Anda di halaman 1dari 55

Cedera Otak Ringan (COR)

I. Definisi
Cedera otak adalah merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagin besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Cedera Otak dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
Cedera Otak Ringan (COR)
Adalah cidera otak yang ditandai dengan tidak adanya kehilangan kesadaran,
pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, dan pasien dapat menderita laserasi
dan hematoma kulit kepala.
Cedera Ota
k Sedang (COS)
Adalah cedera otak yang ditandai dengan pasien sempat kehilangan kesadarannya,
muntah,
Cedera Otak Berat (COB)
Adalah cedera otak yang ditandai dengan pasien kehilangan kesadaran dalam
waktu yang lama,mengalami penurunan tingkat kesadaran secara progresif,
(Masjoer Arif :2000)
II. Etiologi

1. Spasme pembuluh darah intrakranial.


2. Kecelakaan otomotif/tabrakan, terjatuh, olah raga, kecelakaan industri.
3. Gejala depresi
4. Gangguan pada jaringan saraf yang sudah terganggu
5. Tertimpa benda keras

(Masjoer Arif:2000)
III. Patofisiologi
Cidera otak dapat disebabkan karena benturan kepala seperti tertimpa benda keras,
kecelakaan atau tabrakan sehingga tengkorak mengalami pergeseran dan otak mengalami
benturan atau guncangan yang menyebabkan terjadi perubahan intrasel maupun ekstrasel.
Perubahan pada intrasel akan menyebabkan terjadinya kelemahan otak kemudian disertai
dengan iskemik pada jaringan yang bisa ditandai dengan nyeri dan kejang. Sedangkan
perubahan pada ekstrasel akan menimbulkan peningkatan intrakranial sehingga kesadaran
seseorang mengalami penurunan ditandai dengan pusing yang akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pada aktifitas seseorang. Selain itu juga dapat ditandai dengan mual dan
muntah sehingga akan menimbulkan resiko gangguan keseimbangan cairan.

(Lynda Juall Carpenito :2000)


IV. Manifestasi klinis
1. Nyeri kepala
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Pusing
4. Tengkuk kaku dalam sikap kepala mengadah/hiperekstensi
5. Keletihan
6. Ketidak Mampuan Berkonsentrasi
7.Terdapat laserasi dan hematoma pada kulit kepala.
(Masjoer Arif :2002)
V. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan cedera otak ringan umumnya dapat dipulangkan kerumah tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan CT scan bila:
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama setatus mini mental dan gaya berjalan) dalam
batas normal.
- Foto servikal jelas normal
- Adanya orng yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien
Kriteria perawatan :
- adanya darah intra kranial atau praktur yang tampak pada CT scen
- konfusi, agitasi, atau kesadaran menuru
- adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- intoksikasi obat atau alkohol
Penilaian awal :

1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari sekret dan muntahan
2. Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan atau tidak
3. Menilai sirkulasi tubuh : otak yang rusak tidak mentolelir hipotensi
4. Menilai tingkat keparahan
(Masjoer Arif :2002)
VI. Diagnosa Ke[erawatan yang Mungkin Muncul
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
2. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri
3. Gangguan pemenuhan cairan dan elektrolit berhubungan dengan output yang berlebih
(Lynda Juall Carpenito:1998)
VII. Intervensi
Diagnosa 1 : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya laserasi pada
kepala
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri
menghilang
Kriteri Hasil : - Pasien merasa nyaman
- Pasien bisa tidur dengan normal
Intervensi :
1. Lakukan pendekatan pada pasien
R/: Dengan pendekatan dengan pasien akan terjalin kerjasama yang baik dengan
pasien
2. Jelaskan pada pasien tentang setiap tindakan yang akan dilakukan
R/: Pasien mau bekerjasama dengan pasien pada setiap tindakan yang dilakukan
3. Kaji tingkat nyeri pasien

