Anda di halaman 1dari 21

IKLIM, MASYARAKAT, dan

KEANEKARAGAMAN HAYATI

ANGGOTA :
1. RESTU ANANDA PUTRA (H11115506)
2. MUH. NUR BAHRI R. (H11115303)
3. A. DULUNG LAIMBONG (H11115007)

4. LIA YUNITA SARI (H11115308)

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Secara umum keanekaragaman hayati diartikan sebagai keseluruhan variasi


organisme, baik bentuk, penampilan, jumlah, mapun sifat yang dapat ditemukan pada
tingkat gen, tingkat spesies, dan tingkat ekoistem. Keanekaragam hayati seringkali
digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis. Macam macam keanekaragam
hayati sebagai berikut :
a) Keanekaragaman tingkat gen
Gen merupakan faktor pembawa sifat menurun suatu individu. Sifat
menurun ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
peristiwa perkembangbiakan. Gen tersebut terdapat pada kromosom, yang
merupakan kerangka dasar genetika. Individu sejenis mempunyai jumlah
kromosom yang sama di dalam setiap sel sel penyusun tubuhnya, namun
kandungan gen bisa berbeda dan hal inilah yang menimbulkan munculnya variasi
hal ini bisa dilihat dari bentuk, penampilan, sifat atau hal yang lainnya. Contoh
kelapa (Cocos nucifera), dalam kehidupan dikenal berbagai macam variasi seperti
kelapa gading, kelapa kopyor, dan kelapa hijau.
b) Keanekaragaman tingkat jenis
Individu individu yang sejenis ditandai dengan banyaknya persamaan
sifat yang dimiliki, seperti bentuk, warna, atau bahkan penampilan, serta kedua
individu tersebut bila dikawinkan akan menghasilkan keturunan fertile (subur).
Setiap jenis makhluk hidup, hidup ditempat dengan habitat yang sesuai hal ini
penting demi kelangsungan hidupnya. Habitat yang beranekaragam menimbulkan
jenis yang beranekaragam pula. Contoh nipah (Nypa fruticans) mempunyai
habitat di daerah sepanjang pantai yang berawa, biasanya tumbuh dalam
kelompok.
c) Keanekaragaman tingkat ekosistem
Ekosistem dibentuk oleh kemponen biotik dan komponen abiotik yang
merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi. Ekosistem yang satu
dengan ekosistem lainnya berbeda dikarenakan komponen penyusunnya berbeda
satu sama lainnya. Contoh ekosistem sawa dengan kompone biotik dominan padi
dan komponen abiotik yang terlihat seperti air, tanah, dan batu batuan.

