Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir al-Ibrz yang mempunyai judul lengkap al-Ibrz li Marifat
Tafsr al-Qurn al-Azz merupakan salah satu karya KH. Bisyri Mushthafa
yang cukup dikenal di kalangan para muslim jawa, khususnya di lingkungan
pesantren.Tafsir Al-Ibris pun sengaja menggunakan bahasa JawaPegon dalam penyusunannya karena K.H Bisyri Musthafa
menginginkan agar ilmu yang beliau peroleh itu dapat
bermanfaat.

Sehingga

selain

untuk

diri

sendiri

Bisyri

berkeyakinan ilmu harus bermanfaat juga bagi orang lain. Dan


karena adanya kepentingan ekonomi yang didasari atas
kesadaran

dan

tanggung

jawab

terhadap

kepentingan

keluarga.
Adapun terdapat delapan sumber penafsiran yang
dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran, yaitu; Al-Quran, Assunnah, Qaul Sahabat, Qaul Tabiin, Kaidah-kaidah bahasa
Arab, Kisah israiliyyat, Teori ilmu pengetahuan, dan yang
terakhir pendapat para Mufassir terdahulu.
Tafsir al-Ibriz termasuk pada kategorisasi tafsir dengan
bentuk bi almatsur. Kategorisasi ini ditunjukkan dari dominasi
sumber-sumber

penafsirandi

atas.

Sedangkan

dalam

penggunaan rayu dalam Tafsir al-Ibriz tersebutprosentasenya


relatif kecil sebagai pelengkap dan penyelaras

riwayat

sertadapat diterima apabila telah melewati tahap dimana


B.
C.
1.
2.

rayu diperbolehkanpenggunaannya.
Rumusan Masalah
1. Seperti apa biografi KH. Bisyri Mustopa dan karyanya?
2. Bagaimana metodologi penulisan tafsir Al-Ibriz?
Tujuan
Mengetahui biografi KH. Bisyri Mustofa dan karyanya
Mengetahui metodologi penulisan tafsir Al-Ibriz

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi dan Pendidikan K.H Bisyri Musthafa


Bisri Mustofa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang, Jawa
Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi (yang
kemudian diganti menjadi

Bisri

Mustofa

setelah

menunaikan

ibadah haji). Bisri Mustofa merupakan putra pertama dari pasangan


H.Zainal Mustofa dengan isteri keduanya bernama Hj. Chotijah.1
H.

Zainal

Mustofa adalah anak dari Podjojo atau

Sebelumnya

H.Zainal

kemudian

terkenal

Mustofa

bernama

dengan

Djaja

sebutan

Beliaumerupakanseorangpedagang

kaya

H.Yahya.

Ratiban,

Djojo

yang

Mustopo.

danbukanseorangkyai.

Akan tetapibeliaumerupakan orang yang sangatmencintai kyai dan


alim ulama, di samping orang yang sangat dermawan. Dan dari
keluarga

ibu

Mashadi

masih

Makasar,

karena Hj. Chotijah

mempunyai

merupakan

darah

anak

keturunan

dari

pasangan

Aminah dan E. Zajjadi. Sedangkan E. Zajjadi adalah kelahiran


Makasar

dari

ayah

bernama

E.

Sjamsuddin

dan

ibu

Datuk

Djijah.2
Mashadi merupakan putra pertama dari empat bersaudara,
yaitu : Mashadi, Salamah(Aminah), Misbach, danMasum. Selainitu,
Bisri Mustofa juga mempunyai beberapa saudara tiri lagi dari kedua
orang

tuanya.

(Dakilah)

Pernikahan

ayahnya

dengan

istri

sebelumnya

mendapatkan dua orang anak, yakni H. Zuhdi danHj.

1Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri


Mustofa, (Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm 8

2Di ambil dari skripsi Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme


dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 2014, hlm. 39-40
2

Maskanah.
sebelumnya

Sedangkan

pernikahan

juga dikaruniai

ibunya

dengan

Dalimin

dua orang anak, yaitu :Achmad

danTasmin.
Di usianya yang keduapuluh, Bisri Mustofa dinikahkan oleh
gurunya yakni KH. CholildariKasingan (tetanggaPesawahan) dengan
seorang gadis bernama Marufah yang tidak lain adalah putri KH.
Cholilsendiri. Dari pernikahannya

ini,

Bisri

Mustofa

dikaruniai

delapan orang anak, yakni:

1. Cholil (lahir pada tanggal 12 Agustus 1942)


2. Mustofa (lahir pada tanggal 10 Agustus 1943)
3. Adib (lahir pada tanggal 30 Maret 1950)
4. Faridah (lahir pada tanggal 17 Juni 1952)
5. Najihah (lahir pada tanggal 24 Maret 1955)
6. Labib (lahir pada tahun 1956)
7. Nihayah (lahir pada tahun 1958), dan
8. Atikah (lahir pada tanggal 24 Januari 1964).3
Dan Dua orang putra yakni Cholil (CholilBisri) dan Musthofa
(Musthofa Bisri) mungkin yang paling familiar dikenal masyarakat
sebagai penerus kepemimpinan pondok pesantren.4
Seiring pejalanan waktu, tanpa sepengetahuan keluarganya
termasuk istrinya sendiri, Bisri Mustofa kemudian menikah lagi
dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah yang bernama
Umi Atiyah pada tahun 1967. Dari UmiAtiyah, Bisri Mustofa
dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Maemun. Bisri Mustofa
wafat pada tanggal 16 Februari 1977. Bisri Mustofa kecil, sejak keci
lsudah akrab dengan lingkungan pesantren, meski ayahnya bukan
seorang Kyai. Sejak umur tujuh tahun, Bisri Mustofa kecil belajar di
3Ibid,.51
4Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri
Mustofa, (Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 12.

