Anda di halaman 1dari 5

HIV

Salah satu virus yang dapat mengganggu respons imun dengan menekan fungsi
system imun atau dengan menginfeksi sel system imun adalah AIDS.
AIDS adalah penyakit yang di sebabkan oleh virus yang di sebut HIV. Pada
umumnya AIDS di sebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di afrika tengah di
sebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan virus lenti
yang menginfeksi sel CD4+ T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk
HIV, makrofag dan jenis sel lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang
terinfeksi seperti hubungan seksusal, homoseksual, penggunaan jarum suntik,
transfuse darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang dilahirkan ibu
dengan HIV.
!. Struktur HIV
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identic yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen
tersebut diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel penjamu.
Protein gp120 dan gp41 yang di sandi virus di temukan dalam envelop. Retrovirus
HIV terdiri dari lapisan envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan
ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi protein inti dan penunjang.
RNA-directed DNA polimerase ( reverse transcriptase ) adalah polymerase DNA
dalam retrovirus seperti HIV dan sarcoma rouse yang dapat digunakan untuk
memproduksi hibrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik
rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first strand cDNA
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda terdini
adanya infeksi HIV-1, ditemukan berapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi
sintesis antibody terhadap HIV-1. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan
HIV-1 yang mengikat reseptor CD4 + ini telah digunakan untuk mencegah antigen
gp120 menginfeksi sel CD4+.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai
berikut: jumlah CD4+ perifer menurun fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo
( gagal memberikan respons terhadap antigen recall ) dan uji invitro, aktivasi
poliklonal sel B menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibodi yang dapat
menetralkan antigen gp120 dab gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progress
penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc dapat mencegah
infeksi (jarang) atau memperlambat proses. Protein envelop adalah produk yang
menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibodi yang efektif dan
produktif oleh penjamu.
2. Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke dalam
genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan

menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang


terutama mengikat sel CD4+ dan resptpr kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel
manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4 +.
Makrofag dan sel dendritic juga dapat diinfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan
membran virus penjamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas
oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh
enzim transkriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA penjamu. DNA yang
terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, segingga direproduksi RNA
dan protein virus. Sekarang virus dapat membentuk struktur inti, bermigrasi ke
membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel penjamu, dilepas berupa partikel
virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat
tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga
tersembunyi dari sistem imun penjamu, bahkan dari terapi antivirus.
3. Patogenesis
Virus biasanyamasuk ketubuh degan menginfeksi sel langerhans dimukosa rektum
atau mukosa vagina yang kemudia bergerak dan bereplikasi di KGB setempat. Virus
kemudian disebar melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa
panas, mialgia dan artralgia. Penjamu memberikan respons seperti terhadap infeksi
virus umumnya. Virus menginfeksi sel CD44, makrofag dan sel dendritik dalam
darah dan organ limfoid.
Antigen virus nukleokaspid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase
ini kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p42 dan
protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari
menurunnya kadar virus. Respons imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB
yang merupakan resevoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat
SD. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel
CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4 + dalam
sirkulasi menurun. Hal itu dapat memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul
fase progresif kronis dan penderita menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh
kuman nonpatogenik.
Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA, intergrasi DNA viral ke dalam
genom sel penjamu membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai kejadian
dalam sel terinfeksi mencetuskan aktivasinya, yang mengakibatkan terbentuk dan
pengelepasan partikel virus. Walau CD4+ berikatan dengan envelop glikoprotein HIV1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropik
sel T HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag
menggunakan CCR5. Kedua reseptor ini merupakan resptor kemokin dan ligan
normalnya dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel. Subyek yang baru
terinfeksi HIV dapat disertai gejala atau tidak. Gejala utama berupa sakit kepala,

sakit tenggorokan, panas, ruam dan malese yang terjadi sekitar2-6 minggu setelah
infeksi, tetapi dapat terjadi antara 5 hari dan 3 bulan.
Gejala klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi, lemah,
mukokutan (ruam kulit, ulkus dimulut), nyeri belakang mata, limfadenopati,
neurologis (nyeri kepala, fotofobia, meningitis, enfaselitis), dan saluran cerna
(anoreksia, nausea, diare, jamurdi mulut)
Virus yang ditularkan melalui darah ditemukan dini setelah terjadi infeksi yang
dapat disertai gejala sistemik khas untuk sindrom HIV akut. Virus menyebar ke
organ limfoid, tetapi viremia plasma menurun sampai kadar sangat rendah ( hanya
di temukan dengan esai yang menggunakan cara reverse transcriptase polymerase
chain reaction yang sensitif) dan hal tersebut dapat menetap untuk beberapa
tahun. Sel CD4+ perlahan menurun selama masa klinis laten. Hal itu disebabkan
karena replikasi virus yang aktif dan destruksi sel T yang terjadi dijaringan limfoid.
Menurunya kadal sel CD4+ disertai penignkatan resiko infeksi dan komponen klinis
HIV yang lain. Perubahan dalam antigen p24 dan antibodi ditemukan pada
penderita dengan penyakit lanjut. Penderita AIDS lanjut sering disertai berat badan
menurun yang disebabkan perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang
masuk tubuh. Demensia dapat terjadi akibat infeksi mikroglia.
4. Serologi
Penderita AIDS membentuk antibodi dan menunjukan respons CTL terhadap antigen
virus. Namun respons tersebut tidak mencegah proses penyakit. CTL juga tidak
efektif membunuh virus oleh karena virus mencegah sel terinfeksi untuk
mengekspresikan MHC-1. Antibodi terhadap glikoprotein envelop seperti gp120
dapat inefektif, oleh karena virus cepat memutasikan regio gp120 yang merupakan
sasaran antibodi. Respons imun HIV jsutru dapat meningkatkan penyebaran
penyakit. Virus yang dilapisi antibodi dapat meningkatkan penyebaran penyakit.
Virus yang dilapisi antibodi dapat berikatan dengan Fc-R pada makrofag dan sel
dendritik di kelenjar limfoid, sehingga meningkatkan virus masuk ke dalam sel-sel
tersebut dan menciptakan resevoir baru. Bila CTL berhasil menghancurkan sel
terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel.
Satu sampai tiga munggu pasca infeks, ditemukan respons imun spesifik HIV berupa
antibodi terhadap protein gp120 dan p24. Juga ditemukan sel T sitotoksik yang HIV
spesifik. Dengan adanya respons imun adaptif tersebut, viremia menurun dan klinis
tidak disertai gejala. Hal itu berlangsung 2-12 tahun. Dengan menurunnya jumlah
sel CD4+, penderita menunjukan gejala klinis. Antibodi HIV spesifik dan sel T
sitotoksik menurun, sedangkan p24 meningkat. Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh
beberapa fase yang berakhir dalam defisiensi imun. Jumlah sel CD4 + dalam darah
mulai menurun dibawah 200/mm3 (normal 1500 sel/mm3) dan penderita menjadi
rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS. Dalam 3-6 minggu pasca
infeksi, ditemukan kadar antigen HIV p24 dalam plasma yang tinggi.
DIAGNOSIS

