WP BI No.7-2015 Early Warning Indicator
WP BI No.7-2015 Early Warning Indicator
WORKING PAPER
Arlyana Abubakar
Rieska Indah Astuti
Rini Oktapiani
Desember, 2015
Abstrak
Key word
1Peneliti
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Beberapa episode krisis ekonomi dan keuangan memberikan pelajaran akan
yang
menyebutkan
bahwa
terdapat
interkoneksi
yang
tinggi
secara
nasional
adalah
fenomena
terjadinya
delisting
beberapa
terhadap perbankan yang tercermin dari peningkatan non performing loan (NPL)
perbankan, seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2009. Data historis
menunjukkan pada tahun 2006 terjadi peningkatan NPL perbankan sebesar 11,5%
(dari 61 triliun rupiah menjadi 68 triliun rupiah) dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada Maret 2009 terjadi peningkatan NPL sebesar 9,4%, yaitu dari 55,4 triliun
rupiah pada September 2008 menjadi 60,6 triliun rupiah. Berdasarkan fenomenafenomena di atas dan ketersediaan data, financial distress korporasi di Indonesia
diasumsikan terjadi pada awal tahun 2009.
1.2
1.
2.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
(1)
mengidentifikasi
sinyal
kerentanan
(vulnerabilities)
korporasi
dengan
1.4
Sistematika Penulisan
Organisasi penulisan ini adalah sebagai berikut. Bab I menjelaskan latar
yang digunakan untuk menentukan EWI korporasi. Hasil estimasi akan dibahas
pada Bab IV. Sebagai penutup, Bab V akan memaparkan simpulan dan area
pengembangan ke depan.
variabel
yang
signifikan
dalam
menentukan
financial
distress
Source of Risk
Domestic
Global
Risk
Identification
Area
Endogenous
Excessive Risk
Taking Behavior
Exogenous
Financial
Imbalances*
Time Series
Non Financial
Corporations
Other Depository
Corporations
General
Government
Interconnectedness
Procyclical
Other Financial
Corporations
Central Bank
Households
Non Financial
Corporations
Other Depository
Corporations
General
Government
Cross Section
Other Financial
Corporations
Central Bank
Households
Assessment or
Surveillance Area
Risk Profile
Analysis
Financial Distress
Indicators
Sensitivity Analysis
(Stress Testing)
Risk Profile
Analysis
Network
Analysis
Sensitivity Analysis
(Stress Testing)
Risk Signalling
* Ketidakseimbangan dalam Sistem Keuangan (Financial Imbalances) adalah suatu kondisi dengan indikasi peningkatan potensi Risiko Sistemik akibat dari perilaku yang berlebihan dari pelaku pada
Sistem Keuangan (Draft PDG Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia)
ekonomi
yang
terjadi
dipengaruhi
oleh
perlambatan
pertumbuhan ekspor sebagai dampak dari krisis keuangan global 2008, yaitu
terjadinya penurunan permintaan barang ekspor dari negara-negara importir.
Kondisi tersebut mempengaruhi pendapatan korporasi di Indonesia, terutama
korporasi yang berorientasi ekspor. Selain itu, depresiasi nilai tukar pada periode
2008 Q4 s.d. 2009 Q2 menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga
berdampak pada penurunan kinerja korporasi.
Secara
keseluruhan
meningkatnya
biaya
produksi,
berkurangnya
permintaan ekspor, dan melemahnya daya beli masyarakat sebagai dampak dari
perlambatan
ekonomi
dan
depresiasi
nilai
tukar
menyebabkan
korporasi
mengalami penurunan kinerja yang tercermin dari penurunan nilai return on asset
(ROA) dan return on equity (ROE) berturut-turut sebesar 0,71% dan 1,86% dari
periode sebelumnya. Grafik 2 menunjukkan perkembangan nilai tukar serta
perkembangan kinerja korporasi yang diproksikan oleh return on asset (ROA) dan
return on equity (ROE).
