Anda di halaman 1dari 16

PANDUAN

PELAYANAN PASIEN (PP)


PELAYANAN TRANSFUSI DARAH
RUMAH SAKIT AT TUROTS AL ISLAMY YOGYAKARTA

TIM KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT


RUMAH SAKIT AT TUROTS AL ISLAMY
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Transfusi dari seluruh darah dan komponen darah tetap menjadi topik kontroversial
sehubungan dengan indikasi dan kegiatan transfusi. Meskipun digunakan secara luas, data
pendukung untuk kegiatan terapi transfusi seluruh darah dan komponen darah masih kurang.
Pendapat yang ada dipertahankan, tapi hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa
peningkatan kadar hemoglobin, kadar oksigen arteriol, atau pengangkutan oksigen global
dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien, kecuali pada 2 populasi khusus, yaitu:
(1) orang-orang dengan perdarahan aktif, dan (2) orang-orang dengan iskemia jantung aktif.
Penelitian lebih lanjut, terutama di pusat-pusat trauma sipil, diperlukan untuk
mengkonfirmasi pelajaran dari pengalaman militer. Untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas akibat perdarahan yang tidak terkontrol, pasien yang memerlukan transfusi masif
harus cepat diidentifikasi sehingga intervensi langsung dapat mencegah perkembangan
koagulopati.
Sejarah transfusi darah berasal penemuan William Harvey tentang sirkulasi darah
pada tahun 1628. Transfusi darah paling awal diketahui terjadi pada tahun 1665, dan
transfusi darah manusia yang pertama dilakukan oleh Dr. Philip Syng Physick pada 1795.
Transfusi pertama darah manusia untuk pengobatan perdarahan dilakukan oleh Dr. James
Blundell di London pada tahun 1818. Bank darah pertama didirikan di Leningrad pada tahun
1932, dan bank darah pertama di Amerika Serikat dibuka di Chicagos Cook County
Hospital pada tahun 1937.
Perkembangan teknologi membuat transfusi produk darah menjadi mungkin meliputi
identifikasi Karl Landsteiner tentang golongan darah manusia A, B, dan O pada 1901.
Decastello dan Sturli menambahkan kelompok keempat, AB, pada tahun 1902. Reuben
Ottenberg menggunakan tipe darah dan pencocokan silang untuk pertama kali tak lama
sesudahnya; ia juga menciptakan istilah donor universal dan penerima universal pada 1912.
Selanjutnya, pengembangan antikoagulan jangka panjang, seperti asam sitrat-dekstrosa,
memungkinkan penyimpanan darah untuk digunakan nanti. Pada 1939-1940, sistem
golongan darah Rhesus (Rh) ditemukan, mengarahkan ke pengembangan pengujian
kompatibilitas antigen minor. Pada tahun 1971, pengujian antigen permukaan hepatitis B
menandakan munculnya skrining untuk meminimalkan penularan infeksi melalui transfusi.

Fresh whole blood telah lama dianggap sebagai standar kriteria untuk transfusi, tetapi
munculnya teknik fraksinasi whole blood setelah Perang Dunia II menyediakan sarana
penggunaan yang lebih efisien dari berbagai komponen (yaitu, packed red blood cells
[PRBCs], fresh frozen plasma [FFP], faktor konsentrat individu, trombosit konsentrat,
kriopresipitat). Akibatnya, indikasi saat ini untuk penggunaan whole blood mulai semakin
sempit.
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Mendeskripsikan prosedur untuk pelayanan transfusi darah di RSU At-Turots Al-Islamy.
2. TUJUAN KHUSUS
a. Membantu petugas memahami alur prosedur pelayanan transfusi darah.
b. Proses pelayanan transfusi darah sesuai dengan kebutuhan dan memperhatikan kakhak pasien.
C. SASARAN
Sasaran pada program ini adalah semua unit pelayanan medis di RSU At-Turots Al-Islamy
D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup program ini adalah semua unit pelayanan medis.
E. KEBIJAKAN
Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum At-Turots Al-Islamy tentang Kebijakan Pelayanan
Transfusi Darah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. INDIKASI
Perdarahan aktif yang menyebabkan syok adalah salah satu dari beberapa indikasi
berbasis bukti untuk transfusi. Anemia digambarkan sebagai berkurangnya massa sel darah
merah yang beredar, dinyatakan sebagai gram hemoglobin per 100 cc darah. Anemia
mungkin timbul sebagai akibat dari kehilangan eksternal, kerusakan internal, produksi yang