Indonesia berada di daerah tropis yang terletak pada posisi diantara dua benua
yakni Benua Asia dan Benua Australia, serta dua samudera yakni Samudera Pasifik dan
Samudera Indonesia. Biasanya disebut juga bahwa Indonesia terbentang dari Tropics of
Cancer di Belahan Bumi Utara hingga Tropic of Capricorn di Belahan Bumi Selatan. Di
dalam wilayah ini tidak ditemui adanya musim dingin. Selain itu di wilayah ini juga
ditandai dengan adanya suhu rata rata diatas muka laut > 18 C dalam bulan terdingin
(Niewolt,1977). Tepatnya secara geografis wilayah Indonesia disebut sebagai maritime
continent (Remage,1971) yang terletak dalam luasan antara 06 05 LU - 10 25 LS dan
95 06 - 143 41 BT (Sandy,1995).
Peubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, telah mengakibatkan
ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi.
Perubahan iklim disebabkan oleh kenaikan gas gas rumah kaca terutama
karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di
lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan
muka laut. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka
laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun
2100, diperkiran adanya kenaikan muka laut shingga 1,1 m yang berdampak pada
hilangnya daerah pantai dan pulau pulau kecil seluas 90.260 km2
Dengan melihat proyeksi kenaikan muka laut untuk beberapa tahun mendatang,
maka dampak yang akan ditimbulkan pun dapat diperkirakan. Pengamatan temperatur
global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan rata rata temperatur yang menjadi
indikator adanya perubahan iklim. Perubahan temperature global ini ditunjukkan dengan
naiknya rata rata temperature hingga 0,74C antara tahun 1906 hingga tahun 2005.
Temperatur rata rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1,8 4,0C
di abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain dalam IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) diproyeksikan berkisar antara 1,1 6,4C.
Perubahan iklim sendiri berpengaruh terhadap flora dan fauna di daerah
Indonesia. Akibatnya ada jenis jenis flora dan fauna tertentu yang dapat hidup dengan
jenis iklim tertentu. Faktor faktor pembentuk iklim diantaranya : temperatur, udara,
angin, dan curah hujan secara bersama sama mempengaruhi perbesaran flora dan fauna.
Bila terjadi kenaikan suhu rata- rata global sebesar 1,5 2,5 C, kemungkinan
akan terjadi punahnya 20 30 jenis flora dan fauna. Tingkat keasaman laut akan
meningkat dengan bertambahnya CO2 di atmosfer. Hal ini akan berdampak negatif pada
organisme lain seperti terumbu karang dan organisme organisme yang hidupnya
bergantung pada terumbu karang.

Terdapat pengaruh besar akibat kegiatan manusia terhadap perubahan iklim dalam
ekosistem, produktivitas, dan ekonomi global. Pengaruh tersebut diperkirakan akan
semakin buruk di beberapa dekade kedepan, akan lebih banyak dirasakan oleh
masyarakat dan ekosistem alam yang rentan terhadap perubahan iklim. Masyarakat
miskin sering bergantung pada sumberdaya alam sedangkan mereka tidak memiliki
kapasitas maupun sumberdaya yang memadai untuk beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di lingkungan sekitarnya. Sementara itu hilangnya berbagai jenis keanekaragaman
hayati yang saat ini mengancam ekosistem yang menjadi tempat bergantung semua jenis
kehidupan.
Perubahan pemanfaatan lahan merupakan bagian terbesar kegiatan manusia yang
berpengaruh pada perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca yang berasal dari kegiatan
deforestasi (penggundulan hutan), pertanian, dan kegiatan konservasi lahan lainnya yang
bertanggung jawab terhadap 30% dari total emisi akibat kegiatan manusia. Penambahan
populasi dan perkembangan ekonomi serta ketidakmampuan lembaga berwenang
menyediakan jaminan keamanan dan penegakan hukum yang sesuai merupakan dampak
yang signifikan dan tersebar secara luas tersebut.
Aktivitas mitigasi perubahan iklim berbasis lahan yang terencana dengan baik
merupakan komponen penting dari mitigasi perubahan iklim. Mengurangi kegiatan
deforestasi dan degradasi hutan dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca,
sedangkan aktivitas penghutanan kembali dan kegiatan agroforestry dapat mengurangi
karbon dioksida dari atmosfer. Jika dirancang dengan cermat, kegiatan semacam ini dapat
melindungi keanekaragaman hayati dan mendorong kelestarian ekonomi dan
pengembangan sosial masyarakat. Kegiatan semacam ini dapat mewujudkan kehidupan
yang lestari untuk masyarakat lokal melalui diverifikasi pertanian, perlindungan tanah
dan air, penyediaan lapangan kerja, pemanfaatan dan perdagangan hasil hutan serta
ekoturisme. Dalam prosesnya, masyarakat dapat membangun kapasitas untuk beradaptasi
terhadap dampak perubahan iklim. Kegiatan yang dirancang dengan baik dapat
berkontribusi terhadap konservasi keanekaragaman hayati dengan cara mengembalikan
dan melindungi ekosistem alam, menjaga satwa yang dilindungi den jenis jenis
tumbuhan yang terancam punah sekaligus memelihara keseimbangan dan mendukung
kehidupan alam yang produktif bagi manusia.

