PENDAHULUAN
data
sementara hasil Sensus Penduduk tahun 2010 pada bulan Oktober tahun 2010 merilis
jumlah total penduduk Indonesia mencapai 237,56 juta jiwa dengan tingkat laju
pertumbuhan penduduk sekitar 1,49 persen atau bertambah 32,46 juta jiwa sejak
tahun 2000. Secara hitungan kasar, artinya setiap hari lahir 10000 bayi di Indonesia
(BPS, 2010).
Tahun 2010 menunjukkan pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat cepat
yakni tercatat sekitar 3,2 juta per tahun atau setara dengan jumlah penduduk negara
Singapura, dengan permisalan di Indonesia terbentuk satu negara Singapura setiap
jumlah
penduduk di Indonesia pada 2045 mencapai dua kali lipat dari jumlah sekarang,
menjadi sekitar 450 juta jiwa, hal ini berarti satu dari 20 penduduk dunia adalah
orang Indonesia. Angka ini melebihi jumlah penduduk Amerika (BKKBN Pusat,
2010). Bisa dibilang ledakan penduduk bukan lagi mitos, tetapi sudah menjadi
realitas mengerikan yang harus kita tanggung bersama sama.
Laju pertumbuhan penduduk ini dapat ditekan dengan adanya birth control.
Di Indonesia birth control ini dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB).
Program KB Nasional merupakan program pembangunan sosial dasar yang sangat
penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Dalam UndangUndang No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga sejahtera, disebutkan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan
peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran,
pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk
mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera (BKKBN, 2004).
Pada masa orde baru, program KB mulai menjadi perhatian pemerintah,
dimana pemerintahan orde baru yang menitikberatkan pada pembangunan ekonomi,
mulai menyadari bahwa program KB sangat berkaitan erat dengan pembangunan
ekonomi. Selama hampir 30 tahun program KB berjalan, dari tahun 1970-2000, baru
masyarakat Indonesia bisa menerima bahwa KB adalah kebutuhan, masyarakat mulai
sadar dan mengerti bahwa ternyata program KB untuk mengatur jarak kelahiran dan
jumlah anak.
Selama dari tahun 1970 hingga tahun 2000, TFR (Total Fertility Rate) atau
rata-rata
kemampuan
seorang
perempuan
melahirkan
bayi
selama
masa
reproduksinya sebesar 5,6, artinya pada tahun tersebut, rata-rata perempuan Indonesia
melahirkan bayi antara 5 hingga 6 orang bayi selama masa suburnya. Pada tahun
2000, TFR turun menjadi 2,8. Artinya di era 2000-an ini kemampuan seorang
perempuan ber reproduksi menghasilkan 2 hingga 3 orang anak selama masa
suburnya (Bertrand, 2007).
Program KB merupakan langkah tepat untuk mengatasi laju pertumbuhan
penduduk agar rakyat Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan
yang memadai serta memutus mata rantai kemiskinan. Kini keberhasilan Indonesia
dalam program KB mendapat tantangan cukup besar, mengingat saat ini indikator
kependudukan yang dulu signifikan sekarang stagnan. Program KB di Tanah Air
pada era reformasi tidak seintensif pada era Orde Baru (BKKBN, 2004).
Sejak sistem sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi, banyak kepala
daerah yang enggan mendukung program KB karena dianggap sebagai kegiatan
menghambur-hamburkan uang. Mereka lebih mengutamakan pembangunan fisik
yang hasilnya bisa langsung dirasakan. Pola pikir seperti itu merupakan cermin
kurangnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap peran KB.
KB adalah program jangka panjang karena dampaknya baru bisa dirasakan
beberapa dasawarsa kedepan. Program KB lebih dari sekadar upaya kuantitatif untuk
menurunkan angka kelahiran dan kematian. Peran Keluarga Berencana sebenarnya
Provinsi Sumut yang mencapai 3,5 dari proyeksi sebesar 4,2 yang ditentukan oleh
BKKBN Pusat (BKKBN Prov. Sumut, 2010).
Pada tahun 2010 akseptor KB Pria di Sumut MOP tercapai 2.088 akseptor
melebihi target nasional sebanyak 2000 akseptor, sedangkan kondom tidak mencapai
target nasional sebanyak 85000 akseptor dimana realisasi hanya sebanyak 80.042
akseptor (BKKBN Provinsi Sumut, 2010).
Kota Medan pada tahun 2009 akseptor KB pria tercapai 9.351 akseptor
sedangkan target nasional sebanyak 16.650 akseptor. Realisasi akseptor KB pria
tersebut di atas dengan rincian MOP sebanyak 450 akseptor dan kondom sebanyak
8.901 akseptor. Tahun 2010 akseptor KB pria di kota Medan meningkat signifikan
yaitu MOP sebanyak 513 akseptor dan kondom sebanyak 10.705 akseptor (BPPKB
Kota Medan).
Salah satu faktor yang memengaruhi upaya mensukseskan program KB pria
adalah sifat dan metodenya. Selain itu, inovasi yang harus diadopsi dalam KB pria
haruslah mempunyai banyak penyesuaian (daya adopsi) terhadap kondisi fisik, psikis,
sosial, ekonomi dan budaya.
Menurut
Notoatmodjo
(2003),
yang
mengutip
pendapat
Anderson,
Kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal yaitu sifat
inovasi, sifat adopter dan perilaku pengantar perubahan. Hasil penelitian yang
dilakukan Ekarini (2008), diketahui ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan terhadap partisipasi pria dalam ber-KB di Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali. Selanjutnya penelitian Simanjuntak (2008) menunjukkan bahwa
istri
Medan menunjukkan data akseptor KB pria aktif sampai tahun 2010 berjumlah
5 orang dengan perincian : MOP 1 orang, dan kondom 4 orang.
Survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2011 dengan
melakukan wawancara terhadap 10 orang PNS pria di BPPKB Kota Medan diketahui
beberapa permasalahan yang menyebabkan PNS pria tidak ikut serta dalam program
KB pria karena alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria dianggap kurang sesuai
dengan yang diharapkan, misalnya: (a) penggunaan kondom dirasakan mengurangi
kenyamanan, (b) Metode Operasi Pria (MOP) atau vasektomi dianggap cukup rumit
karena harus melalui proses operasi.
Berdasarkan alasan yang dinyatakan PNS pria di
diuji
cobakan
(trialability)
serta
kemampuan
untuk
diamati
(observability). Mengacu kepada teori Rogers (1983) yang telah disebutkan di atas,
maka inovasi program KB pria melalui penggunaan alat kontrasepsi kondom dan
MOP/vasektomi dapat berhasil apabila KB Pria tersebut memiliki keunggulan, dapat
diujicobakan, dapat diamati, kompatibel serta tidak rumit dalam pelaksanaannya.
Dari berbagai hasil penelitian dan laporan dari BPPKB Kota Medan tersebut
diperoleh suatu gambaran bahwa peran pria dalam mengikuti program KB belum
optimal, maka peneliti bermaksud meneliti tentang pengaruh kompatibilitas terhadap
keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah
penelitian adalah apakah ada pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide
dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana Kota Medan.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kompatibilitas terhadap
keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.