sekolah OngkoLoro di Rembang. Di sekolahini, Bisri Mustofa kecil


hanya bertahan satu tahun, karena ketika hampir naik kelas dua, ia
diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci.
Rupanya, di tempat inilah Allah memberikan cobaannya. Di dalam
perjalanan pulang di pelabuhan Jeddah, ayahnya wafat setelah
sebelumnya menderita sakit sepanjang pelaksanaan haji.
Semenjak kewafatan H. Zainal Mustofa, tanggung jawab serta
urusan keluarga dipegang oleh kakak tiri Mashadi, yakni H.Zuhdi.
Selanjutnya setelah itu, H. Zuhdi mendaftarkan Bisri Mustofa kecil
lagi

ke

sekolah

HIS

(Hollands

Inlands

School).

Saatitu,

di

Rembangterdapattigamacambentuksekolah, yaitu:
a.

Europese

School,

terdiridarianakkalanganatas,

yang

memiliki

sepertianak-anakpriyayi,

murid
bupati,

ataupunasistenPresiden.
b.

HIS

(Hollands

Inlands

School),

yang

memiliki

murid

terdiridarianak- anakpegawainegeri yang penghasilannyatetap.


c.

SekolahJawa

(SekolahOngkoLoro),

yang

memiliki

murid

terdiridarianak-anakkampung, anakpedagang, atautukang.5


Bisri Mustofa diterima di sekolah HIS karena ia diakui sebagai
keluarga Raden Sudjono, seorang mantri guru HIS, sekaligus
tetangga keluarga Bisri. Namuntak lama kemudian, ia dipaksa
keluar oleh Kiai Cholil dengan alas an sekolah tersebut milik Belanda
hingga akhirnya Bisri Mustofa kembali lagi kesekolah OngkoLoro
yang dulu dan belajar disana hingga mendapatkan sertifikat dengan
masa pendidikan empat tahun.
Selanjutnya pada 1926, setelah lulus dari OngkoLoro, Bisri
Mustofa remaja belajar di Pesantren Kasingan, pimpinan Kyai Cholil.
Pada awalnya, Bisri Mustofa tidak berminat belajar di pesantren
sehingga hasil yang dicapai pada awal-awal mondhok sangat tidak
memuaskan. Hal ini dikarenakan:
5Ibid, 11.
4

1. Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran


yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, shorof dan lain lain.
2. Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras.
Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami
apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.
3. Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman Pondok.
4. Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup6
Karena kurang betah di pondok, Bisri Mustofa berhenti mondok dan
sering bermain bersama-sama teman sekampungnya.7
Setelah

tidak

mondhok

beberapa

bulan,

maka

pada

permulaan tahun 1930, Bisri Mustofa diperintahkan untuk kembali


lagi belajar di Kasingan, dan ia dipasrahkan kepada Sujai (ipar KH.
Cholil) yang mengajari Bisri dengan berbagai pelajaran hingga ia
menguasainya dengan baik.
Sejak tahun 1933, Bisri Mustofa telah dipandang sebagai
santri yang memiliki kelebihan hingga ia sering diminta sebagai
rujukan

oleh

teman-temannya.

Setelah

menunaikan

masa

belajarnya, Bisri di perintahkan oleh KH. Cholil untuk tetap tinggal


di

Kasingan.

Dan

selanjutnya,

ia dinikahkan dengan putrinya,

Marufah pada bulan Syaban atau Juni tahun 1935.


Setahun setelah dinikahkan oleh Kyai Cholil dengan putrinya
yang bernama Marufah, Bisri Mustofa berangkat lagi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa
anggota keluarga dari Rembang. Namun seusai haji, Bisri Mustofa
tidak pulang ketanah air, melainkan memilih bermukim di Mekkah
dengan tujuan menunutut ilmu di sana.

6Di ambil dari skripsi Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme


dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 2014, hlm. 42-43
7Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa,
(Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 15

Di Mekkah,

beliau belajar dari satu ke guru

lain

secara

langsung dan privat. Tercatat beliau pernah belajar kepada Syeikh


Baqilasal Yogyakarta, Syeikh Umar Hamdan Al Maghriby, Syeikh Ali
Malik, Sayid Amid, Syeikh Hasan Massath, SayidAlwidan KH.
Abdullah Muhaimin.
Dua tahun lebih, Bisri Mustofa menuntut ilmu di Mekkah.
Beliau pulang ke Kasingan tepatnya padat ahun 1938 atas
permintaan mertuanya. Setahun kemudian,

mertunya yakni KH.

Cholil meninggal dunia. Sejak itulah Bisri Mustofa menggantikan


posisi guru dan mertunya itusebagai pemimpin pesantren.8
Di samping kegiatan mengajar di Pesantren, Bisri Mustofa juga
aktif

mengaisi

ceramah-ceramah

(pengajian)

keagamaan.

Penampilannya diatas mimbar amat mempesona para hadirin yang


hadir, sehingga Bisri Mustofa sering diundang untuk mengisi
ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang,
seperti Kudus, Demak, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah
lain di Jawa Tengah.
Bisri Mustofa berperawakan besar, tinggi dan gagah yang
menimbulkan kesan berwibawa dan menyenangkan. Di antara sifatsifat keteladanan yang menonjol dari Bisri Mustofa adalah Memiliki
kasih sayang yang besar terhadap sesama, terutama para santri,
sangat dermawan, memiliki pendirian yang teguh, memiliki ambisi
yang besar, menghormati orang yang berilmu, tanpa memandang
status, suka bergaul dengan orang-orang biasa, humoris.
KH.Bisyri

Mushthafa

pada

permulaan

tahun

1930

di

perintahkan untuk kembali lagi ke kasingan untuk belajar mengaji


dan

mondok

pada

kyai

cholil.