1.2

Rumusan Masalah
1. Apa penyebab terjadinya degradasi keanekaragaman hayati?
2. Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati?
3. Apakah transmigrasi merupakan penyebab penting terhadap terancamnya
keanekaragaman hayati di Indonesia?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 adalah


keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber termasuk di antaranya
daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya, serta komplek komplek ekologi yang
merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies,
antarspesies, dan ekosistem.
Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi ini apabila dikelola dengan baik
tentunya dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat
Indonesia bahkan masyarakat di seluruh dunia. Dalam hal kekayaan keanekaragaman
hayati, Indonesia tidak kalah dengan Brazil, Negara yang memiliki keanekaragaman
hayati yang melimpah. Brazil memiliki jumlah keanekaragaman hayati ikan air tawar dan
jumlah organisme darat yang sangat banyak namun dibandingkan keanekaragaman
organisme laut Indonesia yang jauh lebih banyak. Seperti Meksiko, posisi geografis
Indonesia termasuk negara yang terletak pada dua kawasan dari enam kawasan biografis
dunia, yaitu Australasian dan Indo Malaya. Hal ini juga menarik, di Indonesia terdapat
wilayah pertemuan dua kawasan yaitu Wallacea yang didalamnya terkandung endemisitas
dengan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi. Kawasan biogeografi Indonesia dan
sebarannya meliputi 17.000 pulau, termasuk pulau terbesar kedua dan ketiga di dunia
(Kalimantan dan Papua), bisa dikatakan telah berhasil menandingi Brazil dalam hal
kekayaan jenis (Supriatna, 2008).
Ada beberapa fakta yang disampaikan oleh Al Gore dalam bukunya Earth In The
Balance tentang pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas antara lain :
1. Terjadinya perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan iklim di hutan
Amazon. Awan yang biasanya diatas hutan Amazon selalu hitam menunjukkan
behwa intensitas hujan sangat tinggi, akan tetapi sekarang intensitas hujan
berkurang ditandai dengan awan yang berada diatas hutan Amazon menjadi
terang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan jumlah burung di hutan
Amazon. Akan tetapi hubungan antara hilangnya beberapa spesies burung
berhubungan langsung dengan berkurangnya curah hujan masih menjadi
pertanyaan.
2. Naiknya suhu laut menyebabkan terjadinya kematian terumbu karang. Memang di
beberapa tempat terumbu karang mengalami kematian, akan tetapi kematian
terumbu karang lebih banyak disebabkan eksploitasi yang berlebihan oleh
manusia seperti penggunaan bom ikan.
3. Terjadinya penurunan biodiversitas yang eksponsional sejak terjadinya revolusi
industry dan berbanding lurus dengan pertambahan manusia. Hal tersebut sangat
erat sekali dengan eksploitasi seperti diburu atau habitatnya berubah untuk
menjadi permukiman atau pertanian, bukan karena perubahan iklim.

