Anda di halaman 1dari 6

2.

5 REHABILITASI HIU
Menurut Ramadhani (2014) , diketahui bahwa populasi hiu telah
berkurang cukup signifikan sejak beberapa dekade terakhir dan masuk ke dalam
Appendix II CITES mengacu pada CITES (2013), daftar spesies pada Appendix II
belum terancam punah hanya jika perdangangannya dapat dikendalikan dengan
erat. Ekosistem bawah laut akan terganggu bila terus terjadi penangkapan hiu yang
tidak bertanggung jawab, mengingat peran ekologis hiu sebagai puncak predator .
Menurut Fahmi dan Dharmadi (2013), setidaknya terdapat 14 hiu di
Indonesia yang menjadi perhatian khusus karena populasinya terus menurun dan
terancam punah sehingga sangat diperlukan regulasi untuk perlindungan hiu agar
tetap seimbang populasinya di laut.
Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan perikanan hiu berbasis
konservasi di Indonesia. Berdasarkan kutipan dari Konservasi Hiu untuk Pariwisata
yang ditulis oleh Toni Ruchimat (2013), kini Kementerian Kelautan dan Perikanan
tengah serius melakukan upaya pengelolaan perikanan hiu berbasis konservasi.
Salah satu contoh aksi pengelolaan perikanan hiu berbasis konservasi yang
telah diterapkan ialah Kolam Penangkaran Hiu di Rumah Apung Bangsring
Underwater (BUNDER), dikelola oleh Kelompok Nelayan Ikan Hias (KNIH) Samudera
Bakti Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Kolam penangkaran ini diadakan sebagai bentuk perawatan dan pemulihan
terhadap kondisi hiu yang terluka karena jaring nelayan.Ikan hiu tersebut tidak
sengaja tertangkap jaring para nelayan bangsring atau sering di sebut By-catch .

2.5.1 METODOLOGI
Dalam hal melakukan pengelolaan hiu untuk proses rehabilitas yang harus
diperhitungkan ialah pemeliharaan , perlindungan serta pemberian pakan untuk hiu
tersebut . Terdapat beberapa metode dalam langkah proses pengelolaan hiu dalam
bentuk penangkaran

1 . Penentuan Karakteristik dan Kondisi serta


Pengukuran Morfometrik
Penentuan karakteristik hiu merupakan tahap paling penting dalam proses
konservasi . Seperti yang di ketahui bahwa hiu yang terdapat pada penangkaran di
bangsring tersebut yaitu hiu jenis hiu karang sirip hitam ( blacktip reef shark ) dan
hiu karang sirip putih (Whitetip reef shark/Triaenodon obesus
Menurut McCord (2008) menjelaskan bahwa hiu karang sirip hitam/blacktip
reef shark (Carcharhinus melanopterus) sering ditemui di perairan karang tropis
Indo-Pasifik, berukuran sedang dan ramping, berwarna abu-abu kecoklatan dengan
sisi putih dibawah tubuhnya. Hiu ini memiliki warna hitam pada ujung siripnya,
khususnya pada sirip punggung pertama. Hiu karang sirip hitam di Kolam
Penangkaran Hiu Rumah Apung berjumlah 6 ekor dengan identifikasi berdasarkan
karakteristik, kondisi dan ukuran morfometrik. Karakteristik dan kondisi diperoleh
melalui penentuan pola tips hitam dan jenis kelamin (sex) serta pengamatan pola
gerak, pola jelajah dan respon terhadap wisatawan. Perbedaan pola tips diketahui
melalui dokumentasi tips hitam sirip punggung pertama tiap individu.
Blacktip reef shark di Rumah Apung diidentifikasi berdasarkan perbedaan
pola tips hitam, ukuran morfometrik serta karakteristik dan kondisi tiap individu
yang diketahui melalui perbedaan sex, pola gerak, pola jelajah serta kondisi hiu
terhadap keberadaan wisatawan. Selain itu, juga dilakukan identifikasi terhadap
kondisi kolam penangkaran yang mampu mempengaruhi masa pemulihan luka hiu.

2. Penentuan Ketentuan Kolam penangkaran


Menurut Ambrosia (2015), Kolam yang pas untuk proses penangkran hiu yaitu
berukuran (3mx3mx4m) dengan kedalaman 10-15 meter bertujuan memelihara dan
memulihkan hiu yang terluka karena jaring nelayan. Pola pemeliharaan yang
dilakukan berupa penyelamatan hiu yang terdampar/terluka di sekitar perairan
pantai, pemberian pakan, pembersihan kolam, serta pelepasan hiu yang telah
sembuh ke perairan Bangsring.
Dalam penentuan Lokasi kolam penangkaran harus diperhitungkan kondisi
suhu , kedalaman , salinitas serta wilayah tersebut apakah cocok untuk ikan yang
akan kita lakukan konservasi atau proses rehabilitasi serta pemeliharaan

3. Pemberian Pakan
McCord (2008) berpendapat bahwa hiu karang sirip hitam memakan berbagai
ikan karang kecil dan invertebrata, termasuk ikan mullet, kerapu, wrasse, sotong,
cumi-cumi, udang, kepiting maupun jenis moluska lainnya.
Adapun salah satu pola pemeliharaan hiu yang bisa dicontoh ialah yang
terdapat di Seaworld Indonesia . Dalam hal ini, yang perlu ditilik ialah pemeliharaan
kesehatan hiu melalui pemberian obat dan vitamin dengan menggunakan pakan
yang akan diberikan . Metode yang digunakan untuk memelihara ataupun
merehabilitasi hiu yaitu dengan memasukkan obat ke dalam pakan yang akan
diberikan melalui suntikan. Selain itu, dilakukan pemberian obat cacing 1 (satu) kali
seminggu dan vitamin 2 (dua) kali seminggu secara rutin. Hal tersebut dilakukan
guna menjaga kesehatan dan mempercepat pemulihan tubuh hiu. Obat yang
diberikan berfungsi untuk meningkatkan metabolisme, menjaga kesehatan tubuh,
menjaga ketahanan terhadap penyakit, menambah nafsu makan, mencegah

defisiensi nutrisi, mencegah anemia, dan menormalkan sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat diberikan kepada hiu, antara lain seperti Tocoperine, Kalium Iodida,
Permasol, Scott Emultion, Tocopherine, Provital, Minyak ikan, Vitamin B1, Vitamin C,
Neurobion, Minyak cumi, Neurochol, Linatone maupun Livron B-lex .