Bisyri

Mushthafa

kemudian

dipasrahkan oleh ipar kyai cholil yang bernama Sujai. Di pesantren


itu, Bisyrri Mushthafa tidak langsung mengaji pada kyai cholil. Akan
tetapi beliau terlebih dahulu belajar mmengaji kepada Sujai. Hal ini
dilakukan selain Bisyri Mushthafa belum siap mengaji kepada kyai
8Ibid., 20.
6

cholil, juga untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa


beliau akan mampu dan untuk mempersiapkan diri nantinya
mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisyri mushthafa tidak
diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya
diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga setiap hari yang
dipelajari hanya kitab itu saja. Dan pada akhirnya Bisyri Mushthafa
menjadi santri yang sangat menguasai kitab tersebut, dan beliau
mempelajari kitab Alfiyah tersebut selama dua tahun.
Satu tahun kemudian bisyri Mushthafa mulai ikut mengaji
kitab Fathul Muin. Beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh
sebagaimana beliau mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar
kedua kitab tersebut, maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab
yang lain, seperti: Fathul Wahhab, Iqna, Jamiul Jawami, Uqudul
Juman dan lain-lain.
Kesimpulan

dari

pendidikan

KH.Bisyri

Mushthafa

pada

permulaan tahun 1930 Bisyri Mushthafa di perintahkan untuk


kembali lagi ke kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada
kyai cholil. Bisyri Mushthafa kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai
cholil yang bernama Sujai. Di pesantren itu, Bisyrri Mushthafa tidak
langsung mengaji pada kyai cholil. Akan tetapi beliau terlebih
dahulu belajar mmengaji kepada Sujai. Hal ini dilakukan selain
Bisyri Mushthafa belum siap mengaji kepada kyai cholil, juga untuk
membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu
dan untuk mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung
kepada kyai Cholil. Bisyri mushthafa tidak diajarkan kitab-kitab yang
macam-macam, tetapi beliau hanya diajarkan kitab Alfiyah Ibnu
Malik. Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya kitab itu saja. Dan
pada

akhirnya

Bisyri

Mushthafa

menjadi santri yang sangat

menguasai kitab tersebut, dan beliau mempelajari kitab Alfiyah


tersebut selama dua tahun.
Satu tahun kemudian bisyri Mushthafa mulai ikut mengaji
kitab Fathul Muin. Beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh
7

sebagaimana beliau mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar


kedua kitab tersebut, maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab
yang lain, seperti: Fathul Wahhab, Iqna, Jamiul Jawami, Uqudul
Juman dan lain-lain.
B. Karya-Karya KH. Bisyri Mushthafa
Hasil karya KH. Bisyri Mushthafa umumnya mengenai masalah keagamaan yang
meliputi berbagai bidang, di antaranya : Ilmu Tafsir dan Tafsir, Ilmu Hadisdan Hadis,
Ilmu Nahwu, Ilmu Saraf, Syariah atau Fiqih, Tasawuf/Akhlak,Aqidah, Ilmu
Mantiq/Logika dan lain sebagainya. Kesemuanya itu berjumlahkurang lebih 176
judul. Bahasa yang dipakai bervariasi, ada yang berbahasa Jawa bertuliskan Arab
Pegon, ada yang berbahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon, ada yang berbahasa
Indonesia bertuliskan huruf Latin dan ada juga yang menggunakan bahasa Arab.
Berikut sebagian karya-karya beliau;
1. Tafsir al-Ibriz li Marifati al-Quran al-Azizi bi al-Lughati al- Jawiyyah
2. Al-Iksir Fi Tarjamah Ilmi Tafsir (1380 H/1970 M)
3. Tarjamah Manzumah al-Baiquni (1379 H/1960 M)
4. Al-Azwadu al-Mustafayah Fi Tarjamah al-Arbain an-Nawawiyyah
5. Sullamul Afham Tarjamah Bulughul Maram
6. Nazam as-Sullam al-Munawaraq Fi al-Mantiq
7. Sullamul Afham Tarjamah Aqidatul Awam (1385 H/1966 M)
8. Durarul al-Bayan Fi Tarjamah Syabi al-Iman
9. Tarjamah Nazam al-Faraidul Bahiyah Fi al-Qawaidi al-Fiqhiyyah (1370
H/1958 M)
10. Aqidah Ahlu as-Sunnah Wal Jamaah
11. Al-Baiquniyah (ilmu hadis)
12. Tarjamah Syarah Alfiyah Ibnu Malik
13. Tarjamah Syarah Imriti
14. Tarjamah Syarah al-Jurumiyah
15. Tarjamah Sullamu al-Muawanah
16. Safinatu as-Salah
17. Tarjamah kitab Faraidhu al-Bahiyah
18. Muniyatu az-Zaman
19. Ataifu al-Irsyad
8

