Anda di halaman 1dari 5

[01] - Pandangan Bapak-bapak Gereja

Pengantar
Penting untuk diketahui bahwa doktrin atau ajaran tentang Allah Tritunggal hanya ada di
dalam Kekristenan. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini adalah salah satu keunikan agama
Kristen. Ajaran seperti ini tidak ada di dalam agama lain. Bukan saja tidak ada, ajaran
seperti ini ditentang oleh agama tertentu di mana pemahaman seperti ini dianggap
bertentangan dengan natur atau keberadaan Allah itu sendiri.
Allah Tritunggal atau Trinity God adalah pemahaman akan Allah yang memiliki tiga
oknum yang berbeda (hypostasis) tapi di dalam satu keberadaan (essensi atau substansi),
yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pemahaman ini berbeda dengan Unitarianisme
yang menekankan keesaan Allah dan menyangkali oknum Anak (Yesus Kristus) dan Roh
Kudus sebagai Allah yang setara dengan YHWH.
I. Pandangan Bapak-bapak Gereja
Sekalipun pemikiran tentang Allah Tritunggal telah dimulai pertama kali pada abad kedua
oleh Athenagoras, namun doktrin ini secara jelas diajarkan pada abad ketiga oleh
Tertullian (fl.c.196-c.212). Tertullian menegaskan bahwa hanya ada satu Allah dengan
tiga oknum yang berbeda. Namun pemahaman Tertullian yang dikenal dengan economic
Trinitaniarism kelihatannya bermasalah, di mana Tertullian memahami bahwa Allah
Bapa menggunakan kedua tanganNya, yaitu Anak dan Roh Kudus sebagai perantara
untuk menciptakan dunia. Sejarah kehidupan manusia dibagi menjadi tiga periode di
mana ketiga oknum dari Allah Tritunggal bekerja secara berurutan pada masing-masing
periode tersebut. Perjanjian Lama merupakan periode Bapa, Perjanjian Baru hingga hari
Pentakosta merupakan periode Anak, dan akhirnya, mulai dari hari Pentakosta dan
seterusnya merupakan periode Roh Kudus.
Tentu saja pandangan tersebut di atas kurang memuaskan, karena membatasi Allah pada
periode tertentu saja. Pandangan ini juga membuka peluang bagi pemahaman Modalistik
atau Monarchianisme. Pandangan Monarchianisme ini juga disebut sebagai
Sabellianisme sesuai nama pencetusnya, yaitu Sabellius yang hidup pada abad ketiga.
Menurut pandangan ini, sebenarnya hanya ada satu oknum Allah, bukan tiga oknum.
Allah yang Esa tersebut menyatakan diri dengan tiga cara, atau tiga manifestasi. Sebagai
pencipta alam semesta, Allah muncul sebagai Bapa; kemudian, sebagai Penebus manusia,
Allah muncul sebagai Anak dan akhirnya Roh Kudus muncul sebagai pribadi yang
menguduskan. Untuk menjelaskan hal ini, seringkali orang mengambil ilustrasi es, air
dan uap. Pada temperatur di bawah 0 derajat kita menemukan zat es, sedangkan di atas
temperatur 0 derajat es tersebut akan berubah menjadi air, dan pada temperatur di atas
100 derajat air itu akan berubah menjadi uap. Ada juga yang menggambarkannya dengan
seorang yang berperan sebagai ayah di rumah, tapi di kantor sebagai pimpinan dan pada
kesempatan lain sebagai orang yang bermain golf. Artinya, orang yang sama dan yang
satu itu berperan sebagai ayah, pimpinan dan pemain golf. Pengajaran inipun tidak
memuaskan karena tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab.