R/: Mengetahui tingkat nyeri pasien sehingga mempermudah melakukan tindakan


dan pemberian terapi
4. Bantu pasien mendapatkan posisi yang paling nyaman
R/: Menjaga agar pasien tetap merasa nyaman
5. Observasi TTV
R/: Mengetahui kondisi pasien
6. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi (analgesik)
R/: Mempercepat penyembuhan pasien
Diagnosa 2 : Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri
Tujuan : Setelah dilakuakan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pola
tidur pasien kempali normal
Kriteri hasil : - Pola tidur pasien normal
- malam 8 jam
- Siang 1 jam
Intervensi :
1. Jelaskan pada pasien tentang setiap tindakan yang akan dilakukan
R/: Pasien mau bekerjasama dengan pasien pada setiap tindakan yang dilakukan
2. Kaji tingkat nyeri pasien
R/: Mengetahui tingkat nyeri pasien sehingga mempermudah melakukan tindakan
dan pemberian terapi
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman
R/: Dengan menciptaka lingkungan yang nyamamn pasien dapat tidur dengan
tenang
4. Bantu pasien mengambil posisi yang senyaman mungkin untuk tidur

R/: Dengan posisi tidur yang nyaman membantu pasien untuk tidur sesuai
kebutuhan
5. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi
R/: Mempercepat penyembuhan pasien
Diagnosa 3 : Ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan out put
yang berlebih
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kebutuhan
cairan terpenuhi
Kriteria hasil : kebutuhan cairan pasien tepenuhi dan asupan cairan pasien terpenuhi
Intervensi :
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan
R/: Agar pasien mengerti semua tindakan yang akan dilakukan
2. kaji out put dan in put
R/: unuk mengetahui keseimbangan cairan pasien
3. Anjurkan pada pasien untuk minum setiap setelah muntah
R/: Untuk mengganti cairan yang hilang
4. Observasi TTV
R/: Untuk mengetahui keadaan pasien
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi
R/: Membantu mempercepat penyembuhan pasien
Diposkan oleh arya di 03.09

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA


OTAK RINGAN (COR)
PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer
dapat terjadi: memar otak, laserasi.
Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul
setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
-

Kejang-kejang

Gangguan saluran nafas

Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:

edema fokal atau difusi


hematoma epidural

hematoma subdural
hematoma intraserebral

over hidrasi

Sepsis/septik syok

Anemia

Shock

Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

Perdarahan yang sering ditemukan:

Epidural hematom:

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh
darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak
dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2
hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral,
pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik
dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

Perdarahan intraserebral

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:

Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil,
perubahan tanda-tanda vital.

Perdarahan subarachnoid:

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak,
hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Penatalaksanaan:
Konservatif

Bedrest total

Pemberian obat-obatan
Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes
atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat
vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat
cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang
otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan

masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).


Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang

pandang, foto fobia.


Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan

kompresi spasmodik diafragma.


Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia,
disatria, sehingga kesulitan menelan.

BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan
menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil),
kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat
terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan
antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Pemeriksaan Diagnostik:

CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran

ventrikuler, pergeseran jaringan otak.


Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak

akibat edema, perdarahan, trauma.


X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /

edema), fragmen tulang.


Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi

peningkatan tekanan intrakranial.


Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.

Prioritas perawatan:
1.
2.

memaksimalkan perfusi/fungsi otak


mencegah komplikasi

3.
4.

pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.


mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga

5.

pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan


rehabilitasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1.

Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia

2.

jantung)
Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera

3.

pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau integrasi

4.

(trauma atau defisit neurologis).


Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik psikologis.

5.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.

6.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan

7.

(penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)


Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

8.

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional. Ketidak
pastian tentang hasil/harapan.

9.

Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan


kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1)

Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah

(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia


jantung)
Tujuan:

Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.

Kriteria hasil:

Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi

Rasional

Tentukan faktor-faktor yg
menyebabkan
koma/penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.

Penurunan tanda/gejala neurologis


atau kegagalan dalam pemulihannya
setelah serangan awal, menunjukkan
perlunya pasien dirawat di perawatan
intensif.

Pantau /catat status neurologis secara

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan

teratur dan bandingkan dengan nilai

TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,

standar GCS.

perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran,

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)

kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi

berguna untuk menentukan apakah batang otak masih

terhadap cahaya.

baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan


antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon

Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi,

terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang

frekuensi nafas, suhu.

terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan

Pantau intake dan out put, turgor kulit


dan membran mukosa.
Turunkan stimulasi eksternal dan
berikan kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.

okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan
TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat

Bantu pasien untuk menghindari

mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam

/membatasi batuk, muntah, mengejan.

dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.


Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi

Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad

oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)

sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.

yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh

Berikan oksigen tambahan sesuai


indikasi.

yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.


Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada

Berikan obat sesuai indikasi, misal:

masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah

diuretik, steroid, antikonvulsan,

yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap

analgetik, sedatif, antipiretik.

tekanan serebral.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.
Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran
vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.

Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan


air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,.
Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya
menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang.
Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme
serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2)

Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera

pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:

mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi:

bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi

Rasional

Pantau frekuensi, irama,


kedalaman pernapasan.
Catat ketidakteraturan
pernapasan.

Perubahan dapat menandakan awitan


komplikasi pulmonal atau menandakan
lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi mekanis.

Pantau dan catat kompetensi reflek


gag/menelan dan kemampuan

Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi

pasien untuk melindungi jalan

penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan

napas sendiri. Pasang jalan napas

refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan

sesuai indikasi.

napas buatan atau intubasi.

Angkat kepala tempat tidur sesuai

Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan

aturannya, posisi miirng sesuai

menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang

indikasi.

menyumbat jalan napas.

Anjurkan pasien untuk melakukan

Mencegah/menurunkan atelektasis.

napas dalam yang efektif bila


pasien sadar.

Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau


dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan

Lakukan penghisapan dengan

jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang

ekstra hati-hati, jangan lebih dari

lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena

10-15 detik. Catat karakter, warna

hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan

dan kekeruhan dari sekret.

hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada


akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi

Auskultasi suara napas, perhatikan

jaringan.

daerah hipoventilasi dan adanya


suara tambahan yang tidak normal

Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti

misal: ronkhi, wheezing, krekel.

atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang


membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan

Pantau analisa gas darah, tekanan

terjadinya infeksi paru.

oksimetri
Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam
Lakukan ronsen thoraks ulang.

basa dan kebutuhan akan terapi.

Berikan oksigen.

Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-

Lakukan fisioterapi dada jika ada


indikasi.

tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau


bronkopneumoni.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu
dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan
tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali
berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan
membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko

atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3)

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur

invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

Intervensi

Rasional

Berikan perawatan aseptik dan


antiseptik, pertahankan tehnik
cuci tangan yang baik.

Cara pertama untuk menghindari


terjadinya infeksi nosokomial.
Deteksi dini perkembangan infeksi

Observasi daerah kulit yang mengalami

memungkinkan untuk melakukan tindakan

kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi,

dengan segera dan pencegahan terhadap

catat karakteristik dari drainase dan adanya

komplikasi selanjutnya.

inflamasi.
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya

yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau

demam, menggigil, diaforesis dan perubahan

tindakan dengan segera.

fungsi mental (penurunan kesadaran).


Peningkatan mobilisasi dan pembersihan
Anjurkan untuk melakukan napas dalam,

sekresi paru untuk menurunkan resiko

latihan pengeluaran sekret paru secara terus

terjadinya pneumonia, atelektasis.

menerus. Observasi karakteristik sputum.


Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien
Berikan antibiotik sesuai indikasi

yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau


setelah dilakukan pembedahan untuk

menurunkan resiko terjadinya infeksi


nosokomial.

Daftar pustaka
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI
Traumatologi ,Surabaya.
DoengesM.E.(2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC.Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC,Jakarta.

Laporan Pendahuluan cidera kepala ringan (CKR)

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)
A. KONSEP DASAR
a. Pengertian
Cidera kepala ringan adalah gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.
b. Istilah yang dipakai dalam cidera kepala antara lain;
1. Terbuka dan tertutup
Cidera kepala terbuka berarti mengalami laserasi kulit kepala atau peluru menembus
otak. Cidera kepala tertutup dapat disamakan dengan pasien edema.
2. Kup dan kontra kup (menggambarkan lokasi)
Kup menyebabkan kerusakan yang relative dekat dengan daerah yang terbentur.
Kontra kup kerusakan yang terjadi berlawanan dengan daerah benturan.
3. Akselerasi dan deselerasi
Menggambnarkan gerakan kepala bila terjadi guncangan atau benturan. Tipe
kerusakan tergantung dari jumlah dan jenis aselerasi, nilai cidera aselerasi dan durasi
c.
1.
2.
d.
1.