20. An-Nabras
21. Manasik Haji
22. Kasykul
23. Ar-Risalatu al-Hasanah
24. Al-Wasaya Lil Aba Wal Abna
25. Islam dan Keluarga Berencana (KB)
26. Kutbah Jumat
27. Cara-caranipun Ziarah lan Sintenke Mawon Walisongo Punika
28. At-Taliqat al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah
29. Syair-syair Rajabiyah
30. Al-Mujahadah wa ar-Riyadah
31. Risalah al-Ijtihad Wa at-Taqlid
32. Al-Habibah
33. Al-Qawaidu al-Fiqhiyyah
34. Buku Islam dan Shalat
35. Buku Islam dan Tauhid, dan lain-lain.9
Karya-karya KH. Bisyri Mushthafa sebagaimana di atas, pada umumnya ditunjukkan
pada dua kelompok sasaran.
Pertama, kelompok santri yang sedang belajar di pesantren. Biasanya karyanya
berupa ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Mantiq dan ilmu Balaghah.
Ke-dua, kelompok masyarakat umum di pedesaan yang giat dalam pengajian di Surau
atau di Langgar, dalam hal ini karya-karyanya lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis
yang berkaitan dengan ibadah.
C. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Al-Ibriz
Tafsir al-Ibrz yang mempunyai judul lengkap al-Ibrz li Marifat Tafsr alQurn al-Azz merupakan salah satu karya KH. Bisyri Mushthafa yang cukup
dikenal di kalangan para muslim jawa, khususnya di lingkungan pesantren. Tafsir AlIbris

pun

sengaja

menggunakan

bahasa

Jawa-Pegon

dalam

penyusunannya karena K.H Bisyri Musthafa menginginkan agar ilmu


9 Di ambil dari skripsi Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme
dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 2014, hlm. 63-65
9

yang beliau peroleh itu dapat bermanfaat. Sehingga selain untuk diri
sendiri Bisyri berkeyakinan ilmu harus bermanfaat juga bagi orang
lain. Dan karena adanya kepentingan ekonomi yang didasari atas
kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan keluarga.10
Tujuan KH. Bisyri Mushthafa menulis Tafsir al-Ibriz ini agar umat
Islam dari berbagai latar belakang bahasa yang berbeda, bisa lebih
untuk memahami pesan maupun makna yang terkandung di dalam
al-Quran. Dan KH. Bisyri Mushthafa juga ingin turut serta untuk
menyebarkan

pesan

menghadirkan

Tafsir

dan

makna

al-Quran

dalam

berbahasa

al-Quran
jawa.

Selain

dengan
untuk

melestarikan bahasa jawa, sebenarnya hal ini juga tidak terlepas


dari kultur di pesantren-pesantren tradisional di jawa dimana
penggunaan bahasa jawa dalam memaknai al-Quran dan hadits
atau kitab-kitab Islami lainnya itu sudah menjadi tradisi.
D. Sistematika Penyusunan Tafsir Al-Ibriz
Adapun masa penyusunan kitab Tafsir al-Ibriz ini berlangsung
selama kurang lebih enam tahun (1954-1960 M), dengan melalui
beberapa

tahapan. Dan Tafsir Al-Ibriz inipun terdiri atas tiga jilid,

Jilid I terdiri atas juz 1-10 dari Qs. Al-Fatihah sampai Qs. AtTaubah:93, Jilid II terdiri dari Juz 10-20 dari surat At-Taubah:94
sampai Qs. Al-Ankabut: 44, Jilid III dari juz 21-30 dimulai dari Qs. AlAnkabut: 46 sampai Qs. An-Nas: 6.
Berkaitan dengan sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga
sistematika penulisan. Pertama, sistematika mushafi, yaitu berpedoman pada susunan
ayat dan surat dalam mushaf. Kedua, sistematika nuzuli atau zamani, yaitu didasarkan
pada kronologis turunnya surat-surat dan ketiga, sistematika maudhui, yaitu
didasarkan pada tema-tema tertentu.11 Sedangkan di dalam Tafsir al-Ibriz, sistematika
10 Di kutip dari Kumpulan makalah Sejarah Tafsir di Indonesia, oleh Dr.
Rosihon Anwar, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2008
11Amin al-Khulli, Manahij Tajdid fi an-Nahwi wa al-Balagah wa at-Tafsir wa al-Adab,(Mesir: Darul
Marifah, 1961), h. 300-306

10

yang di gunakan adalah sistematika Mushafi yang biasanya di gunakan oleh


umumnya para Mufasir, Hal ini dapat di jumpai dalam Muqaddimah tafsirnya.
1. Sumber penafsiran
Adapun

terdapat

delapan

sumber

penafsiran

yang

dalam

menafsirkan ayat-ayat al-quran, yaitu; Al-Quran, As-sunnah, Qaul


Sahabat, Qaul Tabiin, Kaidah-kaidah bahasa Arab, Kisah israiliyyat,
Teori ilmu pengetahuan, dan yang terakhir pendapat para Mufassir
terdahulu. Adapun dalam kitab tafsir ini, K.H Bisyri Musthafa juga
menggunakan beberapa sumber penafsiran.
a. Mashodir Asliyyah
- Al-Quran
KH Bisri Mustofa menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain,
dapat kita lihat ketika beliau menafsirkan kata dalam Q.S alHajj : 30.
Artinya:
Demikianlah

(perintah

Allah).