Jika Sabellianisme berusaha menghindari tuduhan bahwa dia menganut paham


politheisme (percaya kepada banyak Allah) dengan mempertahankan sifat keesaan Allah
dan menolak adanya ketiga oknum yang berbeda dalam Allah Tritunggal, tidak demikian
dengan Arianisme oleh Arius (c. 250-336). Arius mengakui adanya ketiga oknum dalam
diri Allah, yaitu Bapa, Anak dan Roh. Namun menurut Arius, Anak subordinate dengan
Bapa, demikian juga dengan Roh Kudus. Karena itu, Anak tidak memiliki kekekalan
yang sama (co-eternal) dengan Bapa. Anak juga tidak dapat disejajarkan dengan Bapa,
melainkan lebih rendah dari Bapa, sedangkan Roh Kudus lebih rendah dari Anak.
Pemahaman Sabellianisme tersebut ditentang oleh Athanasius (c. 297-373), di mana dia
menegaskan bahwa Bapa memiliki substansi yang sama dengan Anak dan Roh Kudus
(Yunani, Bapa homoousia dengan Anak dan Roh Kudus. Homo artinya sama, sedangkan
ousia artinya zat, atau substansi. Perlu diketahui dua kata yang hampir mirip tetapi
mengandung arti yang berbeda, yaitu homo dengan homoi. Yang pertama berarti
sama, sedangkan yang kedua berarti mirip atau seperti.). Karena Bapa memiliki substansi
yang sama dengan Anak dan Roh Kudus, maka Bapa juga memiliki kekekalan yang sama
dan setara dengan Anak dan Roh Kudus. Sidang oikumene pertama (sidang yang
mempersatukan Gereja Barat dan Timur) yaitu konsili Nicea pada tahun 325 meneguhkan
bahwa Yesus adalah Allah dan sehakekat dengan Bapa. Penegasan bahwa Anak sehakekat
dengan Bapa terlihat dengan penggunaan kata bahwa Anak homo ousia dengan Bapa
Selanjutnya konsili Konstantinopel pada tahun 381 meneguhkan bahwa Roh Kudus
adalah Allah yang setara, sehakekat dan memiliki kekekalan yang sama dengan Bapa dan
Anak.
Setelah mendiskusikan hal di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan
kepada Allah Tritunggal merupakan satu pengakuan kepada Allah yang Esa (dalam esensi
atau substansi) namun memiliki tiga oknum yang berbeda. Pengakuan ini meneguhkan
bahwa Bapa, Anak dan Roh adalah Allah yang sehakekat, setara dan memiliki kekekalan
yang sama (co-existence, co-equal dan co- eternal).
Beberapa hal yang perlu dihindari, yaitu:
1.Menyangkali keesaan Allah (Arianisme)
2.Menyangkali adanya ketiga oknum yang berbeda (Sabellianisme)
3.Menyangkali kesetaraan Allah Bapa, Anak dan Roh
I.

Pandangan Alkitab terhadap Allah Tritunggal


Hal pertama yang perlu kita tegaskan adalah bahwa kita tidak menemukan
istilah Allah Tritunggal di dalam Alkitab. Karena itu, ada sebagian orang yang
menolak pandangan Allah Tritunggal karena menurut mereka istilah itu tidak
pernah ditemukan di dalam Alkitab, baik di dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Selanjutnya, mereka itu menyatakan bahwa ajaran Allah
Tritunggal hanya merupakan ciptaan dari bapak-bapak Gereja mula-mula.
Benarkah demikian? Jawabnya adalah, memang istilah Allah Tritunggal tidak
ditemukan, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Jika kita
melihat perkembangan doktrin Tritunggal tersebut, memang hal itu tidak

