Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi
mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya
diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang
memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
c.
2.
Diabetes Militus Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) /
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
NIDDM disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangkum pengambilan
glukosa oleh gangguan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel
beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. Kefosis resisten lebih
sering pada orang dewasa, tapi dapat juga terjadi pada semua umur, kebanyakan penderita
kelebihan berat badan, ada kecenderungan familial, mungkin perlu insulin pada saat
hiperglikemik selama stres. Factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam
terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa
kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
3.
4.
4. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur
oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut
muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan
cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan
rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan
dan
glikogenolisis
kelemahan.
(pemecahan
Dalam
keadaan
normal
insulin
mengendalikan
glukosa
yang
disimpan)
dan
glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun
pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih
lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan
lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen,
mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan
menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin
bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat
kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet
dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen
terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada
penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena
itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan
tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan
dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang
lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra
glukosanya sangat tinggi).
Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan
tidak disadari\oleh penderita, beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat
perhatian adalah :
1.
Keluhan Klasik
a. Banyak Kencing (Poliuria)
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat
mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.
b. Banyak Minum (polidipsia)
Rasa haus amat sering dialami penderita karena banyaknya cairan yang keluar
melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan. Dikiranya sebab
rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk
menghilangkan rasa haus itu penderita banyak minum.
c. Banyak makan (polifagia)
Rasa lapar yang semakin besar sering timbul pada penderita Diabetes Melitus
karena pasien mengalami keseimbangan kalori negatif, sehingga timbul rasa
lapar yang sangat besar. Untuk menghilangkan rasa lapar itu penderita banyak
makan.
d. Penurunan Berat Badan dan Rasa Lemah
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah yang hebat yang menyebabkan
penurunan prestasi dan lapangan olahraga juga mencolok. Hal ini disebabkan
glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan
bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber
tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya
penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
2.
Keluhan Lain
a. Gangguan Saraf Tepi/Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam hari, sehingga menggangu tidur.
b. Gangguan Penglihatan
Hiperglikemia berpuasa
Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
Keletihan dan kelemahan
Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau
buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
Diabetes Tipe II
1) Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
2) Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan
kabur
3) Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)
6. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah (puasa)
3. Tes toleransi glukosa
7. Komplikasi
Komplikasi
yang
berkaitan
dengan
kedua
tipe
DM
(Diabetes
b.
c.
8. Penatalaksanaan
1. Medis
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa
darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas
pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu :
a. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat :
-
Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah
Jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya
Jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus disesuaikan oleh status gizi
penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung Percentage of Relative
Body Weight (BBR = berat badan normal) dengan rumus :
1) Kurus
(underweight)
BBR < 90 %
2) Normal (ideal)
BBR 90% - 110%
3) Gemuk (overweight)
BBR > 110%
4) Obesitas apabila
BBR > 120%
5) Obesitas ringan
BBR 120 % - 130%
6) Obesitas sedang
BBR 130% - 140%
7) Obesitas berat
BBR 140% - 200%
8) Morbid
BBR >200 %
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk penderita DM
yang bekerja biasa adalah :
Kurus (underweight)
Normal (ideal)
BB X 30 kalori sehari
Gemuk (overweight)
BB X 20 kalori sehari
Obesitas apabila
2. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah :
a) Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 1 1/2 jam sesudah
makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita dengan
kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan
b)
c)
d)
e)
f)
3. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita
DM, melalui bermacam-macam cara atau media misalnya: leaflet, poster, TV, kaset
video, diskusi kelompok, dan sebagainya.
4. Obat
a. Tablet OAD (Oral Antidiabetes)/ Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1. Mekanisme kerja sulfanilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan,
menurunkan ambang sekresi insulin dam meningkatkan sekresi insulin sebagai
akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada
penderita dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang
berat badannya sedikit lebih.
2. Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang
dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu :
a)
Frekuensi berkemih yang meningkat, urine yang masih menetes setelah berkemih,
merasa tidak puas setelah berkemih, sering berkemih pada malam hari, penurunan
kekuatan, dan ukuran pancaran urine, mengedan saat berkemih, tidak dapat
berkemih sama sekali, nyeri saat berkemih, hematuria, nyeri pinggang, peningkatan
suhu tubuh disertai menggigil, penurunan fungsi seksual, keluhan gastrointestinal
seperti nafsu makan menurun, mual,muntah dan konstipasi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Kesehatan Umum
rectal
toucer
untuk
mengetahuan
pembesaran
prostat
dan
konsistensinya.
k. Ekstermintas
Apakah pada ekstermitas bawah dan atas terdapat keterbatasan gerak, nyeri sendi
atau edema, bagaimana kekuatan otot dan refleknya.
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik
sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang
ditimbulkan.
3. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Kerusakan Integritas jaringan b.d nekrosis kerusakan jaringan.
b. Resiko infeksi b.d trauma pada jaringan, proses penyakit(diabetes mellitus).
c. Nyeri akut b.d trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intervensi
RENCANA KEPERAWATAN
NO
DX
1
Dx
Kep/Masalah
Tujuan
Intervensi
Keperawatan
Kerusakan
Setelah
integritas
jaringan
dilakukan
b.d diharapkan
perfusi
tindakan
jaringan
nekrosis
kerusakan
Perfusi jaringan
jaringan.
normal.
status
nutrisi
pasien.
tanda infeksi.
Ketebalan dan
tanda
infeksi
lokal,
formasi traktus.
8. Lakukan tehnik perawatan
luka dengan steril.
Resiko infeksi
Setelah
dilakukan
tindakan
1. Cuci
tangan
setiap
dan
sesudah
sebelum
tindakan keperawatan.
2. Menunjukkan
kemampuan
4. Monitor
kerentanan
terhadap infeksi.
5. Berikan perawatan kulit
normal.
4. Menunjukkan perilaku hidup
sehat.
3
tindakan
secara
komprehensif
trauma/diskontin
termasuk
lokasi,
uitas jaringan.
diharapkan
karakteristik,
durasi,
klien
mampu
frekuensi,
hasil :
faktor presipitasi.
1. Mampu
mengontrol
nyeri
kualitas
sebelum,
menggunakan
tehnik
setelah aktivitas.
nonfarmakologi
untuk
bahwa
berkurang
nyeri
dengan
menggunakan
manajemen
nyeri.
3. Mampu
mengenali
nyeri
rasa
nyaman
dan
selama,
dan
DAFTAR PUSTAKA
2.
3.
4.
5.
Jakarta: EGC.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Nurarifin, Amin Huda.2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis Dan Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta : Medicatio Publishing.