Dan

barangsiapa

mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka


itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah
dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali
yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah
olehmu

berhala-berhala

yang

najis

itu

dan

jauhilah

perkataan-perkataan dusta.(Q.S al-Hajj: 30)


Yang di tafsirkan oleh ayat al-quran dalam Q.S Maidah: 3
Tafsirannya:
Sira kabeh diharamake mangan bathang, lan getih, lan daging babi, lan
hayawan kang disembelih ora kerana Allah, lan hayawan mati kang
katekekan, lan hayawan mati kang dipenthung, lan hayawan kang mati
sebab tiba sangking dhuwur, lan hayawan kang mati sebab gundhangan,
lan hayawan kang kapangan satugalak, durung mati nuli katututan sira
sembelih, lan hayawan kang disembeih kerana berhala (iya haram) lan
sira kabeh diharamake amrih putusan kelawan jemparing. Kaya
mangkana iku fasiq.12
Artinya:
12Bisyri Musthafa, Tafsir al-Ibriz, jilid II, h. 727
11

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging


hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu
yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib
-

dengan anak panah. Perbuatan semua itu adalah tergolong fasiq.


Sunnah Nabi
Dalam Q.S Yusuf: 55, K.H Bisyri Musthafa menafsirkan ayat
ini

dengan

Hadits

Nabi

yang

di

riwayatkan

oleh

Abdurrahman bin Samurah, yaitu sebagai berikut:

:

.

Hadis tersebut mengandung maksud melarang tolab al


Imarah wa al Wilayah.
Dalam hal ini, KH Bisri Mustofa memberikan masalah
yaitu bagaimana dengan Nabi yusuf yang kenyataannya
malahminta imarah dan
wilayah? Maka Bisyri memberikan

jawaban,

memang

benar bahwa minta wilayah dan imarah tidak bagus,


tetapi

yang

demikian

ini

yang

meminta bukan

sembarang manusia. Bila yang meminta bukan orang


sembarangan

sehingga

apabila

ia

tidak

meminta

kekuasaan tadi maka akan dipimpin oleh orang yang tidak


sepantasnya, maka permintaan yang demikian ini tidak
dilarang oleh syara maka apabila tidak ada yang bisa
-

kecuali dia maka wajib baginya.13


Riwayat Sahabat dan Tabiin
Dalam Q.S al-Anfal: 64, yaitu tentang masalah tawanan
perang

setelah

perang

Badar,

penjelasannya

adalah

sebagai berikut:
Sahabat Umar mengatakan bahwa untuk menghadapi
tawanan perang beliau sepakat untuk dibunuh saja. Dan
13Ibid,.686-687
12

Umar

meminta

bagian

untuk

memenggal

leher

dari

tawanan tersebut, meskipun mereka masih termasuk


saudara kita sendiri. Kita harus tetap bertindak tegas
tanpa memandang bulu. Sehingga oang-orang Arab yang
mendengar pastiakan merasa takut. Hal

ini

berbeda

dengan pendapat sahabat Abu Bakar yang mengatakan


bahwa

bagi

tawanan

perang

diwajibkan

membayar tebusan dengan alasan bahwa


berhati-hati karena
akan

masuk

kemungkinan suatu

Islam,

untuk

menjaga

untuk

Kita

saat

harus
mereka

keislaman

anak

keturunannya serta dengan harta tebusan tersebut dapat


menambah kekuatan bagi kaum Islam.14
Perbedaan pendapat dari kedua sahabat Nabi tersebut
dikarenakan keduanya
berbeda,

seperti yang

mempunyai

perwatakan

dikatakan oleh

Rasul

yang
sendiri

bahwa sahabat Umar mempunyai watak yang keras


seperti Nabi Nuh as. Sedangkan sahabat Abu Bakar
-

memiliki watak sangat lembut seperti Nabi Ibrahim.


Kaidah-kaidah Bahasa
Dalam menafsirkan Q.S Yasin: 32, sebagai berikut:
Lafaz menggunakan makna ,menjadi ,
dengan tasydid menggunakan makna

, menjadi,

nya menggunakan
makna lafaz .Lafaz taalluq kepada lafaz
ini
menjadi

yang kedua. Lafaz

juga bisa dibaca tanpa

tasydid yaitu ,maka lafaz menjadi

dengan

menggunakan maknanya Kemudian lafaz

lam-nya

menjadi fariqah sedang -nya zaidah, maka makna


semuanya menjadi sebagai berikut:
Bahwa semua manusia nanti bakal

dikumpulkan

di

padang mahsyar, kemudian dihadapkan kepada Allah Swt


14Ibid,.jilid I, h. 516-517
13

untukditanyai amal-amal mereka ketika di dunia, kemudian


diputuskannya. 15
b. Mashadir Tsanawiyyah
- Kisah-kisah Israiliyyat
KH BisriMustofa juga memberikan catatan yang cukup
jelas

bahwa

kisah.

penafsiran tersebut

Meskipun

diambil

beliau sendiri

dari

sebuah

tidak menyatakan

langsung bahwa penafsiran tersebut adalah merupakan


riwayat Israiliyyat
penjelasannya

namun

yang

beliau

menyatakan

dalam

ditulis dengan kata atau Al-

Hikayathal ini dapat kita lihat dalam penafsiranya Surat AlAraf ayat 136, tentang kisah Nabi Musa yaitu sebagai
berikut:
Pungkasane Allah Taala nyeksa kaume Firaun. Kaum e
Firaun di kerem ana ing tengahe segara, sebab aggane
padha anggarah ake ayat-ayate Allah Taala lan anggane
padha lali saking ayat-ayate All ah Taala.
(Qissah) Sakwuse Firaun kalah anggane tanding lawa n
Nabi Musa,
Firaun tambah nemen anggane anggencet Bani Israil .
Bani Israil
sambat-sambat, Nabi Musa nuli doa, Allah Taala nu
runake