terlihat secara jelas dinyatakan di dalam Perjanjian Lama. Umat Allah di


dalam Perjanjian Lama malah terus menerus diperingatkan bahwa Allah itu
esa (Ulangan 6:4). Hukum Taurat pertama dari sepuluh Hukum Taurat
menegaskan: Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu (Kel.20:3). Itulah
sebabnya umat Allah di dalam Perjanjian Lama hanya beribadah kepada
YHWH.
Namun demikian, kehadiran Yesus Kristus dan Roh Kudus di Perjanjian Baru
membuat pemahamaman akan keesaan Allah tersebut perlu dipikirkan ulang.
Siapakah Yesus Kristus? Siapakah Roh Kudus? Apakah Yesus manusia biasa,
atau sekedar seorang nabi seperti nabi lainnya di dalam Perjanjian Lama?
Penulis-penulis Perjanjian Baru memberi pengajaran bahwa Yesus dan Roh
Kudus adalah pribadi Allah juga. Sekalipun terjadi pro-kontra di dalam gereja
mula-mula tentang pribadi Yesus, namun akhirnya, pada tahun 325 hal itu
dapat diselesaikan melalui sidang oikumene (konsili) pertama di Necea bahwa
Yesus adalah Allah. Pengakuan bahwa Yesua adalah Allah diteguhkan dalam
konsili-konsili selanjutnya, seperti Konsili Efesus (431), Chalcedon (451).
Demikian juga keAllahan Roh Kudus diteguhkan melalui Konsili kedua di
Konstantinopel pada tahun 381. Jika demikian halnya, apakah Alkitab
mengajarkan adanya tiga Allah? Tentu saja tidak, sebab sebagaimana kita lihat
pada Hukum Taurat pertama, Allah menegaskan untuk tidak menyembah
Allah lain di luar Dia. Pengakuan kepada Allah yang esa merupakan
pengakuan mutlak yang tidak dapat ditawar- tawar (Ulangan 6:4). Di dalam
Injil Perjanjian Baru, kita juga menemukan penegasan akan keesaan Allah
tersebut, baik oleh Tuhan Yesus (Yoh.10:30) maupun oleh rasul-rasul
(1Tim.2:5). Dari pengajaran Alkitab tersebut, kita melihat bahwa di satu sisi
Alkitab menegaskan keesaan Allah, tapi di sisi lain, kita menemukan adanya
kejamakan di dalam keesaan tersebut. Dari kenyataan tersebut, bapak-bapak
Gereja mencoba memahami dan menjelaskannya. Tentu saja, sebagaimana
kita sebutkan di atas, ada pemahaman yang tidak sesuai dengan pengajaran
Alkitab, seperti Sabellianisme dan Arianisme dan ada juga yang sesuai dengan
ajaran Alkitab, sebagaimana diajarkan oleh Athanasius.
Apakah adanya sifat kejamakan di dalam Allah yang esa tersebut hanya
ditemui di dalam Perjanjian Baru? Sebenarnya, jika kita meneliti Perjanjian
Lama, kita juga menemukan adanya unsur kejamakan tersebut. Kejamakan
tersebut dapat ditemukan ketika kita membaca kalimat pertama Perjanjian
Lama. Dalam Kej.1:1 kita membaca: Pada mulanya Allah menciptakan langit
dan bumi. Di dalam bahasa aslinya (Ibrani) kalimat tersebut berbunyi: Be
reshit bara Elohim et ha shamayim ve et ha aretz. Kata Elohim
menandakan jamak (bandingkan dengan Yes.6:2 di mana banyak mahluk
surgawi (serafim) melayani Allah). Salah satu oknum dari Allah Tritunggal
tersebut segera disebut secara eksplisit pada ayat 2: Roh Allah melayanglayang di atas permukaan air. Selanjutnya, kita juga dapat menemukan
kejamakan tersebut dalam kisah penciptaan manusia: Baiklah KITA
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita (Kej.1:26). Lalu

bagaimana dengan Perjanjian Baru? Ketiga oknum Tritunggal dinyatakan


dengan sangat jelas. Misalnya, dalam kisah pembaptisan Yesus (Mark.1:9-11),
kisah pengutusan pada saat Yesus memberikan amanat agung: Mat.28:19,
pada saat khotbah perpisahan (Yoh.16:4-7), juga dalam memberi berkat (2
Kor.13:13).
II.