Sumber: Bloomberg
9,36
4,51
Sumber: LBU BI
10
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator untuk dapat
dikategorikan sebagai EWI dari financial distress korporasi di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Indikator dapat mendeteksi adanya imbalances pada korporasi kurang dari 1
tahun sebelum periode puncak distress, yaitu 2009 Q1.
2. Indikator yang digunakan dapat meminimumkan berbagai statistical error
ketika memprediksi distress event korporasi pada 2009 Q1.
Berikut
ini
merupakan
beberapa
tahapan
yang
digunakan
untuk
adalah
dengan
cara
menentukan
calon
indikator
yang
dapat
11
penjelasan dari kandidat indikator yang digunakan (Wiehle et al. (2005) dan
Jakubk & Tepl (2011)).
a. Liquidity Indicator
Indikator ini merepresentasikan kemampuan korporasi dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek ataupun kewajiban jangka panjang dengan aset yang
berjangka pendek. Semakin tinggi tingkat likuiditas korporasi, semakin rendah
potensi terjadi distress. Beberapa indikator yang termasuk ke dalam kelompok
liquidity indicator di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Current Ratio (CR)
Rasio ini merupakan ukuran short-term liquidity yang menggambarkan
perbandingan antara aset berjangka pendek dan kewajiban berjangka pendek.
Secara umum korporasi dengan kinerja, baik memiliki nilai current ratio lebih
besar maupun sama dengan 1. Sebuah korporasi yang memiliki nilai current
ratio lebih rendah dari 1 merepresentasikan bahwa nilai net working capital
yang dimiliki bernilai negatif sehingga korporasi tersebut akan menghadapi
financial distress. Nilai current ratio ditentukan dengan persamaan berikut.
Current Ratio
ini
merupakan
ukuran
dari
short-run
liquidity
yang
(+ )
Fokus utama dari rasio ini adalah nilai aset likuid (kas ditambah dengan
account receivable berjangka pendek) yang dimiliki oleh suatu korporasi.
Rendahnya nilai aset likuid suatu korporasi menandakan bahwa korporasi
tersebut akan menghadapi masalah likuiditas dalam jangka pendek. Selain itu,
rendahnya nilai aset likuid juga merepresentasikan besarnya nilai inventory
yang dimiliki korporasi yang secara umum hampir lebih dari 50% inventory
dibiayai oleh aset likuid. Besarnya nilai inventory yang dimiliki oleh suatu
korporasi merepresentasikan kepemilikan nilai aset ilikuid yang besar, hal
tersebut dapat menjadi sumber kerentanan bagi korporasi karena terekspos
oleh risiko likuiditas.
12
b. Solvency Indicator
Indikator
ini
menjelaskan
kemampuan
korporasi
untuk
memenuhi
kewajiban jangka panjang. Tingginya nilai debt ratio dan lamanya debt repayment
period akan menyebabkan tingginya potensi distress korporasi. Beberapa indikator
yang termasuk kelompok solvency indicator di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Debt to Equity Ratio (DER)
Rasio ini mengukur proporsi pembiyaan korporasi yang berasal dari
utang (debt) dan kepemilikan (equity) dalam struktur modalnya. Selain itu,
rasio ini juga merupakan ukuran dari financial leverage korporasi, yaitu
tingginya nilai leverage tanpa disertai dengan peningkatan profit yang
sustainable akan menyebabkan korporasi menghadapi financial distress.
2. Debt to Asset Ratio (DAR)
Rasio ini mengukur seberapa besar aset yang dimiliki oleh korporasi
mampu menutupi pembiayaan yang berasal dari kewajiban (debt), baik yang
berjangka pendek maupun yang berjangka penjang. Nilai DAR yang semakin
tinggi mengimplikasikan bahwa nilai aset yang dimiliki tidak mencukupi
untuk menutupi kewajiban sehingga perusahaan menghadapi masalah
solvabilitas.
3. Interest Coverage Ratio (ICR)
Rasio ini menggambarkan solvabilitas jangka panjang korporasi serta
mengukur tingkat efisiensi suatu korporasi dalam menutupi pengeluaran suku
bunga, baik yang berasal dari kewajiban jangka panjang maupun jangka
pendek. Secara matematis ICR dapat dihitung melalui persamaan berikut ini.
Interest Coverage Ratio (ICR) =
()
baik
yang
berjangka
pendek
maupun
berjangka
panjang.
nilai
solvability
ratio
mencerminkan
korporasi
menghadapi
13
( + )
, ,
()
Profitability Indicator
Indikator
keuntungan
ini
dengan
menjelaskan
menggunakan
bagaimana
korporasi
input
ada.
yang
memaksimalkan
Semakin
tinggi
nilai
x 100 =
( )
x 100
14
Rasio ini juga dapat digunakan untuk mengukur efisiensi korporasi atas
penjualan inventory. Semakin tinggi rasio ini menandakan semakin efisien
korporasi dalam mengelola inventory. Sebaliknya, rendahnya nilai rasio ini
menandakan
besarnya
nilai
inventory
yang
tidak
terjual
sehingga
Selain indikator di atas indikator lain yang dapat digunakan sebagai calon
EWI yang mewakili cash flow korporasi adalah capital expenditure to depreciation
and amortization ratio. Rasio ini membandingkan investasi pada fixed asset atau
15
capital expenditure dengan nilai depresiasi dan amortisasi pada periode berjalan.
Semakin tinggi rasio ini menandakan korporasi sedang mengalami ekspansi
karena kas yang digunakan lebih banyak digunakan untuk investasi baru
daripada untuk membiayai depresiasi dan amortisasi.
Lebih lanjut, EWI akan ditentukan untuk agregat ataupun sektoral.
Penentuan sektor disesuaikan dengan pengelompokan sektor usaha korporasi
pada Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu sebagai berikut.
1. Sektor Pertanian (JAKAGRI)
2. Sektor Industri Dasar dan Kimia (JAKBIND)
3. Sektor Industri Barang Konsumsi (JAKCONS)
4. Sektor Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi (JAKINFR)
5. Aneka Industri (JAKMIND)
6. Sektor Pertambangan (JAKMINE)
7. Properti dan Real Estate (JAKPROP)
8. Perdagangan, Jasa, dan Investasi (JAKTRAD)
jangka
panjang
dari
calon
indikator
dihitung
dengan
menggunakan dua metodologi, yaitu (i) one sided HP filter dengan smoothing
parameter () sebesar 1.600 karena data yang digunakan adalah data
triwulanan (Drehman, 2011) dan (ii) backward moving average (MA), baik
untuk 1, 2, maupun 3 tahun. Penggunaan MA sendiri difokuskan pada 3 year
backward MA karena lebih efektif dalam menggambarkan fluktuasi jangka
pendek (Ito et al., (2014) dalam Surjaningsih et al., (2014)). Penentuan
16
gap = ( )
3. Menghitung Standar Deviasi (Root Mean Square)
Dalam mengidentifikasi apakah suatu indikator memberikan sinyal
distress, hal yang perlu dilakukan adalah menganalisis pergerakan historis
indikator serta membandingkan dengan threshold tertentu. Untuk mengetahui
nilai threshold mana yang optimal dalam memberikan informasi mengenai
sinyal yang diberikan oleh indikator, dibuat beberapa level threshold. Level
threshold
tersebut
ditentukan
oleh
nilai
standar
deviasi
(root
mean
2
(RMS) = 1
=1( )
17
: > ( + k )
dalam
penelitian ini mengadopsi metode statistik yang digunakan oleh Ito et al. (2014)
untuk
mengevaluasi
financial
activity
index
(FAIX)
di
Jepang.
Dengan
18
+
,
+++
1()
,
+
2()
19
20
adalah
sektor
pertanian
(capital
expenditure
to
depreciation
&
21
visual
grafik-grafik
berikut
dapat
memberikan
gambaran
kemampuan setiap indikator dalam memberi sinyal sebelum terjadi distress event.
Garis vertikal merah mengindikasikan awal terjadinya distress, sedangkan daerah
yang diarsir merupakan periode yang diidentifikasi oleh tiap-tiap indikator sebagai
periode distress. Hal itu ditandai dengan nilai indikator yang melewati threshold
yang telah ditetapkan berdasarkan evaluasi statistik pada periode tersebut.
Grafik 1 menunjukkan bahwa secara agregat CR, QR, DER, DAR, SR, dan
DSR mampu memberi sinyal awal potensi distress dengan ketepatan prediksi di
atas lebih dari 80%. Di antara enam indikator tersebut, hanya DER yang mulai
memberikan sinyal di atas satu tahun sebelum distress, yaitu pada 2007 Q4. Data
posisi awal tahun 2015 menunjukkan bahwa kondisi keuangan korporasi berada
pada level yang aman sehingga diperkirakan dalam satu tahun ke depan kondisi
keuangan perusahaan akan berada dalam kondisi aman. Perbankan dapat terus
menyalurkan pinjaman ke sektor riel untuk menggerakkan perekonomian yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
22
indikator yang dapat menjadi EWI pada suatu sektor, tetapi tidak dapat memberi
sinyal distress untuk sektor lainnya. Hal itu dikarenakan karakteristik usaha
antarsektor yang berbeda-beda. Solvency indicator, seperti DER, DAR, DSR, dan
SR masih menjadi indikator yang dominan menjadi EWI pada berbagai sektor,
yaitu pertanian, industri dasar dan kimia, aneka industri, serta properti dan real
estate. Berbeda dengan sektor pertambangan, sinyal distress diberikan oleh
profitability indicators, yaitu ROA dan ROE; sedangkan sektor perdagangan, jasa,
dan investasi didominasi oleh activity indicators (inventory turnover dan asset
turnover) dan liquidity indicator (quick ratio). Secara umum, DER dapat menjadi
EWI yang dapat mewakili kondisi keuangan perusahaan secara agregat atau
sektoral. Namun, tetap diperlukan monitoring dan assessment terhadap indikatorindikator pelengkap lain, khususnya bagi sektor-sektor yang memiliki interkoneksi
tinggi dengan sektor keuangan.
23
24
analisis
pemilihan
EWI
dengan
menggunakan
keseluruhan
sampel.
Perbedaan nilai statistik yang berbeda secara signifikan antara pengujian out of
sample
(robustness
check)
dan
analisis
pemilihan
EWI
(all
sample)
25
26
27
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai
berikut.
(1) Hasil analisis noise to signal ratio (NSR) menunjukkan bahwa trend jangka
panjang yang diperoleh dengan metode one sided HP filter lebih baik dalam
memberikan sinyal terjadi distress apabila dibandingkan dengan moving
average.
(2) Evaluasi statistik terhadap beberapa kandidat EWI untuk corporate financial
distress menunjukkan bahwa beberapa indikator yang dapat memberikan
sinyal awal terjadinya distress atau kerentanan (vulnerabilities) pada sektor
korporasi nonfinansial secara agregat di antaranya adalah debt to equity ratio
(DER) sebagai leading indicator serta current ratio (CR), quick ratio (QR), debt to
asset ratio (DAR), solvability ratio (SR), dan debt service ratio (DSR) sebagai near
term indicator.
(3) Untuk sektoral terdapat empat leading indicator, yaitu (a) DER untuk sektor
pertanian, aneka industri, serta sektor properti dan real estate; (b) DSR untuk
sektor industri dasar dan kimia; (c) DAR untuk sektor aneka industri; serta (d)
Asset Turnover untuk sektor perdagangan, jasa, dan investasi.
(4) Terdapat beberapa sektor yang memiliki near term indicator, di antaranya ialah
(a) untuk sektor pertanian adalah capital expenditure to depreciation and
amortization; (b) untuk sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi adalah
interest coverage ratio, inventory turnover, dan asset turnover; (c) untuk aneka
industri adalah solvability ratio (SR); (d) untuk sektor pertambangan adalah
return on asset (ROA) dan return on equity (ROE); serta (e) untuk sektor
perdagangan, jasa, dan investasi adalah quick ratio (QR).
(5) Early warning indicator (EWI) yang telah diidentifikasi tersebut, baik secara
sektoral maupun agregat, dapat digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya
distress sektor korporasi. Dengan demikian, upaya mencegah peningkatan
risiko yang dapat mendorong terjadinya krisis keuangan dapat diantisipasi
sejak dini dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.
28
(6) Identifikasi kemampuan signalling EWI ini didasarkan pada perilaku data
historis sehingga tidak dapat menangkap perubahan perilaku pelaku ekonomi
kedepan. Oleh karena itu, penggunaan EWI ini tetap perlu dilengkapi
indikator-indikator lain.
menyempurnakan
hasil
analisis,
terdapat
beberapa
agenda
29
DAFTAR PUSTAKA
Allen, M., et. al., 2002, A Balance Sheet Approach to Financial Crisis, IMF
Working Paper, WP/02/210.
Altman, E. I. dan Hotchkiss, E., 2006, Corporate Financial Distress and
Bankcrupty 3rd Edition, John Wiley and Son, Inc., New York.
Andrade, G. dan Kaplan, S. N. , 1998, How Costly Is Financial (Not Economic)
Distress? Evidence from Highly Leveraged Transactions That Became
Distressed, The Journal of Finance, Vol. 53, No. 5. (Oct., 1998), pp. 14431493.
Asquith P., Gertner, R. dan Scharfstein, D., 1994, "Anatomy of Financial Distress:
An Examination of Junk-Bond Issuers, Quarterly Journal of Economics 109:
1189-1222.
Bhunia, A., Uddin Khan, S. I. dan Mukhuti, S., 2011, Prediction of Financial
Distress - A Case Study of Indian Companies, Asian Journal of Business
Management 3(3): 210-218.
Blancher, N., et. al., 2013, Systemic Risk Monitoring (SysMo) ToolkitA User
Guide, IMF Working Paper, WP/13/168.
Drehmann, M., et. al., 2010, Countercyclical capital buffers: exploring options,
BIS Working Papers, No 317.
Drehmann, M., Borio, C. dan Tsatsaronis, K., 2011, Anchoring countercyclical
capital buffers: the role of credit aggregates, BIS Working Papers, No 355.
Fitzpatrick, 2004, An Empirical Investigation of Dynamics of Financial Distress, A
Dissertation Doctor of Philosophy, Faculty of the Graduate School of the
State University of New York at Buffalo, USA.
Gapen, M. T., et. al., 2004, The Contingent Claims Approach to Corporate
Vulnerability Analysis: Estimating Default Risk and Economy-Wide Risk
Transfer, IMF Working Paper, WP/04/121.
Gray, D dan Malone, S.W., 2009, Macrofinancial Risk Analysis, John Wiley &
Sons, Inc., England.
Ishikawa, A., et. al., 2012, The Financial Activity Index, Bank of Japan Working
Paper Series, No.12-E-4.
Ito, Y., et. al., 2014, New Financial Activity Indexes: Early Warning System for
Financial Imbalances in Japan, Bank of Japan Working Paper Series, No.14E-7.
Jakubk, P. dan Tepl, P., 2011, The JT Index as an Indicator of Financial Stability
of Corporate Sector, Prague Economic Papers, 2, 2011.
Kajian Stabilitas Keuangan, 2009, Bank Indonesia, No. 12 Maret 2009.
Luciana Spica Almilia, 2004, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi
Financial Distress suatu Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta,
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 7. No. 1: 1-22.
Platt, H., dan Platt, M. B., 2002, "Predicting Financial Distress, Journal of
Financial Service Professionals, 56: 12-15.
30
31
LAMPIRAN
32