PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (narkotika dan bahan/obat
berbahaya)
adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau
teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik,
psikis dan gangguan fungsi sosial.
2. Ketergantungan NAPZA
adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga
tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat
(withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh
NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan
kegiatannya sehari-hari secara normal.
C. Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak1
Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap
jaringan otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang
aktivitas fungsi otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik).
Karena otak merupakan sentral perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA
(yang masuk ke dalam
melalui neuron denhgan bekerja mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih
banyak neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau
reuptake
sehingga
menyebabkan
kebanjiran
yang
tidak
alami
dari
neurotransmitter.
Bila seseorang menyuntik heroin ( opioid atau putauw ). Heroin segera
berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada : VTA ( ventral
tegmental area ), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang
merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan
dengan sebutan reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah
reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat
tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter
opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat
menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi sistem reward melalui
peningkatan neurotransmisi dopamin. Penggunaan opioid yang berkelanjutan
membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya drug untuk mempertahankan
perasaan rewarding dan perilaku normal lain. Orang tidak lagi mampu merasakan
keuntungan reward alami ( seperti makanan, air, sex ) dan tidak dapat lagi
berfungsi normal tanpa kehadiran opioid.
D. Penyebab penyalahgunaan NAPZA1
1. Faktor Psikodinamik
Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk
masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau manifestasi dari
regresi oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa banyak alasan untuk
mencurigai factor lingkungan memainkan peran
dalam penyalahgunaan
suntik).
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering
kemudian menghilang.
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak
jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik
sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau
tersebut
membantu
menurunkan
angka
morbiditas
dan
memerlukan
terapi
spesifik
untuk
memperbaiki
gangguan
tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau
fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen, klonidin dan
naltrexon, buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus
ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau
menggunakan program terapi subtitusi ( seperti antagonis naltrexon, agonis
metadon, atau partial agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik
berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka
waktu tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi.
2.2 Definisi Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian adalah suatu varian kepribadian yang tidak fleksibel dan
maladaptif serta menyebabkan gangguan fungsional yang bermakna atau penderitaan
subjektif.12
Individu dengan gangguan kepribadian menunjukkan pola maladaptif, tidak
fleksibel. Gejala gangguan kepribadian yaitu aloplastik ( mampu mengadaptasi dan
mengubah lingkungan eksternal) dan egosintonik (dapat diterima oleh ego), serta
tidak merasa cemas dengan perilaku maladaptifnya karena tidak secara rutin
merasakan sakit dari apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai gejalanya. Individu
mungkin menyangkal masalahnya, dianggap tidak termotivasi untuk melakukan
pengobatan, menolak bantuan psikiatrik dan dianggap tidak mempan terhadap
pemulihan.12
A. Klasifikasi Gangguan Kepribadian
1. Kelompok A terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan
skizotipal. Seringkali tampak aneh dan eksentrik.
2. Kelompok B terdiri dari gangguan kepribadian dissosial, ambang (borderline),
histrionik dan narkistik. Individu dengan gangguan kepribadian tersebut
seringkali tampak dramatik, emosional, dan tidak menentu.
3. Kelompok C terdiri dari gangguan kepribadian menghindar, dependen dan
obsesif-kompulsif.
4. Gangguan kepribadian yang tidak ditentukan yaitu gangguan kepribadian
pasif-agresif dan gangguan kepribadian depresif. Individu dengan gangguan
kepribadian yang tergolong kelompok C dan gangguan kepribadian yang tidak
ditentukan seringkali tampak cemas atau ketakutan.
Seseorang bisa memiliki satu atau lebih gangguan kepribadian dan masing-masing
gangguan kepribadian tersebut harus didiagnosis dan dikode pada aksis II menurut
DSM-IV.
B. Etiologi