tidak memadai, atau kombinasi. Sementara kebanyakan pasien yang mengalami perdarahan
aktif menjadi anemia, anemia itu sendiri belum tentu merupakan indikasi untuk transfusi.
Akibat pendarahan parah adalah syok hemoragik, dan syok didefinisikan sebagai pasokan
oksigen yang tidak memadai untuk mendukung metabolisme sel. Penggantian sel darah
merah hanya salah satu segi dari terapi syok hemoragik dan tidak dapat digunakan dalam
setiap kasus.
Berdasarkan definisi klasik syok, prinsip resusitasi yang efektif dari perdarahan
menjelaskan eliminasi kekurangan oksigen, metabolisme anaerobik, dan asidosis jaringan.
Ketika etiologinya adalah perdarahan, tujuan transfusi adalah restorasi oksigenasi jaringan
yang terganggu oleh hilangnya hemoglobin dan kapasitas transportasi oksigen. Tujuannya
bukanlah pemulihan kadar hemoglobin tertentu. Sebaliknya, transfusi harus mencerminkan
penerapan terapi yang menargetkan tujuan fisiologis yang dapat diidentifikasi dan dicapai.
Keputusan untuk melakukan transfusi sel darah merah harus didasarkan pada proses
pemikiran logis dengan tujuan pemulihan oksigenasi jaringan. Oleh karena itu, transfusi sel
darah merah secara logis dimulai dalam situasi berikut:
1. Bukti klinis adanya hipoksia/ dysoksia, dimanifestasikan oleh hipoperfusi, termasuk
asidosis laktat dan peningkatan defisit basa (bila bukan karena asidosis metabolik
hiperkloremik). Selain itu, preload kinerja jantung harus dikoreksi dengan ekspansi
volume plasma yang sesuai. Dalam hal ini, agen pressor dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja jantung jika dinilai tidak memadai, dan transfusi sel darah merah
dapat digunakan untuk mendukung pengiriman oksigen ke end-organ.
2. Perdarahan aktif berhubungan dengan syok.
3. Perdarahan tidak dapat segera dikendalikan karena kendala anatomi, koagulopati, atau
lokasi di lingkungan keras yang menghalangi kontrol perdarahan, dan transfusi PRBC
dapat memperpanjang hidup sampai kontrol perdarahan dicapai.
Pedoman transfusi sel darah merah dari AABB (American Association of Blood
Banks) menyarankan strategi ketat untuk orang dewasa dan anak-anak yang stabil.
Rekomendasi dari pedoman AABB meliputi:
1. Untuk pasien ICU (baik orang dewasa dan anak-anak), transfusi harus dipertimbangkan
pada konsentrasi hemoglobin 7 g/dL atau kurang.

2. Untuk pasien pascaoperasi, pertimbangkan transfusi ketika kadar hemoglobin 8 g/dL


atau kurang atau dengan gejala (misalnya, nyeri dada, hipotensi ortostatik, takikardia
tidak responsif terhadap resusitasi cairan, gagal jantung kongestif).
3. Juga pertimbangkan transfusi untuk konsentrasi hemoglobin 8 g/dL atau kurang pada
pasien rawat inap yang hemodinamik stabil dengan penyakit jantung yang sudah ada
sebelumnya.
4. The AABB tidak merekomendasikan ambang batas untuk transfusi pada pasien
hemodinamik stabil yang dirawat di rumah sakit dengan sindrom koroner akut.
Pemicu fisiologis, seperti dijelaskan di atas, adalah prediktor yang paling akurat dari
kebutuhan transfusi, karena mereka didasarkan pada kebutuhan spesifik pasien sehubungan
dengan gangguan fisiologi. Namun, keinginan untuk menetapkan sebuah "angka untuk
mengobati" sehubungan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit telah meresap pada
praktek transfusi. Banyak kontroversi seputar paradigma praktek transfusi yang berpusat
pada ketidaksepakatan mengenai berapa yang merupakan angka sempurna.
Seperempat abad yang lalu, pengobatan yang optimal pada pasien bedah dan kritis
menargetkan kadar hemoglobin 10 g/dL dan nilai hematokrit 30%. Pemahaman
berikutnya dari risiko yang ada pada transfusi menyebabkan perlunya investigasi untuk
menetapkan batas minimum untuk konsentrasi hemoglobin yang dapat diterima.
Pada kadar hemoglobin di bawah 3,5-4 g/dL, kematian secara signifikan
meningkatkan pada pasien sehat. Penelitian oleh Shander menunjukkan penurunan kognisi
dengan kadar hemoglobin di bawah 5 g/dL.
American Society of Anesthesiologists menggunakan kadar hemoglobin 6 g/dL
sebagai pemicu untuk diperlukannya transfusi, meskipun data yang lebih baru menyarankan
penurunan mortalitas dengan konsentrasi hemoglobin preanestesi lebih besar dari 8 g/dL,
khususnya pada pasien transplantasi ginjal.
Strategi transfusi restriktif telah didukung oleh penelitian Transfusion Requirements
in Critical Care (TRICC), yang diterbitkan pada tahun 1999, serta penelitian lainnya.
Penelitian TRICC mendokumentasikan tren keseluruhan terhadap penurunan mortalitas 30
hari dan secara signifikan menurunkan mortalitas di antara pasien yang baru sakit dan di
antara pasien yang lebih muda dari 55 tahun dalam kelompok yang menggunakan
hemoglobin 7 g/dL sebagai pemicu transfusi dibandingkan dengan kelompok transfusi yang
lebih liberal. Para peneliti menyimpulkan bahwa strategi transfusi restriktif setidaknya sama