seksa

rupa banjir gedhe. Anehe, banjir mahu

mlebu ana ing omah e wang-wang saking kaume Firaun,


nanging ora mlebu omah-omahe Bani Is rail. Ing mangka
omahe Bani Israil iku jejere karo kaume Firaun. O mahomah iku wis di thatha dening Firaun jejer-jejer. Omahe
Israili d iapit dening omahe Qibti, dadi
Israili-Qibti-Israili.
pirang-pirang
gulu,

dina

Mengkan a
banjir

ora

carane:

sakteruse.
surut-surut

Qibti-

Bareng

wis

tetep

sak

Firaun kongkonan menyang Nabi Musa, anjaluk

didoake, lan

janji arep iman lan arep nglepasake

bani

Israil. Nabi Musa doa. Banjir asat, Firaun sak kaume


nulayani janji. Nabi Musa doa meneh, Allah T aala
15Ibid,. jilid III,juz 23, h. 1547
14

nurunake seksa rupa walang. Walang umbras ora karuan


akehe. Tandur an lan woh-wohan entek blas dipangan
walang. Kaume Firaun akeh kang padha mati kaliren.
Firaun taubat maneh. Walang ilang, sadhela maneh,
anggeladrah maneh. Allah Taala nurunake seksa rupa sak
bangsa ulue, n uli ganti maneh kodok, nuli getih. Kabeh
mahu ora bareng dadi siji sak wek tu, saben-saben taubat
seksane ilan, anggeladrah maneh, dituruni seksa man eh
kang sifate bedabeda. Nalika seksa temurun rupa sebangsa
uler, uler mahu banget akehe, ora

namung

mangan

tanduran, nanging uga mangan sand angan, mangan


kayu-kayu, blandar-blandar saka lan liya-liyane. Wa ng
Qibti

budhal menyang

lengkap,

muleh

wis

pasar
dadi

nganggo

udo,

penganggo

merga sandangane

dipangan uler.Nalika seksa rupa kodok te murun, omahe


kebak kodok ora ana panggonan kosong kejaba mesthi
diengg one kodok. Ora ana kang wani guneman, merga
asal mangap sithik, iya nu li kelebonan kodok. Nalika seksa
rupa geteh temurun, kabeh banyu dadi g eteh . Ana
wadon Qibtiyah

banget

ngoronge,

anjaluk

banyu

di

esok sak ing kirbah isih rupa banyu, bareng diangkat


Qibtiyah

arep

diombe,

wis

ma ngkleh

rupa

getih.

Firaun dhewe bingung nggoleki banyu. Rehning banget


ngoronge, nggolek banyu

ora

ana,

kapeksa

namung

nyesep pang-pange wit -witan kang tels, nanging ugo


rupa

getih.

pirangpirang

Sehingga
dina

kepeksa

namung

Firaun

ngombe

sak

getih.

kaume
Waallahu

Alam.16
Dari pemaparan kisah Israiliyyat di atas, jelas sekali
tidak

dibarengi

dengan

penyebutan

sanad

periwayatannya, sehingga tidak diketahui darimana atau

16Ibid,.h. 453-454
15

dari kitab tafsir mana kisah Israiliyyat itu berasal, juga


tidak
ada kritik atau sebatas komentar tentang kebenaran
kisah

tersebut,

namun KH

Bisri

Mustofa

hanya

mengakhiri kisah tersebut dengan kata Wallahu alam


(hanya Allah yang Maha Mengetahui). Hal ini berarti
bahwa kebanaran kisah tersebut hanya diserahkan kepada
-

Allah semata.
Pendapat Mufassir terdahulu
Contoh penafsiran KH Bisri Mustofa yang disertai
dengan pengutipan

pendapat

mufassir

terdahulu

tentang kata Fi Sabilillah dalam Q.S At-Taubah: 60, yaitu:


Dhawuh Fi Sabilillah iku khusus marang jihad fisabilillah
(perang sabilillah).

Sak

golongan

ndhuwe

panemu Fi

Sabilillah iku umum endi-endi dalane Allah Taala. Iya iku


dalan-dalan kabecikan. Sejatine golongan kang awal mahu
manut madzhab Syafii lan jumhur ulama. Golongan
kang kapindho

manut

tafsir

al

Manar.

Golongan

kapindho m ahu padha nasarufake dhuwit zakat kangga


ambangun
langgar,
liyane.

utawa

danda n.dandan

madrasah-madrasah,
Golongan

awal

ora

masjid, langgar-

darul

aitam

lan

wani

nasarufake

liyakaya

mangkana. Ma dzhab Syafii kang kasebut mahu nganggo


kekuatan hadis pirang-pirang, kang setengahe hadis mahu
iya iku hadise Abi Said, yaiku:17

:

Adapun sumber penafsiran yang telah kita ketahui ada dua
macam, yaitu bi al-Mathur dan Bi al-Rayi.

Dalam Tafsir al-Ibrz

sendiri Bisri Mustofa lebih cenderung menafsirkan ayat al-Qur`an


secara Bi al-Rayi. Karena pada kenyataanya tidak semua ayat
terdapat suatu riwayat, atau ada keterkaitan dengan ayat yang lain.
17Ibid,. jilid I, h. 547-548
16

Sehingga langkah yang bisa ditempuh untuk memahami ayat


tersebut adalah dengan menghadirkan Rayu. Seperti halnya ketika
kita melihat kasus yang terjadi dalam surat al-Baqarah ayat 173:






Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan daging hewan yang disembelih dengan menyebut
nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa memakannya, bukan
karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.18[20] (QS. al-Baqarah, 2:173)
Yang mana banyak aliran atau kelompok-kelompok yang salah
memahami ayat ini. Sebab mereka hanya memahami ayat tersebut
secara lahiriyah saja. Yang mana mereka menganggap sesuatu
selain yang disebutkan dalam ayat tersebut halal. Padahal Nabi
Muhammad bersabda bahwa hewan yang kuat tajam taringnya dan
hewan yang kuat cengkramannya termasukn dalam hewan yang
haram. Masalah ini beliau jelaskan dalam tafsirnya berikut:
"Sebagian orang ada yang salah faham, yaitu hal-hal yang diharamkan oleh Allah
SWT hanyalah bangkai, darah, daging babi, dan juga hewan yang disembelih bukan
atas nama Allah. Mereka kemudian berpemahaman bahwa selain yang disebutkan di
atas, hukumnya halal, seperti harimau, kucing, ular, anjing, kalajengking, kelabang,
lalat, dan sebagainya. Pemahaman seperti ini keliru. Sebab selain ayat tersebut,
kanjeng nabi Muhammad juga mensabdakan haramnya hewan yang kuat, tajam
siungnya, dan hewan yang kuat cengkramannya. Padahal sabda kanjeng Nabi juga
merupakan wahyu dari Allah. Maka dari itu kita tidak bisa cukup hanya paham dhahir
ayat saja. Untuk menetapkan sebuah hukum, kita harus menyelidiki ayat-ayat (AlQur'an) yang lain, hadis, ijma', dan juga qiyas".
Di sini tampak jelas Bisri menekankan adanya penggunaan ijtihad (halam hal
ini qiyas) untuk memahami ayat tersebut secara komprehensif. Lebih lanjut
18[20] QS. al-Baqarah, 2:173
17

sebetulnya Bisri ingin menegaskan sebetulnya yang dituju Al-Quran dalam ayat
tersebut sebetulnya bukan semata-mata diharamkannya ketiga hal yang disebutkan di
atas, melainkan illat atau alasan mengapa hal-hal tersebut diharamkan. Kemudian dari
illat tersebut digunakan untuk meng-qiyas-kan hukum-hukum lain.
2. Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Ibriz jika
dilihat dalam penyusunannya adalah menggunakan metode tahlili
(Mushafi), yaitu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri surat alNas. sedangkan jika dilihat dari keluasan tafsirnya, bisa disebut
menggunakan metode ijmali, yaitu yang memulai uraiannya dengan
mengemukakan arti kosa kata, diikuti dengan penjelasan mengenai
arti global ayat, yang disertai dengan membahas munasabah
(korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat
tersebut satu sama lain, disampimg itu juga mengemukakan sabab
an-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal
dari Rasul, sahabat dan para tabiin yang kadang-kadang bercampur
baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri yang diwarnai
dengan latar belakang pendidikannya dan kondisi sosial masyarakat
pada saat itu.19
Adapun Metode Khususnya Bisri Mustofa dalam penyusunan
tafsirnya

berdasarkan

mushaf

Usmani.

Yang

mana

beliau

menafsirkan al-Qur`an dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan


surat al-Nash. Sistemaika seperti ini dalam kajian kitab tafsir dikenal
dengan istilah mushaf.
Dalam Muqaddimah tafsirnya, Bisri Mustofa menjelaskan
bahwa kitab tafsirnya disusun dalam beberapa bagian20[13]:
Bagian pertama, ayat al-Qur`an ditulis di tengah halaman
dengan menggunakan makna gandul. Makna gandul ini merupakan
19Di ambil dari skripsi Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme
dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 2014, hlm. 67
20[13] Mushthofa, al-Ibrz li Marifat ,1: 2-3.
18

terjamahan al-Qur`an dari kata per-kata dalam bahasa Jawa yang


ditulis miring ke bawah dengan mengunakan huruf pegon. Cara
penerjamahan seperti ini hampir sukar ditemukan kecuali di
pesantren pesantren tradisional Jawa.21[14]
Bagian Kedua, terjemahan tafsirnya ditulis ditepi halaman
dengan menggunakan tanda nomor sebagaimana dalam sistematika
kitab terjemah. Nomor ayat al-Qur`an diletakan di akhir, sedangkan
nomor terjemah ayatnya diletakkan di awal.
Bagian ketiga, keterangan-keterangan lain atau tambahan
biasanya diberi suatu istilah Tanbih, Faidah, Muhimmah, al-Qisshah,
Hikayat, dan Mujarab.
3. Corak Penafsiran
Dilihat dari pendekatan dan corak tafsir al-Ibriz yakni ciri khas
atau kecenderungannya, tafsir al-Ibriz tidak memiliki kecenderungan
dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak
kombinasiantara fiqhi, sosial-kemasyarakatan, dan sufi. Dalam arti,
penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu
yang bernuansa hukum,tasawuf atau sosial-kemasyarakatan.22
Tafsir al-Ibriz termasuk pada kategorisasi tafsir dengan bentuk
bi almatsur. Kategorisasi ini ditunjukkan dari dominasi sumbersumber penafsiran di atas. Sedangkan dalam penggunaan rayu
dalam Tafsir al-Ibriz tersebut prosentasenya relatif kecil sebagai
pelengkap dan penyelaras

riwayat sertadapat diterima apabila

telah melewati tahap dimana rayu diperbolehkan penggunaannya


yaitu:
a. Menukil riwayat dari Rasul
b. Mengambil pendapat sahabat
c. Mengambil kemutlakan bahasa
Tsaqopah
KH. Bisri Musthafa lebih banyak menuntut ilmu di mekkah dan
belajar kepada ulama ulama yang sudah bermukim lama disana.
21[14] ., al-Ibriz li Marifati, 13.
22Ibid, hlm. 69
19

Beliau belajar beberapa macam ilmu keislaman di mekkah, seperti


Lubb al-Usl, Umdqat al-Abrar, Tafsr al-Kashshaf;

Sahh Bukhari

dan Sahh Muslim, al-Ashbah wa al-Nadair dan al-Aqwl al-Sunan alSittah. selsin itu, beliau juga menguasai Alfiah Imam malik Yang
membuatnya ahli di berbagai bidang ke ilmuan islam, serta beliau
juga menghabiskan waktunya di pesantren mengajarkan ilmu-ilmu
ke islaman.
Tujuan Penafsiran
Sebagaimana tertulis dalam mukodimah tafsir al-Ibriz bahwa
tujuan penafsirannya adalah untuk menjelaskan makna-makna ayat,
terutama ayat-ayat al-Quran yang sulit difahami untuk para
santrinya, juga supaya para santrinnya mengerti bagaimana cara
memahami ayat ayat al-Quran.
Dengan kata lain, yang lebih mendominasi penafsiran al-Ibriz
adalah saqofah nya. beliau mencurahkan segala pengetahuannya
dalam

penafsirannya.

dapat

dibuktikan

dengan

beliau

mencantumkan asbab nuzul dn pendapat ulama sebelumnya hampir


pada setiap ayatnya.
E. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan;
- Pertama, penafsiran di lakukan terlebih dahulu menerjemahkan secara
-

Harfiah dengan tulisan di gantung di bawah tulisan ayat-ayat.


Kedua, dalam mengemukakan pendapat Sahabat dan Ahli Tafsir tidak
menguatkan ataupun memihak terhadap salah satu pendapat, sehingga
memberikan kebebasan kepada pembaca atau memilih dan menilai

pendapat tersebut.
- Ketiga, Tafsir ini menggunakan bahasa yang mudah difahami.
2. Kekurangan;
- Pertama, pengambilan sumber Hadits tidak di sertai sanad yang lengkap
-

sehingga tidak di ketahui kualitas Haditsnya.


Ke-dua, masih terdapat Israiliyyat dan dalam pengutipan pendapat Ahli
Tafsir terkadang tidak di sertai yang jelas dengan penyebutan Ulama atau

Ahli Tafsir.
Ke-tiga, tidak adanya daftar isi dalam Kitab Tafsir al-Ibriz.
Ke-empat, tidak menggunakan tulisan Roman 23

23Di kutip dari Kumpulan makalah Sejarah Tafsir di Indonesia, oleh Dr. Rosihon
Anwar, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2008

20

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bisri Mustofa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang,
Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi
(yang kemudian diganti menjadi
menunaikan

Bisri

Mustofa

setelah

ibadah

haji).

BisriMustofamerupakanputrapertamadaripasangan

H.Zainal

MustofadenganisterikeduanyabernamaHj. Chotijah.24
H. Zainal MustofaadalahanakdariPodjojoatau H.Yahya.
SebelumnyaH.ZainalMustofabernamaDjajaRatiban,

yang

kemudianterkenaldengansebutanDjojoMustopo.
Beliaumerupakanseorangpedagang
danbukanseorangkyai.

Akan

kaya

tetapibeliaumerupakan

orang

yang sangatmencintai kyai dan alim ulama, di samping orang


yang sangat dermawan. Dan dari keluarga

ibu

Mashadi

masih mempunyai darah keturunan Makasar, karena Hj.


Chotijah merupakan anak dari pasangan Aminah dan E.
Zajjadi. Sedangkan E. Zajjadi adalah kelahiran Makasar dari
ayah bernama E. Sjamsuddin dan ibu Datuk Djijah.
24Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri
Mustofa, (Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm 8

21

Hasil karya KH. Bisyri Mushthafa umumnya mengenai masalah


keagamaan yang meliputi berbagai bidang, di antaranya : Ilmu Tafsir dan
Tafsir, Ilmu Hadis dan Hadis, Ilmu Nahwu, Ilmu Saraf, Syariah atau Fiqih,
Tasawuf/Akhlak,Aqidah,

Ilmu

Mantiq/Logika

dan

lain

sebagainya.

Kesemuanya itu berjumlah kurang lebih 176 judul. Bahasa yang dipakai
bervariasi, ada yang berbahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon, ada yang
berbahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon, ada yang berbahasa Indonesia
bertuliskan huruf Latin dan ada juga yang menggunakan bahasa Arab.
Adapun terdapat delapan sumber penafsiran yang
dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran, yaitu; Al-Quran, Assunnah, Qaul Sahabat, Qaul Tabiin, Kaidah-kaidah bahasa
Arab, Kisah israiliyyat, Teori ilmu pengetahuan, dan yang
terakhir pendapat para Mufassir terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Huda

Achmad

Khidmah KH. Bisri

Zainal, Mutiara

Pesantren

Perjalanan

Mustofa, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara,

2005
Chakim Luqman ,Tafsir-tafsir ayat nasionalisme dalam Tafsir
al-Ibriz

karya

K.H

Bisyri

Musthafa,

Fakultas

Ushuluddin

IAIN

Walisongo Semarang, 2014


Kumpulan makalah Sejarah Tafsir di Indonesia, oleh Dr.
Rosihon Anwar, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2008
al-Khulli Amin, Manahij Tajdid fi an-Nahwi wa al-Balagah wa at-Tafsir wa
al-Adab, Mesir: Darul Marifah, 1961
Musthafa Bisyri, Tafsir al-Ibriz, jilid I, II

22

Anda mungkin juga menyukai