau, Sambas, Mempawah, dan Ketapang.
Perkembangan budaya daerah dapat dilihat dari banyaknya didirikan sanggar-sanggar
tari Dayak maupun Melayu din Pontianak. Ditambah lagi upaya pemerintah untuk tetap
melestarikan upacara-upacara tradisional daerah seperti Naik Dango, Gawai, Balenggang
tumbang apam, Robo-robo, dan lain sebagainya.
Bidang Kesenian
Kesenian yang bernafaskan Islam mulai dikenal oleh penduduk yang mulai memeluk agama
Islam, seperti:
a) Membaca berzanji, yaitu membaca solawat dengan iringan rebana dan kemudian radat dan
zapin, merupakan perwujudan seni yang mempunyai unsur keagamaan.

b) Menenun, merupakan salah satu bentuk hasil karya seni dari suku Melayu yang berdiam di
daerah pantai maupun suku Dayak di pedalaman. Perbedaannya terletak pada bahan yang
ditenun atau corak dan motif yang ditenun.
c) Cap kerajaan bertuliskan huruf-huruf Arab adalah huruf-huruf resmi kerajaan.
Peninggalan-Peninggalan
Peninggalan yang masih bisa kita jumpai hingga saat ini yakni :
a. Keraton Kadriah
Didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie bin Al Habib Husain Alqadrie ketika
beliau membuka pemukiman baru.
b. Masjid JamiAbdurrahman
Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman. Pada masa
pemerintahan Sultan Syarif Usman dibangun kembali dan tetap dijadikan masjid kesultanan.
Demi mengabadikan Abdurrahman sebagai pembuatnya, maka dijadikanlah namanya sebagai
nama masjid itu. Terdrir dari enam tiang kokoh yang melambangkan rukun iman, dan 4 atap
yang melambangkan sahabat nabi. Menurut Zein (1999: 317), Masjid Jami Abdurrahaman
selain dijadikan tempat ibadah, juga dijadikan sebagai tempat penyebaran dan penggalian
ilmu-ilmu Islam.

D.Penutup
1.Kesimpulan
2.Saran

Daftar Pustaka :

Alqadrie, Syarif Ibrahim dan Pandil Sastrowardoyo, 1984. Sejarah Sosial Daerah
Kotamadya

Pontianak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Irsyad, Muhammad. Dalam skripsi Tinjauan Arsitektur Kota Pontianak. 2008 . Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Indonesia.
Lisyawati Nurcahyani, Pembayun Sulistyorini dan Hasanudin, 1999. Kota Pontianak Sebagai
Bandar Dagang di Jalur Sutra, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Wahab Sambasi, Sejarah Peradaban Islam, Pontianak: Stain Pontianak Press, 2011.

Anda mungkin juga menyukai