efektifnya dan mungkin lebih unggul daripada strategi transfusi liberal pada pasien dengan
penyakit kritis. Pengecualian untuk paradigma ini adalah pasien dengan infark miokard akut
dan angina tidak stabil. Sebuah review Cochrane Database tahun 2012 memperkuat gagasan
tersebut.
Studi CRIT, yang diterbitkan pada tahun 2004, adalah studi kohort prospektif,
multiple center, observasional dari pasien intensive care unit (ICU) di Amerika Serikat,
yang meneliti hubungan anemia dan transfusi sel darah merah terhadap hasil klinis. Para
peneliti menemukan bahwa jumlah unit RBC yang ditransfusikan adalah prediktor
independen dari hasil klinis yang lebih buruk.
B. TRANSFUSI KOMPONEN DARAH
Whole blood difraksinasi menjadi komponen-komponen tertentu, sebagai berikut:
PRBC, FFP, konsentrat trombosit, dan kriopresipitat; FFP selanjutnya dapat difraksinasi
menjadi konsentrat faktor individual. Fraksinasi memaksimalkan kemampuan klinisi untuk
secara rasional menggunakan komponen masing-masing unit sekaligus membatasi transfusi
yang tidak perlu. Sebuah produk tertentu juga dapat ditransfusikan dengan volume yang
lebih sedikit. Selain itu, komponen individual memerlukan suhu penyimpanan yang berbeda;
oleh karena itu, fraksinasi memungkinkan manajemen produk yang lebih efektif.
Fraksinasi komponen darah didasarkan pada teknologi sentrifugasi dan flashfreezing. Whole blood dipisahkan menjadi sel darah merah dan platelet-rich plasma dengan
sentrifugasi lambat. Sentrifugasi kecepatan tinggi kemudian diterapkan pada platelet-rich
plasma untuk menghasilkan satu unit trombosit dan satu unit FFP. FFP menghasilkan
kriopresipitat melalui proses pencairan lambat untuk mengendapkan protein plasma, yang
kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi. Kriopresipitat mengandung konsentrasi tinggi
fibrinogen,

faktor

VIII,

faktor

XIII,

faktor

von

Willebrand,

dan

fibronektin;

hipofibrinogenemia adalah indikasi transfusi yang paling umum untuk kriopresipitat dalam
lingkungan perawatan intensif atau di ruang operasi.
Teknologi apheresis dapat digunakan untuk mengumpulkan beberapa unit trombosit
dari donor tunggal. trombosit apheresis dari donor tunggal mengandung setara dengan
setidaknya 6 unit trombosit donor acak dan sering memiliki lebih sedikit leukosit daripada
trombosit donor acak. Apheresis ini paling sering digunakan untuk mendapatkan trombosit

