Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (narkotika dan bahan/obat
berbahaya)

merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya

penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama multidisipliner,


multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilakukan scara berkesinambungan,
konsekuen, dan konsisten.1
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA didunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi
tersebut menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer
psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan. 1

Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi


sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari
data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun.1
Kepribadian adalah totalitas dan ciri perilaku dan emosi yang merupakan
karakter atau ciri seseorang dalam kehidupan sehari-hari, dalam kondisi yang biasa.
Perkembangan kepribadian merupakan hasil interaksi dari faktor-faktor; konstitusi
(genetik, tempramen), perkembangan dan pengalaman hidup (lingkungan keluarga
dan budaya).2
Gangguan kepribadian adalah kelainan yang umum dan kronis. Prevalensinya
diperkirakan antara 10 sampai 20% dari seluruh populasi dan durasinya dapat
berlangsung selama beberapa dekade. Orang dengan gangguan kepribadian umumnya
memiliki sifat menjengkelkan, mengganggu dan bersifat parasit dan secara umum
dianggap memiliki prognosis yang buruk. Diperkirakan setengah dari seluruh pasien
psikiatri memiliki gangguan kepribadian, yang seringkali komorbid dengan kondisi
aksis I. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan
psikiatri lain (penyalahgunaan zat, bunuh diri, gangguan afektif dan gangguan cemas)
dimana hal ini mengganggu hasil pengobatan sindrom aksis I dan meningkatkan
ketidakmampuan personal, morbiditas dan mortalitas penderita.2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi NAPZA

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat


yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,
dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor
pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut
kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif,
yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku,
perasaan, dan pikiran.1
A. Penggolongan NAPZA1
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat
digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh.
Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida
(morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur),
dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi
aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah :
Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain.
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang
yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja),
LSD, Mescalin.
B. Penyalahgunaan dan Ketergantungan1
Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik
yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan
dengan tingkat pemakaianpsikologik-sosial, yang belum bersifat patologik.
1. Penyalahgunaan NAPZA

adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau
teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik,
psikis dan gangguan fungsi sosial.
2. Ketergantungan NAPZA

adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga
tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat
(withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh
NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan
kegiatannya sehari-hari secara normal.
C. Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak1
Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap
jaringan otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang
aktivitas fungsi otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik).
Karena otak merupakan sentral perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA
(yang masuk ke dalam

tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat

menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan


perilaku tersebut tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam
tubuh.
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara : disedot melalui
hidung ( snorting, sneefing ) , dihisap melalui bibir ( inhalasi, merokok ),
disuntikan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena,
ditempelkan pada kulit ( terutama lrngan bagian dalam ) yang telah diiris-iris
kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan mengunyah dan
kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai dengan cara penggunaannya ,
langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang dicerna melalui
traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh pembuluh darah di sekitar
dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan , menuju reseptornya
masing-masing yang terdapat pada otak.
Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak,
dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari
dalam ( lock into ) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai
pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan
sejumlah besar neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis NAPZA lain mengunci

melalui neuron denhgan bekerja mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih
banyak neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau
reuptake

sehingga

menyebabkan

kebanjiran

yang

tidak

alami

dari

neurotransmitter.
Bila seseorang menyuntik heroin ( opioid atau putauw ). Heroin segera
berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada : VTA ( ventral
tegmental area ), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang
merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan
dengan sebutan reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah
reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat
tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter
opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat
menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi sistem reward melalui
peningkatan neurotransmisi dopamin. Penggunaan opioid yang berkelanjutan
membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya drug untuk mempertahankan
perasaan rewarding dan perilaku normal lain. Orang tidak lagi mampu merasakan
keuntungan reward alami ( seperti makanan, air, sex ) dan tidak dapat lagi
berfungsi normal tanpa kehadiran opioid.
D. Penyebab penyalahgunaan NAPZA1
1. Faktor Psikodinamik
Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk
masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau manifestasi dari
regresi oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa banyak alasan untuk
mencurigai factor lingkungan memainkan peran

dalam penyalahgunaan

NAPZA. Sehingga dalam banyak artikel disebutkan bahwa pelaku


penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalan anak-anak atau remaja
dengan perkembangan psikososial yang buruk.
2. Factor Genetic
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan
saudara kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab utama
terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
E. Komorbiditas3
Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada
seorang pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi karena ketergatungan
substansi seperti opioid, alcohol, dan kokain, memiliki prevalensi tinggi

mendapatkan gangguan psikiatri tambahan. Hal ini dibuktikan pada studi


epidemiologi bahwa orang-orang dengan ketergantungan terhadap NAPZA lebih
mudah mengalami gangguan psikiatri lain.
1. Gangguan kepribadian antisocial
Pada berbaga macam studi, menunjukkan bahwa 35 sampai 60 persen
pasien dengan ketergantungan NAPZA juga memiliki diagnosa gangguan
kepribadian antisocial.
2. Depresi dan Bunuh diri
Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa
sebagai penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA. Hampir 40
persen pengguna opioid dan alcohol memenuhi criteria diagnosis gangguan
depresi mayor dalam hidup mereka. Penggunaan NAPZA juga salah satu
penyebab terjadinya bunuh diri. Orang dengan penyalahgunaan NAPZA,
sekitar 20 persen lebih rentan melakukan bunuh diri dibandingkan populasi
pada umumnya.
F. Gejala klinis3
1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum dapat digolongkan sebagai berikut :
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),

apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif, curiga.


Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi

lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.


Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,
menguap terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air

sehingga malas mandi, kejang, kesadaran menurun.


Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat, tidak peduli terhadap
kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terdapat bekas
suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum

suntik).
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering

membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.


Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk

dikelas atau tempat kerja.


Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi
tahu lebih dulu.

Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar

bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.


Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,

kemudian menghilang.
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak
jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik
sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau

berurusan dengan polisi.


Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap

bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia.


G. Menetapkan Diagnosis4
Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis
penyakit atau disease entity yang dalam ICD 10 ( international classification
of disease and health related problems tenth revision 1992 ) yang dikeluarkan
oleh WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders due to
psychoactive substance use .
Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantiungan dikenal dengan istilah
sindrom ketergantungan ( PPDGJ-III , 1993 ). Sehingga diagnosis ketergantungan
NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari gejala-gejala di bawah
selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi )
untuk menggunakan NAPZA.
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal,
usaha penghentian atau tingkat penggunaannya.
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA
atau golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau
menghindari terjadinya gejala putus obat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan
guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis
yang lebih rendah.
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya.

6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami


adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA seperti
gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi
sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi kognitif. Segala
upaya mesti dilakukan untuk memastikan bahwa pengguna NAPZA sungguh
- sungguh menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.
H. Terapi dan upaya pemulihan
Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA ( National Institute of Drug
Abuse, 1999 ) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan
pegangan bagi para profesional dan masyarakat5,6:
1. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu.
Seorang adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan untuk
masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil
keputusan, harus secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak berubah pendirian
kembali ).
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs )
individu tersebut, tidak semata mata hanya untuk kebutuhan memutus
menggunakan NAPZA.
4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi telah
sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.
5. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat
merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif
atau tidak.
6. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi.
7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak
pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku
lain.
8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus
mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif.

9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan


detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka
panjang.
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu
bentuk terapi yang efektif.
11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus
dimonitor secara kontinyu.
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis
B dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan
konseling untuk membantu pasien agar mampu memodifikasi atau mengubah
tingkah lakunya, serta tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada
posisi yang beresiko mendapatkan infeksi.
13. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka
panjang dan sering mengalami episode terapi yang berulang ulang.
I. Sasaran terapi7,8
Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan adkisi NAPZA :
1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai
abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah
penghentian total penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat
penting dilakuakan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang.
Komitmen

tersebut

membantu

menurunkan

angka

morbiditas

dan

penggunaan NAPZA. Umumnya mayoritas pasien / klien perlu mendapat


motivasi yang cukup kuat untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran
terapi.
2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi
penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari terapi.
Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien
mengidentifikasi situasi yang menempatka dirinya kepada resiko relaps dan
menggembangkan respon alternatif asal bukan merupakan NAPZA. Pada
beberap pasien atau klien, situasi sosial atau interpersonal dapat merupakan
faktor beresiko terjadinya relaps. Pengurangan frekuensi dan keparaha relaps
sering menjasikan sasaran yang realistik daripada pencegahan yang
sempurna.

3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam


masyarakat. Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema
psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan
keluarga, kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam pekerjaan,
problema finensial dan hukum dan gangguan dalam fungsi kesehatan umum.
Mereka

memerlukan

terapi

spesifik

untuk

memperbaiki

gangguan

hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan


sosial serta mempertahankan status dalam pekerjaannya disamping
mempertahankan dirinya semaksimal mungkin agar tetap dalam kondisi
bebas obat.
J. Tahapan terapi9,10,11
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian ( assesment phase ), sering disebut dengan fase penilaian
awal ( initial intake ). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat
diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang
menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala
gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu
setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya
penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya
gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala
intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga
pemeriksaan psikologik dan neuro psikologi.
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk
karakteristik berikut : setting terapi, kontekstual ( volintary, nonvoluntary), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap program
terapi, lamanya ( singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun dan hasil dengan
program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang digunakan, level
fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi terapi
lainnya.
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio
ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya
gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor

faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan


zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan
dengan kelompok sebaya, problema finansial dan hukum, pengaruh
lingkungan kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk mematuhi
terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan
pasien ketika menggunakan zat ( dimana, dengan siapa, berapa kali/
banyak, bagaimana cara penggunaan. ).
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis jenis
NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan pemeriksaan laboratorium
lainnya terhadap kelainan kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan
zat akut atau menahun.
f. Skrining penyakit penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering
diketemukan

pada pasien / klien ketergantungan zat ( seperti HIV,

tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau
fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen, klonidin dan
naltrexon, buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus
ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau
menggunakan program terapi subtitusi ( seperti antagonis naltrexon, agonis
metadon, atau partial agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik
berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka
waktu tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi.
2.2 Definisi Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian adalah suatu varian kepribadian yang tidak fleksibel dan
maladaptif serta menyebabkan gangguan fungsional yang bermakna atau penderitaan
subjektif.12
Individu dengan gangguan kepribadian menunjukkan pola maladaptif, tidak
fleksibel. Gejala gangguan kepribadian yaitu aloplastik ( mampu mengadaptasi dan

mengubah lingkungan eksternal) dan egosintonik (dapat diterima oleh ego), serta
tidak merasa cemas dengan perilaku maladaptifnya karena tidak secara rutin
merasakan sakit dari apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai gejalanya. Individu
mungkin menyangkal masalahnya, dianggap tidak termotivasi untuk melakukan
pengobatan, menolak bantuan psikiatrik dan dianggap tidak mempan terhadap
pemulihan.12
A. Klasifikasi Gangguan Kepribadian
1. Kelompok A terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan
skizotipal. Seringkali tampak aneh dan eksentrik.
2. Kelompok B terdiri dari gangguan kepribadian dissosial, ambang (borderline),
histrionik dan narkistik. Individu dengan gangguan kepribadian tersebut
seringkali tampak dramatik, emosional, dan tidak menentu.
3. Kelompok C terdiri dari gangguan kepribadian menghindar, dependen dan
obsesif-kompulsif.
4. Gangguan kepribadian yang tidak ditentukan yaitu gangguan kepribadian
pasif-agresif dan gangguan kepribadian depresif. Individu dengan gangguan
kepribadian yang tergolong kelompok C dan gangguan kepribadian yang tidak
ditentukan seringkali tampak cemas atau ketakutan.
Seseorang bisa memiliki satu atau lebih gangguan kepribadian dan masing-masing
gangguan kepribadian tersebut harus didiagnosis dan dikode pada aksis II menurut
DSM-IV.
B. Etiologi

Anda mungkin juga menyukai