A. Antibodi mikrobial dalam pemeriksaan defisiensi imun


Penemuan antibodi mikrobial telah digunakan dalam diagnosis infeksi. Antibodi
terhadap mikroba merupakan juga bagian penting dalam pemeriksaan defisiensi
imun. Kemampuan untuk memproduksi antibodi merupakan cara paling sensitif
untuk menemukan ganguan dalam produksi antibodi. Antibodi tersebut biasanya
ditemukan dengan esai ELISA.
B. Pemeriksaan in vitro
Sel B dapat dihitung dengan Flow Cytometry yang menggunakan antibodi
terhadap CD19, CD 20, dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan Flow Cytometry
yang menggunakan antibodi monoklonal terhadap CD23 atau CD2, CD5, CD7,
CD4, dan CD8. Penderita dengan defisiensi sel T hanya hiporeaktif atau tidak
reaktif terhadap tes kulit dengab antigen tuberkulin, kandida, trikofiton,
streptokinase/ streptodornase dan virus parotis. Produksi sitokinnya berkurang
bila dirangsang dengan PHA atau mitogen non spesifik yang lain.
Tes in vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan fungsi baktterisidal,
reduksi NBT atau stimulasi produksi superoksida yang memberikan niali enzim
oksidatif yang berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.
Pengobatan
A. Garis umum
Pengobatan penderita dengan defisiensi imun antara lain adalah dengan
menggunakan antibiotik/ antiviral yang tepat, pemberian pooled human
immunoglobulin yang teratur. Transplantasi sumsum tulang dari donor dan
resipen yang memiliki hubungan genetik yang cocok telah dilakukan dengan
hasil yang baik pada beberapa kasus. Transplantasi timus fetal telah pula
dilakukan pada aplasi timus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat transplantasi
yaitu bila jaringan trasplantasi menyerang sel penjamu graft versus host (GVH)
reaction. Iradiasi kelenjar getah bening total kadang memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan iradiasi seluruh tubuh dalam mengontrol reaksi GVH.
B. Tujuan pengobatan
Tujuan pengobatan penderita dengan penyakit defisiensi imun umumnya adalah
untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengan
penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan
antibiotik / antiviral yang benar, imunisasi pasif atau aktif bila memungkinkan
dan memperbaiki komponen sistem imun yang defektif dengan transfer pasif
atau transplantasi.
C. Pemberian globulin gama

Globulin gama diberikan kepada penderita dengan defisiensi Ig tertentu (tidak


pada defisiensi IgA).
D. Pemberian sitokin
Pemberian infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN- y kepada subyek
dengan penyakit tertentu.
E. Tranfusi
Transfusi diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subyek dengan defisiensi
fagosit dan pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi
dengan gen adenosin deaminase (ADA) untuk mengobati ACID.
F. Transplantasi
Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk
memperbaiki kompetesni imun.
G. Obat antivirus
Ada beberapa strategy yang dapat digunakan dalam pengembangan obat
efektif. Siklus virus HIV menunjukan beberapa titik rentan yang diduga dapat
dicegah obat antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk
mengobati infeksi HIV dan AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse
transcriptase seperti timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat
mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak
berhasil menghentikan proses penyakit oleh karena timbul bentuk mutasi
reverse transcriptase yang resisten terhadap obat. Inhibitor protease virus
sekarang digunakan untuk mencegah proses protein prekursor menjadi kapsid
virus matang dan protein core.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas protease
inhibitor dengan 2 inhibitor reverse trascriptase yang terpisah. Hal itu digunakan
untuk menurunkan kadar RNA virus dalam plasma menjadi sangat rendah untuk
lebih dari satu tahun. Perlu pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya
resistensi. Resistensi terhadap inhibitor protease dapat terjadi setelah
pemberian beberapa hari. Resistensi terhadap zidovudin ( atau azidotimidin )
dapat terjadi setelah pemberian beberapa bulan. Untuk resistensi terhadap
zidovudin, diperlukan tiga sampai empat mutasi dalam reverse transkriptase
virus, tetapi satu mutasi saja sudah dapat menimbulkan resistensi terhadap
inhibitorprotease.

Anda mungkin juga menyukai