untuk digunakan pada pasien alloimmunized dengan kehadiran antibodi tinggi yang
membuat cross-matching sulit. Pasien dengan diskrasia dan keganasan darah umumnya
termasuk dalam kategori ini.
1. Packed red blood cells
Indikasi untuk transfusi PRBC sudah dibahas di atas. Secara umum, konsentrasi
hemoglobin (biasanya dilaporkan dalam g/dL) digunakan untuk memantau massa RBC.
Ini adalah variabel yang diukur secara langsung, sedangkan hematokrit adalah nilai
yang dihitung ketika diperoleh dari perangkat otomatis modern dan, oleh karena itu,
lebih rentan terhadap ketidaktepatan dibandingkan dengan pengukuran langsung dengan
pipa kapiler yang diputar pada centrifuge.
2. Fresh frozen plasma
Transfusi FFP adalah umum, tetapi indikasi spesifik untuk penggunaannya
terbatas. Bahkan, bukti-bukti untuk penggunaan dalam berbagai situasi klinis, seperti
profilaksis pada pasien non perdarahan, sangat terbatas. Transfusi FFP diindikasikan
pada pasien pendarahan untuk menggantikan faktor pembekuan yang labil dan hilang.
Keadaan klinis yang memenuhi kriteria ini termasuk transfusi masif, cardiopulmonary
bypass, teknik support paru extracorporeal, penyakit hati dekompensasi, atau
disseminated intravascular coagulation akut apapun penyebabnya. FFP, dalam
hubungannya dengan vitamin K, juga diindikasikan untuk penggunaan warfarin
berlebihan dalam keadaan disertai dengan perdarahan yang mengancam jiwa.
Pedoman untuk dosis awal FFP adalah 10-15 ml/kg; ini biasanya diterjemahkan
menjadi setidaknya 4 unit FFP untuk efek respon terapi. Efikasi dipantau dengan tes
laboratorium fungsi koagulasi, termasuk prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT), dan international normalized ratio (INR).
3. Trombosit
Transfusi trombosit mungkin bermanfaat pada pasien dengan defisiensi atau
disfungsi trombosit. Transfusi trombosit profilaksis diindikasikan pada pasien dengan
kegagalan sumsum tulang, tidak ada faktor-faktor risiko terkait lainnya untuk

perdarahan, dan jumlah trombosit di bawah 10x109/L. Jika ada faktor risiko yang
terkait, ambang batas dapat dinaikkan menjadi 20x109/L. Pasien yang menjalani
prosedur invasif harus memiliki jumlah trombosit lebih dari 50x10 9/L. Pada pasien
pendarahan, transfusi trombosit diindikasikan ketika trombositopenia berkontribusi
untuk pendarahan dan jumlah trombosit kurang dari 50x109/L. Ketika ada pendarahan
mikrovaskuler difus, jumlah trombosit harus dipertahankan di atas 100x10 9/L sementara
penyebab perdarahan sedang ditangani.
Etiologi umum dikoreksi meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kegagalan kontrol
perdarahan volume besar (organ padat atau saluran pembuluh darah), hipotermia,
asidosis, cedera otak traumatis, kekurangan faktor individual, dan inhibisi koagulasi
yang didapat. Waktu optimal untuk mengukur efek transfusi trombosit adalah 1 jam
setelah selesainya infus. Jangka waktu ini memungkinkan seseorang untuk melihat
peningkatan yang sesuai dari konsumsi berkelanjutan dari kehancuran total akibat
antibodi preformed.
4. Kriopresipitat
Transfusi

kriopresipitat

diindikasikan

untuk

defisiensi

fibrinogen

atau

dysfibrinogenemia dalam kondisi perdarahan, prosedur invasif, cedera, atau


disseminated intravascular coagulation akut. Kadar fibrinogen harus dipantau dan
pengobatan dilakukan untuk kadar kurang dari 100 mg/dL; banyak dokter menggunakan
batas yang lebih tinggi yaitu 150 mg/dL pada pasien dengan perdarahan aktif.
Kriopresipitat umumnya ditransfusikan dalam 10 unit terpisah. Pasien pada protokol
transfusi masif dan menerima lebih dari 10 unit FFP biasanya tidak memerlukan
kriopresipitat tambahan, setelah menerima bolus fibrinogen yang memadai dalam
sejumlah besar FFP.
C. TRANSFUSI MASIF
Definisi transfusi masif telah berkembang dari waktu ke waktu untuk mencerminkan
praktek transfusi modern. Tiga puluh tahun yang lalu, transfusi masif didefinisikan sebagai
lebih dari 10 unit darah selama 24 jam, kira-kira setara dengan satu volume darah pasien
untuk orang dengan berat badan rata-rata. Meskipun satu volume darah pasien dalam 24 jam

tetap menjadi definisi "klasik", penulis terkini memperluas definisi ini hingga 50 unit darah
dalam 24-48 jam.
Ketika awalnya diperkenalkan sebagai modalitas pengobatan pada tahun 1960,
transfusi masif mengakibatkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah (6,6%) selama
tahun 1970-an. Namun, tingkat kelangsungan hidup hingga 60% sekarang diamati, sebagai
hasil dari pengenalan dini dan koreksi agresif koagulopati, penggunaan liberal teknik
rewarming, lembaga manajemen pengendalian kerusakan operasi, dan peningkatan
penggunaan terapi transfusi komponen.
Syok hipovolemik akibat perdarahan adalah indikasi yang paling sering untuk
transfusi darah masif. Skenario klinis di mana syok hemoragik ditemui meliputi trauma,
kecelakaan operasi, ruptur aneurisma aorta, perdarahan gastrointestinal masif, dan
transplantasi organ padat (terutama hati), tapi meluas sampai prosedur angiointerventional
dan endoskopi. Dengan demikian, transfusi masif dapat terjadi di luar ruang operasi dan ICU
bedah dengan frekuensi meningkat.
Recombinant activated factor VII (rFVIIa) adalah faktor VII manusia sintesis yang
tersedia untuk pemulihan dan infus pada pasien dengan perdarahan masif. rFVIIa yang
biasanya digunakan untuk mengobati hemofilia serta koagulopati bawaan dan diperoleh
lainnya. Baru-baru ini, rFVIIa telah digunakan pada pasien dengan perdarahan aktif dan
koagulopati dari trauma, cedera otak traumatis, penggunaan warfarin berlebihan, dan cacat
hematologi diperoleh lain, termasuk faktor penghambat yang diperoleh.
Penggunaan pada pasien trauma menghasilkan penurunan keperluan RBC dan
kecenderungan peningkatan keberlangsungan hidup dan pengurangan morbiditas kritis.
rFVIIa memulai koagulasi jalur ekstrinsik hanya ketika bergabung dengan faktor jaringan di
lokasi cedera. Karena faktor jaringan hadir dalam jumlah terbatas dalam sirkulasi umum,
rFVIIa umumnya dianggap aman terhadap induksi trombosis. Namun, beberapa laporan
awal dari R. Adams Cowley Shock Trauma Center mendokumentasikan komplikasi
trombotik yang belum dilaporkan sebelumnya. Hanya waktu dan eksposur tambahan pasien
dengan rFVIIa akan menentukan apakah peristiwa ini spesifik tempat atau populasi.
Pedoman dosis untuk trauma (kisaran umum, 90-120 mcg/kg berat badan) belum ditetapkan,
sedangkan pedoman berbasis bukti ditetapkan untuk hemofilia serta operasi prostat.

D. KOMPLIKASI TRANSFUSI
1. Infeksi viral
Di negara-negara dengan human development index (HDI) yang tinggi
(berdasarkan harapan hidup, pendidikan, dan pendapatan per kapita), transfusi produk
darah sekarang sangat aman terhadap infeksi virus lewat transfusi. Hal ini disebabkan
meningkatnya sensitivitas pengujian patogen, yang mengurangi periode jendela infeksi.
Risiko meningkat secara signifikan di negara-negara dengan HDI rendah karena
seroprevalensi tinggi serta pengujian patogen dan standar transfusi yang tidak memadai.
Insiden yang tercantum di sini hanya berlaku untuk negara-negara HDI tinggi.
Insiden hepatitis A adalah 1 kasus per 1 juta unit transfusi (1:1 juta); hepatitis B
berkisar dari 1:6000 sampai 1:320.000. Penyakit akut berkembang di sepertiga pasien
yang terinfeksi hepatitis B, namun infeksi kronis berkembang dalam kurang dari 10%
dari mereka yang terinfeksi. Insiden hepatitis C berkisar antara 1:1,2 juta sampai kurang
dari 1:13 juta. Namun, berbeda dengan hepatitis B, lebih dari 80% dari infeksi hepatitis
C menjadi kronis, dengan mortalitas selanjutnya signifikan dikaitkan dengan sirosis dan
karsinoma hepatoseluler.
Insiden human immunodeficiency virus (HIV) berkisar antara 1:1,4 juta sampai
1:11 juta.
Human T-cell leukemia virus type I (HTLV-I) dan Human T-cell leukemia virus
type II (HTLV-II) membawa kejadian 1:250.000 sampai 1:2 juta. Dari catatan, darah
yang disimpan selama lebih dari 14 hari dan komponen darah noncellular belum
didokumentasikan untuk menyebarkan HTLV.
Cytomegalovirus (CMV) adalah virus yang paling umum ditularkan melalui
transfusi, dengan kejadian berkisar 1:10 sampai 1:30. Karena prevalensinya, transmisi
membawa sedikit risiko pada populasi umum. Pasien yang beresiko untuk
mengembangkan infeksi CMV termasuk neonatus dengan berat kurang dari 1200 g,
wanita hamil seronegatif, penerima transplantasi alogenik seronegatif, pasien dengan
infeksi HIV lanjut, pasien dengan limfoma, dan pasien yang menerima kemoterapi.
Virus Epstein-Barr (EBV) juga sering ditularkan karena seroprevalensinya.
Insiden transmisi 1: 200.

Virus West Nile baru-baru ini dilaporkan, dengan kejadian 1:3000 sampai
1:5000.
2. Infeksi parasit
Infeksi parasit yang paling umum ditularkan melalui transfusi adalah malaria,
dengan kejadian 1:4 juta. Namun, di negara-negara HDI rendah (di mana malaria
cenderung endemik), kejadian malaria yang ditularkan lewat transfusi setinggi 1:3.
3. Kontaminasi bakteri
Kontaminasi bakteri bertanggung jawab untuk setidaknya 10% dari kematian
terkait transfusi dan kebanyakan kematian terkait infeksi. Yersinia enterocolitica adalah
kontaminan bakteri yang paling umum dari PRBC; patogen lainnya termasuk Serratia
marcescens, Pseudomonas aeruginosa, dan spesies Enterobacter. Insiden berkisar dari
1:200.000 sampai 1:4,8 juta dan secara langsung berkaitan dengan lama penyimpanan.
Sepsis terkait platelet bahkan lebih umum, dengan kejadian setinggi 1:2000
sampai 1:3000. Risiko terbesar ada pada transfusi trombosit konsentrat yang
dikumpulkan dari beberapa donor bila dibandingkan dengan transfusi trombosit donor
tunggal. Karena risiko meningkat seiring dengan waktu, shelf life trombosit yang
disimpan tidak melebihi 5 hari. Patogen khas termasuk Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus epidermidis. Oleh karena itu, sepsis terkait transfusi trombosit mungkin
tidak diakui, karena ini adalah patogen yang umum dan infeksi mungkin disebabkan
sumber-sumber lain, seperti infeksi aliran darah terkait peralatan.
4. Risiko imunologi
Reaksi transfusi berupa demam nonhemolitik merupakan komplikasi akut
transfusi darah yang ditandai dengan demam dengan atau tanpa menggigil dan kaku.
Kondisi ini tidak mengancam jiwa. Sebagian besar reaksi ini berasal dari respon
kekebalan terhadap komponen seluler atau plasma yang ditransfusikan, biasanya
leukosit. Produk darah tanpa leukosit dapat meminimalkan masalah ini, tetapi mereka
belum didokumentasikan untuk dilakukan universal.

Komponen darah nonseluler (yaitu, plasma, turunan plasma) adalah penyebab


yang jarang dari efek samping. Reaksi plasma mungkin terkait dengan perselisihan
imunologi antara donor dan penerima. Protein plasma yang ditransfusikan mungkin
berisi epitop berbeda dengan pada protein plasma identik penerima sendiri. Antibodi
juga mungkin ada dalam plasma donor yang bereaksi dengan sel-sel darah penerima
atau protein plasma. Kontaminan dalam plasma donor juga dapat dikaitkan dengan
beberapa reaksi ini. Pengolahan plasma dapat menyebabkan aktivasi beberapa sistem
proteolitik, seperti komplemen dan sistem kinin/kininogen, yang pada gilirannya,
menyebabkan generasi zat vasoaktif dan anaphylatoxins. Akhirnya, tingkat histamin
dapat meningkat dalam komponen darah yang disimpan. Gejala berkisar dari reaksi
urtikaria ringan atau flushing sampai kolaps kardiorespirasi mendadak dan kematian.
Beberapa reaksi ini kemungkinan benar-benar anafilaksis, tetapi, pada orang lain,
mekanismenya kurang jelas, dan mereka disebut sebagai anaphilactoid.
Posttransfusion