2.2 Teori Kepunahan Makhluk Hidup


Proses seleksi alam merupakan konsep yang dapat menjelaskan terjadinya proses
kepunahan makhluk hidup. Makhluk hidup akan punah apabila tidak dapat beradaptasi
terhadap perubahan lingkungannya. Menurut Karl (1991); Lawrence (1991) ada tujuh
faktor yang mempengaruhi sensitifitas makhluk hidup terhadap kepunahan yaitu :
a) Kelangkaan
Spesies disebut langka apabila hanya ditemukan pada area tertentu atau
tersebar, tetapi dalam jumlah individu yang sedikit. Spesies langka tergantung
pada faktor geografis, habitat khusus dan ukuran populasi.
b) Kemampuan migrasi
Spesies yang tidak mempunyai kemampuan migrasi mempunyai sensifitas
yang tinggi dibandingkan spesies yang bisa migrasi terhadap kepunahan. Spesies
yang dapat migrasi dapat menghindari kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan.
c) Derajat spesialisasi
Spesies mempunyai derajat spesialisasi lebih tinggi sangat sensitif
terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai derajat lebih
rendah. Contoh spesies yang mempunyai derajat spesialisasi tinggi adalah beruang
panda. Hewan ini hanya memakan satu jenis daun bambu, sehingga apabila terjadi
kelangkaan bahan makanan akan mempengaruhi kelestarian beruang panda.
d) Variabilitas populasi
Populasi spesies yang relatif stabil akan lebih adaptif dibandingkan spesies
yang populasinya fluktuatif terhadap perubahan lingkungan.
e) Tingkatan tropik
Makhluk hidup didalam ekosistem berdasarkan jaring jaring makanan
berada pada tingkat berbeda. Tingkatan tropik paling bawah adalah produsen,
tingkatan kedua adalah herbivore dan tingkatan selanjutnya adalah karnivora.
Tingkatan paling bawah mempunyai populasi lebih besar dibandingkan tingkat
diatasnya. Berdasarkan ukuran populasi sensitifitas tingkat tropik paling atas
relatif lebih sensitif terhadap kepunahan.
f) Lama hidup

Spesies yang mempunyai waktu hidup lebih pendek lebih sensitif terhadap
kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai waktu hidup lebih
panjang.
g) Kecepatan menambah populasi
Sensitifitas terhadap kepunahan tergantung dari kemampuan reproduksi
spesies. Spesies yang mempunyai kemampuan reproduksi tinggi (kecepatan
pertumbuhan populasi tinggi) akan lebih adaptif dibandingkan dengan spesies
yang kemampuan reproduktifnya lebih rendah.
Penyebab terjadi kepunahan makhluk hidup dapat dikategorikan secara
langsung atau tidak langsung. Penyebab langsung adalah perubahan yang terjadi
dapat langsung menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan penyebab
tidak langsung adalah perubahan yang terjadi menyebabkan terjadinya perubahan
faktor lain yang menyebabkan kematian makhluk hidup.
Ada empat faktor penyebab yang mengancam kehidupan spesies
(Stiling,P.D, 1992) yaitu :
1. Hilangnya atau modifikasi habitat
Penyebab terjadinya hilang atau modifikasi habitat disebabkan
oleh aktifitas manusia antara lain, perubahan lahan menjadi lahan
pertanian atau perumahan pencemaran dan polusi.
2. Over eksploitasi
Contoh terjadinya over eksploitasi antara lain budaya berburu,
penjualan kayu dan perdagangan hewan.
3. Eksotik spesies
Introduksi spesies pada habitat suatu spesies dapat menyebabkan
terjadinya kompetisi.
4. Penyakit
Penyakit endemic atau eksotik dapat menyebabkan kematian
massal spesies.
2.3 Perusakan Habitat

Penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati bukannlah dari eksploitasi


manusia secara langsung, melainkan kerusakan habitat yang tak dapat dihindari dari
bertambahnya populasi penduduk dan kegiatan manusia. Hingga akhir abad ke-21.
Perubahan tata guna lahan akan terus menjadi faktor utama yang mempengaruhi
keanekaragaman hayati, khususnya pada ekosistem darat. Sumber sumber ancaman
berikut adalah perubahan iklim dan masuknya spesies asing (invasif) (Sala dkk, 2000).
Ancaman utama pada keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat
(Tabel 2.1), dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah
memelihara habitat. Termasuk dalam penghilangan habitat adalah pengrusakan habitat
dan hancurnya habitat akibat polusi dan fregmentasi habitat.
Tabel 2.1 faktor faktor yang mengakibatkan spesies terancam

Kebanyakan habitat asli di berbagai penjuru dunia telah rusak, khususnya di


kepulauan dan di tempat yang kepadatan penduduknya tinggi (WRI, 2003). Gangguan
habitat juga sudah parah di seantero Eropa selatan dan timur Asia, termasuk Filiphina dan
Jepang, tenggara dan barat daya Australia, Selandia Baru, Afrika Barat, Madagaskar,
pantai utara dan tenggara Amerika Selatan, Amerika Tengah, Karibia, serta bagian tengah
dan timur Amerika Utara. Pada wilayah wilayah itu, lebih dari 50% habitat alaminya
terganggu, atau hilang sama sekali.
Di banyak negara negara tropika Dunia Lama (Old World), lebih dari 50%
habitat dari kehidupan liar telah dihancurkan (WRI, 2000). Akibat dari fragmentasi
habitat, pertanian, penebangan kayu, dan kegiatan manusia lainnya, sangat sedikit lini
hutan terdepan (blok hutan bebas gangguan yang masih utuh, yang cukup besar untuk

mendukung segala aspek keanekaragaman hayati) yang tersisa di negara negara tropika
Dunia Lama.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Degradasi Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati (biodiversitas) sering diartikan dengan kekayaan jenis
spesies makhluk hidup pada suatau daerah. Biodiversitas diukur dalam berupa indeks,
metode pengukurannya pun bermacam macam karena setiap indekas mempunyai
asumsi yang berbeda.

Seiring dengan isu perubahan iklim, degradasi biodiversitas merupakan suatu


wacana yang sering diasumsikan merupakan dampak perubahan iklim. Peningkatan
kepunahan spesies terjadi sejak revolusi industri yang diilustrasikan pada gambar 3.1

Gambar 3.1 laju kepunahan spesies

Berdasarkan gambar diatas dapat digambarkan bahwa terjadi peningkatan


hilangnya spesies secara eksponsional, akan tetapi penyebab peningkatan laju kepunahan
spesies merupakan fenomena.
Salah satu faktor yang juga sering dijadikan isu penyebab terjadinya penurunan
keanekaragaman hayati adalah pertambahan populasi manusia secara eksponsional dan
grafik dibawah ini mempunyai kesamaan dengan laju penurunan keanekaragaman hayati.

Gambar 3.2 pertumbuhan manusia yang diperkirakan menyebabkan terjadi kepunahan


spesies burung
dan mamalia
Data diatas
menjadi asumsi bahwa ada pengaruh pertumbuhan populasi manusia

terhadap spesies yang hilang. Dampak dari jumlah populasi menyebabkan terjadinya
peningkatan kebutuhan akan makanan, tempat tinggal, dan sandang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kepunahan spesies. Yang sering
menjadi focus penyebab kepunahan spesies adalah berubahnya habitat makhluk hidup
yang dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konversi lahan atau faktor
perubahan lingkungan. Dari hasil pengamatan World Conservation Monitoring Center
menunjukkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepunahan spesies. Terdapat
empat faktor utama yang mempengaruhi kepunahan spesies.

Gambar 3.3 faktor penyebab kepunahan


spesies.

Faktor tersebut adalah hilangnya atau berubahnya habitat, eksploitasi, masuknya


spesies baru dan lain lain. Faktor pengaruh berubahnya atau hilangnya habitat akibat
dari pengaruh iklim dan alam termasuk kategori lain lain. Pengaruh iklim terhadap
kepunahan spesies lebih kecil dari 15%.
3.2 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Keanekaragaman Hayati
Tingkat perubahan iklim saat ini melebihi semua variasi alami dalam 1000 tahun
terakhir. Debat mengenai perubahan iklim mencapai suatu kesepakatan dimana
kebanyakan ilmuwan menerima bahwa, emisi gas rumah kaca mengakibatkan perubahan
iklim yang berdampak luas bagi kehidupan. Salah satu dampak yang vital dan terancam
oleh adanya perubahan iklim ini adalah keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan
ekosistem. Biodiversitas sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim. Perubahan iklim
berpengaruh terhadap perubahan keanekaragaman hayati dan ekosistem baik langsung
maupun tidak langsung.
a. Dampak langsung
Dampak langsung perubahan iklim yang paling berpengaruh terhadap
keanekaragaman hayati ;
1. Spesies range (cakupan jenis)
Perubahan iklim berdampak pada temperatur dan curah hujan. Hal
ini mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan diri,

terutama spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap


fluktuasi suhu.
2. Perubahan fenologi
Perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya pergeseran dalam
siklus reproduksi dan pertumbuhan dari jenis jenis organismo, sebagai
contoh migrasi burung terjadi lebih awal dan meyebabkan proses
reproduksi terganggu karena telur tidak dapat dibuahi. Perubahan iklim
juga dapat mengubah siklus hidup hama dan penyakit, sehingga akan
terjadi wabah penyakit.
3. Perubahan interaksi antar spesies
Dampak dari perubahan iklim akan berakibat pada interaksi antar
spesies semakin kompleks. Hal itu membuat ekosistem tidak berfungsi
secara ideal.
4. Laju kepunahan
Kepunahan telah menjadi kenyataan sejak hidup itu sendiri
muncul. Beberapa juta spesies yang ada sekarang ini merupakan spesies
yang mampu bertahan dari kurang lebih setengah milyar spesies yang di
duga perna ada. Kepunahan merupakan proses alami. Spesies telah
berkembang dan punah sejak kehidupan semula. Hal ini dapat diketahui
melalui catatan fosil. Tetapi, saat ini laju kepunahan spesies menjadi lebih
tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir
keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa laluspesies
yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang dan
mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat ini, hal tersebut
tidak mungkin terjadi karena telah banyak hbitat yang rusak dan hilang.
Kelangsungan hidup rata rata suatu spesies sekitar 5 juta tahun.
Rata rata 900.000 spesies telah punah setiap 1 juta per tahun dalam 200
juta tahun terakhir. Laju kepunahan secara kasar diperkirakan sebesar satu
dalam satu persembilan tahun. Laju kepunaha yang diakibatkan oleh
manusia saat ini sudah sangat tinggi.
Perubahan iklim yang lebih menyebar luas tampaknya akan terjadi
pada masa mendatang sejalan dengan bertambahnya akumulasi gas gas
rumah kaca dalam atmosfer yang selanjutnya akan meningkatkan suhu
permukaan bumi. Perubahan ini akan menimbulkan tekanan yang cukup

besar bagi semua ekosistem, sehingga menjadikannya semakin penting


untuk mempertahankan keragaman alam sebagai alat untuk beradaptasi.
Beberapa kelompok spesies yang lebih rentan terhadap kepunahan
daripada yang lain. Kelompok spesies tersebut adalah :
i.

ii.

iii.

iv.

Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar,


misalnya harimau (Panthera tigris). Karnivora besar biasanya
memerlukan daerah territorial yang luas untuk mendapatkan
mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terus
merambah areal hutan dan penyusutan hbitat, maka jumlah
karnivora yang dapat ditampung juga menurun.
Spesies local endemik (spesies yang hanya ditemukan di suatu area
geografis) dengan distribusi yang sangat terbatas, misalnya badak
jawa (Rhinoceros javanicus). Ini sangat rentan terhadap gangguan
hbitat lokal dan perkembangan manusia.
Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi
terlalu kecil, maka menemukan pasangan untuk bereproduksi
menjadi masalah serius, misalnya panda.
Spesies migratori (spesies yang memerlukan habitat yang cocok
untuk mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang
luas sangat rentan terhadap kehilangan stasiun habitat
peristirahatannya).