(bersambung)
III. Relasi di dalam Allah Tritunggal
Sebagian orang menolak doktrin Allah Tritunggal karena menurut mereka hal
itu tidak logis. Namun demikian, banyak ahli yang berpendapat justru
pemahaman kepada doktrin tersebut sungguh-sungguh logis. Sebagai contoh,
bapak Gereja, Augustinus, theolog yang sangat dikagumi dan berpengaruh di
zamannya menegaskan bahwa hal itu sesuai dengan ajaran Alkitab bahwa
Allah itu adalah kasih. Menurut Augustinus, bagaimanakah kita memahami
Allah yang adalah kasih tanpa adanya sifat kejamakan di dalam diri Allah?
Kasih memerlukan subjek dan objek. Sebelum Allah menciptakan segala
sesuatu, termasuk malaikat-malaikat dan manusia, Allah mengasihi siapa/apa?
Hal ini menjadi kesulitan bagi mereka yang menolak adanya oknum lain di
luar diri Allah (YHWH). Tetapi bagi mereka yang menerima doktrin Allah
Tritunggal, hal itu tidak masalah, karena Bapa mengasihi Anak, Anak
mengasihi Roh, dstnya. Pengenalan kepada self-sufficient and self-dependent
God membuat kita dapat memahami bahwa Allah cukup dengan diriNya
sendiri dan tidak bergantung kepada siapapun. Karena itu, Allah dapat
mengungkapkan kasihNya tanpa adanya satu eksistansi (keberadaan) di luar
diriNya. Demikian juga, pemahaman kepada Allah yang hidup dan yang
bersabda the living and speaking God membuat kita memikirkan perlunya
ada komunikasi yang di dalamnya ada subjek dan objek, karena
bagaimanakah oknum yang satu dapat berkomunikasi? Atau Dia menjadi
Allah yang bisu dan kesepian sebelum Dia menciptakan sesuatu? Tentu saja
tidak. Pemahaman kepada Allah Tritunggal akan menolong mengatasi hal itu.
Alkitab menegaskan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, Allah telah
berkomunikasi dengan diriNya: Marilah kita menciptakan manusia menurut
gambar dan rupa KITA (Kej.1:26).
Selain dari relasi tersebut di atas, kita akan mencatat hal-hal berikut:
1.Relasi saling menghormati dan memuliakan di dalam oknum Tritunggal:
Yoh.16:14-15; 17:1,4.
2.Adanya koordinasi dan kesatuan ketiga oknum dalam Penciptaan (Kej.1:26);
karya keselamatan (1Pet.1:2); Baptisan (Mat.28:19); pembaharuan dan berkat
dalam diri orang percaya (Gal.4:6, 2 Kor.13:13).
3.Adanya peran khusus di dalam masing-masing oknum: Bapa (Kis.2:23;
Ro.11:33-34; Ef.1:4,9,11; 3:11), Anak (Yoh.17:4; 1Kor.1:30; Ef.1:7;

1Tim.2:5); Roh (Ro.8:2,14,15,16,26; Tit.3:5).


4.Dalam karya penyelamatan, apa yang ditetapkan oleh Bapa, digenapkan
oleh Anak di kayu salib dan diaplikasikan oleh Roh di dalam diri orang
percaya. Dengan perkataan lain, yang disalibkan adalah oknum kedua, bukan
oknum pertama atau ketiga, sedangkan yang mendiami orang percaya adalah
oknum ketiga, bukan oknum pertama dan kedua.
5.Penerapan praktis. Dalam doa, biasanya kita berdoa dan memohon kepada
Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dalam pertolongan dan kekuatan Roh Kudus,
dan doa itu hanya layak karena jasa Yesus Kristus. Itu sebabnya seringkali doa
diakhiri dengan dalam nama Yesus, atau ... semua permohonan kami
tersebut kami alaskan dalam nama AnakMu, Yesus Kristus.
Perhatian! Jika kita berdoa kepada Yesus, jangan diakhiri dengan ...dalam
nama AnakMu, Yesus Kristus, karena Yesus tidak punya Anak.
Kesimpulan:
Pemahaman kepada Allah Tritunggal adalah:
1.Percaya kepada Allah yang memiliki tiga oknum (Bapa, Anak dan Roh)
dalam satu keberadaan (substansi).
2.Percaya kepada Allah Bapa, Anak dan Roh yang SETARA, SEHAKEKAT
DAN MEMILIKI KEKEKALAN YANG SAMA.
3.Ketiga oknum tersebut DAPAT DIBEDAKAN TAPI TIDAK DAPAT
DIPISAHKAN.
4.Dapat diimani, tapi tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Doktrin Allah
Tritunggal bukan di wilayah logika, bukan irrasional tapi supra rasional
(beyond logic). Hal itu memang sesuai dengan hakekat Allah. Allah yang
sejati pasti di luar jangkauan logika manusia.
Akhir kata, sekalipun doktrin Allah Tritunggal melampaui akal, jangan
menyangkalnya, juga jangan memaksa diri untuk memahaminya. Seorang
pernah menulis: Jika kamu mencoba mengerti dengan pikiranmu, kamu akan
kehilangan akalmu. Tetapi jika kamu mencoba menyangkalnya, kamu akan
kehilangan hatimu.
Soli Deo gloria.

Anda mungkin juga menyukai