purpura

terjadi

ketika

alloantibodies

spesifik

platelet

berkembang 5-10 hari post transfusi. Trombosit asli pasien dihancurkan, menyebabkan
trombositopenia berat. Komplikasi ini jarang terjadi tetapi berpotensi mengancam
nyawa, dan biasanya terjadi pada wanita. Transfusi trombosit biasanya tidak efektif, dan
diperlukan dosis tinggi imunoglobulin intravena (2 g/kg selama 2-5 hari). Beberapa
praktisi menggunakan plasmapheresis atau steroid dosis tinggi untuk kondisi ini, tetapi
mereka melakukannya tanpa dukungan data yang kuat terhadap hasil yang
menguntungkan.
Inkompatibilitas ABO adalah komplikasi yang paling umum dan fatal dari
transfusi darah. Kebanyakan reaksi transfusi hemolitik akut akibat dari kesalahan
manusia, biasanya identifikasi pasien yang salah. Banyak perbaikan sistem telah
disodorkan untuk mengurangi komponen human error, termasuk bar coding dan teknik
pencocokan yang dibantu komputer, tetapi tidak ada sistem tunggal yang muncul
sebagai metode yang paling efektif menghilangkan kesalahan.
Insiden inkompatibilitas ABO yang dilaporkan dalam praktek transfusi manusia
adalah 1:6000 sampai 1:33.000. Kasus yang fatal terjadi pada 1:250.000 sampai 1:1
juta.

Gejala klasik dari reaksi transfusi hemolitik akut termasuk ketakutan, flushing,
nyeri, mual, muntah, menggigil, hipotensi, dan kolaps sirkulasi. Disseminated
intravascular coagulation, anemia hemolitik, gangguan ginjal, dan penyakit kuning juga
tercatat. Pada pasien yang dibius, gejala dapat dengan mudah tertukar dengan entitas
klinis lain dan ditandai oleh hipotensi tidak jelas, koagulopati difus, dan
hemoglobinuria. Perawatan termasuk penghentian transfusi dan resusitasi agresif dari
syok.
Kebanyakan reaksi transfusi hemolitik tertunda yang tidak dapat dicegah karena
darah adalah serologis kompatibel pada saat transfusi, tetapi beberapa kasus disebabkan
oleh antibodi terhadap antigen minor sel darah merah yang tidak terdeteksi oleh tes
skrining antibodi pretransfusion rutin. Kejadian yang dilaporkan adalah 1:2000 sampai
1:11.000. Reaksi ini terjadi 3-10 hari setelah transfusi, dan pasien mengalami demam,
hiperbilirubinemia, dan hematokrit menurun. Ketika gejala ini terjadi dalam keadaan
klinis yang tepat, darah harus kembali dicrossmatched sebelum pemberian komponen
selanjutnya.
Istilah transfusion-related acute lung injury (TRALI) pada awalnya diciptakan
pada tahun 1983 untuk menggambarkan kelompok tertentu gambaran klinis dan
laboratorium yang diidentifikasi dalam waktu 6 jam dari transfusi produk darah yang
mengandung plasma. Ini adalah komplikasi yang segera dari transfusi dan ditandai
dengan cedera paru akut atau gangguan pernapasan akut sementara yang berhubungan
dengan transfusi.
Patofisiologi TRALI, seperti yang dijelaskan secara klasik, disebabkan oleh
adanya leukoagglutinating atau human leukocyte antigen (HLA) antibodi spesifik dalam
plasma donor. Ketika antibodi ini bereaksi dengan sel-sel darah putih penerima,
komplemen diaktifkan, dan C5a memicu agregasi neutrofil dan penyerapan di
microvasculature paru, yang mengakibatkan kerusakan endotel. Sejak awal, konsep
TRALI telah diperluas untuk mencakup spektrum yang lebih luas dari mekanisme
cedera paru akut setelah transfusi, termasuk reaksi anafilaksis, reaksi sitokin, reaksi
trombosit, sitotoksisitas dimediasi granulosit transfusi, dan penyerapan produk
sampingan lipid paru. Penjelasan ini bergantung pada satu aktivitas untuk memicu
TRALI.

Dalam dua bentuk model TRALI, paru-paru pasien mungkin menderita satu atau
lebih serangan oleh berbagai mekanisme yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk
membuat cedera paru. Dalam host utama, transfusi kemudian menambahkan tantangan
kekebalan yang cukup untuk menginduksi cedera paru, sehingga memungkinkan dokter
untuk hanya menyalahkan sebagian produk yang ditransfusikan untuk dekompensasi
paru. Karena berbagai mekanisme patogen potensial terlibat, kejadian yang sebenarnya
dari TRALI tidak diketahui, terutama karena pelaporan universal kasus fatal tidak
diperlukan. Meskipun demikian, TRALI dianggap sebagai penyebab utama kematian
terkait transfusi. Kunci untuk hasil yang menguntungkan adalah pengenalan dini dan
perawatan suportif yang agresif (sering memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik);
pasien yang diresusitasi dengan baik akan membaik dalam 48 jam dan akhirnya
bertahan hidup.

BAB III
PELAKSANAAN
Pelaksanaan pemberian darah dan komponen darah di RS At-Turots Al-Islamy ditentukan
oleh DPJP. Setiap permintaan darah harus berdasarkan atas permintaan dokter. Penentuan perlu
tidaknya pemberian darah dan komponen darah didasarkan pada pertimbangan dan penilaian

klinis oleh DPJP. Rencana tindakan pemberian darah atau komponen darah diberitahukan kepada
pasien dan keluarga pasien untuk meminta persetujuan tindakan tersebut. Informed consent
persetujuan atau penolakan tindakan ditandatangani oleh pasien atau keluarga pasien sesuai
keputusan pasien dan keluarga pasien terhadap rencana tindakan.
Apabila pasien dan keluarga pasien setuju, petugas mempersiapkan pengambilan darah
dan komponen darah untuk keperluan transfusi. Dalam setiap permintaan darah menggunakan
blangko PMI yang mencantumkan identitas pasien, jenis darah, banyak darah, Hb pasien saat
meminta produk darah, serta nama dokter yang mengajukan permintaan darah.Setelah blangko
permintaan siap, unit keperawatan menghubungi PMI untuk memastikan ketersediaan darah atau
produk darah yang diminta. Unit keperawatan juga menghubungi petugas laboratorium supaya
mengambil sampel darah untuk pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan kelayakan di PMI.
Blangko dan sampel darah diantar ke PMI untuk diproses oleh PMI sesuai dengan standar
prosedur yang berlaku oleh keluarga pasien atau petugas rumah sakit (jika memungkinkan). Jika
permintaan darah jumlahnya banyak, darah untuk pasien kelompok cito lebih diutamakan.
Dokter bertugas memutuskan pemberian, pengawasan, dan pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum dilakukan transfusi, pasien harus melalui serangkaian pemeriksaan kelayakan. Pada
pelaksanaan transfusi darah hendaknya dilakukan secara aman dan meminimalkan resiko
transfusi.
Sebelum pemberian darah, petugas medis mengecek kembali rekam medis dan
memastikan jumlah kantong darah yang akan diberikan kepada pasien. Petugas medis
mencocokkan dan mengecek kantong darah sesuai nama pasien, nomor rekam medis, label
darah, golongan darah, rhesus, jenis darah, dan pemeriksaan kondisi darah (terjadi gumpalan,
homogen atau tidak). Petugas medis kemudian menyiapkan standar infus, transfusi set, botol
NaCl 0,9%, produk darah, sarung tangan, dan termometer.
Petugas medis datang ke kamar pasien, mengucapkan salam, memperkenalkan diri,
memastikan kesesuaian identitas pasien, dan memberitahukan tindakan yang akan dilakukan.
Petugas medis melakukan cuci tangan dan memakai APD. Petugas medis mengukur suhu tubuh
pasien sebelum transfusi. Jika suhu tubuh pasien tidak normal, petugas kemudian
mengkonsultasikan terlebih dahulu ke dokter. Jika suhu tubuh normal, petugas medis meyipakan
cairan NaCl 0,9% untuk digunkan sebelum dan sesudah transfusi. Petugas medis melakukan
tindakan pre transfusi (injeksi dexamethasone dan furosemide) sesuai instruksi dokter. Petugas

medis menggunakan selang transfusi set untuk pemberian produk darah. Petugas medis
memantau tanda vital setiap 5 menit selama 15 menit pertama dan setiap 15 menit setelahnya
selama darah masuk. Petugas medis membersihkan selang dengan NaCl 0,9% setelah darah
diberikan dan membereskan peralatan. Setelah selesai semua tindakan, petugas medis mencuci
tangan; mencatat tipe, jumlah dan komponen darah yang diberikan; serta mendokumentasikan
tindakan di rekam medis pasien.

Anda mungkin juga menyukai