2.

Etiologi
Trauma oleh benda tajam yang mentebabkan cidera setempat
Trauma oleh benda tumpul yang menyebabkan cidera menyeluruh
Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme
Trauma tumpul
Trauma tembus
Berdasarkan keparahan cidera
Cidera kepala ringan
GCS 13-15
Hilang kesadaran <30 menit
Tidak ada fraktur
Cidera kepala sedang
GCS 8-12

Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit sampai 24 jam


Dapat mengalami fraktur
Cidera kepala berat
GCS 3-8
Hilang kesadaran >24 jam
Meliputi kontusio serebral atau adanya hematum
e. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :
Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya
pembuluh darah / cabang cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya .
Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di
lobus temporalis dan parietalis.
Gejala gejalanya :
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala
Muntah
Hemiparese
Dilatasi pupil ipsilateral
Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
Penurunan nadi
Peningkatan suhu
Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48
jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala gejalanya :
Nyeri kepala
Bingung
Mengantuk
Menarik diri
Berfikir lambat
Kejang
Udem pupil.
Perdarahan intra serebral
Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala gejalanya :
Nyeri kepala
Penurunan kesadaran

f.
1.

2.

3.

Komplikasi pernapasan
Hemiplegi kontra lateral
Dilatasi pupil
Perubahan tanda tanda vital
Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala gejalanya :
Nyeri kepala
Penurunan kesadaran
Hemiparese
Dilatasi pupil ipsilateral
Kaku kuduk.
Tanda dan gejala
Fase emergency
Tampak laserasi
Memar
Hematom
Keluar darah dari telinga
Fraktur tulang tengkorak
Gangguan sensori
Hipertensi/hipotensi
Fase akut
Cidera kepala ringan-sedang
Disorientasi ringan
Amnesia post trauma
Sakit kepala
Gangguan pendengaran
Kelemahan motorik
Penurunan kesadaran
Cidera kepala sedang-berat
Tidak sadar dalam waktu lama (>24 jam)
Cidera otak
Gangguan akibat kerusakan saraf cranial
Fase penyembuhan
Sakit kepala, konsentrasi menurun
Gangguan memori
Insomnia
Penyembuhan dalam waktu lama
Epilepsy
Kerusakan permukaan

4. Fase post koma


Tidur lebih lama
Tidak berinisiatif
Biucara sedikit
g. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi,
energi yang dihasilkan di dalam sel sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20
mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi
gejala gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang
dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal
ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50
60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,
fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
h. Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos tengkorak
2. CT. Scan
3. Laboratorium: Hb, leukosit, dll
i. Komplikasi
1. Fraktur tulang tengkorak
2. Amnesia
3. Epilepsy
j. Penatalaksanaan
1. Fraktur tulang tengkorak yang tidak terdepresi umumnya tidak membutuhkan tindakan
pembedahan, namun membutuhkan pemantauan pasien yang ketat
2. Menilai jalan napas
3. Menilai pernapasan
4. Menilai sirkulasi

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal. Jam.
Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, no register, dan diagnosa
medis.
Penanggung jawab
Nama,umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, hubungan dengan pasien
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga
c. Pengkajian primer
Airway
Breathing
Circulation
Disability
Exposure
d. Pengkajian sekunder
Aktifitas
Integritas ego
Eliminasi
Pola nutrisi
Hygiene
e. Pemeriksaan penunjang
f. Penatalakasanaan
g. Diagnosa keperawatan
i.
gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai o2 menuju
otak
ii.
Gangguan rasa nyaman nyeri behubungan dengan diskontinuitas jaringan kulit
h. Intervensi
Dx i.
Observasi keadaan umum OS dan ukur tanda-tanda vital OS
posisikan kaki klien lebih tinggi daripada kepala (trendelenburg)
bantu pernapasan klien dengan pemberian O2
kolaboprasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
Dx ii
Observasi TTV
Kaji skala nyeri
Atur posisi OS senyaman mungkin

Bersihkan luka
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA RINGAN


Konsep Dasar

A.

Pengertian

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi
oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan
percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh
otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B.

Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel sel syaraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %
karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan
otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal
ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral
Blood Flow (CBF) adalah 50 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang
merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas


atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah
arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.

1.
a.

Klasifikasi cidera kepala


Cidera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi descelerasi


rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cidera primer dapat terjadi :
1). Geger kepala ringan
2). Memar otak
3). Laserasi.
b.

Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :

1). Hipotensi sistemik


2). Hiperkapnea
3). Hipokapnea
4). Udema otak
5). Komplikasi pernapasan

6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2.
Jenis perdarahan yang sering ditemui pada
cidera kepala :
a.

Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater


akibat pecahnya pembuluh darah / cabang cabang arteri meningeal
media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat
menutup sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa
jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis
dan parietalis.
Gejala gejalanya :

1). Penurunan tingkat kesadaran


2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu
b.

Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.

Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa
bulan.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
1. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda tanda vital

d.

Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh


darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.

3.
Hubungan cedera kepala terhadap munculnya
masalah keperawatan

Asuhan Keperawatan

1.

Pengkajian
1. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.

2. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin,


agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan,
hubungan klien dengan penanggungjawab.
3. Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret
pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta
kejang.
Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan
dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem sistem lainnya,
demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit
menular.
1. Pemeriksaan Fisik
1)

Aktifitas / istirahat

: Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah


dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
2)

Sirkulasi

O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan


aritmia.
3)

Integritas ego

: Perubahan tingkah laku / kepribadian

O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive


4)

Eliminasi

O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.

5)

Makanan / cairan

: Mual, muntah, perubahan selera makan

O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).


6)

Neuro sensori :

S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan


pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan /
pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi)
perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,
pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,
desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
7)

Nyeri / rasa nyaman

: Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O : Wajah menyeringa, merintih.


8)

Repirasi

O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi,


stridor , ronchi dan wheezing.
9)

Keamanan

: Trauma / injuri kecelakaan

O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot


hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.
10)

Intensitas sosial

O : Afasia, distarsia

1. Pemeriksaan penunjang
1)

CT- Scan ( dengan tanpa kontras )

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan


perubahan jaringan otak.
2)

MRI

Digunakan sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.


3)

Cerebral Angiography

Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak


sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4)

Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.


5)

X Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis


( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6)

BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.


7)

PET

Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.


8)

CFS

Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan


subarachnoid.
9)

ABGs

Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi )


jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

10)

Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan


intrakranial.
11)

Screen Toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan


kesadaran.
1. Penatalaksanaan

Konservatif :
-

Bedres total

Pemberian obat obatan

Observasi tanda yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :
1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak
2). Mencegah komplikasi
3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.
4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana,
pengobatan dan rehabilitasi.
Tujuan :
1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap
2). Komplikasi tidak terjadi

3). Kebutuhan sehari hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh
orang lain
4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam
perawatan
5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti
oleh keluarga sebagai sumber informasi.
Diagnosa Keperawatan
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
4. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous
koma)
5. Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
6. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.

Daftar Putaka
Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala
Penatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).
Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient
Care (2 nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company
Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera
Kepala. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A
Nursing process Approach St. CV. Mosby Company.

Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.


TINJAUAN KASUS
Tanggal Pengkajian

: 8 April 2002

Tanggal Masuk Rumah Sakit

: 7 April 2002

Ruangan / Tempat

: Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo

Diagnosa Masuk
Maksilla F II F III

: COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur

I.

Identitas

Nama

: Tn Cahyono

Umur

: 21 tahun

Suku / bangsa

: Jawa / Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan/pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: Kedaton / Jombang

Penannggung jawab :
Nama

: Sumiatun

Umur

: 45 tahun

Suku / bangsa

: Jawa / Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan/pekerjaan

: SMP / Wiraswasta

Hubungan dengan klien


Alamat

: Orang tua / ibu kandung


: Kedaton / Jombang

II.
Alasan Masuk Rumah
Sakit
Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan
sepeda motor
Upaya yang dilakukan :
Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.
Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit

III.
1.1.

Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit sebelumnya

Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit


keturunan. Asthma B

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)
DI RUANG BEDAH RSUD ARGAMAKMUR
A. KONSEP DASAR
a. Pengertian
Cidera kepala ringan adalah gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdsatahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.
b. Istilah yang dipakai dalam cidera kepala antara lian ;
1. Terbuka dan tertutup
Cidera kepala terbuka berarti mengalami laserasi kulit kepala atau peluru menembus
otak. Cidera kepala tertutup dapat disamakan dengan pasien edema.
2. Kup dan kontra kup (menggambarkan lokasi
Kup menyebabkan kerusakan yang relative dekat dengan daerah yang terbentur. Kontra
kup kerusakan yang terjadi berlawanan dengan daerah benturan.
3. Akselerasi dan deselerasi
Menggambnarkan gerakan kepala bila terjadi guncangan atau benturan. Tipe kerusakan
tergantung dari jumlah dan jenis aselerasi, nilai cidera aselerasi dan durasi
c. Etiologi
1. Trauma oleh benda tajam yang mentebabkan cidera setempat
2. Trauma oleh benda tumpul yang menyebabkan cidera menyeluruh
d. Klasifikasi

1. Berdasarkan mekanisme
Trauma tumpul
Trauma tembus
2. Berdasarkan keparahan cidera
Cidera kepala ringan
GCS 13-15
Hilang kesadaran <30 menit
Tidak ada fraktur
Cidera kepala sedang
GCS 8-12
Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit sampai 24 jam
Dapat mengalami fraktur
Cidera kepala berat
GCS 3-8
Hilang kesadaran >24 jam
Meliputi kontusio serebral atau adanya hematum
e. Tanda dan gejala
1. Fase emergency
Tampak laserasi
Memar
Hematom
Keluar darah dari yelinga
Fraktur tulang tengkorak
Gangguan sensori
Hipertensi/hipotensi
2. Fase akut
Cidera kepala ringan-sedang
Disorientasi ringan
Amnesia post trauma
Sakit kepala
Gangguan pendengaran
Kelemahan motorik
Penurunan kesadaran
Cidera kepala sedang-berat
Tidak sadar dalam waktu lama (>24 jam)
Cidera otak
Gangguan akibat kerusakan saraf cranial

3. Fase penyembuhan
Sakit kepala, konsentrasi menurun
Gangguan memori
Insomnia
Penyembuhan dalam waktu lama
Epilepsy
Kerusakan permukaan
4. Fase post koma
Tidur lebih lama
Tidak berinisiatif
Biucara sedikit

f. Patofisiologi

g.
1.
2.
3.

Pemeriksaan penunjang
Foto polos tengkorak
CT. scan
Laboratorium: Hb, leukosit, dll

h.
1.
2.
3.

Komplikasi
Fraktur tulang tengkorak
Amnesia
Epilepsy

i. Penatalaksanaan
1. Fraktur tulang tengkorak yang tidak terdepresi umumnya tidak membutuhkan tindakan
pembedahan, namun membutuhkan pemantauan pasien yang ketat
2. Menilai jalan napas
3. Menilai pernapasan
4. Menilai sirkulasi

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal. Jam.
Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, no register, dan diagnosa
medis.
Penanggung jawab
Nama,umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, hubungan dengan pasien
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga
c. Pengkajian primer
Airway
Breathing
Circulation
Disability
Exposure
d. Pengkajian sekunder
Aktifitas
Integritas ego
Eliminasi
Pola nutrisi
Hygiene
e. Pemeriksaan penunjang
f. Penatalakasanaan

g. Diagnosa keperawatan
i. gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai o2 menuju
otak
ii. Gangguan rasa nyaman nyeri behubungan dengan diskontinuitas jaringan kulit
h. Intervensi
Dx i.
Observasi keadaan umum OS dan ukur tanda-tanda vital OS
posisikan kaki klien lebih tinggi daripada kepala (trendelenburg)
bantu pernapasan klien dengan pemberian O2
kolaboprasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
Dx ii
Observasi TTV
Kaji skala nyeri
Atur posisi OS senyaman mungkin
Bersihkan luka
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik

laporan pendahuluan pada pasien dengan cidera kepala


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.

Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani.2001)

2.

Epidemiologi
Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat
diperkirakan 480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi
concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan
cedera serius lainnya. Dari total ini, 75 85 % adalah concussion dan sekuele cedera
kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki laki berumur antara 15 24
tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor. Menurut Rinner, dari 1200 pasien
yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan
(minor).

3.

Etiologi

Kecelakaan lalu lintas

Perkelahian

Jatuh

Cedera olahraga

Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom

Trauma benda tumpul

Kecelakaan kerja

Kecelakaan rumah tangga

4.

Patofisiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab
terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalulintas. Jika hal tersebut terjadi,
akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan
perdarahan,baik perdarahan intracranial maupun perdarahan ekstrakranial. .Perdarahan
intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang
ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang
mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara
intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun

maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi
motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak
nafas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan
tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator
histamin, bradikinin,prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan
nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen
sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami
kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen.
Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat
menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.
1.

Klasifikasi
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan
morfologi cidera.
Berdasarkan Mekanisme :

a)

b)

Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh,


terpukul)
Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.

Berdasarkan Tingkat Keparahan :


Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana
GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
a)Reaksi membuka mata (Eye responses)
Score 4: Membuka mata dengan spontan
Score 3: Membuka mata bila dipanggil
Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
b)

Reaksi berbicara (verbal responses)


Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Score 4: Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang
Score3: Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk

kalimat
Score 2: Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
c)Reaksi Gerakan lengan / tungkai (motoric responses)
Score 6: Mengikuti perintah
Score 5:Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau
tempat
Score 4: Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Score 3: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Score 2: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Score 1: Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
a)Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
b)

Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)

c)Cedera Kepala Berat (CKB)

: bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)

Berdasarkan morfologi
a)

Fraktur tengkorak
- Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.
- Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /
tanpa kelumpuhan nervus VII

b)

Lesi intracranial

- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran
otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

2.

Gejala Klinis

Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,


kehilangan tonus otot.

Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung


(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).

Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.

Muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)

Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,


kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi
pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah,
kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian
tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.

Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan


warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.

Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang ulang.

Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.

Mual, muntah, mengalami perubahan selera.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,


tinitus,kehilangan
pendengaran.
Perubahan
dalam
penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan
pengecapan dan penciuman.

Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Trauma baru atau trauma karena kecelakaan.

3.

Pemeriksaan Fisik

Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,


biot, hiperventilasi,rhonkhi, takhipnea)

Sistem saraf : Saraf kranial adanya anosmia, agnosia, kelemahan


gerakan otot mata, vertigo.

Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak


akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

Tingkat kesadaran

: adanya perubahan mental seperti lebih sensitive,

gelisah, stupor, koma


-

Rangsangan meningeal : kaku kuduk, kernig, brudzinskhi.

Fraktur tengkorak : jenis fraktur, luka terbuka, perdarahan konjungtiva,


rihinorrea, otorhea, ekhimosisis periorbital, gangguan pendengaran.

Kardiovaskuler

pengaruh

perdarahan

organ

atau

pengaruh peningkatan TIK dan disritmia jantung.


-

Kognitif

amnesia

postrauma,

disoroentasi,

amnesia

retrograt,

gangguan bahasa dan kemampuan matematika.


-

Fungsi sensori : lapang pandang, diplopia, gangguan persepsi,


gangguan pedengaran, gangguan sensasi raba.

Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia,


gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia

atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.


Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya,
bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.

Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.


Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik
ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia
yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus
cranialis, maka dapat terjadi :
-

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,


pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian


lapang pandang, foto fobia.

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.


kompresi

pada

konsentrasi,

Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena


menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

nervus

vagus

Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader : Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin,
ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone : Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak
atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu
dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

4.
-

Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang


CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

adanya

hemoragik,

MRI : sama dengan CT Scan


Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma

EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.

PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.

Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran


struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub


arakhnoid.

AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub
arakhnoid.

Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam


peningkatan TIK atau perubahan mental.

Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi


akibatpeningkatan tekanan intrkranial

5.

keseimbangan

elektrolit

sebagai

Komplikasi

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah


terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau
cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan
periode apnu yang singkat.

Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural


terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa.

Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas


membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi
kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.

Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi


diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan
normal.

6.

Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat
timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.

Prognosis
Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat
penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai
penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas.
Selain itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan di
tengah perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema,
kerusakan jaringan otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Prognosis
pada cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan
cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar :
skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap pada kondisi
vegetative hanya 5-10%. Syndrome pascakonkusi berhubungan dengan sindrom nyeri
kepala kronis, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala.
Sering kali bertumpang tindih dengan depresi. Jadi prognosisnya buruk.

7.

Therapy/tindakan penanganan

Larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada
pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.

Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki
resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H 2 antagonis lain
atau inhibitor proton.

Endemelasin (15 250 mg/hari) dan naproxen (1000 1500 mg/hari) berguna untuk
menghindari ketergantungan terhadap analgesik.

8.

Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis


Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan
memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga
kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit

Penatalaksanaan

Pedoman resusitasi dan penilaian awal


1.

Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar
servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu
jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

2.

Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak
berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan
atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang
oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%.
Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat
(PaO 2 >95 mmHg dan PaCO 2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta
diventilasi oleh ahli anestesi.

3.

Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera
intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah,
pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil
darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan
analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa
dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala.
Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.

4.

Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB
diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

5.

Menilai tingkat keparahan

a.

Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

Skor skala koma Glasgow 15(sadar penuh, atensif, dan orientasi)

Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)

Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.

Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.

Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.

b.
-

Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)


Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

Konkusi

Amnesia pasca trauma

Muntah

Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebrospinal)

Kejang

c.

Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

Penurunan derajat kesadaran secara progresif

Tanda neurologis fokal

Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium


Pedoman penatalaksanaan

1.

Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas
setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.

2.

Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur
berikut :

Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer
laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan
hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.

Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis, kimia


darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa tromboplastin parsial,
skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.

3.

Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT
Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien
dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :

Hematoma epidural

Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel

Kontusio dan perdarahan jaringan otak

Edema serebri

Obliterasi sisterna perimesensefalik

Pergeseran garis tengah

Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

4.

Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi,
lakukan tindakan berikut ini :
Elevasi kepala 30 o

Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan


kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan CO 2 sampai
28-32 mmHg. Hipokapnia berat (PCO 2 < 25 mmHg) harus dihindari sebab dapat
menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.

Berikan manitol 20% 1g/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat diberikan
4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam
pertama.

Pasang kateter Foley


Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar,
hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > diploe)
Penatalaksanaan Khusus

1.

Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai
berikut :

Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam
batas normal

Foto servikal jelas normal


Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika timbul
gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :

Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan

Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

Adanya tanda atau gejala neurologis fokal

Intoksikasi obat atau alkohol

Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.

2.

Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala trauma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT
Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan dengan observasi di
rumah meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko
timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.

3.

Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasi ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi atau tekanan tekanan intrakranial yang meningkat.

Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau koma
(tidak dapat mengikuti perintah karena kesadaran menurun), harus diintubasi untuk
proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter
ventilasi harus diatur sampai PCO 2 40 mmHg dan PO 2 90-100 mmHg.

Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan


hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan
kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka
tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan
hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak dan hipertensi
dapat mengeksaserbasi serebri.

Memasang alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila
memungkinkan

Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer
laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan
dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi
edema serebri.

Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolik,


dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui
pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin. (biasanya hari
ke-2 perawatan).

Temperatur badan : demam (temperatur > 101 o F) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan
penyebab (antibiotika) diberikan bila perlu.

Antikejang : fenitolin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari


intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14%
menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin
tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak
mengalami kejang pemberian fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin
harus dipantau secara ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme
fenitoin.

Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera
kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk
itu steroid hanya untuk dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena setiap 4-6jam selama 48-72 jam).

Profilaksis trombosis vena dalam : sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada
pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada
ekstrimitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000
unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan
imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intrakranial.

Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki
resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H 2 antagonis lain
atau inhibitor proton.

Antibiotik : penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera
kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisislin dapat mengurangi resiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau
udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang
lebih virulen.

CT Scan lanjutan : umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah
cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang
progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.

Daftar pustaka:
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume
3. Jakarta : EGC

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta


: EGC

Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa


Keperawatan, Jakarta : EGC.
Donna, D.Et Al.1991. Medical Surgical Nursing : A. Nursing Prosess Approch.
St. Louis : The
C.V. Mosby Co.
NANDA, 2007. Nursing Diagnoses : Definition and Clssification 2007
2008, NANDA
International, Philadephia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai