Anda di halaman 1dari 2

Menurut penelitian yang dilakukan WHO tentang pola formasi keluarga dan kesehatan,

ditemukan kejadian prolapsus uteri lebih tinggi pada wanita yang mempunyai anak lebih dari
tujuh daripada wanita yang mempunyai satu atau dua anak. Prolapsus uteri lebih berpengaruh
pada perempuan di negara-negara berkembang yang perkawinan dan kelahiran anaknya dimulai
pada usia muda dan saat fertilitasnya masih tinggi. Peneliti WHO menemukan bahwa laporan
kasus prolapsus uteri jumlahnya jauh lebih rendah daripada kasus-kasus yang dapat dideteksi
dalam pemeriksaan medik (Koblinsky M, 2001).
Frekuensi prolapsus genitalia di beberapa negara berlainan, seperti dilaporkan di klinik
dGynecologie et Obstetrique Geneva insidensinya 5,7%, dan pada periode yang sama di
Hamburg 5,4%, Roma 6,7%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang kejadiannya tinggi,
sedangkan pada orang Negro Amerika dan Indonesia kurang. Frekuensi prolapsus uteri di
Indonesia hanya 1,5% dan lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua 2
dan wanita dengan pekerja berat. Dari 5.372 kasus ginekologik di Rumah Sakit Dr. Pirngadi di
Medan diperoleh 63 kasus prolapsus uteri terbanyak pada grande multipara dalam masa
menopause dan pada wanita petani, dari 63 kasus tersebut 69% berumur diatas 40 tahun. Jarang
sekali prolapsus uteri dapat ditemukan pada seorang nullipara (Winkjosastro, 2005).
Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan turun dan
peranankan terbalik. Dewasa ini penentuan letak alat genital bertambah penting artinya bukan
saja untuk menangani keluhan-keluhan yang ditimbulkan olehnya, namun juga oleh karena
diagnosis letak yang tepat perlu sekali guna menyelenggarakan berbagai tindakan pada uterus.
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007 (SDKI 2007), usia
harapan hidup wanita di dunia dan Indonesia pada khususnya terus meningkat. Untuk itu,
diperlukan adanya usaha untuk menjaga kualitas hidup wanita yang dapat menurun akibat
morbiditas jangka panjang yang disebabkan oleh persalinan. Selain menyebabkan
ketidaknyamanan, POP juga memberikan dampak negatif pada fungsi seksual, penampilan, dan
kualitas hidup. Karena alasan kualitas hidup, operasi POP menjadi salah satu indikasi yang
sering untuk operasi ginekologi.1,2 Namun penatalaksanaan konservatif dan perubahan gaya
hidup tetap memiliki peran pada penatalaksanaan POP derajat ringan, pasien yang masih ingin
memiliki anak, atau yang tidak menginginkan operasi.3 Selain pengobatan, upaya pencegahan
melalui pemahaman berbasis bukti terhadap faktor risiko terjadinya POP juga perlu
diprioritaskan. Untuk itu, diperlukan suatu panduan formal dalam bentuk konsensus dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan komprehensif berdasarkan bukti ilmiah yang ada yang
didukung oleh kesepakatan bersama untuk meningkatkan kualitas layanan penanganan POP4
POP terjadi pada hampir setengah dari seluruh wanita. Walaupun hampir setengah dari
wanita yang pernah melahirkan ditemukan memiliki POP melalui pemeriksaan fisik, namun
hanya 5-20% yang simtomatik. 1,5-7 . Prevalensi POP meningkat sekitar 40% tiap penambahan
1 dekade usia seorang wanita.8 Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia yang
lebih tua, yaitu, 28%-32,3% derajat 1, 35%-65,5% derajat 2, dan 2-6% derajat 3.

Anda mungkin juga menyukai