Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Badan Kependudukan PBB (UNFPA), menyatakan bahwa jumlah penduduk
dunia tahun 2010 telah mencapai 7 miliar jiwa atau bertambah 1 miliar jiwa hanya
dalam waktu 10 tahun. Jumlah penduduk dunia tumbuh begitu cepat, dahulu untuk
bertambah 1 miliar jiwa, dunia butuh waktu 130 tahun (1800-1930). Kini, dalam 13
tahun, penduduk bertambah 1 miliar jiwa dari 5 miliar jiwa tahun 1987 menjadi 6
miliar jiwa tahun 2000 (Endang, 2002).
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk Indonesia berjumlah
sekitar 205,1 juta jiwa dengan jumlah tersebut, Indonesia berada pada urutan keempat
negara berpenduduk terbesar di dunia setelah Cina dengan jumlah penduduk 1,3
miliar jiwa, India 1,1 miliar jiwa dan Amerika Serikat 300 juta jiwa.dan

data

sementara hasil Sensus Penduduk tahun 2010 pada bulan Oktober tahun 2010 merilis
jumlah total penduduk Indonesia mencapai 237,56 juta jiwa dengan tingkat laju
pertumbuhan penduduk sekitar 1,49 persen atau bertambah 32,46 juta jiwa sejak
tahun 2000. Secara hitungan kasar, artinya setiap hari lahir 10000 bayi di Indonesia
(BPS, 2010).
Tahun 2010 menunjukkan pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat cepat
yakni tercatat sekitar 3,2 juta per tahun atau setara dengan jumlah penduduk negara
Singapura, dengan permisalan di Indonesia terbentuk satu negara Singapura setiap

Universitas Sumatera Utara

tahunnya. Jika laju pertumbuhan tidak bisa dikendalikan, diperkirakan

jumlah

penduduk di Indonesia pada 2045 mencapai dua kali lipat dari jumlah sekarang,
menjadi sekitar 450 juta jiwa, hal ini berarti satu dari 20 penduduk dunia adalah
orang Indonesia. Angka ini melebihi jumlah penduduk Amerika (BKKBN Pusat,
2010). Bisa dibilang ledakan penduduk bukan lagi mitos, tetapi sudah menjadi
realitas mengerikan yang harus kita tanggung bersama sama.
Laju pertumbuhan penduduk ini dapat ditekan dengan adanya birth control.
Di Indonesia birth control ini dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB).
Program KB Nasional merupakan program pembangunan sosial dasar yang sangat
penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Dalam UndangUndang No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga sejahtera, disebutkan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan
peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran,
pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk
mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera (BKKBN, 2004).
Pada masa orde baru, program KB mulai menjadi perhatian pemerintah,
dimana pemerintahan orde baru yang menitikberatkan pada pembangunan ekonomi,
mulai menyadari bahwa program KB sangat berkaitan erat dengan pembangunan
ekonomi. Selama hampir 30 tahun program KB berjalan, dari tahun 1970-2000, baru
masyarakat Indonesia bisa menerima bahwa KB adalah kebutuhan, masyarakat mulai
sadar dan mengerti bahwa ternyata program KB untuk mengatur jarak kelahiran dan
jumlah anak.

Universitas Sumatera Utara

Selama dari tahun 1970 hingga tahun 2000, TFR (Total Fertility Rate) atau
rata-rata

kemampuan

seorang

perempuan

melahirkan

bayi

selama

masa

reproduksinya sebesar 5,6, artinya pada tahun tersebut, rata-rata perempuan Indonesia
melahirkan bayi antara 5 hingga 6 orang bayi selama masa suburnya. Pada tahun
2000, TFR turun menjadi 2,8. Artinya di era 2000-an ini kemampuan seorang
perempuan ber reproduksi menghasilkan 2 hingga 3 orang anak selama masa
suburnya (Bertrand, 2007).
Program KB merupakan langkah tepat untuk mengatasi laju pertumbuhan
penduduk agar rakyat Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan
yang memadai serta memutus mata rantai kemiskinan. Kini keberhasilan Indonesia
dalam program KB mendapat tantangan cukup besar, mengingat saat ini indikator
kependudukan yang dulu signifikan sekarang stagnan. Program KB di Tanah Air
pada era reformasi tidak seintensif pada era Orde Baru (BKKBN, 2004).
Sejak sistem sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi, banyak kepala
daerah yang enggan mendukung program KB karena dianggap sebagai kegiatan
menghambur-hamburkan uang. Mereka lebih mengutamakan pembangunan fisik
yang hasilnya bisa langsung dirasakan. Pola pikir seperti itu merupakan cermin
kurangnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap peran KB.
KB adalah program jangka panjang karena dampaknya baru bisa dirasakan
beberapa dasawarsa kedepan. Program KB lebih dari sekadar upaya kuantitatif untuk
menurunkan angka kelahiran dan kematian. Peran Keluarga Berencana sebenarnya