Kondisi Keanekaragaman Hayati


Dalam laporan penelitian WWF (World Wildlife Fund), Habitats at Risk : Global Warming
and Species Loss in Terrestrial Ecosystems, ditemukan bahwa dengan beberapa asumsi mengenai
pemanasan global di masa depan dan dampaknya terhadap beberapa tipe vegetasi utama,
kepunahan spesies akan terjadi di kebanyakan ekoregion signifikan di bumi. Laporan tersebut
meneliti dampak perubahan iklim pada ekosistem teresterial yang diidentifikasikan WWF
sebagai bagian dari Global 200 tempat-tempat dimana terdapat keanekaragaman hayati bumi
yang paling unik dan kaya. Apabila tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer dalam 100 tahun

mendatang dikalikan dua dari sekarang maka jumlah yang sesungguhnya lebih kecil dari
perkiraan para ahli iklim, dampak-dampak berikut diperkirakan akan terjadi :
1. Lebih dari 80 persen dari ekoregion yang diteliti akan menderita kepunahan tumbuhan dan
binatang sebagai akibat pemanasan global.
2. Beberapa dari ekosistem alami yang paling kaya akan kehilangan lebih dari 70 persen dari
habitatnya, dimana habitat tersebut adalah tempat hidup dari tumbuhan dan binatang di
dalamnya.
3. Banyak habitat yang akan berubah sepuluh kali lebih cepat daripada seharusnya, yang
menyebabkan kepunahan species yang tidak dapat bermigrasi atau beradaptasi dengan perubahan
tersebut.
Dari hasil riset persatuan kosnservasi dunia (IUNC) menunjukan pada tahun 2007 ada
16.306 spesies yang terancam yang terdiri dari hewan bertulang belakang, hewan
tak bertulang belakang dan tumbuhan. Hal tersebut menunjukan degradasi
keanekaragaman hayati terus meningkat sehingga perlu penanganan khusus untuk
mengurangi laju penurunan keanekaragaman hayati dunia.

Konvensi Keanekaragaman Hayati


Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah Perjanjian multilateral untuk mengikat para
pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan permasalahan global khususnya
keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran
umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh
laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk
memadukan segalaupaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia
selanjutnya.
Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil
pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali
dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi
bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan
manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm).
a.
b.
c.
d.
e.

Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima dokumen, yakni;
Deklarasi Rio;
Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim;
Konvensi Keanekaragaman Hayati;
Prinsip-Prinsip Pengelolan Hutan; dan
Agenda 21.

Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai
hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan
pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional. UNCED atau Earth
Summit juga begitu penting karena untuk pertama kalinya memberikan kesadaran ke seluruh
dunia bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan masalah
keadilan sosial. Pertemuan ini menegaskan bahwa kebutuhan sosial, lingkungan dan ekonomi
harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan berlanjut hingga generasi-generasi yang
akan datang.
Hasil utamanya adalah Agenda 21, yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas
yang menuntut adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21
di seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan. Hasil lain UNCED yang membahas
tentang keanekaragaman hayati adalah:
a. Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity). Bagian
kedua dari agenda 21 berupa Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan.
Bagian ini menekankan pada pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, sumberdaya genetik,
spesies, dan ekosistem serta isu-isu penting lainnya. Semuanya memerlukan kajian lebih lanjut
bila tujuan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan
local. Konvensi ini bertujuan untuk melestarikan beraneka sumber daya genetika/plasma nutfah,
spesies, habitat dan ekosistem. Selain itu konvensi juga bertujuan untuk menjamin pemanfaatan
secara berkelanjutan berbagai sumber daya hayati dan untuk menjamin pembagian manfaat
keanekaragaman hayati secara adil. Hingga kini telah diratifikasi oleh 180 negara.
b. Prinsip-prinsip Rio tentang Hutan ( Rio Forestry Principles). Terdiri dari 15 prinsip yang secara
hukum mengikat para pengambil keputusan di tingkat nasional dan internasional dalam rangka
perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan.
Meletakkan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan Internasional (International Forestry
Convention).
Konvensi mengenai Biodiversity (keanekargaman hayati) dan konvensi Ramsar untuk
melindungi berbagai jenis tanaman dan satwa dari kepunahan dan mengelola ekosystem lahan
basah (wet land) supaya dapat meberikan hasil guna dari segi ekonomis-sosial-budaya dan
kelestariannya tetap terjaga.

H. Upaya Perlindungan Keanekaragaman Hayati dari Kepunahan


Pada awal tahun 1990 KLH telah menyusun suatu Strategi Nasional Pengelolaan
Keanekaragaman Hayati yang diikuti dengan kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati
(Biodiversity Action Plan of Indonesia - BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun
1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Environment Facilities (GEF) sedang
merevisi BAPI melalui penyusunan Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati
Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan - IBSAP). Kegiatan yang
melibatkan berbagai instansi terkait danLSM ini, diharapkan akan selesai pada tahun 2003 ini.
Sementara itu, pemerintah telah juga mengembangkan UU No. 5 Tahun 1994 mengenai
Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on
Biological Diversity - CBD). KLH bertindak sebagai National Focal Point yang bertugas
mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia juga telah meratifikasi
beberapa konvensi PBB yang terkait, seperti CITES, RAMSAR, World Heritage Convention
(WHC)) serta telah menandatangai Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Pemerintah
juga berpartisipasi pada kegiatan MAB (Man and Biosphere) yang dikoordinasikan oleh
UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia berpartisipasi aktif pada kegiatan program
ARCBC (ASEAN Regional Center on Biodiversity Conservation) yang merupakan proyek
kerjasama ASEAN-EU dan berkedudukan di Manila.
Beberapa upaya/ aktifitas lain terkait dengan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan
adalah:
a. Penetapan kebijakan konservasi in-situ and ex-situ. Konservasi in-situ dilaksanakan dengan
menetapkan kawasan lindung yang terdiri dari kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini
Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30
kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat
34 tanaman nasional darat (luas 11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas 3,7 juta ha).
Konservasi ex-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini ada 23
unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan 2 taman
safari, 3 taman burung, 4 rehabilitasi lokasi orang utan dan 6 pusat rehabilitasi gajah. Pelestarian
keragaman sumber daya genetik, terutama untuk tanaman pertanian dan ternak dilakukan melalui
koleksi plasma nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai penelitian di bawah Departemen
Pertanian. Konservasi ex-situ menghadapi berbagai masalah, yaitu kekurangan dana, fasilitas dan

tenaga terlatih. Sebagai contoh, berbagai balai atau pusat penelitian tidak mempunyai fasilitas
penyimpanan jangka panjang, sehingga koleksi harus ditanam atau ditangkar ulang;
b. Pada tahun 2002, telah dimulai suatu pembahasan tentang kemungkinan Indonesia untuk
meratifikasi Protokol Cartagena dan International Treaty on Genetic Resources for Food and
Agriculture (ITGRFA) dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari teknologi rekayasa
genetika pada komponen keanekaragaman hayati.
c. Indonesia telah berpartisipasi di Kelompok Like Minded Megadiversity Countries (LMMDC)
dimulai sejak diadopsinya Deklarasi Cancun, di Mexico, February 2002. KLH telah
berpartisipasi pada beberapa kali pertemuan selama tahun 2002, yang bertujuan antara lain untuk
saling bertukar pengalaman dan mencari posisi bersama dalam pengembangan rejim
internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya
hayati.
d. Fase baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia dalam bidang pengelolaan
lingkungan berkelanjutan (Sustainable Environmental Management) dimulai kembali akhir tahun
dan akan berlangsung selama 5 tahun.
e. Upaya pengendalian spesies invasif telah mulai dikembangkan dengan menyusun pedoman untuk
pengendalikan species asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2002 telah
diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif dalam upaya
untuk mengangkat permasalahan ini sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan kepunahan
spesies lokal akibat dari masuknya spesies asing yang tidak diinginkan.

BAB IV
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai