Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II ILUSTRASI KASUS.............................................................................................2
BAB III DISKUSI..............................................................................................................6
BAB IV KESIMPULAN..................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................19
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 EKG di IGD RSUP Dr. M. Djamil..............................................3
Gambar 2 Rontgen Thorak.....................................................................4
Gambar 3 Hasil Ekokardiogram..............................................................5
Gambar 4 Pendekatan Skematik HCM 3..................................................7
Gambar 5 Mekanisme Disfungsi Diastolik pada Pasien HCM 5................8
Gambar 6 Protokol Pendekatan dan Terapi LVOTO 3.............................11
Gambar 7 Algoritma Terapi HCM 1........................................................12
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jenis-jenis Murmur 6...........................................................................9
Tabel 2 Indikasi Alkohol Septal Ablasi 8...........................................................15
Tabel 3 ESC Guidelines Rekomendasi Terapi Reduksi Septal 3..............................16
BAB I
PENDAHULUAN
Hyperthrophy Obstructive Cardiomyopathy (HOCM) merupakan penyakit
miokardium primer yang disebabkan oleh mutasi genetic. HOCM merupakan istilah yang
terkenal pada tahun 1960-1970, tetapi berpotensi membingungkan berdasarkan
kesimpulan bahwa left ventricular outflow tract (LVOT) merupakan komponen yang
wajib terlibat pada penyakit ini. Pada kenyataannya, didapatkan sepertiga pasien dengan
penyakit ini tidak terdapat obstruksi LVOT baik pada istirahat maupun pada saat
provokasi fisiologis. Meskipun istilah HOCM masih sering digunakan secara informal,
tetapi sekarang isti;ah HOCM jarang ditemukan pada literature, sedangkan hypertrophy
cardiomyopathy (HCM) yang mulai digunakan pada tahun 1979, memperkenankan
penggunaannya baik pada bentuk obstruktif maupun non-obstruktif hemodinamik dan
menjadi istilah yang sering digunakan secara umum. 1
Secara klinis, HCM/HOCM merupakan suatu penyakit yang dikarakteristikan
dengan hipertrofi LV yang tidak bisa dijelaskan tanpa ada dilatasi ruang jantung dan
penyakit jantung ataupun penyakit sistemik lainnya. HCM biasanya mempunyai
ketebalan dinding LV 15 mm. 1,2
HCM/HOCM merupakan penyakit global, dengan studi epidemiologi dari
beberapa bagian di dunia melaporkan bahwa prevalensi serupa dari LV hipertrofi, dengan
inti fenotip HCM sekitar 0,2% ( 1:500) pada populasi umum, dimana ekuivalen dengan
setidaknya 600.000 orang di Amerika Serikat yang terkena HCM. 1,2
Tujuan presentasi kasus ini adalah memaparkan diagnosis dan tatalaksana
Hypertrophy Cardiomyopathy.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang pasien laki-laki 18 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
rujukan dari Internis RSUD Arosuka dengan Congestive Heart Failure. Pasien sudah
dirawat di RSUD Arosuka selama lebih kurang 1 minggu.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas meningkat sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan meningkat ketika beraktifitas sedang hingga
berat, berkurang ketika beristirahat, sesak nafas tidak menciut, tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan makanan. Pasien merasakan keluhan sesak sejak tahun 2009 dan menyangkal
mempunyai riwayat bibir dan ujung-ujung jari kaki dan tangan membiru pada waktu
kecil. Pasien memiliki riwayat paroxysmal nocturnal dyspnoe, orthopnoe dan dyspnoe on
effort, tetapi tidak ada sembab di kaki. Keluhan disertai nyeri dada ketika beraktifitas
berat dan berkurang dengan istirahat. Riwayat berdebar-debar, pusing dan pingsan
disangkal, tetapi pasien sering merasakan pandangan menjadi gelap (black out) selama
lebih kurang 5-10 detik ketika beraktifitas berat. Riwayat keluarga yang menderita
penyakit jantung, adanya kematian mendadak, stroke usia muda, diabetes, pemakaian
pacemaker dan defibrillator disangkal. Sebelumnya pasien sudah berobat ke poliklinik
Jantung dan telah dilakukan ekokardiografi dengan hasil Hypertrophy Obstructive
Cardiomyopathy dan direncanakan untuk alcohol septal ablasi.