Pada proses pemberian pakan pada hiu harus dilakukan pada pagi hari ,
terlebih lagi jika kawasan konservasi tersebut dijadikan sebagai tempat pariwisata ,
maka untuk mencegah hal-hal yang tidak diingin kan yang akan membuat hiu
menjadi agresif kepada wisatawan harus diterapkan pemberian pakan dipagi hari
dengan takaran yang pas .

4. Pembersihan Kolam Penangkaran


Pembersihan jaring kolam penangkaran dilakukan setiap bulan dengan
mencabuti macrofouling menggunakan sarung tangan (gloves) guna mencegah
biota terluka karena macrofouling tersebut. Pembersihan juga dilakukan dengan
menjaring sampah-sampah yang masuk ke dalam jaring penangkaran, mengingat
pengairan kolam berasal dari perairan laut yang berbatasan dengan pelabuhan
Ketapang di sisi selatan Desa Bangsring. Penjaringan sampah dilakukan hanya jika
terdapat sampah pada kolam tersebut. Jika jaring penangkaran mengalami
kerusakan, jaring akan diganti dengan jaring baru dengan menambatkan jaring baru
pada pilar-pilar jaring diatas jaring lama

2.5.2

MANFAAT REHABILITASI HIU

Manfaat rehabilitasi hiu ini yaitu memelihara dan memulihkan hiu yang
terluka karena jaring nelayan, menjaga hiu dari kepunahan akibat penangkapan
berlebih terhadap hiu , mengembalikan sifat utama dari hiu agar bias bertahan
hidup di habitatnya setelah di rehabilitas dan di pulihkan .
Menurut Toni Ruchimat (2013), Melalui upaya konservasi ini, habitat hiu telah
memliki tempat yang lebih aman dari penangkapan illegal. Upaya yang dilakukan

ialah memberikan konservasi dan merubah paradigma konservasi yang dipahami


hanya sebagai perlindungan tanpa memandang keseimbangan pelestarian dan
pemanfaatan yang dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan untuk mendukung program strategis Blue economy.
Seperti pada kutipan Fahmi dan Dharmadi (2013) ,Hiu sebagai predator
tingkat pertama dalam rantai makanan di laut, memangsa hewan-hewan pada
tingkat tropik dibawahnya. Secara alamiah, hiu memangsa hewan-hewan yang
lemah dan sakit sehingga hanya menyisakan hewan-hewan yang masih sehat untuk
tetap bertahan hidup di alam. Selain itu, mereka cenderung memangsa hewan yang
tersedia di alam dalam jumlah melimpah karena relatif lebih mudah ditangkap.
Secara tidak langsung, hiu ikut menjaga dan mengatur keseimbangan ekosistem
laut dengan melakukan seleksi dalam ekosistem dan mengatur jumlah populasi
hewan-hewan pada tingkat tropik yang lebih rendah
Maka dari itu pada Proses rehabilitasi ini juga mengutamakan proses
pengembalian manfaat hiu sebagai predator tingkat pertama dalam rantai makanan
di laut, memangsa hewan-hewan pada tingkat tropik dibawahnya. Secara alamiah,
hiu memangsa hewan-hewan yang lemah dan sakit sehingga hanya menyisakan
hewan-hewan yang masih sehat untuk tetap bertahan hidup di alam . Yang tentunya
akan menjaga ekosistem laut agar tetap stabil .

DAFTAR PUSTAKA
Fahmi dan Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya.
Oseana, Volume XXX, Nomor 1, 2005 : 1-8. ISSN: 0216-1877
Fahmi dan Dharmadi. 2013. Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya
Konservasinya di Indonesia. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan.
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Jakarta. ISBN: 978-602-7913-09-7.
Online.https://docs.google.com/file/d/0B7Nxg6xlHr7IZWV2VDB3Q1FaWFk/edit?pli=1
diakses pada tanggal 22 September 2016 pukul 19.44 WIB.
McCord, Meaghen. 2008. Carcharhinus melanopterus. Wildscreen Arkive.
South African Shark Conservancy (SASC). Online. http://www.arkive.org/blacktip-

reef-shark/carcharhinus-melanopterus/ diakses pada tanggal 22 September 2016


pukul 20.14 WIB.
Ramadhani, Ranny. 2014. Hiu Tanpa Sirip Pun Tetap Diburu Demi Omzet yang
Besar. World Wildlife Fund. Online. http://www.wwf.or.id/?31442/hiu-tanpa-sirip-puntetap-diburu-demi-omzet-yang-besar diakses pada tanggal 22 September 2016
pukul 20.02 WIB.
Ruchimat, Toni. 2013. Konservasi Hiu untuk Pariwisata. Konservasi Kawasan
dan Jenis Ikan (KKJI). Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Online.
http://www.kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/144-konservasi-hiu-untukpariwisata diakses pada tanggal 22 September 2016 pukul 20.05 WIB

Anda mungkin juga menyukai