Anda di halaman 1dari 7

Juynboll menyatakan bahwa pertumbuhan hadits tampaknya dimulai dari

cerita-cerita tentang Nabi, puji-pujian terhadap Ali dan Abu Bakar, serta
tuntutan tentang halal-haram. Menurut Juynboll, hadits pada umumnya baru
muncul pada zaman tabiin dan atba al-tabiin. (GHA Juynboll, Muslim
Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early
Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, London, 1983, hh. 17 dan
22-24.
Meskipun telah banyak dikritik, teori dan metode Schacht masih saja diadopsi
dan dikembangkan oleh Gauthier Juynboll. Tidak hanya pendekatannya,
kesimpulan orientalis Belanda itu pun tidak jauh berbeda dengan apa yang
dikatakan Schacht. Menurut dia, bahwa suatu hadits dimuat dalam Kitab
Shahih Bukhari dan Muslim, misalnya, belum tentu berarti hadits itu otentik
dan punya landasan sejarah yang pasti (GHA Juynboll, Some Isnad Analytical
Methods Illustrated on the Basis of Several Woman-Demeaning Sayings from
Hadith Literature:, dalam Jurnal al-Qantara 10. (1989), 343.
Juynboll menuduh perawi yang dinamakan common link sebagai orang
yang pertama kali memalsukan suatu hadits; bahwa hadits yang diriwayatkan
olehnya sebenarnya bukan berasal dari Nabi saw., akan tetapi adalah
perkataannya sendiri atau perkataan orang lain yang disandarkan kepada Nabi
saw. (Juynboll, some Isnad-Analytical Methods 353-4; cf. Schacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence, 171-2 atau Lihat Syamsuddin Arif,
Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hal.
35)
Juynboll meragukan historitas isnad. Baginya, rangkaian isnad cannot be
maintained as a historically feasible chain of transmission. Differently put, it
requires an act of faith to consider it as guarantee of the historicity of what
the Prophet of Islam said or did. (GHA Juynboll, Nafi, the mawla of Ibn
Umar, and his Position in Muslim Hadith Literature, dalam Jurnal der Islam
70 (1993), 241. atau Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme
Pemikiran, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hal. 35)
Juynboll merasa serba salah (serba ragu?) dan mengatakan bahwa sulit untuk
mempercayai kebenaran dan historitas hadits, namun juga menyatakan bahwa
secara keseluruhan hadits-hadits itu menggambarkan situasi sejarah yang
boleh dikata cukup bisa dipercaya (I realize that it is difficult to accept that
all those early reports are to be considered historically true, or that the
details in each one of them should be taken as factually correct. But I
maintain that, taken as a whole, they all converge on a description of the
situation obtaining in the period of history under scrutiny which may be

defined as pretty reliable {Juynboll, Muslim Tradition, 6}). Artinya, di satu


sisi ia mendustakan, dan di lain sisi ia membenarkan. (Syamsuddin43)

Studi hadis di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893)
yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian
diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama.
Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher
menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik
hadis terpenting pada abad kesembilan belas. Ia menolak hadis sebagai
sumber informasi pada masa nabi Muhammad, melainkan hanya sumber
berharga untuk mengetahui peta konflik dan informasi generasi yang datang
kemudian. Goldziher diikuti oleh L. Caetani, Henri Lammens, John
Wonsbrough, Patricia Crone dan Michael Cook. Dalam kesarjanaan Islam di
Barat buku dan tesis Goldziher, yang terbit pada tahun 1890, tidak mengalami
revisi signifikan sampai Joseph Schacht menerbitkan bukunya The Origins of
Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950. Ia membahas secara khusus
hadis hukum dan perkembangannya. Tesisnya adalah bahwa isnad cenderung
membesar, jumlah perawi semakin membengkak pada generasi belakangan
(proliferation of isnad) dan mundur kebelakang, perawi cendrung
menyandarkan riwayatnya kepada generasi sebelumnya (projection back).
Teori common link nya mempengaruhi sarjana yang datang sesudahnya.
Seperti Goldziher, ia berpendapat bahwa sangat sedikit, kalaupun ada, hadis
yang berasal dari nabi. Namun demikian, ia percaya bahwa dengan studi
mendalam dan kritis kita bisa sampai pada kesimpulan tentang kapan sebuah
hadis tertentu diedarkan. Metode Schacht diadopsi oleh Joseph van Ess dan
dikembangkan dalam skala besar oleh G. H. A. Juynboll.
(http://islamlib.com/id/artikel/diskursus-hadis-di-jerman/ )

Juynboll menyatakan bahwa pertumbuhan hadis tampaknya dimulai


dari cerita-cerita tentang Nabi, puji-pujian terhadap Ali dan Abu Bakar, serta
tuntutan tentang halal-haram. Menurut Juynboll, hadis pada umumnya baru
muncul pada zaman tabiin dan atba al-tabiin. (GHA Juynboll, Muslim
Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early
Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, London, 1983, hh. 17 dan
22-24.
Juynboll meragukan historitas isnad. Baginya, rangkaian isnad cannot
be maintained as a historically feasible chain of transmission. Differently
put, it requires an act of faith to consider it as guarantee of the historicity of
what the Prophet of Islam said or did. (GHA Juynboll, Nafi, the mawla of
Ibn Umar, and his Position in Muslim Hadith Literature, dalam Jurnal der
Islam 70 (1993), 241. atau Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme
Pemikiran, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hal. 35)
Teori Common Link yang digagas oleh Juynboll adalah teori yang
semata-mata untuk mematahkan teori yang telah digagas oleh ulama-ulama
terdahulu dalam mengkritisi sebuah hadis, seolah-oleh menurutnya bahwa
teori yang telah dibangun tersebut masih menimbulkan kontroversi jika
digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadis kepada Nabi .
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr Ali Masrur sebenarnya Juynboll tidak
mempersoalkan adanya kemungkinan bahwa materi hadis yang terdapat dalam
koleksi kanonik dan non kanonik merupakan representasi dari perbuatan dan
perkataan Nabi. Adapun yang dipersoalkan oleh Juynboll adalah apakah
metode yang dimiliki oleh para ahli hadis benar-benar sebuah metode yang
memberikan kepastian tentang sejarah periwayatan hadis atau tidak .
Hal yang sangat mendasar dari titik penilitian yang dilakukan oleh
juynboll adalah dia tidak melihat hanya sebatas kredibilitas atau ketsiqahan

seorang perawi akan tetapi yang dia lihat juga adalah sisi kuantitas dari
sebuah sanad. Apakah memiliki aspek kesejaharaan atau tidak. Kesimpulan
akhirnya adalah dia akan menolak semua hadis-hadis ahad walaupun di
dalamnya terdapat seorang yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi.
Kenaifan yang serupa dalam menyerang Hadis juga dilakukan oleh
Joseph

Schacht.

Dalam

bukunya,

The

Origins

of

Muhammadan

Jurisprudence, Schacht mengklaim bahwa sanad lengkap (yang berujung ke


Rasulullah saw) adalah ciptaan/tambahan para fuqh' di era Tabi'in dan
setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya
sebagai hadis nabawi. Ia mengatakan, In the course of polemical discussion,
doctrines are frequently projected back to higher authorities: traditions from
Successors become traditions

from

Companion, and traditions

from

Companions become tradition from the Prophet. Schacht menyebut modus


asumtifnya ini sebagai Backward Projection. Dan baginya, tokoh pembuat
sanad itulah yang kemudian menyebarkan secara luas hadis baru itu ke
generasi berikutnya, sehingga ialah yang nantinya menjadi poros sanad
(common link / madru 'l-isnd) ketika jalur-jalur periwayatan hadis tersebut
dibagankan. Setelah tokoh tersebut, jalur periwayatan hadis menjadi
bercabang banyak. Sementara dari tokoh tersebut ke belakang, jalur
periwayatannya adalah tunggal. Dan tokoh common link itulah yang kemudian
dituduh oleh Schacht sebagai pembuat sanad dan matan hadis.
Mengamini Schacht, Juynboll mengklaim bahwa orang yang paling
bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadis adalah periwayat poros
(common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah
yang menurut Juynboll merupakan originator dan fabricator (baca: pemalsu)
dari hadis yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadis itu
telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara
tunggal di era Shahabat atau Tabi'in, lalu baru menyebar setelah Common

Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah
yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadis tersebut dengan
menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw. Bagi
Juynboll, the saying which he claim was uttered by the prophet is in reality
his own, or (if somebody else's) he was the first put it into so many word .
Kalau Ibnu Qutaibah membantah dan mengkritik kajian hadist
Mu`tazilah pada zamanya, maka Prof. Muhammad Musthafa al-Azami
mengkritik methodology kajian oreintalis hari ini. Beliau mengkritik
methodology dan epistemology yang digunkan oreintalis khususnya karya
Joseph Schacht dalam mengakaji hadist. Beliau melihat kekeliruan dan
kesesatan Schacht dalam karayanya itu disebabkan oleh lima perkara. (1)
sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunkan sumber
rujukan, (2) Bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan methodology yang
tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, (4)
ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, (5) salah
faham dengan istilah-istilah yangdigunakan oleh ulama-ualama Islam.
Kerapuhan methodology ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena Schacht dan
orang semacam dia memang berangkat dari niat buruk untuk merobohkan
pilar-pilar Islam. Sebab itu musthafa as-Siba`i telah lama mewanti-wanti agar
generasi muda Islam mempelajari Islam dari ulama-ulama Muslim kita
sendiri.
Juynboll menuduh perawi yang dinamakan common link sebagai
orang yang pertama kali memalsukan suatu hadis; bahwa hadis yang
diriwayatkan olehnya sebenarnya bukan berasal dari Nabi saw., akan tetapi
adalah perkataannya sendiri atau perkataan orang lain yang disandarkan
kepada Nabi saw. (Juynboll, some Isnad-Analytical Methods 353-4; cf.
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 171-2 atau Lihat

Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet. 1, Jakarta: Gema


Insani, 2008, hal. 35)
adalah teori yang semata-mata untuk mematahkan teori yang telah
digagas oleh ulama-ulama terdahulu dalam mengkritisi sebuah hadis, seolaholeh

menurutnya

bahwa

teori

yang

telah

dibangun

tersebut

masih

menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan


penisbatan hadis kepada Nabi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr Ali
Masrur sebenarnya Juynboll tidak mempersoalkan adanya kemungkinan
bahwa materi hadis yang terdapat dalam koleksi kanonik dan non kanonik
merupakan representasi dari perbuatan dan perkataan Nabi. Adapun yang
dipersoalkan oleh Juynboll adalah apakah metode yang dimiliki oleh para ahli
hadis benar-benar sebuah metode yang memberikan kepastian tentang sejarah
periwayatan hadis atau tidak.
Demikianlah, di samping gagal menggugurkan validitas hadis shahih
dari kajian matan, teori-teori baru ciptaan beberapa pemerhati Hadis dari
kalangan Orientalis ternyata juga gagal menggugurkan otentisitas hadis
shahih secara sanad. Bahkan lebih dari itu, genus kajian dari teori-teori yang
dianggap 'baru' tersebut tenyata sama sekali bukanlah sesuatu yang asing di
kalangan ulama kritikus hadis. Dengan segala kecermatan dan reliabilitasnya,
metodologi yang diterapkan oleh para ulama senior tersebut telah melejit jauh
melampaui ide-ide Schacht dan Juynboll. Satu-satunya yang baru bagi teori
orientalis ini adalah asumsi a priori bahwa setiap periwayat common link
merupakan sosok pembual yang tidak jujur. Tapi tentu saja, asumsi subyektif
tanpa dasar ini tidaklah mampu berbicara di arena kajian ilmiah, apalagi
menumbangkan metode Ilmu Hadis yang kemapanan epistimologis dan
reliabilitas aplikatifnya sudah sedemikian kokoh dan akurat. Wallhu 'lmuwaffiq!

(http://nidlol.multiply.com/journal/item/19/Teori_Common_Link_Juynboll )
Demikian canggihnya metode kritik riwayat yang dipakai oleh para
ulama Hadis, membuat kalangan Orientalis tidak lagi bisa menemukan celah
untuk menggugurkan kekokohanya secara ilmiah. Akhirnya lontaran-lontaran
negatif yang kemudian kita jumpai dalam kajian-kajian para pemerhati hadis
di kalangan Orientalis ini adalah lontaran-lontaran yang hambar, tidak
mengusung hal baru yang signifikan, atau hanya berisi pengajuan teori-teori
yang dibasiskan pada asumsi-asumsi sophis dan reduktif.

Anda mungkin juga menyukai