MUTU PENDIDIKAN*)
Oleh: Dr. S. Eko Putro Widoyoko, M. Pd.**)
A. Pendahuluan
Undang- Undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 11
ayat 1 mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara. Terwujudnya
pendidikan yang bermutu membutuhkan upaya yang terus menerus untuk selalu
meningkatkan pendidikan.
Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan,
kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran
di sekolah menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan
faktor penunjang yang lain, guru sebagi subyek pendidikan sangat menentukan
keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley
pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai masukan
(input) yang menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar
siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di
tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara
sedang berkembang. Lengkapnya hasil studi itu adalah: di 16 negara sedang
berkembang, guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%,
sedangkan manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%.
Di 13
negara industri, kontribusi guru adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22%
dan sarana fisik 19% (Dedi Supriadi, 1999: 178). Fasli Jalal (2007:1) mengatakan
bahwa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru
yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Oleh karena
itu keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan
praktik pendidikan yang bermutu.
*) Disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui
Sertifikasi Guru di Universitas Muhammadiyah Purworejo, 5 Juli 2008.
**) Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo
tersebut
kebijakan
berupaya
yang
meningkatkan
langsung
mutu
guru
dengan
mutu
dengan
mempengaruhi
melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji
kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru
sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru
di Singapore dan Korea Selatan. (Fasli Jalal. 2007: 2).
C. Sertifikasi Guru
Undang-undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan politik bahwa
pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus
kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara
total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut. Dalam UUGD
ditentukan bahwa seorang:
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, kompetensi
kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Ketiga,
kompetensi sosial. Adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat. Keempat, kompetensi profesional.
Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas
dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh
kompetensi yang ditetapkan. Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik
sudah memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus
mengikuti uji sertifikasi guru untuk pendidikan dasar dan menerngah, serta uji
sertifikasi dosen untuk pendidikan tinggi.
Sertifikasi guru merupakan upaya peningkatan mutu guru yang diikuti dengan
peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu
pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan (Depdiknas.
2008: 1). Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu: (1) penilaian portofolio guru dan (2) jalur pendidikan. Kedua cara
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Melalui Penilaian Portofolio Guru
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan bahwa sertifikasi bagi
guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh
sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut dilakukan dalam bentuk penilaian
portofolio, yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam
bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi
guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2)
pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi
uji
kompetensi
yang diselenggarakan
oleh
LPTK
penyelenggara. Uji kompetensi terdiri atas uji tulis dan uji kinerja.
D. Jaminan Mutu
Adakah jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu pendidikan?
Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan
jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu pendidikan.
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau
instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada
kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk
menuju mutu. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini
akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk
mencapai mutu. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi,
maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus
dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi
5
dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru.
Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk
mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang
bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard
kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai
adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak
akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan
diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang
bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai
tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3
sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak
melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi,
khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan
menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi.
Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di
daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis.
Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas
kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga
diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana
Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah
senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang
dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan
muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya
penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru
untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang
muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh
karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil
tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang
dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan
lain sebagainya.
mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan
KKG dan MGMP
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi guru utk
menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata pelajaran dengan
tugas:
KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan
yang bermanfaat bagi profesi guru. Selain itu perlu adanya pemberdayaan
(empowerment) guru yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini dapat dilakukan
dengan adanya pemberian tugas yang sesuai dengan kompetensi guru maupun
adanya dorongan dari fihak manajemen sekolah yang mampu menumbuhkan
motivasi kerja bagi para guru. Meningkatnya kompetensi guru yang didukung
adanya motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru.
Meningkatnya kinerja guru akan meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada
akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan, karena ujung
tombak dari kegiatan pendidikan adalah pada kegiatan pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan oleh guru.
F. Penutup
Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru
yang profesional: sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat
mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. UndangUndang Guru dan Dosen sebagai suatu kebijakan untuk mewujudkan guru
profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi dan sertifikasi akan menentukan
mutu dan kompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan
menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan
tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara pemerintah menghadapi tantangan dan
tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan mutu
kompetensi guru. Selain hal tersebut, pembinaan dan pemberdayaan guru pasca
sertifikasi juga akan menentukan apakah kegiatan sertifikasi akan meningkatkan
mutu pendidikan atau tidak. Pembinaan dan pemberdayaan yang kurang tepat tidak
menutup kemungkinan akan menyebabkan kegiatan sertifikasi sekedar kegiatan
untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai tujuan antara, sementara tujuan
akhir dari kegiatan sertifikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi kurang
mendapat perhatian dari peserta sertifikasi.
DAFTAR PUSTAKA