Di IGD didapatkan kesadaran composmentis dengan keadaan umum tampak sakit
sedang, tekanan darah 106/67 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit dan regular, frekuensi
nafas 24x permenit dan suhu 36,8 oC. Jugular venous pressure didapatkan 5+2 cmH2O.
Konjungtiva terlihat tidak anemis dan sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan jantung
didapatkan iktus jantung tidak terlihat, iktus jantung teraba 1 jari lateral LMCS di RIC
VI. Perkusi jantung tidak dilakukan. Pada auskultasi ditemukan S1 dan S2 reguler,
didapatkan ejeksi sistolik murmur di apex menjalar ke RIC II kanan dan gallop tidak
ditemukan. Pemeriksaan paru ditemukan suara nafas vesikuler, tidak ada rhonki dan
wheezing. Pada pemeriksaan abdomen hepar dan lien tidak teraba. Ekstremitas hangat
dan tidak terdapat edema pada tungkai.
EKG di IGD menunjukkan irama sinus dengan QRS rate 94 kali permenit, axis
deviasi ke kiri dengan gelombang P normal dan interval PR 0,12, durasi QRS 0,06,
inversi gelombang T pada I, aVL, V4-V6, LVH (+), RVH (-).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar hemoglobin 17,4 mg/dl, leukosit
9000/mm3, hematokrit 50%, trombosit 302.000/ mm 3, gula darah sewaktu 84 mg/dl,
ureum 38 mg/dl, kreatinin 1,1 mg/dl dengan creatinin clearance total (CCT) 77
ml/menit/1,73 m2. Elektrolit natrium 136 mmol/L, kalium 3,9 mmol/L,
clorida 107 mmol/L.
Dilakukan
pemeriksaan
rontgen
thorax,
didapatkan
Cardio
didiagnosis
dengan
Hypertrophy
Obstructive
dan
spironolakton
1x25
mg.
Pasien
selanjutya
dilakukan
(+), AR mild ec penebalan NCC dan RCC, fungsi sistolik global LV baik dengan EF
75%, global normokinetik, fungsi diastolik LV baik, katup lain baik dan kontraktilitas RV
baik.
Rawatan hari III dan IV, kondisi pasien stabil, sesak hanya dikeluhkan ketika
beraktifitas sedang-berat. Hemodinamik pasien masih terkontrol dengan tekanan darah
105/62, denyut nadi 70 kali permenit dan pernafasan 22 kali permenit. Pasien
direncanakan pulang dan dianjurkan dirujuk ke RS Harapan Kita Jakarta untuk dilakukan
alkohol septal ablasi.
BAB III
DISKUSI
Seorang laki-laki berusia 18 tahun didiagnosa dengan Hypertrophy Obstructive
Cardiomyopathy (HCM). Diagnosa ini diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Menurut AHA, HCM merupakan penyakit yang dikarakteristikan dengan adanya
hipertrofi dari LV yang tidak dapat dijelaskan, dengan tidak adanya pelebaran ruang
ventrikel serta kondisi jantung atau sistemik lain yang dapat mengakibatkan hipertrofi
dari LV tersebut. Secara klinis, HCM dikenali dengan penebalan dinding LV 15 mm,
dimana ketebalan 13-14 dianggap sebagai borderline.1,3 HCM dikenal sebagai penyakit
jantung genetik yang paling sering ditemukan, dengan populasi 0,2% (1 dari 500) dari
populasi umum.4 Diagnosis HCM ditegakan berdasarkan ditemukannya peningkatan
ketebalan dinding LV melalui berbagai modalitas pencitraan. Fenotip dari penyakit yang
dapat ditemui termasuk fibrosis miokardial, abnormalitas morfologis dari katup mitral,
abnormalitas fungsi dari mikrosirkulasi koroner, dan temuan abnormalitas pada EKG.3
Karena adanya berbagai etiologi dari penyakit ini, pendeteksian penebalan
dinding LV yang tidak dapat dijelaskan pada kondisi pengisian jantung harus dilakukan
pencarian sistemik terhadap penyebab yang mendasarinya. Pada banyak kasus, harus
dilakukan test labor spesifik terhadap penyakit sistemik dan analisis genetik pada
keadaan tertentu. 3
Pasien pada kasus ini mengeluhkan adanya sesak nafas yang meningkat pada
aktivitas terutama sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, dimana gejala ini juga
sudah dirasakan sejak sekitar 7 tahun yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan
nyeri dada dan pandangan gelap ketika beraktifitas berat. Pasien juga mempunyai riwayat
paroxysmal nocturnal dyspnoe dan orthopnoe. Tanda-tanda sesuai dengan keadaan diatas,
dimana merupakan gejala klinis dari Hyperthropy Obstructive Cardiomyopathy (HCM)
dimana dihubungkan dengan adanya gejala akibat adanya obstruksi dinamik dari LVOT,
tanda kongesti pulmonal dan adanya peningkatan kebutuhan dan pengurangan suplai
darah ke koroner.
Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri dada pada saat istirahat ataupun saat
beraktivitas. Nyeri dada juga dapat diakibatkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan,
ataupun konsumni alkohol.3 Penyebab dari nyeri dada termasuk iskemik miokard akibat
disfungsi mikrovaskular, peningkatan tekanan pada dinding LV dan LVOTO. Kelainan
kongenital arteri koroner mungkin juga dapat mengakibatkan nyeri dada. Pasien dengan
angina tipikal pada saat beraktivitas harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan invasif
atau menggunakan angiografi CT terutama sesuai dengan gejala, usia, gender dan faktor
risiko aterosklerosis.3
Pencarian riwayat penyakit keluarga tiga hingga empat generasi dapat
mengkonfirmasi penyebab genetic dari penyakit dan mengetahui risiko pada anggota
keluarga terkait perkembangan penyakit. Kebanyakan pola penurunan penyakit ini adalah
autosomal dominan, dimana dikarakteristikkan dengan adanya individu yang terkena
pada setiap generasinya. Penurunan terkait kromosom X harus dicurigai jika kebanyakan
anggota keluarga yang terkena adalah laki-laki.3
Pada pasien ini juga seharusnya kita tanyakan secara spesifik apakah terdapat
riwayat keluarga seperti disebutkan diatas, tidak hanya pada satu generasi, tetapi tiga
hingga empat generasi. Hal terkait yang harus ditanyakan terkait riwayat keluarga adalah
adanya kematian mendadak, gagal jantung yang tidak dapat dijelaskan, transplantasi
jantung, pemakaian pacemaker dan implant defibrillator, dan bukti penyakit sistemik
(stroke pada usia muda, kelemahan otot rangka, disfungsi ginjal, diabetes, dsb). 3
Beberapa pasien mengeluhkan gejala seperti angina, dyspnea, palpitasi dan
sinkop. Pemeriksaan kardiovaskuler sering ditemukan normal, tetapi pada pasien dengan
dapat menunjukkan gambaran EKG normal.3 Gambaran yang dapat terlihat adalah
kriteria voltage untuk LVH, inversi gelombang T dan gelombang Q. Hal ini sesuai dengan
temuan EKG pada pasien di IGD, dimana didapatkan adanya irama sinus dengan QRS
rate 94 kali permenit, axis deviasi ke kiri dengan gelombang P normal dan interval PR
0,12, durasi QRS 0,06, inversi gelombang T pada I, aVL, V4-V6, LVH (+), RVH
HCM didefinisikan dengan ketebalan dinding LV 15 mm pada satu atau
beberapa segmen miokardial LV, dimana penebalan ini diukur dengan berbagai teknik
pencitraan (ekokardiografi, cardiac magnetic resonance imaging, ataupun computed
tomography).5 Ekokardiogram merupakan pemeriksaan yang paling andal dalam
mengkonfirmasi diagnosis HCM dan memberikan informasi yang detail mengenai
distribusi dan keparahan dari HCM, kapasitas LV, penilaian fungsi sistolik dan diastolic
LV, LVOTO dan regurgitasi mitral. Kelainan genetic ataupun non-genetik dapat timbul
dengan tingkat ketebalan dinding LV yang lebih kecil (13-14 mm), dimana pada kasus
ini, diagnosis HCM membutuhkan evaluasi lebih lanjut termasuk riwayat keluarga, gejala
dan tanda non cardiac, kelainan EKG, test laboratorium dan imaging jantung
multimodular. Kesulitan diagnosis paling sering terjadi pada keadaan-keadaan berikut:
(1) Keadaan fase akhir dari penyakit dengan dilatasi dan/atau hipokinetik dari LV dan
penipisan dinding LV, (2) Hipertrofi fisiologis akibat latihan yang berat, (3) Pasien
dengan kondisi ko-existing patologis seperti hipertensi dan kelainan katup, (4) Keadaan
hipertrofi septum basal terisolasi pada orang-orang tua. 3
Pada pasien ini, hasil ekokardiografi menunjukkan hypertrophy cardiomyopathy
di LV dengan gradient maksimal 31 mmHg, IVSD 37, LVOT PG 21 mmHg, LVOT mid
PG 1 mmHg, LVOT Apex PG 2 mmHg, LVPW diastolik 15, LVPW sistolik 21, SAM (+),
Degger shape (+), kissing wall apical (+), AR mild ec penebalan NCC dan RCC, fungsi
sistolik global LV baik dengan EF 75%, global normokinetik, fungsi diastolik LV baik,
katup lain baik dan kontraktilitas RV baik. Dari hasil Ekokardiografi tersebut, diagnosis
HCM telah tepat dan dibutuhkan terapi yang sesuai untuk memperbaiki keadaan pasien.
Terapi dari HCM ditujukan pada obstruksi dari LVOT yang terjadi pada 30-50%
pasien. Beberapa pasien memiliki obstruksi labil, dimana hilang saat istirahat, tetapi
timbul saat terjadi perubahan preload, afterload dan kontraktilitas jantung. Obstruksi juga
dapat terjadi akibat beberapa jenis obat seperti vasodilator dan penggunaan diuretik,
ataupun pada keadaan terjadinya hipovolemia. Pada pasien lainnya, obstrusksi dapat
terjadi saat istirahat, dengan kekuatan yang tergantung dengan kondisi pengisian jantung.1
harus digunakan di rumah sakit, karena kematian mendadak dapat terjadi dimulai dari
pemberian obat dosis pertama. 6
Pemberian beta bloker bersamaan dengan verapamil ataupun beta bloker juga
harus mendapatkan perhatian khusus, karena berpotensi mengakibatkan atrioventrikular
blok derajat tinggi. 1 CCB kelas dihidropiridin (seperti nifedipin) tidak boleh digunakan
pada pasien dengan obstruksi fisiologis karena efek vasodilatasinya memperparah
obstruksi outflow. 1
Pada pasien ini, selain diberikan beta blocker, juga diberikan terapi injeksi
furosemide dan spironolakton 1x25 mg. Pemberian loop diuretik ataupun golongan
thiazid dosis rendah dapat digunakan dengan perhatian khusus untuk mengurangi gejala
dispnea terkait LVOTO, dan penting untuk mencegah terjadinya hipovolemik pada pasien
dengan terapi tersebut.3 Namun, pemberian spironolakton belum tepat diberikan pada
pasien ini karena spironolakton lebih berperan pada LVEF yang rendah (<40%)
sedangkan LVEF pada pasien ini masih tinggi dan pada HCM yang terjadi adalah
disfungsi diastolik.
Meskipun terapi medis memberikan hasil yang baik pada kebanyakan pasien,
beberapa subgroup membutuhkan terapi intervensi lebih lanjut. Jika gradient istirahat
besar dari 30 mmHg (atau gradient saat provokasi besar dari 50 mmHg) dan jika gejala
angina dan dyspnea menetap dan mengganggu aktivitas sehari-hari, dipertimbangkan
melakukan intervensi invasif. Intervensi ini baik berupa operasi myectomy septal, dualchamber pacing dan melakukan alkohol ablasi. 6 Terapi reduksi septal dilakukan dengan
pertimbangan jika pasien dengan keluhan berat, gejala yang tidak berkurang dengan
farmakoterapi, dan LVOT gradient pada saat istirahat dan diprovokasi minimal 50
mmHg.7
Meskipun tidak ada penelitian randomized trial yang secara langsung
membandingkan intervensi invasif tersebut, operasi myectomi septal dipercaya sebagai
gold standar terapi HCM simptomatik. Operasi yang berhasil akan mengakibatkan ablasi
komplit gradient dan regurgitasi mitral, sehingga mengakibatkan perbaikan gejala.
Banyak pasien mengalami perbaikan kapasitas latihan, dan hampir 90% bebas dari gejala
dyspnea, angina, sinkop setelah latihan.6
Metode invasive lainnya merupakan alkohol ablasi. Alkohol ablasi pertama kali
dilaporkan pada 1995, dimana dilakukan pemberian etanol transkoronari perkutaneus
untuk menginduksi infarksi local pada septum basal pada titik pertemuan dengan lipatan
katup mitral anterior, sehingga mengurangi gradient outflow tract dan regurgitasi mitral
sehingga menyerupai hasil dari pembedahan myectomy. Awalnya digunakan sebagai
alternatif dari myectomy septal, teknik ini sering berguna ketika pembedahan
dikontraindikasikan.7 Saat ini, alcohol septal ablasi sukses dilakukan pada banyak
pasien.1
Tabel 2 Indikasi Alkohol Septal Ablasi 8
terhadap aktivitas fisik dan konsumsi oksigen puncak yang akan membaik seiring dengan
perbaikan gejala. 9
Mortalitas awal (30 hari setelah prosedur) cukup rendah, dimana rata-rata
dilaporkan 1,5%, mirip dengan operasi myectomy. Penyebab dari mortalitas yang terjadi
termasuk diseksi Left Anterior Descending, fibrilasi ventrikel, tamponade jantung, syok
kardiogenik, emboli paru dan bradiaritmia. 8
Tabel 3 ESC Guidelines Rekomendasi Terapi Reduksi Septal 3
Komplikasi yang paling sering dari alkohol ablasi adalah AV blok komplit yang
membutuhkan implantasi pacemaker permanen. Hal ini terjadi karena lokasi anatomis
yang berdekatan dengan sistim konduksi. 8
Meskipun demikian, pada pasien dengan ketebalan LV yang ekstrem ( >30mm),
terapi operasi masih dianggap lebih baik dibandingkan alkohol ablasi. Operasi juga
dianjurkan pada kasus dimana diharapkan adanya pengurangan gejala secara cepat,
dimana metode alkohol ablasi dapat memakan waktu beberapa bulan untuk menunjukkan
efek sempurna. Selain itu, pasien dengan multivesel CAD, penyakit katup aorta ataupun
mitral merupakan kandidat yang baik untuk terapi secara operasi.10
Angka kematian secara keseluruhan pada pasien dengan HCM kurang dari 1%
setiap tahunnya. Pasien dengan risiko tinggi terjadinya kematian mendadak pada HCM
akibat adanya aritmia ventrikel. HCM merupakan penyebab kematian tiba-tiba paling
sering terjadi pada atlit muda. 1,6
Prognosis untuk pasien HCM sangatlah bervariasi, banyak individu yang
menderita HCM memiliki harapan hidup yang normal. Tiga hal yang berbeda (tapi
berpotensi saling terkait) untuk sekuelenya adalah sudden cardiac death, gagal jantung
terkait dengan LVOTO dinamik yang berkaitan dengan MR, dan AF yang terkait dengan
komplikasi tromboemboli. 7
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang laki-laki usia 18 tahun dengan diagnosis Hypertrophy
Cardimyopathy. Pasien mengeluhkan sesak nafas yang meningkat sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit ketika beraktifitas ringan. Keluhan sesak ini sudah dirasakan
sejak 2009 dengan gejala yang lebih ringan. Dari hasil ekokardiografi yang merupakan
standar baku pemeriksaan pada pasien ini didapatkan kesan hypertrophy cardiomyopathy
di LV dengan gradient maksimal 31 mmHg, AR mild ec penebalan NCC dan RCC, fungsi
sistolik global LV baik dengan EF 75%, global normokinetik, fungsi diastolik LV baik,
katup lain baik dan kontraktilitas RV baik.
Pada pasien ini diberikan terapi beta bloker untuk meringankan gejala dyspnea
saat aktivitas, palpitasi dan perasaan tidak nyaman pada dada, yang menggambarkan
mekanisme patofisiologis pada LVOTO, pengurangan suplai darah miokardial,
regurgitasi mitral, dan buruknya relaksasi LV pada fase diastolic karena sifat inotropik
negatifnya. Efek ini meningkatkan suplai kebutuhan oksigen miokard sehingga
mengurangi iskemik miokard dan penurunan detak jantung akibat beta bloker ini juga
DAFTAR PUSTAKA
1. AHA. 2011 ACCF/AHA Guideline for the Diagnosis and Treatment of Hypertrophic
Cardiomyopathy. Journal of the American College of Cardiology. 2011. p. e213-246.
2. Maron BJ. Hyperthrophic Cardiomyopathy. In Bonow RO, Mann DL, Zipes DP,
Libby P. Braunwald's Heart Disease. Ninth edition ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.
p. 1582-94.
3. ESC. ESC Guidelines on Diagnosis and Management
Cardiomyopathy. In European Health Journal; 2014. p. 1059-64.
of
Hypertrophic