Anda di halaman 1dari 7

1.

Jelaskan proses terjadinya udema serebri dan indikasi hiperventilasi pada pasien
trauma kapitis ?
Jawab

:
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap

jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,
sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak
kearah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur
kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.
Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah.
Respon awal otak yang mengalami cedera adalah swelling. Memar pada
otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut,
menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak
sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka swelling
dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan
menurunkan aliran darah ke otak, karena tidak segera tertangani dalam waktu 24 jam
hingga 48 jam terjadi akumulasi cairan di dalam jaringan otak sehingga meningkatkan
volume otak atau yang bisa di sebut UDEMA CEREBRI
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi

dan

bengkak

otak,

sedangkan

penurunan

kadar

CO2 (HIPERVENTILASI) menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada


saat lampau, diperkirakan bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi)
pada penderita cedera kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran
darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan

peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan
aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak
yang mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi

atau

hipoksia

meningkatkan

angka

kematian

dengan

mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit
dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi
profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan
2. Jelaskan manajemen penatalaksanaan trauma kapitis ?
Jawab

PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS


A. Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status
fungsi vital dan status kesadaran. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan
mendahului anamnesis. Status fungsi vital Seperti halnya dengan kasus
kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah:
1. Jalan nafas (airway)
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang
umumnya sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi
karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau
akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan
trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher.
2. Pernafasan (breathing)

Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil


analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO 2.
Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang
menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau
terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.
3. Nadi dan tekanan darah ((circulation)
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock,
terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala
awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematoma epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk
bahwa telah terjadi kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu
tampak jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala
karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam timbulnya
edema dan iskemia otak.

B. Status Kesadaran
Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan
fungsi pupil (lateralisasi dan refleks pupil).
Cedera Kepala Ringan

Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15).

Pengelolaan:
1.

Riwayat: Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, mekanisme cedera,


waktu cedera, tidak sadar segera setelah cedera, amnesia (retrograde,
antegrade), nyeri kepala (ringan, sedang, berat).

2.

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

3.

Pemeriksaan neurologis terbatas

4.

Radiografi tengkorak

5.

Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi

6.

Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik

7.

Pemeriksaan CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama


dari kriteria rawat.

Kriteria Rawat:
1.

Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2.

Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3.

Penurunan tingkat kesadaran

4.

Nyeri kepala sedang hingga berat

5.

Intoksikasi alkohol atau obat

6.

Fraktura tengkorak

7.

Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8.

Cedera penyerta yang jelas

9.

Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Dipulangkan dari UGD:


1.

Tidak memenuhi kriteria rawat

2.

Beritahukan untuk kembali ke rumah sakit bila timbul masalah dan


jelaskan tentang 'lembar observasi

3.

Jadwalkan untuk kontrol ulang dalam 1 minggu

Cedera Kepala Sedang

Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan (konfusi) atau


mengantuk (somnolen) namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan:
1.

Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah


sederhana.

2.

CT scan kepala pada semua kasus

3.

Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat:
1.

Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).

2.

CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis atau penderita akan pulang.

3.

Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat .

Bila kondisi membaik (90%):


1.

Pulang bila memungkinkan

2.

Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila


perlu 1 tahun setelah cedera.

Bila kondisi memburuk (10%):


Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulangan dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.
Walau pasien ini masih mampu menuruti perintah sederhana, mereka
dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti
halnya terhadap pasien

cedera

kepala

berat, walau mungkin

dengan

kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.


Saat masuk UGD,
kardiopulmonal

lakukan anamnesis singkat dan stabilisasi

sebelum pemeriksaan neurologis. Tes darah termasuk

pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk bank
darah. Film tulang belakang leher diambil, CT scan umumnya diindikasikan.
Pasien dirawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal.
Cedera Kepala Berat

Definisi: Penderita tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana


karena gangguan kesadaran (GCS 3-8).

Pengelolaan:
1.

ABCDE

2.

Primary survey dan resusitasi

3.

Secondary survey dan riwayat AMPLE

4.

Reevaluasi neurologis: GCS


Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal

Reaksi cahaya pupil


5.

Obat-obat Terapeutik:
Mannitol
Hiperventilasi sedang (PCO2<35 mmHg)
Antikonvulsan

6.

Tes Diagnostik (sesuai urutan)


CT scan
Ventrikulografi udara
Angiogram

C. Pemeriksaan tambahan
Peranan foto rontgen cranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto
rontgen cranium dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum.
Foto rontgen cranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada
keadaan:
w Defisit neurologis fokal
w Liquorrhoe
w Dugaan trauma tembus/fraktur impresi
w Hematoma luas di daerah kepala
Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT-scan kepala,
di mana prosedurnya sedehana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. CT-scan
kepala dapat dilakukan pada keadaan:
o Dugaan perdarahan intracranial
o Perburukan kesadaran
o Dugaan fraktur basis cranii
o Kejang

Tugas :

TRAUMA KAPITIS

OLEH :
NAMA

: NANI APRILIANTI MURAMA

NIM

: P201501340

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
KENDARI
2016

Anda mungkin juga menyukai