Anda di halaman 1dari 18

COPD (PPOK)

1. Definisi COPD (PPOK)


Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang
progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya
(Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi
merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan
gangguan pada sistem pernafasan.
Menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru Wiyono (2009), PPOK
adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif, dan berhubungan
dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Kata
progresif disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring berjalannya waktu
(National Heart Lung and Blood Institute, 2009) .
2. Etiologi
Merokok
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah forced
expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi yang
bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan
intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring
dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan
penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK
dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok
dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem
pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru

(Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok
menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap
rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa
gestasi
Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi
penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua
kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses
inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan
tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa
peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi
penurunan fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada remodeling salur nafas
yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK (Kamangar,
2010).
Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur
nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan
PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi
PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan
PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas juga
bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan seperti
melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk

mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula,
FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital capacity;
DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan
peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan
yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek
yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily,
Edwin, Shapiro, 2008).
Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara
yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya
PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil
pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK
pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko
yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Faktor genetik
Defisiensi 1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk
terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi 1-antitripsin di
Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. 1-antitripsin merupakan inhibitor
protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru.
Defisiensi 1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53
tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).
3. Patofisiologi
BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA PADA PPOK
a. Bronkitis kronis
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu
dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap

rokok atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme
pertahanan ini. Asap rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary
clearance). Faktor yang menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi
sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia
dan hipertrofi kelenjar penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran
nafas. Iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan
alveoli (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neotrofil berinfiltrasi ke epitel dan
memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus,
terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang kental dan
lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar menyebabkan meningkatnya
risiko.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan
penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan
yang kecil, yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan
bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang
kurang dari 0,4 mm.
Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada
saluran nafas kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi
(Q) tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia
mengakibatkan hipertensi pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung
kanan (cor pulmonale). Pasien dengan hipertensi pulmonari mengalami peningkatan
persentasi intima dan media pada arteri pulmonari. Hipoksemia persisten
menstimulasi eritropoiesis dengan akibat polisitemia dan meningkatnya viskositas
darah, yang akan mendorong terjadinya mental confusion dan thrombotic stroke.

Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk
membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri
yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya
volume mukus, mengental, dan perubahan warna. Demam dapat terjadi atau pun
tidak. Infeksi yang berulang dapat menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar
dan berkontribusi secara signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar
karena inflamasi menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus.
b. Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang
bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus,
duktus alveolus dan kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam
asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe
emfisema berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan
PPOK adalah emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang
bagian bronkiolus. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan
cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris dan kantung alveolaris
yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang
pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata.
Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukanpada orang yang merokok, dan jarang
dijumpai pada orang yang tidak merokok.
Mekanisme Terjadinya emfisema

Keterangan gambar:
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan melepaskan
enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat oleh
1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi 1-antitripsin, enzim proteolitik
akan menyebabkan kerusakan pada alveous menyebabkan emfisema.
4. Diagnosis
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis,
produksi dahak atau dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini.
Adanya keterbatasan aliran udara dapat dijelaskan lebih lanjut dengan
spirometri. Spirometri merupakan penilaian komprehensif dari kapasitas
dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan
fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga
digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, bersama
dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama dari

spirometri

adalah

dapat

mengidentifikasi

individu

yang

memiliki

kemampuan farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.


Prosedur pengujian reversibilitas:
1. Persiapan
Pengujian harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi
pernafasan.Pasien tidak diberikan inhalasi bronkodilator short-acting 6
jam sebelumnya, long-acting -agonis 12 jam sebelumnya, atau
teofilin SR 24 jam sebelumnya.
2. Spirometri
FEV1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator.Bronkodilator dapat diberikan
dengan metered-dose inhaler (MDI) atau nebulisasi.Dosis umum biasanya 400 mcg agonis, 160 mcg antikolinergik, atau kombinasi keduanya.FEV1 dapat diukur 10-15
3.

menit setelah pemberian -agonis atau 30-45 menit setelah kombinasi diberikan.
Hasil
Peningkatan FEV1 yang lebih besar dari 200 ml dan 12% di atas
prebronchodilator FEV1 dianggap signifikan.

Tingkat

Nila FEV1 dan Gejala

FEV1/FVC < 70% FEV1 80% dan umumnya, tapi tidak selalu, ada

Ringan

gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien
biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.

II
Sedang

FEV1/FVC <

70%;

50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai

progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.

III

FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi berulang

Berat

yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien
mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau
serangan penyakit.

IV

FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi

Sangat

kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV 1 <

Berat

30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung


kanan atau cor pulmonale . Pada tahap ini, kualitas hidup sangat
terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.

Tabel 1. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut
GOLD 2010

Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut:

1. Batuk kronis : terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
2. Produksi sputum secara kronis
3. Bronkitis akut: terjadi secara berulang.
4. Sesak nafas (dispnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari,
memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika
terkena infeksi pernafasan.
5. Riwayat paparan terhadap faktor risiko: merokok, partikel dan senyawa kimia, asap
dapur.
5. Penatalaksanaan
a) Farmakologi
Terapi farmakologi berdasarkan keparahan penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu
disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi
PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
1) Obat-obat yang digunakan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa
digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau
secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat
bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek
obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya
segera hilang jika obat dihentikan.
Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:
a. Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini
karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf
kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down
regulasi

dan

berkurangnya

sensitivitas.

Mekanisme

utama

obat

golongan

antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan ini
adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium bromida

(beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan penghambatan


terhadap aktivasi enzim fosfolipase yang menguraikan senyawa fosfatidil inositol
difosfat menjadi inositol trifosfat dan diasilgliserol. Berkurangnya senyawa inositol
trifosfat

yang

beraksi

memobilisasi

kalsium

dari

tempat

penyimpanannya

menyebabkan relaksasi otot polos bronkus.


b. Simpatomimetik
Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik -2
bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan
pembentukan adenosine 3,5 monophosphate (3,5-cAMP). cAMP akan menghambat
aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya
kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan
mukosiliar.
Efek bronkodilatasi -agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam,
sedangkan -agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan
durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari
atau dengan penggunaan teratur pada pasien PPOK.
c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika
perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua
golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan
sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga
menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu -agonis aksi pendek
maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan
gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi tiotropium
bromida dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang lebih baik
daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
d. Metilxantin

Teofilin

dan

aminofilin

dapat

menghasilkan

bronkodilatasi

dengan

menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP),


menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin,
stimulasi katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan
pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK
menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV 1. Secara
subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi latihan,
dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin menyebabkan
kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan
penurunan tekanan arteri pulmonalis.

2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas
kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit,
dan menghambat prostaglandin.
3. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)
Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat meningkatkan
harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan
memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan
status mental.
Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan
IV (sangat berat) jika:
a) PaO2 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
b) b) PaO2 antara 55 mmHg 60 mmHg, atau SaO 2 89%, tetapi ada tanda hipertensi
pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau
polisitemia.

4.

Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus
atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika pada
pasien-pasien yang:
a) Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak
nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum, atau
b) Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum
merupakan salah satunya, atau
c) Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif maupun
non-invasif
Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus
parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.

Tabel 2. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK


Karakteristik pasien

Eksaserbasi tanpa

komplikasi
< 4 eksaserbasi

setahun
Tidak ada penyakit

penyerta
FEV1 > 50%

Eksaserbasi

kompleks
Umur > 65 th,
4 eksaserbasi
pertahun

Patogen

Terapi yang

penyebab yang

direkomendasikan

mungkin
S pneumoniae, H.

Makrolid (azitromisin,

Influensa, H.

klaritromisin),

Paraenfluenzae,

sefalosporin generasi 2

dan

atau 3, doksisiklin

M.

catarrhalis
umumnya tidak
resisten
H. Influensa, M.

Amoksisilin/klavulanat,

Catarrhalis, S

Fluorokuinolon

pneumoniae

(levofroksasin,

penghasil

gatiflokasin,

FEV1 < 50% tapi >

betalaktamase,

moksifloksasin),

35%

Enterobacteracea

Sefalosporin generasi 2

e (K. Pneumoniae, dan 3


E. coli, Proteus,
Eksaserbasi

Enterobacter, dll)
Seperti di atas,

Fluorokuinolo

kompleks dengan

ditambah P.

(levofroksasin,

risiko P. aeruginosa

aeruginosa

gatiflokasin,
moksifloksasin), terapi IV
jika perlu : sefalosporin
generasi 3 atau 4

5. Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat
PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut
karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya
menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun
untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum
divaksinasi, maka dapat digunakan obat antivirus amantadin dan rimantadin.
6. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi
telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun
mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara
keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010, penggunaannya
tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.
7. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)

Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi
faktor risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan
terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT
secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar.
Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena
sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi
pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.
Terapi Pada Komplikasi PPOK : Cor Pulmonale
Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi
akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri
pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain
PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat
penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan
beberapa obat yang dapat dipakai dalam pengatasan cor pulmonale.
a. Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan
secara terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen
(PaO2) cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan
kegiatan fisik atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi
paru akibat hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan
mengurangi vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan
meningkatkan perfusi ginjal.
b. Diuretik
Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume
pengisian ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema
yang terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri

dan kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika
tidak digunakan secara hati-hati.
c. Vasodilator
Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang
pada cor pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal
kalsium, terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat
mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif
pada hipertensi pulmonar primer daripada sekunder.
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale
masih kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan
gagal jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis
memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati,
dan tidak boleh digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan risiko
terjadinya aritmia jantung.
e. Teofilin
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK
dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga
dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga
dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol
penyakit paru seperti PPOK.
b) Non farmakologi
Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK
dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka
panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan berhenti merokok, latihan
pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan psikososial, dan pendidikan

kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan perawatan psychoeducational


(misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting yang berarti dalam program rehabilitasi
paru.
Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak aktif

yang

direkomendasikan.
Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien pada setiap usia
dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua dari 65 tahun jika
vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari 65
tahun.
Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.
6. Kasus
A 54 years old man with a past medical history of hipertension present to the clinic
complaining of shortness of breath that began about 4 to 5 years ago. His symptoms have
gradually gotten worse since then. He is now unable to walk 100 yards without having to
stop and rest. He also has a daily caugh that is usually productive of yellowish sputum. He
smokes about 11/2 packs of cigarettes a day and has done so for the past 30 years. He also
drinks on average 6 to 7 beers a day. He does not have any significant occupational
exposures to dust, gases, or fumes.
Translet: Seorang pria berusia 54 tahun dengan riwayat medis masa lalu hipertensi. Pergi
ke klinik mengeluh sesak napas yang mulai sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu. gejalanya
secara bertahap memburuk sejak saat itu. Dia sekarang mampu berjalan 100 yard tanpa
berhenti dan beristirahat. Dia juga sering batuk sehari-hari yang biasanya produktif
sputum kekuningan. Ia merokok sekitar 11/2 bungkus rokok sehari dan telah
melakukannya selama 30 tahun terakhir. Dia juga minum rata-rata 6 sampai 7 bir sehari.
Dia tidak memiliki eksposur pekerjaan yang signifikan terhadap debu, gas, atau asap.

7. Penyelesaian Masalah
a. Subjektiv
Informasi Umum
Nama: Pria
Umur : 54 tahun
Keluhan utama : sesak napas yang mulai sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu.s Dia
juga sering batuk sehari-hari yang biasanya produktif sputum kekuningan.
Riwayat penyakit : hipertensi
b. Objektiv

c. Assessment
Berdasarkan data yang didapat dari data subjektif seorang pria berusia 54 tahun
dengan keluhan awal sesak nafas 4- 5 tahun yang lalu, batuk setiap hari yang disertai
produkti sputum yang berwarna kuning. Pasien juga memiliki riwayat penyakit
hipertensi. Pasien mempunyai kebiasan yang buruk seperti merokok sebnyak 11/2
bungkus perhari selama 30 tahun terakhir dan pasien juga sehari-hariya juga
mengkonsumsi 6-7 bir sehari. Pasien hanya dapat berjalan dengan jarak 100 yard tanpa
berhenti dan istirhat.
Dilihat dari keluhan utama pasien yaittu sesak nafas, sesak nafas berhubungna
dengan paru-paru. Dimana paru-paru mengalami infeksi sehingga terjadi pengurangan
fungsi paru-paru yang normal. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus
sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang.
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan

melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim
ini akan dihambat oleh 1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi
1-antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada alveous
menyebabkan emfisema. Berdasarkan mekanisme emfisema di atas bisa dihubungkan
dengan kebiasan si pasien yang suka merokok sebanyak 11/2 bungkus perhari, pasien
disebut seorang perokok aktif ,dimana di atas sudah dijelaskan bahwa asap rokok
tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada paru-paru. Sehingga menyebabkan
terjadinya penurunan pertukaran gas dan penurunan elastisitas paru-paru karna itulah
pasien mengalami sesak nafas.
Dari data subjektif juga diketehui bahwa si pasien ini mengalami batuk setiap hari
dan produktif sputum yang berwarna kuning. Gejala yang dialami oleh pasien sama
seperti tanda penyakit brongkitis kronik, dimnna bronkitis ini
Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk
membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri
yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya
volume mukus, mengental, dan perubahan warna.
Dari teoei terjaddinya penyakit ppok ini
1. Merokok
2. Umur
3. Usia
4. Alkohol

Anda mungkin juga menyukai