Universitas Sumatera Utara

bersifat kualitatif dalam hal perbaikan penanganan kesehatan, pendidikan, dan


kesejahteraan.
Sejalan dengan era globalisasi, reformasi dan demokrasi yang menjadi
paradigma universal saat ini, dalam melaksanakan visi dan misi program, pengelolaan
Keluarga Berencana Nasional (KBN) pada masa-masa mendatang akan semakin
memperlihatkan isu-isu yang berkembang di masyarakat, baik di tingkat Nasional
maupun Internasional.
Isu kesetaraan gender muncul melalui Konferensi Internasional tentang
pembangunan dan kependudukan (ICPD) The International Conference on
Population and Development (ICPD) 1994 di Cairo, menyatakan bahwa penggunaan
alat kontrasepsi merupakan bagian dari hak-hak reproduksi, yaitu bagian dari hak-hak
azasi manusia yang universal. Hak-hak reproduksi yang paling pokok adalah hak
setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa
jumlah anak dan jarak anak yang dilahirkan, serta memilih upaya untuk mewujudkan
hak-hak tersebut yang intinya menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi
semua orang tanpa diskriminasi (Handayani, 2008).
Dari sekian banyak sasaran yang akan dicapai oleh program KB dalam jangka
panjang demi tercapainya Keluarga Berkualitas 2015, adalah upaya mencapai
peningkatan kesertaan pria dalam ber-KB. Penjiwaan program KB bukan hanya
menjadi ranah perdebatan sebatas tubuh perempuan saja, tetapi dalam konteks
pentingnya partisipasi pria untuk ikut mensukseskan program KB (Satria, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Ketidakadilan gender memang sangat memengaruhi keberhasilan program


KB. Bahkan para provider dan penentu kebijakan, masih menganggap penggunaan
kontrasepsi adalah urusan perempuan. Mengingat perempuan yang sudah mengalami
masa hamil, persalinan, menyusui, mendidik, mengasuh, juga acap kali diharuskan
membantu suami mencari nafkah, masih harus menggunakan alat kontrasepsi yang
terkadang tidak cocok, bahkan menimbulkan komplikasi. Suami yang punya andil
dalam proses reproduksi tidak mau berperan dengan memakai alat kontrasepsi
(BKKBN, 2003).
Masalah kesehatan reproduksi bukan hanya milik perempuan. Setelah
menikah, lelaki juga punya peran sama dalam menjaga kesehatan reproduksi
pasangan. Kepedulian pria dalam kesehatan reproduksi berpengaruh terhadap
kesehatan ibu. Perhatian dan dukungan suami meningkatkan keberhasilan dalam
menyelamatkan kehamilan dan persalinan.
Upaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB yang selama ini diukur
dengan tingkat kesetaraan KB melalui penggunaan atat kontrasepsi kondom dan
MOP telah mendapat perhatian serius pemerintah sejak isu kesetaraan gender dalam
ber-KB keras menggema. Program KB pria yang kini semakin marak digalakkan
pemerintah dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk adalah Medis Operasi
Pria (MOP), sebagai bentuk perubahan paradigma program KB. Jika selama ini yang
lebih berperan dalam mengikuti program KB adalah kaum wanita dengan berbagai
metode KB, maka dengan perubahan paradigma, kaum pria juga bisa berperan aktif
dalam ber-KB. Bentuk partisipasi pria/suami dalam KB dapat dilakukan secara

Universitas Sumatera Utara

langsung dan tidak langsung. Partisipasi pria/suami secara langsung adalah


menggunakan salah satu cara atau metode kontrasepsi, seperti kondom, MOP
(vasektomi) serta KB alamiah yang melibatkan pria/suami (metode sanggama
terputus dan metode pantang berkala (Gema, 2006).
Data SDKI (2007) menunjukkan, partisipasi pria dalam ber-KB di Indonesia
kurang dari 2% dari total akseptor KB, dengan rincian kondom sebanyak 1,3% dan
MOP/vasektomi sebanyak 0,2%. Artinya, tidak berbeda secara signifikan dengan
hasil SDKI 2002 yang berada dalam kisaran 1,3 % dengan rincian Kondom 0,9 %
dan MOP/vasektomi 0,4 %.
Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) per Juni
2010 menunjukkan, jumlah wanita di Indonesia yang memakai alat kontrasepsi lebih
dari 31 juta orang, sementara pria yang memakai alat kontrasepsi hanya sekitar
950.000 saja.
Capaian ini secara global berada jauh di bawah rata-rata dunia di mana
pengguna Kondom mencapai 4,8 % dan MOP 3,4 %. Khusus di negara-negara maju
seperti Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa, kepesertaan KB Kondom
mencapai 14,3 % dan MOP 5,3 %.
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) selama tahun 2010 tercatat berhasil menuai
prestasi, dalam hal menekan jumlah penduduk. Artinya tingkat kesejahteraan
penduduk Sumut sudah lebih baik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal itu bisa
dibuktikan dengan penurunan angka kelahiran anak (TFR/Total Fertility Rate) di

Universitas Sumatera Utara

Provinsi Sumut yang mencapai 3,5 dari proyeksi sebesar 4,2 yang ditentukan oleh
BKKBN Pusat (BKKBN Prov. Sumut, 2010).
Pada tahun 2010 akseptor KB Pria di Sumut MOP tercapai 2.088 akseptor
melebihi target nasional sebanyak 2000 akseptor, sedangkan kondom tidak mencapai
target nasional sebanyak 85000 akseptor dimana realisasi hanya sebanyak 80.042
akseptor (BKKBN Provinsi Sumut, 2010).
Kota Medan pada tahun 2009 akseptor KB pria tercapai 9.351 akseptor
sedangkan target nasional sebanyak 16.650 akseptor. Realisasi akseptor KB pria
tersebut di atas dengan rincian MOP sebanyak 450 akseptor dan kondom sebanyak
8.901 akseptor. Tahun 2010 akseptor KB pria di kota Medan meningkat signifikan
yaitu MOP sebanyak 513 akseptor dan kondom sebanyak 10.705 akseptor (BPPKB
Kota Medan).
Salah satu faktor yang memengaruhi upaya mensukseskan program KB pria
adalah sifat dan metodenya. Selain itu, inovasi yang harus diadopsi dalam KB pria
haruslah mempunyai banyak penyesuaian (daya adopsi) terhadap kondisi fisik, psikis,
sosial, ekonomi dan budaya.
Menurut

Notoatmodjo

(2003),

yang

mengutip

pendapat

Anderson,

karakteristik individu dalam memilih pelayanan kesehatan termasuk dalam memilih


metode kontrasepsi dapat digolongkan antara lain : ciri-ciri demografi, seperti jenis
kelamin, umur, struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kesukuan
dan manfaat-manfaat kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal yaitu sifat
inovasi, sifat adopter dan perilaku pengantar perubahan. Hasil penelitian yang
dilakukan Ekarini (2008), diketahui ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan terhadap partisipasi pria dalam ber-KB di Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali. Selanjutnya penelitian Simanjuntak (2008) menunjukkan bahwa

istri

berpengaruh signifikan terhadap tingkat adopsi inovasi KB pria di kalangan prajurit


Wilayah Medan.
Demikian juga penelitian Wijayanti (2004) di desa Timpik kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa semua responden menyatakan
MOP belum membudaya atau belum umum dilakukan oleh laki-laki. Kondisi sosial
budaya masyarakat yang patrilinial yang memungkinkan kaum perempuan berada
dalam sub ordinasi menyebabkan pengambilan keputusan dalam KB didominasi oleh
kaum pria.
Ada beberapa faktor yang membuat pria enggan untuk ber-KB di antaranya
adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak reproduksi,
keterbatasan jenis alat kontrasepsi pria, kondisi sosial, adanya rumor tentang
vasektomi serta penggunaan kondom untuk hal yang bersifat negatif (BKKBN
Sumut, 2009).
Pemahaman tentang KB sebagian besar masih berkonotasi hanya kaum wanita
saja yang dianjurkan memakai kontrasepsi. Kaum suami yang berstatus sebagai
kontributor kehamilan nyaris tak punya peran signifikan dalam upaya mengatur
jumlah kelahiran anak. Sesungguhnya, partisipasi pria memiliki nilai strategis dalam

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan cakupan program KB dan kesehatan reproduksi, yakni partisipasi pria


dalam praktik KB, pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, serta pencegahan kematian
maternal. Pada kenyataannya nilai strategis itu belum terjadi di Indonesia (BKKBN,
2003).
Keberadaan anggota atau kelompok dalam masyarakat, termasuk tokoh
masyarakat dapat memberikan dampak yang berarti pada akseptabilitas berbagai
metode kontrasepsi. Masyarakat cenderung memiliki pendapat yang sama tentang
akseptabilitas berbagai metode kontrasepsi berdasarkan apa yang dikatakan
pemimpinnya. Dengan demikian apabila pemimpin tersebut setuju atau menentang
suatu metode kontrasepsi akan cenderung diadopsi anggota masyarakatnya.
Dalam mewujudkan program KB pria, tidak terlepas kaitannya dengan
petugas yang berperan langsung dalam pengembangan program KB pria, seperti
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pria pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana (BPPKB) yang bertugas sebagai penyelenggara dalam
memberikan informasi tentang program dan pelayanan KB kepada masyarakat dan
bukan hanya sebatas menjalankan tugas dan fungsinya semata, akan tetapi PNS pada
BPPKB juga harus memiliki kesadaran individu sebagai orang yang siap untuk
mengabdi kepada bangsa dan negara dalam mewujudkan program kependudukan,
salah satu diantaranya adalah dengan ikut menjadi peserta program KB
Dari data PNS di BPPKB Kota Medan dengan jumlah pegawai 189 orang
terdiri dari 44 orang laki-laki dan 145 orang perempuan. Laporan dari BPPKB Kota

Universitas Sumatera Utara

Medan menunjukkan data akseptor KB pria aktif sampai tahun 2010 berjumlah
5 orang dengan perincian : MOP 1 orang, dan kondom 4 orang.
Survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2011 dengan
melakukan wawancara terhadap 10 orang PNS pria di BPPKB Kota Medan diketahui
beberapa permasalahan yang menyebabkan PNS pria tidak ikut serta dalam program
KB pria karena alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria dianggap kurang sesuai
dengan yang diharapkan, misalnya: (a) penggunaan kondom dirasakan mengurangi
kenyamanan, (b) Metode Operasi Pria (MOP) atau vasektomi dianggap cukup rumit
karena harus melalui proses operasi.
Berdasarkan alasan yang dinyatakan PNS pria di

BPPKB Kota Medan

menggambarkan bahwa inovasi tentang alat kontrasepsi KB pria dirasakan kurang


sesuai atau kurang konsisten dengan pengalaman masa lalu dalam penggunaan alat
kontrasepsi, ada anggapan program KB pria tidak sesuai dengan nilai-nilai atau
norma yang berlaku di masyarakat serta program KB pria dianggap bukan merupakan
kebutuhan pria.
Temuan pada survei pendahuluan menunjukkan bahwa keengganan pria pada
BPPKB Kota Medan untuk menjadi akseptor KB pria terkait dengan ketidaksesuaian
alat kontrasepsi pria (kondom dan MOP/vasektomi) yang dikembangkan dalam
program KB saat ini.
Menurut Rogers (1983) dalam model pengambilan keputusan adopsi inovasi,
tahap adopsi dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan (persuasi) dari inovasi. Pada tahap
persuasi dipengaruhi oleh persepsi tentang karakteristik inovasi meliputi : keunggulan

Universitas Sumatera Utara

relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity),


kemampuan

diuji

cobakan

(trialability)

serta

kemampuan

untuk

diamati

(observability). Mengacu kepada teori Rogers (1983) yang telah disebutkan di atas,
maka inovasi program KB pria melalui penggunaan alat kontrasepsi kondom dan
MOP/vasektomi dapat berhasil apabila KB Pria tersebut memiliki keunggulan, dapat
diujicobakan, dapat diamati, kompatibel serta tidak rumit dalam pelaksanaannya.
Dari berbagai hasil penelitian dan laporan dari BPPKB Kota Medan tersebut
diperoleh suatu gambaran bahwa peran pria dalam mengikuti program KB belum
optimal, maka peneliti bermaksud meneliti tentang pengaruh kompatibilitas terhadap
keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah
penelitian adalah apakah ada pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide
dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana Kota Medan.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kompatibilitas
terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kompatibilitas terhadap
keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Sebagai khasanah menambah ilmu kesehatan masyarakat, khususnya tentang
administrasi kebijakan dan kesehatan yang berkaitan program Keluarga
Berencana (KB).
2. Memberikan masukan bagi BPPKB Kota Medan dalam strategi meningkatkan
kesadaran PNS pria tentang ide dan alat kontrasepsi Keluarga Berencana (KB).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai