Anda di halaman 1dari 46

Presentasi Jurnal

Meat, Fish, and Ovarian Cancer Risk : Result from 2 Australian Case-Control
Studies, A Systematic Review, and Meta-Analysis

Dokter Pembimbing:
Dr. Aditiyono, SpOG

Disusun Oleh :
Intan Puspita H

G4A014007

Eka Wijaya W

G4A014008

Rhani Shabrina

G4A014025

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Jurnal
Meat, Fish, and Ovarian Cancer Risk : Result from 2 Australian Case-Control
Studies, A Systematic Review, and Meta-Analysis

Telah disetujui sebagai pemenuhan sarat ujian


kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi
RSUD Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Intan Puspita H

G4A014007

Eka Wijaya W

G4A014008

Rhani Shabrina

G4A014025

Purwokerto,

2015

Mengetahui,

dr. Aditiyono, Sp.OG

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................1
BAB I. PENDAHULUAN ..3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi..........................................................................................................4
B. Epidemiologi.................................................................................................4
C. Faktor Yang Berpengaruh............................................................................5
D.Klasifikasi.......................................................................................................9
E. Patofisiologi.................................................................................................12
F. Gejala Klinis................................................................................................15
G. Diagnosis.....................................................................................................16
H. Diagnosis Differensial................................................................................18
I. Pencegahan...................................................................................................19
J. Penatalaksanaan............................................................................................20
K.Prognosis......................................................................................................23
L. Komplikasi...................................................................................................24
BAB III. Terjemahan Jurnal
A. Pendahuluan................................................................................................25
B. Metode dan Bahan ......................................................................................26
C. Hasil ...........................................................................................................31
D. Pembahasan................................................................................................38
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................43
Daftar Pustaka.......................................................................................................44

BAB I
PENDAHULUAN
Kanker merupakan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, mempunyai
kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasi. Dari tahun ke tahun peringkat
penyakit kanker sebagai penyebab kematian di banyak negara semakin
mengkhawatirkan. Diperkirakan kematian akibat kanker mencapai 4,3 juta per
tahun dan 2,3 juta di antaranya ditemukan di negara berkembang. Penderita baru
diperkirakan 5,9 juta per tahun dan 3,0 juta ditemukan di negara berkembang. Di
Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) kematian akibat
kanker dari tahun 1992 ada 4,8%, tahun 1995 meningkat menjadi 5.0% dan tahun
2001 meningkat lagi menjadi 6,0%. Penyakit kanker menempati urutan kelima
sebagai penyebab kematian di Indonesia (Sihombing, 2007).
Kanker ovarium adalah kanker kedua tersering dari seluruh tumor ganas
ginekologi dan merupakan penyebab kematian nomor satu dari seluruh kematian
akibat kanker ginekologi. Pada umumnya penderita didiagnosis terlambat karena
belum adanya metode deteksi dini yang akurat untuk kanker ovarium sehingga
hanya 25-30% saja yang terdiagnosis pada stadium awal (Busmar, 2010;
Prawirohardjo, 2005). Di Indonesia kanker ovarium menduduki urutan keenam
terbanyak dari keganasan pada wanita setelah karsinoma serviks uteri, payudara,
kolorektal, kulit dan limfoma (Busmar, 2010; Prawirohardjo, 2005, Cuningham,
2010).
Pada umumnya kanker ovarium ditemukan pada stadium lanjut. Tumor
membesar dan menyebar ke organ sekitarnya tanpa adanya keluhan. Oleh karena
itulah tumor ini dikenal sebagai penyakit yang tumbuh diam-diam namun
mematikan (silent killer). Kanker ovarium baru menimbulkan keluhan apabila
telah menyebar ke rongga peritoneum dan pada keadaan inii tindakan
pembedahan dan terpai adjuvant seringkali tidak menolong. Penderita biasanya
meningggal karena malnutrisi dan obstruksi usus halus akibat tumor intra
peritoneal (Busmar, 2010; Prawirohardjo, 2005).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kanker ovarium merupakan tumor dengan histiogenesis yang
beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga dermoblast (ektodermal,
endodermal, mesodermal) dengan sifat-sifat histiologis maupun biologis yang
beraneka ragam (Smeltzer & Bare, 2002).
B. Epidemiologi
Kanker ovarium merupakan keganasan ketiga terbanyak pada saluran
genitalia wanita.Kanker ovarium sangat sukar terdiagnosa pada stadium awal,
sehingga sebagian besar kasus baru ditemukan pada stadium yang telah
lanjut. Kanker ovarium jarang terjadi pada wanita dengan usia di bawah 40
tahun, sebagian besar terjadi pada wanita umur 40 sampai 65 tahun. Angka
kejadian kanker ovarium lebih dari 16 kasus per 100.000 wanita umur 40
sampai 44 tahun meningkat menjadi 57 kasus per 100.000 wanita umur 70
sampai 74 tahun. World Health Organization (WHO) pada tahun 2002
melaporkan bahwa kanker ovarium di Indonesia menempati urutan ke empat
terbanyak dengan angka insiden mencapai 15 kasus per 100.000 wanita
setelah kanker payudara, korpus uteri, dan kolorektal (Fauzan, 2009).
Di Amerika serikat, sekitar 1 dari 70 wanita terkena kanker ovarium,
dimana kanker ovarium merupakan 4% dari semua kanker pada wanita
dengan jumlah kasus baru dan angka mortalitas kanker ovarium meningkat
setiap tahunnya, dimana pada tahun 2002 diperoleh sebanyak 23.300 kasus,
dengan angka kematian sebesar 56,29% dari kasus tersebut, tahun 2003
meningkat menjadi 25.400 kasus, dengan angka kematian sebesar 59,66%
dari kasus, dan tahun 2007 menjadi 22.430 kasus baru dengan angka
kematian meningkat mencapai 68,12%. Diprediksikan pada tahun 2010 akan
ditemukan 21.880 kasus baru, dengan angka kematian sekitar 63,30%. Angka
kejadian kanker ovarium di Indonesia berdasarkan data Badan Registrasi
Kanker pada tahun 2006 mencapai 5,99%. (American Cancer Society, 2010;
Karyana, 2005).

C. Faktor Yang Berpengaruh


Meskipun insidensi kasus kanker ovarium tinggi, etiologi penyakit ini
masih belum dipahami. Faktor-faktor resiko kanker ovarium hingga saat ini
juga masih belum jelas dibandingkan tumor genitalia lainnya. Namun,
riwayat kehamilan dan paritas, riwayat keluarga dan mutasi yang diturunkan,
usia, ras, dan penggunaan kontrasepsi oral telah dinyatakan berperan dalam
perkembangan tumor.
Beberapa faktor-faktor

yang

dinyatakan

berhubungan

dengan

terjadinya kanker ovarium antara lain:


1. Kehamilan dan paritas
Wanita yang sudah pernah hamil beresiko 50% lebih rendahrisiko
untuk mengalami kanker ovarium daripada wanita yang belum pernah
hamil atau nullipara.Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko
terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang (Czyz, 2008).
Penelitian pada Cancer Research United of Kingdom tahun 2006
menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka semakin
rendah kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium, bahkan wanita
yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat
lebih besar untuk terjadinya kanker ovarium daripada wanita dengan
paritas tiga atau lebih (Granstrom, 2008).
2. Faktor genetik dan familial
Diantara seluruh faktor resiko kanker ovarium, yang paling
dianggap berpengaruh adalah faktor genetik. Riwayat keluarga tingkat
pertama dengan kanker ovarium, seperti ibu, anak atau saudara
mempunyai faktor resiko tiga kali lipat menderita kanker ovarium. Risiko
lebih meningkat jika terdapat dua atau lebih kerabat tingkat pertama yang
menderita kanker ovarium.
Berdasarkan penelitian epidemiologi, dikenal tiga kelainan genetik
yang berkaitan dengan terjadinya kanker ovarium. Namun kelainan
genetik ini tidak hanya menyebabkan keganasan pada ovarium, tetapi
juga menyebabkan keganasan pada organ lain secara bersamaan,
sehingga merupakan suatu sindroma. Ada tiga sindroma yang dikenal,
sesuai dengan urutan yang paling banyak dijumpai, yaitu (Busmar, 2010;
Djuana, 2001; FIGO, 2003):
a. Hereditary breast/ovarian cancer syndrome (HBOC)

b. Hereditary site-specific ovarian cancer


c. Hereditary nonpolyposis colon cancer syndrome (HNPCC)
Dengan demikian, adanya riwayat keluarga yang menderita kanker
ovarium, payudara atau kolon merupakan faktor resiko terjadinya kanker
ovarium pada seseorang.
Kurang dari 10% kasus merupakan karsinoma ovarium herediter.
HBOC merupakan kelainan herediter yang paling banyak ditemukan dan
merupakan 85-90% karsinoma ovarium herediter. Sebagian besar kanker
ovarium berhubungan dengan mutasi gen BRCA1 yang berlokasi pada
kromosom 17q. Gen lain yang berperan dalam kerentanan terhadap
kanker ovarium dan payudara adalah BRCA2 yang berlokasi pada
kromosom 13q. Wanita dengan mutasi pada gen BRCA1 dan riwayat
keluarga dengan kanker mempunyai resiko sebesar 90% untuk mendapat
kanker payudara dan 65% untuk mendapat kanker ovarium. Mutasi
BRCA1 ditemukan pada 5% pasien dibawah usia 70 tahun dengan
kanker ovarium. Resiko terkena kanker ovarium pada wanita dengan
mutasi BRCA1 atau BRCA2 diperkirakan sekitar 20-60% pada usia 70
tahun. Kebanyakan kanker ini dalah jenis kistadenoma serosa. Mutasi
pada gen supresor tumor p53 juga ditemukan pada 50% kasus kanker
ovarium.
3. Penggunaan kontrasepsi oral
Penelitian yang dilakukan oleh Center of Diseases Control (CDC)
diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan obat kontrasepsi oral dapat
menurunkan risiko kejadian kanker ovarium kurang lebih sebesar 40%
pada wanita yang berumur 20 sampai 54 tahun, dengan risiko relatif
sebesar 0,6.
Penelitian lainnya melaporkan bahwa penggunaan pil kontrasepsi
selama kurang lebih satu tahun dapat menurunkan risiko kejadian kanker
ovarium sebesar 11%, sedangkan jika penggunaannya mencapai lima
tahun maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat semakin berkurang,
bahkan mencapai 50% (Collaborative Group on Epidemiological Studies
of Ovarian Cancer, 2008). Selain itu penelitian oleh Beral (2008) juga
menyimpulkan adanya penurunan risiko relatif kejadian kanker ovarium
sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral, dimana pada wanita

yang memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu tahun memiliki
risiko relatif 1, kemudian semakin menurun mencapai 0,42 pada
pemakaian yang lebih dari lima belas tahun.Setelah diteliti pada jenis
hormon pada obat kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan
dalam menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah
progesteron.Penggunaan obat yang menggandung hormon estrogen saja
khususnya pada wanita pascamenopause justru meningkatkan risiko
terjadinya

kanker

ovarium.

Sedangkan

penggunaan

kombinasi

progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko


terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008).
4. Usia
Kanker ovarium dapat dijumpai pada semua golongan umur,
bahkan pada kasus yang jarang, juga dapat ditemukan pada bayi bawah
lima tahun (balita) dan anak-anak. Namun angka kejadian baru paling
banyak ditemukan pada rentang umur 60 sampai 74 tahun dengan median
umur saat terdiagnosis adalah 59 tahun. Resiko tumor ovarium untuk
mengalami keganasan juga meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, dimana risiko keganasan didapatkan sebesar 13% pada wanita pre
menopause dan 45% postmenopause. Sebanyak 80% dari kejadian
kanker ovarium ditemukan pada umur wanita lebih dari 45 tahun, namun
pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat ditemukan pada umur
relative muda yakni 20-30 tahun (Fauzan, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of
Kingdom pada tahun 2006, didapatkan angka kejadian kanker ovarium
yang meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dimana kasus
terbanyak kanker ovarium ditemukan pada kelompok wanita umur 60
sampai 64 tahun (Granstrom, 2008).
5. Ras
Perempuan ras putih memiliki insidensi kanker ovarium tertingi
diantara semua kelompok ras dan etnis (Quirk, 2005). Dibandingkan
dengan perempuan kulit hitam dan Hispanik, resiko meningkat 30 hingga
40 persen (Goodman, 2003). Walaupun alasan yang tepat tidak diketahui,
perbedaan ras dalam paritas dan tingkat operasi ginekologi dapat
menjelaskan perbedaan.

6. Pengikatan atau Ligasi tuba


Pengikatan atau ligasi tuba dapat menurunkan risiko angka
kejadian kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 0,3. Mekanisme
yang menyebabkan terjadinya efek protektif tersebut diduga oleh karena
terputusnya jalur atau akses berbagai bahan karsinogen ke ovarium
melalui vagina dan tuba (Busman, 2008).
7. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium. Penelitian yang
dilakukan oleh European Prospective Investigation into Cancer and
Nutrition tahun 2006 memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT
di atas 30 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk
terjadinya kanker ovarium dibandingan dengan wanita dengan IMT
normal (Lahmann, 2009).
8. Faktor bahan-bahan industri
Beberapa penelitian melaporkan bahwa abses dan komponen dari
talk (hydrous magnesium trisilicate) dapat meningkatkan kejadian
neoplasma epitel ovarium pada wanita yang sering terpapar. Penelitian
Langseth (2007) pada para wanita pekerja Norwegia yang terpapar
dengan abses menunjukkan bahwa pada pemeriksaan histopatologis
dijumpai adanya partikel abses pada jaringan ovarium dari wanita-wanita
pekerja tersebut. Partikel talk tersebut dapat mencapai ovarium melalui
vagina ke uterus dan keluar melalui tuba falopi masuk ke rongga
peritoneum.
D. Klasifikasi
Tumor Jinak Ovarium
A. Tumor Non Neoplastik
1. Tumor Akibat Radang
2. Tumor lain
Kista folikel
Kista korpus luteum
Kista lutein
Kista inklusi germinal
Kista endometrium
Kista stein-leventhal
B. Tumor Neoplastik
1. Kistik

2.

Kistoma ovarii simpleks


Kistadenoma ovarii serosum
Kistadenoma ovarii musinosum
Kista endometroid
Kista dermoid
Solid
Fibroma
Tumor brenner
Tumor sisa adrenal

Tumor Ganas Ovarium


Tumor ovarium terbagi atas tiga kelompok berdasarkan struktur
anatomi dari mana tumor itu berasal yaitu tumor epitel ovarium, tumor germ
sel, tumor sex cord stromal.1 Kanker ovarium ganas terdiri dari 90 95 %
kanker epitel ovarium, dan selebihnya 5 10 % terdiri dari tumor germ sel
dan tumor sex cord-stroma.
a.

Tumor epitel ovarium


Kanker epitel ovarium merupakan penyebab kematian lebih dari

keseluruhan keganasan ginekologi di Amerika Serikat. Di seluruh dunia


204.000 wanita terdiagnosa setiap tahun dan 125.000 wanita meninggal
karena penyakit ini. Dikarenakan tidak ada test penapisan yang efektif untuk
kanker ovarium dan gejala klinis yang kabur pada stadium awal, sehingga
tiga per empat pasien terdiagnosa sudah stadium lanjut. Tipe tipe histologi
kanker epitel ovarium berdasarkan klasifikasi histologi dari WHO yaitu
serosa, musinosa, endometrioid, clear cell, Brenner, karsinoma tak
terdiferensiasi, dan epitel campuran.
b.

Tumor Germinal Ovarium


Tumor germ sel berasal dari element germinal dari ovarium dan terdiri

dari sepertiga dari seluruh neoplasma ovarium. Sub tipe yang paling sering
adalah mature cystic teratoma, juga sering disebut kista dermoid. 95 % dari
tumor germ sel terdiri dari kista dermoid dan biasanya jinak secara klinis.
Sebaliknya tumor ganas germ sel hanya merupakan 5 % dari kanker ovarium
ganas di negara negara barat.
c.
Tumor Stroma Sex-Cord

Tumor sex cord stromal terdiri dari berbagai kelompok neoplasma


yang jarang yang berasal dari matriks ovarium. Sel sel dalam matriks
ovarium berpotensi memproduksi hormon, dan hampir 90 % dari tumor
ovarium yang memproduksi hormon adalah tumor sex cord stromal.
Akibatnya, pasien dengan jenis tumor ini mempunyai gejala dan tanda klinis
dari kelebihan estrogen atau androgen.
Stadium Kanker Ovarium
Stadium kanker ovarium diklasifikasikan menurut International Federation
of Gynecologist and Obstetricians (FIGO) 2000. Stadium kanker ovarium
ditentukan setelah pembedahan laparatomy surgical staging.
Tabel 1. Stadium kanker ovarium

Stadium Gambaran Patologi-Bedah


I

Tumor terbatas pada ovarium

IA

Pertumbuhan terbatas pada satu ovarium

IB

Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium

IC

Tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu faktor dari kapsul tumor yang
pecah, pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel tumor ganas
pada cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum.

II

Tumor pada satu atau dua ovarium dengan perluasan di pelvis

IIA

Tumor meluas ke uterus dan atau ke tuba tanpa sel tumor di cairan asites ataupun
bilasan rongga peritoneum

IIB

Tumor meluas ke jaringan organ pelvis lainnya tanpa sel tumor di cairan asites
ataupun bilasan rongga peritoneum

IIC

Perluasan di pelvis (IIA atau IIB) dengan ditemukan sel tumor di cairan asites atau
bilasan rongga peritoneum

III

Tumor pada satu atau dua ovarium disertai dengan perluasan tumor pada rongga
peritoneum di luar pelvis dengan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional.

IIIA

Metastasis mikroskopis di luar pelvis

IIIB

Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang kurang
atau sama dengan 2 sentimeter

IIIC

Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang lebih

10

Stadium Gambaran Patologi-Bedah


dari 2 sentimeter dan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional.

IV

Metastasis jauh, termasuk efusi pleura maligna atau metastasis parenkim


liver.

E. Patofisiologi
Mayoritas teori patofisiologi tumor ovarium berawal dari konsep
dediferensiasi dari sel ovarium. Selama ovulasi, sel tersebut berproliferasi.
Kanker ovarium biasanya menyebar ke permukaan peritonium dan omentum
(Green, 2014).
Tumor epitel ovarium merupakan gambaran histologi paling umum dari
kanker ovarium (90%). Tumor epitel ovarium diduga berasal dari epitel yang
melapisi ovarium yang berasal dari epitel coelomic dalam perkembangan
janin. Epitel coelomic juga terlibat dalam pembentukan duktus mulleri yang
akan berkembang menjadi tuba falopii, uterus, serviks, dan bagian atas
vagina. Subtipe gambaran histologi yang mirip dengan karsinoma muncul
pada lapisan epitel serviks, uterus, dan tuba falopi diantaranya:
1.
2.
3.
4.
5.

Serous (dari tuba fallopi)


Endometrioid ( endometrium)
Mucinous (serviks)
Clear cell (mesonefron)
Brenner

Berbagai penelitian dalam rangka mengungkap patogenesis berbagai


karsinogen sebagai penyebab terjadinya kanker ovarium masih belum
menujukkan hasil. Walaupun penyebab pasti kanker ovarium masih belum
ditemukan, beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli dalam rangka
mengungkap patogenesis terjadinya kanker ovarium, antara lain: teori
incessant ovulation, inflamasi dan gonadotropin (Karst and Drapkin, 2010).
a.

Teori incessant ovulation


Teori Incessant ovulation ini beranggapan bahwa adanya trauma
berulang pada ovarium selama proses ovulasi, mengakibatkan epitel
ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor risiko
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau abnormalitas
genetik. Semakin dini usia wanita mengalami menstruasi, semakin
11

terlambat mencapai menopause, tidak pernah hamil atau memiliki


keturunan merupakan berbagai kondisi yang dapat meningkatkan
frekuensi ovulasi. Sedangkan berbagai kondisi yang menekan frekuensi
ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui justru menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium (Choi, et al., 2007; Busman, 2008).
Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita
meyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada
invaginasi permukaan dan badan inklusi kortek ovarium. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalami
invaginasi dan terbentuknya badan inklusi (Copeland, 2007; Karst and
Drapkin, 2010)
b.

Teori inflamasi
Teori ini diangkat berdasarkan pada penelitian yang memperoleh
hasil bahwa angka insiden kanker ovarium meningkat pada wanita yang
mengalami infeksi atau radang pada panggul. Menurut teori ini, berbagai
karsinogen dapat mencapai ovarium melalui saluran genitalia. Walaupun
adanya proteksi terhadap risiko kanker ovarium melalui ligasi tuba dan
histerektomi mendukung teori ini, namun peranan signifikan faktor
reproduksi lainnya tdak dapat dijelaskan dengan teori ini (Coleman and
Gershen, 2007; Choi, 2007).

c. Teori gonadotropin
Teori ini dapat dijadikan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium.
Adanya kadar gonadotropin yang tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang
terjadi selama proses ovulasi dan hilangnya gonadal negative feedbeck
pada menopause dan kegagalan ovarium prematur memegang peranan
penting dalam perkembangan dan progresivitas kanker ovarium (Choi,
2007; Granstrom, 2008).
Perkembangan kanker ovarium dipengaruhi oleh hormon-hormon
hipofisis pada berbagai macam tikus. Pada hewan tersebut, adanya penurunan
estrogen dan peningkatan sekresi gonadotropin hipofisis dapat mengakibatkan
perkembangan kanker ovarium. Ovarium yang terpapar bahan karsinogen,

12

seperti Dimethylbenzanthrene (DMBA) akan berkembang menjadi kanker


setelah ditransplantasikan pada tikus yang telah menjalani ooforektomi,
namun hal tersebut tidak ditemukan pada tikus yang sebelumnya dilakukan
pengangkatan kelenjar pituitari (Havrilesky and Berchuck, 2001; Choi, 2007).
Penelitian yang dilakukan Cramer dan Welch bertujuan untuk menilai
hubungan antara kadar gonadotropin dengan estrogen. Adanya sekresi
gonadotropin dalam jumlah yang tinggi ternyata mengakibatkan peningkatan
stimulasi estrogen pada epitel permukaan ovarium. Hal tersebut diduga
berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Nagell and
Gershenson, 2008; Pothuri, et al., 2010).
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan
pembenjolan perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh
besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Misalnya gangguan miksi,
obstipasi, edema pada tungkai, tidak nafsu makan, rasa sesak, dan lainlainnya (Joedosepoetro, 2009).
Perdarahan ke dalam kista biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga
berangsur-angsur menyebabkan pembesaran kista dan menimbulkan gejala
yang minimal. Akan tetapi bila perdarahan banyak akan terjadi distensi dari
kista dan menimbulkan nyeri perut mendadak.
Putaran tangkai dapat terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5
cm atau lebih, akan tetapi belum amat besar sehingga terbatas gerakannya.
Kondisi yang mempermudah terjadinya torsi adalah kehamilan, karena pada
kehamilan, uterus yang membesar dapat mengubah letak tumor sehingga
terjadi perubahan mendadak dalam rongga perut.
Infeksi pada tumor terjadi jika dekat tumor terdapat sumber kuman
patogen seperti appendiksitis, divertikulitis atau salpingitis akuta. Kista
dermoid cenderung mengalami peradangan yang disusul pernanahan.
Robekan dinding kista dapat terjadi pada torsi tangkai dan trauma
seperti jatuh, pukulan pada perut, dan waktu persetubuhan. Bila kista
mengandung cairan serous, maka rasa nyeri akibat robekan dan iritasi
peritoneum akan segera mengurang. Tetapi

bila robekan kista disertai

perdarahan yang timbul secara akut, maka dapat terjadi perdarahan bebas ke

13

peritoneum yang menimbulkan rasa nyeri terus menerus disertai tanda-tanda


akut abdomen.
Robekan dinding pada kistadenoma musinosum dapat mengakibatkan
implantasi sel-sel kista pada peritoneum. Sel-sel tersebut mengeluarkan cairan
musin yang mengisi rongga perut dan menyebabkan perlekatan-perlekatan
dalam rongga perut. Keadaan ini dikenal dengan nama pseudomiksoma
peritonei.
F. Gejala Klinis
Kanker ovarium sering disebut sebagai the silent killer hal ini
berkaitan dengan fatalitas dan prevalensi dari kanker ovarium yaitu gejalanya
yang tidak spesifik, keterbatasan dalam upaya deteksi dini dan sering
terlambat dalam penegakan diagnosis sehingga survival ratenya rendah. Pada
stadium awal kanker ovarium belum menunjukan gejala, namun terkadang
dapat ditemukan massa yang tidak teratur pada saat pemeriksaan pelvis.
Secara umum gejala yang sering dikeluhkan wanita seperti nyeri perut, rasa
tidak nyaman diperut, sakit dipunggung berbagai gejala yang tidak khas
(Nagell, 2008).
Pada kanker ovarium yang berasal dari sex cord-stroma tumor
mempunyai gejala klinis yang sedikit berbeda dimana dijumpai gangguan
haid pada wanita yang produktif, dan perdarahan pada wanita yang sudah
menopause, yang diakibatkan sel-sel granulosa menghasilkan hormon steroid
terutama estrogen. Pada yolk sac tumor penderita biasanya wanita usia muda
dan gejala klinis antara lain tidak haid, hirsutism. Pada keadaan stadium
lanjut dapat dijumpai asites dan metastasis terutama pada omentum.
Secara umum, gejala terus menerus yang lebih parah atau lebih sering
dari yang diharapkan memerlukan penyelidikan diagnostik lebih lanjut.
Wanita dengan massa ganas biasanya mengalami gejala keparahan 20 sampai
30 kali per bulan. Umumnya, peningkatan ukuran perut, kembung, urgensi
kencing, dan nyeri panggul dilaporkan. Selain itu, kelelahan, gangguan
pencernaan, ketidakmampuan untuk makan normal, konstipasi, dan sakit
punggung juga dilaporkan. Perdarahan abnormal vagina jarang terjadi.
Kadang-kadang, pasien mengalami mual, muntah, dan obstruksi usus
sebagian jika karsinoma menyebar (Goff, 2007).
14

Sindrom meigs didefinisikan sebagai trias dari tumor ovarium jinak


dengan asites dan efusi pleura. Dengan pengangkatan tumor, sindrom tersebut
akan menghilang. Cairan dari rongga thoraks berasal dari cairan dalam
rongga perut. Sindrom ini perlu dibedakan dari asites dengan atau tanpa
hidrothoraks, yang ditemukan pada tumor ganas. Dalam hal yang terakhir
ditemukan sel-sel tumor ganas dalam sedimen cairan (Joedosepoetro, 2009).
G. Diagnosis
1. Tanda dan gejala
Kanker ovarium dini menyebabkan gejala minimal, tidak spesifik,
atau bahkan tidak ada gejala. Pasien mungkin merasakan massa di
abdomen. Sebagian besar kasus yang didiagnosis dalam stadium lanjut
(Green, 2014).
Kanker ovarium epitel menimbulkan dengan berbagai macam
gejala yang tidak jelas dan tidak spesifik, seperti kembung, distensi
abdomen atau ketidaknyamanan, efek tekanan pada kandung kemih dan
rektum, sembelit, perdarahan vagina, gangguan pencernaan dan refluks
asam, sesak napas, kelelahan, penurunan berat badan, dan cepat kenyang
(Green et al, 2014).
Gejala independen terkait dengan adanya kanker ovarium meliputi
nyeri panggul dan perut, peningkatan ukuran perut dan kembung, dan
kesulitan makan atau perasaan penuh (Goff et al., 2007). Gejala yang
berhubungan dengan penyakit tahap lanjut meliputi gejala gastrointestinal
seperti mual dan muntah, sembelit, dan diare. (Ryerson, 2007). Adanya
pembengkakan kaki akibat trombosis vena tidak jarang ditemukan (Green,
2014).
2. Pemeriksaan Penunjang
Temuan fisik jarang terlihat pada pasien dengan penyakit stadium
awal. Pasien dengan penyakit yang lebih lanjut dapat hadir dengan massa
ovarium atau panggul, asites, efusi pleura, atau massa perut atau obstruksi
usus.
Kehadiran

kanker

ovarium

stadium

lanjut

sering

diduga

berdasarkan klinis, tetapi hanya dapat dikonfirmasi secara patologis


dengan pengangkatan indung telur atau pada penyakit tahap lanjut dengan
sampling cairan jaringan atau asites.
a. Penyaringan/skrining
15

US Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan


skrining terhadap untuk kanker ovarium pada populasi umum dengan
memeriksa kadar serum CA125 atau ultrasonografi transvaginal (U.S.
Preventive Services Task Force, 2010). National Cancer Institute (NCI)
merekomendasikan bahwa wanita berisiko tinggi memeriksakan diri ke
dokter dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi
tahunan dan pengujian CA125 tahunan, serta mempertimbangkan
ooforektomi atau berpartisipasi dalam uji klinis (Green, 2014).
b. Pengujian laboratorium
Tidak ada penanda tumor (misalnya, CA125, beta-human chorionic
gonadotropin, alpha-fetoprotein, laktat dehidrogenase) yang benar-benar
spesifik; Oleh karena itu, digunakan uji imunohistokimia diagnostik dalam
hubungannya dengan morfologi dan temuan klinis. Selain itu dilakukan
urinalisis untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari sakit
perut / panggul, seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal (Green,
2014).
c. Pencitraan
Pencitraan rutin tidak diperlukan pada semua pasien yang kanker.
Dalam kasus di mana diagnosis tidak pasti, diperlukan pencitraan seperti:
a) Ultrasonografi panggul (Fleischer, 1996; Yazbek, 2008)
b) Computed tomography (CT) scanning pelvis dan abdomen
(Fleischer, 1996; Yazbek, 2008)
c) Magnetic resonance imaging pelvis dan abdomen: Meningkatkan
spesifisitas pencitraan ketika temuan sonografi yang tak tentu (Iyer,
2010)
d) Radiografi

thorax:

pencitraan

rutin

untuk

menyingkirkan

metastasis paru-paru
e) Mamografi: Bagian dari pemeriksaan pra operasi untuk wanita
yang lebih tua dari 40 tahun; tumor penghasil estrogen dapat
meningkatkan risiko keganasan payudara, dan kanker payudara
dapat bermetastasis ke ovarium dan sering bilateral.
Pada pasien dengan difus carcinomatosis dan gejala GI,
pemeriksaan saluran pencernaan dapat disarankan, antara lain endoskopi,
barium enema, dan pencitraan saluran cerna atas secara berkala (Green,
2014).

16

H. Diagnosis Differensial
Diferensial diagnosis untuk kasus kanker ovarium adalah sebagai
berikut :
1. Kista ovarium
Sebagian besar pasien kista ovarium asimtomatik. Penyakit ini biasanya
tidak sengaja diketahui dari USG atau pemeriksaan pelvis rutin. Pada
beberapa kasus dapat menimbulkan gejala seperti nyeri di perut bagian
bawah, gangguan siklus haid, gangguan pencernaan, mulas, rasa cepat
kenyang, kembung, sering berkemih, dan gangguan defekasi (Helm,
2015).
2. Tumor adnexa
Pasien mungkin datang dengan massa yang ditemukan pada saat
pemeriksaan panggul, pada saat pemeriksaan radiologis untuk diagnosis
lain, atau

pada saat prosedur pembedahan. Banyak pasien dengan

penyakit ini tidak mempunyai gejala/asimtomatis. Beberapa mengeluhkan


peningkatan frekuensi kencing, tekanan pada panggul atau perut, dan
perubahan kebiasaan buang air besar karena efek massa pada organ-organ
sekitar (Teng, 2015).
3. Servisitis
Pasien dengan servisitis juga sering mengeluhkan nyeri perut bagian
bawah atau nyeri panggul. Selain itu pasien sering mempunyai gejala
seperti dispareunia, keputihan, lesi kulit kelamin, perdarahan vagina yang
abnormal, disuria, rasa terbakar pada kelamin, gatal pada kelamin,
malodor kelamin (Ollendorff, 2014)
4. Endometriosis
Sepertiga dari wanita yang dengan endometriosis tetap asimtomatis.
Mereka yang memiliki gejala biasanya mengeluhkan adanya dismenore,
pendarahan berat atau tidak teratur, nyeri panggul, nyeri perut atau
punggung bawah, dispareunia, dyschezia (nyeri pada buang air besar) yang
seringkali dengan siklus diare dan sembelit, kembung, mual, dan muntah,
nyeri inguinal, nyeri saat berkemih dan / atau peningkatan frekuensi
kencing, dan nyeri saat aktivitas (Kapoor, 2015)
I. Pencegahan

17

Setiap

faktor

yang

mencegah

ovulasi

(pelepasan

telur)

tampaknya mengurangi risiko kanker ovarium, antara lain (Edwards et al.,


2014) :
a) Menggunakan kontrasepsi oral (pil KB)
b) Kehamilan
c) Mulai siklus menstruasi lebih akhir pada masa remaja
d) menopause dini
e) Ligasi tuba
Seorang wanita memiliki riwayat keluarga dari kanker ovarium
atau dia tahu bahwa dia memiliki mutasi gen BRCA1 atau HNPCC
(Lynch syndrome II) ada kemungkinan untuk diangkat ovariumnya
setelah melahirkan atau setelah usia 35-40 tahun (Edwards et al., 2014).
Banyak tes skrining kanker ovarium yang tidak bisa mendeteksi
penyakit lebih awal. Bahkan, US Preventive Services Task Force tidak
merekomendasikan skrining rutin karena tidak ada bukti bahwa skrining
mengurangi keparahan penyakit atau jumlah kematian akibat kanker
ovarium. Dengan sendirinya, masing-masing metode pengujian tunggal
tersebut tidak sempurna. Namun ketika digunakan bersama-sama, tes ini
dapat berkontribusi untuk diagnosis awal (Edwards et al., 2014).
J. Penatalaksanaan
Pengelolaan Tahap Dini Kanker Ovarium
Stadium Pembedahan
Pada kondisi keganasan muncul secara klinis yang masih terbatas
pada ovarium, operasi pengangkatan dan pementasan komprehensif harus
dilakukan. Sepertiga dari pasien yang tampaknya memiliki penyakit
terbatas pada ovarium akan dilakukan upaya up-staged dengan dilakukan
pembedahan dan kemudian memerlukan kemoterapi pasca operasi. Pada
pasien dengan stadium IA atau IB, kelas 1 atau 2 karsinoma epiter
ovarium, perawatan lebih lanjut tidak diperlukan (Young, 1990).
Biasanya, pembedahan abdomen cukup untuk mengidentifikasi
setiap penyakit yang mungkin telah terlewatkan pada pemeriksaan fisik
atau tes pencitraan. Operasi dimulai dengan mengaspirasi cairan asites
bebas atau mengumpulkan pembasuhan peritoneal, diikuti dengan
visualisasi dan palpasi dari semua permukaan peritoneal. Omentum
infracolic harus dihapus atau paling tidak dibiopsi (Omentectomy).
Selanjutnya, dilakukan histerektomi (sederhana) extrafascial dan BSO
18

dilakukan. Dengan tidak adanya penyakit extraovarian, biopsi peritoneal


dapat dilakukan bersamaan dengan biopsi atau Scraping dari diafragma
yang tepat. Akhirnya, para-aorta limfadenektomi panggul dan infrarenal
selesai (Whitney, 2011). Laparoskopi sangat bermakna sebagai pengobatan
utama pada wanita yang menderita kanker ovarium stadium I. Secara
umum, semua prosedur yang diperlukan dapat dilakukan secara aman
dengan laparoskopi (Chi, 2005). Manfaat utama yang mungkin didapat
dari laparoskopi adalah waktu perawatan di rumah sakit yang lebih singkat
dan pemulihan lebih cepat (Tozzi, 2004). Limfadenektomi menggunakan
teknik ini mememiliki resiko invasif yang minimal, jumlah nodul mungkin
sedikit, dan eksplorasi perut terbatas. 20 persen kasus laparoskopi
dikonversi ke laparotomi, hal ini mungkin disebabkan oleh kemungkinan
adhesi atau metastase penyakit yang tidak terduga (Spirtos, 2005).
Kemoterapi Adjuvan
Secara umum, pasien dengan stadium IA atau IB, grade 3 kanker
ovarium epitel dan semua pasien dengan stadium IC dan tumor II harus
ditangani dengan 3 sampai 6 siklus carboplatin (Paraplatin, Bristol-Myers
Squibb, Princeton, NJ) dan paclitaxel (Taxol, Bristol-Myers Squibb,
Princeton, NJ) kemoterapi (Morgan, 2011; Trimbos, 2003). Dalam sebuah
percobaan tahap III Gog (protokol 157), wanita dengan penyakit stadium
awal secara acak diberi tiga atau enam siklus kombinasi ini. Secara
keseluruhan, tiga siklus menghasilkan tingkat relaps sebanding dengan
enam siklus, namun tingkat tositasnya lebih rendah (Bell, 2006).
Pemberian kemoterapi pada penyakit stadium awal memiliki resiko
20 persen untuk kambung dalam waktu 5 tahun, hal ini menunjukkan
perlunya strategi pengobatan yang lebih baik.
Pengawasan
Setelah selesai pengobatan, pasien dengan kanker ovarium stadium
awal diikuti setiap 2 sampai 4 bulan 2 tahun pertama, kemudian dua kali
dalam setahun untuk 3 tahun berikutnya, dan kemudian setiap tahun. Pada
setiap kunjungan, pemeriksaan fisik dan pelvis lengkap harus dilakukan.
Selain itu, penentuan serum CA125 diindikasikan jika sebelumnya pernah
meningkat. Jika diperlukan klinis, tes pencitraan juga dapat membantu
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit berulang (Morgan, 2011).

19

Pengelolaan Perluasan Kanker Ovarium


Sekitar dua pertiga dari pasien kanker ovarium, penyakit tersebut
akan berkembang sampai stadium III-IV. Dengan demikian, terpai
multimodalitas sangat penting untuk mencapai hasil yang maksimal
(Earle, 2006). Idealnya, bedah citoreduksi dilakukan awalanya untuk
mencegah terjadinya penyulit pada penyakit, seperti terjadinya debulking
tumor yang optimal. Pembedahan dilanjutkan denganenam program
kemoterapi berbasis platinum. Namun, beberapa wanita tidak dianjutkan
mendapat terapi dengan pembedahan, hal ini mungkin disebabkan karena
kondisi kesehatan atau, kondisi tumor yang tidak mungkin dioperasi. Agar
mendapat kondisi klinis yang efektif, sebelum memulai program
pengobatan pasien harus dinilai kondisinya.
Bedah Primer Citoreduksi
Penyakit Residual
Sejak laporan awal oleh Griffiths pada tahun 1975, tindakan
debulking semakin sering dibahas. Banyak hasil studi retrospektif yang
menyatakan kemampuan bertahan hidup pada wanita kanker ovarium
meningkat setelah mendapat terapi bedah citoreduksi, dengan syarat
penyakit residual kurang dari 2 cm. Secara khusus, 2 cm penyakit residual
menggambarkan hasil pembedahan di mana tidak ada sisa dari daerah
tumor yang memperoleh pembedahan dengan ukuran lebih besar dari 2
cm. Kemampuan bertahan hidup akan meningkat seiiring kecilnya ukuran
penyakit residual, jika kurang dari 1,5 cm, kurang dari 1 cm, atau kurang
dari 0,5 cm. Kemampuan bertahan hidup yang paling optimal dilaporkan
jika tidak ada penyakit residual hingga operasi selesai (Eisenkop, 1998).
Harus dijelaskan pada pasien untuk mempertimbangkan debulking yang
optimal, untuk dapat mengetahui seberapa besar penyakit residual, dimana
pasien harus bisa memastikan bahwa sisa tumor berukuran kurang dari 1
cm.
Keuntungan

debulking

secara

klinis

yang

relevan

masih

diperdebatkan (Covens, 2000). Namun, karena bedah citoreduksi memiliki


beberapa keuntungan, maka dapat dilakukan kapan saja apabila kondisi
klinisnya baik. Karena tujuannya adalah reseksi kanker ovarium secara
maksimal dan semua penyakit metastasis, maka laparoskopi sesungguhnya

20

tidak diperlukan lagi. Namun, terdapat berbagai prosedur lain yang


diperlukan untuk mencapai minimal penyakit residual.
Terapi Radiasi
Terapi radiasi belum diterima secara luas sebagai modalitas
pengobatan rutin dalam terapi awal pasien dengan kanker ovarium,
meskipun laporan dari khasiat pada penyakit stadium I dan II resiko tinggi
dan stadium III penyakit dimana terdapat sisa penyakit dengan volume
yang kecil setalah dilakukan operasi. Dalam kasus tertentu, penyakit
panggul mungkin berespon untuk dosis rejimen paliatif dengan toksisitas
minimal (Green, 2014).
K. Prognosis
Prognosis tumor ovarium berhubungan dengan stadium yang telah
ditentukan oleh The International Federation of Gynecology and
Obstetrics (FIGO). Data yang diperoleh dari the National Cancer Institute
tahun 2010, kelangsungan hidup 5 tahun (the 5-year survival rates) untuk
karsinoma ovarium berdasarkan stadium yaitu:
1. Tumor Epitel Ovarium

2.

Tumor Stroma Ovarium

21

3. Tumor Sel Germinal Ovarium

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis adalah sebagai berikut:


1.
2.
3.
4.

Usia : pasien usia muda prognosanya lebih baik.


Ada tidaknya metastasis.
Asites. Jika dijumpai asites, salah satu tanda prognostik yang jelek.
Bordeline dibandingkan dengan tumor sudah invasive. Hal ini sangat
penting untuk menentukan prognostik. Tumor yang bordeline prognosa

5.

sangat baik, dibandingkan tumor yang sudah invasive.


Grading dan jenis tumor. Grading kanker dan jenis kanker (serous,
musinous, endometrioid atau yang lain) sangat erat hubungannya

6.

dengan survival rate .


Psammoma bodies. Tumor serous mempunyai psammoma bodies

7.

memiliki prognosa yang lebih baik.


CA 125 . Serum marker meningkat pada stadium awal terutama stadium
2 dan dipakai sebagai parameter untuk menilai apakah ada rekurren.

L. Komplikasi
Komplikasi yang didapat oleh penderita tumor ovarium dapat
diperoleh dari penanganan tumor ovarium itu sendiri seperti kemoradiasi
atau proses operasi yang memicu timbulnya masalah baru. Beberapa
komplikasi yang dapat terjadi diantaranya:
1.
2.
3.

Infeksi
Kerusakan ginjal
Neuropati

4.
5.
6.

22

Hearingloss
Perforasi
Leukimia

BAB III
TERJEMAHAN JURNAL
A. Pendahuluan
Kanker ovarium adalah kanker yang paling umum keenam pada wanita di
seluruh dunia, dan angka kematian yang tinggi (1). Identifikasi faktor penyebab
yang berpotensi dimodifikasi dapat membantu mengurangi beban penyakit ini.
Meskipun hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral, paritas, dan riwayat
keluarga dengan risiko kanker ovarium didefinisikan dengan baik (2, 3), peran
faktor-faktor lain, seperti pola makan, tetap kontroversial. Meskipun faktor risiko
diet telah dilaporkan, data yang ada masih terbatas dan tidak konsisten, dan
review terbaru (4) menyimpulkan bahwa ada bukti yang terbatas untuk penurunan
risiko dengan konsumsi sayuran non tepung.
Penelitian sebelumnya menyatakan adanya hubungan potensial antara
asupan tinggi daging, dalam daging merah dan daging olahan tertentu, dengan
risiko beberapa jenis kanker, termasuk kolorektal, lambung, payudara, dan kanker
prostat (4). Daging merah dan daging olahan adalah sumber lemak jenuh dan besi,
yang secara independen dikaitkan dengan karsinogenesis (5, 6). Selain itu, daging
olahan berkontribusi pada pembentukan senyawa karsinogenik dan mutagenik
Nnitroso (7) dan heterocyclic amines (8). Sebaliknya, asam lemak yang tak jenuh
ganda omega-3 dalam ikan berlemak diperkirakan mengurangi risiko beberapa
jenis kanker (9).
Sebuah studi ekologis awal (10) melaporkan hubungan positif antara
konsumsi daging per kapita dengan angka kematian kanker ovarium, dan dalam
penelitian sebelumnya, Kolahdooz et al (11) mengamati >2 kali lipat peningkatan
risiko kanker ovarium pada wanita yang melaporkan makan diet tinggi daging dan
lemak, yang menyatakan adanya hubungan potensial antara konsumsi daging dan
risiko kanker ovarium. Hubungan positif antara asupan tinggi daging merah (12,
13) atau daging olahan (12) dan risiko kanker ovarium juga dilaporkan dalam
studi kasus-kontrol berbasis rumah sakit di Italia, meskipun penelitian lain (14,
15) mengamati tidak ada hubungan. Demikian pula, meskipun pada beberapa
studi kasus-kontrol terdapat penurunan risiko mulai dari 25% sampai 75% pada
konsumsi unggas dan ikan yang sering dibandingkan dengan konsumsi unggas
23

yang jarang (16, 17) atau ikan yang jarang (9, 12, 16), penelitian lain
menunjukkan tidak ada hubungan baik (18 -20) atau asosiasi positif dengan
asupan ikan (21-23). Namun, 2 dari 3 penelitian terakhir ini berasal dari China
(22) dan Jepang (23), dan asosiasi positif yang diamati mungkin karena konsumsi
ikan yang diawetkan atau ikan asin. Penelitian kohort melaporkan hasil nol untuk
hubungan antara asupan daging merah (14, 24), unggas (24-26), atau ikan (14, 24,
26) dan risiko kanker ovarium, tapi studi ini memasukkan <400 kasus. Secara
keseluruhan, hasil dari studi kasus-kontrol tidak konsisten.
Pada artikel ini, diselidiki lebih lanjut hubungan antara asupan total
daging, daging merah, daging olahan, hati, unggas dan ikan dan risiko kanker
ovarium dengan menggunakan data dari 2 tudi kasus kontrol di Australia. Peneliti
juga menggunakan semua data yang diterbitkan untuk secara komprehensif
diperiksa asosiasinya dalam review sistematis dan meta-analisis. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah bahwa asupan daging merah dan olahan akan terkait secara
positif, sedangkan asupan ayam dan ikan akan berbanding terbalik jika dikaitkan
dengan risiko kanker ovarium.
B. Metode dan Subjek
Data diperoleh dari 2 penelitian di Australia tentang kanker ovarium
epithelial yang dilakukan 10 tahun terpisah. Kedua studi telah disetujui oleh
komite etika penelitian manusia, dan semua wanita yang disediakan informed
consent.
Survey of Women Health
Rincian dari studi Survey of Women Health (SWH) telah dijelaskan
sebelumnya (11). Secara singkat, studi terdiri dari total 793 wanita yang baru
didiagnosis dengan kanker ovarium epitel antara usia 18 dan 79 tahun di negaranegara Australia New South Wales, Victoria, dan Queensland antara tahun 1990
dan 1993 (response rate: 90%). Subyek kontrol, disesuaikan dengan kasus pada
negara tempat tinggal dan dikelompokkan dalam rentang usia 5 tahunan, yang
dipilih secara acak dari daftar pemilih (pendaftaran untuk memilih adalah wajib
di Australia). Dari 1.173 wanita yang memenuhi syarat, 855 (73%) berpartisipasi.
Untuk analisis saat ini, peneliti mengeluarkan 125 wanita yang tidak
mengembalikan kuesioner frekuensi makanan (FFQ), 47 wanita dengan >10%
24

dari poin yang hilang di FFQ, dan 16 wanita yang diperkirakan memiliki asupan
energi sangat ekstrim (<500 atau >3500 kkal) (27), yang meninggalkan kelompok
terakhir dari 683 kasus dan 777 subjek kontrol untuk analisis.
Australian Ovarian Cancer Study
Rincian Australia Ovarian Cancer Study (AOCS) telah dilaporkan
sebelumnya (28). Kelompok kasus terdiri dari wanita berusia 18-79 tahun yang
baru didiagnosis dengan invasif atau borderline kanker ovarium epitel, kanker
tuba fallopi, atau kanker peritoneal primer antara tahun 2002 dan 2005. Dari 3550
perempuan yang diidentifikasi berpotensi memenuhi syarat untuk penelitian, 805
(18%) perempuan dieksklusi untuk alasan berikut: kematian (n = 307), dokter
tidak memberikan izin bagi mereka untuk dihubungi (n = 133), mereka tidak bisa
dihubungi (n = 194), kesulitan bahasa (n = 70), ketidakmampuan mental (n = 35),
atau karena sedang sakit (n = 66). Sisanya 2.745 wanita dengan diagnosis klinis
curiga kanker ovarium diundang untuk berpartisipasi, dan

2.319 (85% dari

mereka mendekati dan 65% dari mereka yang awalnya diidentifikasi) wanita
setuju untuk mengambil bagian dalam studi ini. Setelah operasi, tambahan 590
perempuan dikeluarkan ketika review patologi menunjukkan bahwa mereka tidak
memiliki kanker yang memenuhi syarat, 19 perempuan tidak dilibatkan karena
kanker mereka pertama kali didiagnosis sebelum masa penelitian, dan seorang
wanita yang dikeluarkan karena dia bukan penduduk Australia pada saat
diagnosis awal nya. Dari akhir 1709 kasus, 1612 (94%) wanita mengembalikan
kuesioner penelitian utama. Subyek kontrol yang dipilih secara acak dari
Australian Electoral Roll antara tahun 2002 dan 2005 dengan menggunakan
prosedur yang sama yang digunakan untuk SWH tersebut. Dari 3.442 wanita usia
subur yang dihubungi, 1615 (47%) dari mereka setuju untuk berpartisipasi. Enam
wanita dengan riwayat kanker ovarium, 99 wanita yang melaporkan ooforektomi
bilateral sebelumnya, dan seorang wanita yang tidak menyelesaikan kuesioner
penelitian utama diekslusi dari penelitian, sehingga menyisakan 1.509 perempuan
pada kelompok kontrol. Untuk analisis saat ini, pwnwliti mengeksklusi 157
subjek pada kelompok kasus dan 48 subyek kontrol yang tidak mengembalikan
FFQ, 26 kasus dan 3 subyek kontrol dengan >10% dari item FFQ hilang, dan 63
subjek kasus dan 44 subyek kontrol yang diperkirakan asupan energi sangat

25

ekstrim ( <700 atau >4000 kkal, batas ini meningkat dari yang digunakan dalam
SWH untuk mencerminkan peningkatan umum dalam asupan makanan selama 10
tahunsubjek pada kelompok antara 2 studi), meninggalkan kelompok akhir 1366
kasus dan 1414 subyek kontrol untuk dianalisis.
Rincian kondisi kesehatan dan informasi gaya hidup perempuan dalam
kedua studi diperoleh melalui wawancara tatap muka terstandar pada penelitian
SWH atau dengan kuesioner pada penelitian AOCS. Informasi tentang asupan
makanan dikumpulkan dengan menggunakan FFQs yang diisi sendiri
berdasarkan instrumen yang dikembangkan dan divalidasi di Amerika Serikat
oleh Willett et al (29) namun disesuaikan untuk dan divalidasi dalam pengaturan
Australia (30-32). FFQ meminta responden untuk mengingat seberapa sering,
rata-rata, mereka mengkonsumsi makanan dalam porsi standar pada tahun
sebelumnya (untuk kasus-kasus sebelum kanker mereka didiagnosis); respon
frekuensi berkisar dari tidak pernah sampai 4 kali /hari.
Frekuensi

rata-rata

konsumsi

masing-masing

kelompok

makanan

diperkirakan dengan menjumlahkan frekuensi asupan makanan individu yang


terdiri kelompok itu; total dikelompokkan menjadi 3 atau 4 kelompok untuk
analisis lebih lanjut. Total konsumsi daging termasuk konsumsi daging sapi,
domba, atau babi sebagai hidangan utama atau campuran (juga diklasifikasikan
sebagai daging merah); ayam dengan dan tanpa kulit; dan daging olahan. Total
asupan ikan termasuk konsumsi tuna kaleng dan gelap-daging ikan seperti sarden
(juga diklasifikasikan sebagai ikan berlemak), jenis ikan lainnya (juga tergolong
ikan tidak berlemak), stick ikan, dan makanan laut seperti udang dan kepiting.
Batasan untuk kategori tersebut didefinisikan secara terpisah untuk
masing-masing kelompok makanan agar memungkinkan batasan yang sama atas
dasar bilangan bulat dari porsi yang akan digunakan untuk kedua studi dengan
tetap menjaga jumlah yang cukup dalam setiap kelompok untuk analisis. Tes
untuk tren dilakukan atas kategori asupan makanan, pemodelan nilai media
masing-masing kategori sebagai variabel kontinu tunggal. Analisis varians
digunakan untuk menguji perbedaan rerata untuk variabel kontinyu, dan uji chisquare digunakan untuk variabel kategorik. Beberapa model regresi logistik tanpa
syarat digunakan untuk memperkirakan risiko relatif (RR) kanker yang

26

berhubungan dengan masing-masing kelompok makanan, disesuaikan dengan


pembaur potensial termasuk usia (dalam tahun dan usia-squared), paritas,
penggunaan kontrasepsi oral, tingkat pendidikan, dan asupan energi (transformasi
log). Faktor perancu potensial lainnya yang tidak termasuk dalam model final
karena mereka tidak substansial mengubah estimasi risiko adalah sebagai berikut:
status menopause, riwayat keluarga kanker payudara atau ovarium dalam tingkat
pertama

relatif,

penggunaan

terapi

penggantian

hormon,

ligasi

tuba,

histerektomi , penggunaan bedak, merokok, konsumsi alkohol, dan indeks massa


tubuh. Hasil disajikan sebagai odds ratio (OR) dan 95% CI dibandingkan dengan
kategori asupan terendah. 2 set data awalnya dianalisis secara terpisah dan
kemudian digabungkan dengan menghitung tertimbang, dikumpulkan perkiraan
risiko dengan menggunakan random-efek model. Untuk menguji tren linear
dalam model gabungan, perkiraan berlaku untuk versi berkelanjutan dari variabel
penjelas digabungkan, dan Z statistik dihitung dari koefisien dan SE dari
gabungan OR. Kehadiran heterogenitas antara 2 studi diuji dengan menggunakan
Cochran Q test. Semua tes adalah 2-sisi, dan P<0,05 dianggap signifikan secara
statistik.
Tinjauan sistematis dilakukan sesuai dengan metaanalisis dari studi
observasional dalam pedoman Epidemiologi untuk studi observasional (33).
Penelitian ini meliputi studi observasional dari semua desain yang disajikan
perkiraan risiko hubungan antara kanker ovarium insiden dan konsumsi total
daging, daging merah (termasuk daging segar, daging sapi, babi, atau domba),
daging olahan (termasuk sosis), ayam atau unggas, ikan atau kerang, atau hati.
Studi yang memenuhi syarat yang diidentifikasi oleh 2 penulis (FK dan PMW)
yang mencari database MEDLINE (1950-November 2009, Perpustakaan
Kedokteran Nasional AS, Bethesda, MD) dengan software OvidSP (Ovid
Technologies, Wolters Kluwer, New York, NY) sebagai interface dan EMBASE
(1966-November 2009, Elsevier Science, Amsterdam, Belanda) dengan
antarmuka pencarian EMBASE dan Citation Index Sains (1990-November 2009,
Thomson Reuters, New York, NY). Pencarian menggunakan istilah MESH
berikut atau kata-kata teks: "neoplasma ovarium" atau "Ovar $" dan "kanker"
atau "neoplasma"; dan "diet," "daging," "unggas," "ayam," atau "hati" atau "ikan"

27

dikombinasikan dengan "diet." Pencarian terbatas pada artikel penuh

yang

diterbitkan dalam bahasa Inggris sampai November 2009. Studi tambahan


diidentifikasi dengan mencari daftar referensi dari artikel diidentifikasi dan
Indeks Citation Sains untuk artikel yang memenuhi syarat yang sering dikutip
untuk mengidentifikasi penelitian selanjutnya yang dikutip mereka. Peneliti
membaca abstrak dari semua studi yang teridentifikasi untuk mengeksklusikan
orang-orang yang jelas-jelas tidak relevan. Teks lengkap dari artikel yang tersisa
dibacakan untuk menentukan apakah mereka memenuhi kriteria inklusi.
Informasi berikut diambil untuk studi yang relevan: negara, tahun
publikasi, jenis studi, jumlah kasus dan kontrol / ukuran kohort, / tingkat respons
tindak lanjut, tahun dan usia saat diagnosis, jenis kanker termasuk, kuesioner diet
yang digunakan, makanan dipelajari, dan asupan dibandingkan, pembaur
dipertimbangkan, dan perkiraan risiko untuk perbandingan yang tertinggi dengan
kategori terendah asupan. Data yang diekstraksi diperiksa secara independen oleh
2 penulis (FK dan PMW).
Untuk meta-analisis, peneliti mengasumsikan bahwa perkiraan OR dari
studi kasus-kontrol dan risiko atau tingkat rasio dari penelitian kohort semua
perkiraan yang valid dari RR (34). Untuk kolam kumpulan perkiraan RR, peneliti
menghitung rata-rata tertimbang dari log RR, dengan mempertimbangkan efek
acak dengan menggunakan metode DerSimonian dan Laird (35). Peneliti menilai
heterogenitas untuk masing-masing perkiraan dikumpulkan dengan menggunakan
Cochran Q test dan bias publikasi dengan menggunakan uji korelasi rank Begg
dan metode regresi Egger (36). Seperti yang direkomendasikan dalam Metaanalisis studi observasional dalam pedoman Epidemiologi (33), kami juga
melakukan analisis bertingkat dengan fitur kunci dari desain studi untuk menilai
efek dari berbagai kualitas studi pada hasil kami. Semua analisis dilakukan
dengan paket SAS statistik (versi 9, SAS Institute Inc, Cary, NC) dan Stata 10
(StataCorp LP, College Station,TX).

C. Hasil
Karakteristik subjek pada 2 penelitian ditampilkan dalam Tabel 1. Data
AustralianOvarian Cancer Study (AOCS) menunjukkan rata-rata umur kelompok

28

kasus sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Jumlah kelompok


kasus yang melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi lebih sedikit dibandingkan
kelompok kontrol pada data Survey of Womens Health (SWH). Berdasarkan
kedua data penelitian, dalam hal paritas > 1, riwayat penggunaan pil kontrasepsi
oral lebih dari 5 tahun, dan riwayat ligasi tuba, kelompok kasus lebih sedikit
dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan untuk riwayat penggunaan bedak talc
di regio perineal dan riwayat kanker dalam keluarga, jumlah kasus lebih banyak
dibandingkan kelompok kontrol.
Risiko kanker ovarium yang berhubungan dengan asuoan daging dan ikan
ditunjukkan dalam tabel 2. Konsumsi daging total dan daging merah tidak
berhubungan dengan risiko kanker ovarium baik pada studi populasi maupun
analisis kombinasi. Wanita yang mengonsumsi daging olahan (processed meat)
sebanyak > 4 porsi per minggu secara signifikan memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap kanker ovarium dibandingkan dengan wanita yang mengonsumsi daging
olahan sebanyak < 1 porsi per minggu (95% CI: 1.15, 1.21; P=0.03). Penyesuaian
tambahan untuk asupan buah-buahan, sayuran dan produk susu tidak mengubah
secara substansi hubungan untuk daging, daging merah, dan daging olahan, tetapi
setelah dilakukan penyesuaian untuk asupan lemak, hubungan daging yang telah
diproses sedikit melemah (P=0.09). Asupan hati juga berhubungan positif secara
signifikan dengan risiko kanker ovarium dalam kedua studi tersebut dengan
membandingkan wanita yang mengonsumsi lebih dari satu porsi hati per bulan
dengan wanita yang tidak pernah mengonsumsi hati (95% CI: 1.20, 1.81; P=
0.002). Penyesuaian terhadap asupan lemak tidak mengubah arah atau kekuatan
hubungan tersebut.
Penurunan risiko kanker ovarium berhubungan dengan tingginya konsumsi
daging unggas dengan penurunan 15-20% tidak signifikan terhadap risiko kanker
ovarium pada wanita yang mengonsumsi daging unggas > 3 porsi per minggu
dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi < 1 porsi daging unggas per
minggu, tetapi penurunan risiko dengan peningkatan asupan mencapai hasil yang
signifikan secara statistik hanya pada SWH (P=0.002). Selain itu, terdapat juga
hubungan terbalik antara konsumsi total ikan dan ikan berlemak (fatty fish)
dengan tingginya risiko kanker ovarium, walaupun hasil signifikan hanya

29

didapatkan pada AOCS dan analisis kombinasi (kombinasi OR untuk > 4 porsi
ikan per minggu dibandingkan dengan < 1 porsi ikan per minggu, P= 0.008; > 6
porsi ikan berlemak per minggu dibandingkan dengan < 1 porsi ikan berlemak
per minggu, P= 0.03). Kita juga mengamati penurunan risiko yang tidak
signifikan yang berhubungan dengan besarnya jumlah konsumsi ikan yang tidak
berlemak (nonfatty fish) pada SWH, tetapi tidak pada AOCS. Dua studi tersebut
menyatakan batas penurunan risiko kanker ovarium yang signifikan pada wanita
yang mengonsumsi > 4 porsi ikan yang tidak berlemak per bulan, walaupun
dengan meningkatan konsumsi diperoleh hasil tidak signifikan. Penyesuaian
tambahan untuk asupan buah-buahan, sayuran, produk susu, dan lemak tidak
merubah secara substansi hubungan dengan daging unggas, tetapi penyesuaian
untuk asupan sayuran, hubungan terbalik antara total ikan dan risiko sedikit
menguat dan menjadi tidak signifikan (kombinasi OR:0.83; 95% CI:0.67, 1.03).
Tabel 1. Perbandingan karakteristik subjek non diet dan gaya hidup dari
683 kasus dan 777 kontrol dalam SWH (1990-1993) dan 1366 kasus dan 1414
kontrol dalam AOCS (2002-2005), Australia

Meskipun kami tidak memiliki kekuatan statistik yang cukup untuk


mendeteksi sedikit perbedaan, tidak ada hubungan (asosiasi) yang dilaporkan
berbeda secara substansial untuk subtipe histologis yang berbeda dari kanker
ovarium (data tidak ditunjukkan).

30

Pencarian literatur mengidentifikasi 142 publikasi yang berpotensi relevan.


Setelah skrining judul dan abstrak, 93 diekslusi karena tidak relevan. Kami
mengambil 49 artikel untuk ditinjau lebih lanjut, termasuk 26 studi yang
mempresentasikan data yang menilai hubungan antara konsumsi daging/ikan dan
kanker ovarium. Empat dari studi tersebut dieksklusi karena studi tersebut
merupakan laporan sekunder dari studi yang sudah termasuk (21, 37, 38) atau
hanya mempertimbangkan daging goreng (39).
Lima studi (tabel 3) dieksklusi dari analisis utama karena mereka hanya
melakukan penyesuaian terhadap umur dan atau pendidikan dengan tidak
mempertimbangkan faktor perancu yang berpotensi lainnya atau tidak menyajikan
informasi yang cukup untuk memperhitungkan CIs (20). Karakteristik 17 studi (6
studi kohort dan 3 studi populasi serta 8 studi case-control berbasis rumah sakit)
dan item penilaian dirangkum pada tabel 4 dan tabel 5 untuk kohort dan studi
case-control, secara berurutan. Analisis akhir termasuk 7 studi untuk daging total
(15, 18, 23, 24, 42-44), 9 untuk daging merah (12-14, 17, 18, 22, 24, 25, 45), 5
studi untuk daging olahan (12, 14, 18, 24, 45), 7 studi untuk daging unggas (12,
17, 18, 22, 24-26), 6 studi untuk ikan (9, 12, 14, 18, 22, 24) dan satu studi untuk
hati (46), bersama dengan SWH dan AOCS.
Gabungan risiko relatif (RR) kejadian kanker ovarium untuk kelompok
tertinggi dibandingkan dengan kelompok terendah untuk asupan daging total
sebesar 1.16 dengan heterogenitas yang signifikan (P= 0.04). Setelah
dikelompokkan berdasarkan tipe penelitian, diperoleh RR gabungan yang sama
dan nol untuk kombinasi studi kohort dan studi case-control berbasis populasi
(RR untuk kohort dan kombinasi studi populasi = 1.01), sedangkan estimasi
gabungan untuk studi case-control berbasis rumah sakit menunjukkan
peningkatan signifikan risiko sebesar 47% (Figure 1A). Hasil yang sama
diperoleh untuk daging merah dengan hubungan positif yang signifikan hanya
terlihat diantara studi case-control berbasis rumah sakit dan tidak pada studi
populasi (RR untuk kombinasi kohort dan studi populasi= 1.06; 95% CI) (Figure
1B). Konsumsi daging merah sebagai hidangan utama termasuk meta analisis
dalam prefensi untuk daging sebagai hidangan campuran pada satu studi kohort
(25) yang hanya melaporkan secara terpisah. Sebaliknya ketika kami memasukkan

31

estimasi untuk daging merah sebagai hidangan campuran, estimasi pada dasarnya
tidak berubah.
Penggabungan hasil data SWH dan AOCS dengan 5 studi sebelumnya
yang menilai daging olahan (12, 14, 18, 24, 45) memberikan hubungan positif
yang signifikan dengan sebuah ringkasan keseluruhan RR 1.20 (95% CI: 1.07,
1.34) untuk kelompok asupan tertinggi dibandingkan dengan kelompok asupan
terendah tanpa heterogenitas yang signifikan (P= 0.88) (Figure 1C). Hasil untuk
studi kohort dan studi case-control tidak jauh berbeda. Sebuah studi sebelumnya
yang menilai asupan hati melaporkan OR sebesar 0.79; ketika kombinasi denga
AOCS dan SWH, RR gabungan sebesar 1.22 diperoleh untuk kelompok asupan
tertinggi dibandingkan dengan kelompok asupan terendah , walaupun terdapat
heterogenitas yang signifikan antara studi (P= 0.009) yang menunjukkan bahwa
estimasi tersebut tidak dapat diandalkan (Figure 1D).
Tabel 2. Odd ratio (OR) untuk asosiasi antara asupan daging total, daging
merah, daging olahan, liver, daging unggas, ikan dan makanan laut dengan risiko
kanker ovarium pada 683 kasus dan 777 kontrol pada SWH (1990-1993) serta
1366 kasus dan 1414 kontrol pada AOCS (2002-2005), Australia, dan analisis
kombinasi

32

Tabel 3. Studi yang dieksklusi dari meta analisis terkait hubungan antara
asupan daging/ikan dan risiko kanker ovarium

Tabel 4. Studi kohort yang termasuk dalam meta analisis terkait hubungan antara
asupan daging/ikan dan risiko kanker ovarium

33

Dalam semua studi, RR gabungan untuk kelompok asupan daging unggas


tertinggi dibandingkan dengan kelompok asupan daging unggas terendah sebesar
0.90 tanpa heterogenitas signifikan. Ketika estimasi untuk daging ayam dengan
kulit diganti dengan daging ayam tanpa kulit untuk satu studi kohort (25) yang
dilaporkan secara terpisah, didapatkan RR gabungan keseluruhan berkurang
sedikit sampai 0.87 dan menjadi signifikan (95% CI: 0.77, 0.98). Analisis lebih
jauh menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara daging unggas dan risiko
kanker ovarium pada kombinasi 3 studi kohort, tetapi terdapat penurunan risiko
17-19% yang tidak signifikan pada kelompok asupan tertinggi diantara studi
populasi dan studi case-control berbasis rumah sakit (Figure 1E). Hal yang serupa
dimana keseluruhan analisis gabungan untuk ikan menunjukkan batas penurunan
risiko yang signifikan pada kelompok asupan tertinggi (RR:0.84; 95% CI: 0.68,
1.03), namun hasil studi individu yang sangat heterogen (P heterogenitas= 0.003)
dengan tidak ada hubungan terlihat pada 2 studi kohort dan penurunan risiko 1225% yang tidak signifikan pada populasi dan studi case-control berbasis rumah
sakit (Figure 1F).
Selain analisis berdasarkan tipe studi, kami melakukan analisis sensitivitas
tambahan untuk menilai efek dari berbagai karakteristik studi pada hasil
penelitian. Eksklusi dari 3 studi (9, 13, 45) yang tidak termasuk penyesuaian
paritas dan atau penggunaan kontrasepsi oral, dua perancu penting yang
berpotensi untuk kanker ovarium, atau 7 studi (9, 13, 23, 26, 43, 44, 46) yang
tidak menggunakan FFQ penuh, sehingga tidak dapat menyesuaikan asupan
energi, tidak terlalu mempengaruhi hasil (perubahan maksimal pada RR gabungan
0.03).
Hasil dari tes Begg dan Egger menunjukkan bahwa tidak ada bukti bias
publikasi yang signifikan untuk salah satu makanan yang dipertimbangkan (nilai P
untuk daging total, daging merah, dan daging olahan > 0.6; nilai P untuk daging
unggas dan ikan > 0.2).

34

Figure 1. plot menunjukkan hubungan antara total konsumsi daging (A),


daging merah (B), daging olahan (C), hati (D), unggas (E), serta ikan (F) dengan
risiko kanker ovarium. Pusat setiap persegi menunjukkan risiko relatif (RR) dari
studi ini, dan garis horizontal menunjukkan 95% CI, bentuk diamond
menunjukkan estimasi gabungan.

D. Pembahasan
Tidak adanya hubungan antara asupan total daging atau daging merah
dengan risiko kanker ovarium di SWH dan AOCS sesuai dengan hasil penelitian
kohort Susanna C. Larsson and Alicja Wolk pada tahun 2005 dan sesuai dengan
studi kasus-kontrol berbasis populasi lainnya (McCann et al., 2001; McCann et
al., 2003; Yen et al., 2003; Shu et al., 1989). Sangat mungkin bahwa hubungan
positif antara konsumsi daging perkapita dengan angka kematian kanker ovarium
pada studi ekologis oleh Armstrong et al pada tahun 1975 merupakan sebuah
perancu, sedangkan peningkatan risiko yang terlihat dalam studi kasus-kontrol
berbasis rumah sakit mungkin dihasilkan dari penggunaan subyek kontrol rumah
sakit yang mungkin intake makannya tidak akurat untuk mewakili populasi
(Tavani, 2008; Zhang, 2002; Mori, 1988; La Vecchia, 1987).
Hubungan antara konsumsi daging olahan dan kanker ovarium masih
jarang dievaluasi. Hasil temuan positif dari SWH dan AOCS sesuai dengan

35

penelitian besar case-control pada orang-orang Italia oleh Bosetti et al tahun 2001
dan sesuai dengan penelitian kohort yang dilakukan oleh Larsson tahun 2005 dan
Schulz tahun 2007, meskipun pada penelitian case-control Pan tahun 2004
terhadap orang-orang Kanada tidak menunjukkan adanya hubungan.
Hasil meta-analisis pada penelitian ini menggabungkan semua data yang
menunjukkan bukti hubungan antara asupan tinggi asupan daging olahan dan
risiko kanker ovarium, dengan asosiasi positif yang signifikan terlihat dalam hasil
dari kedua studi kohort dan kasus-kontrol. Dianalisis sebelumnya dari SWH,
Kolahdooz et al tahun 2009 diamati 2 kali lipat peningkatan risiko kanker
ovarium untuk pola diet tinggi daging dan lemak. Kedua daging merah dan olahan
berkontribusi substansial pola ini diet, namun hasil penelitian ini menunjukkan
hubungan dengan kanker ovarium mungkin karena kurang tingginya konsumsi
daging merah dan lebih banyak pada komponen lain dari daging dan lemak seperti
daging olahan.
Dalam SWH dan AOCS, ada hubungan yang kuat antara asupan hati yang
tinggi dan risiko kanker ovarium yang muncul karena adanya konsentrasi retinol
yang dalam hati. Satu-satunya penelitian lain yang meneliti hubungan antara hati
dan kanker ovarium menunjukkan penurunan resiko yang tidak signifikan,
meskipun asupan hati pada penelitian tersebut lebih rendah, dan ada beberapa
kasus dalam kategori asupan tertinggi membatasi kekuatan untuk mendeteksi
hubungan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan penurunan resiko
kanker ovarium dengan konsumsi unggas. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya pada studi kasus-kontrol berbasis rumah sakit oleh Bosetti tahun
2001, Yen tahun 2003, dan Zhang pada tahun 2002. Hasil ini juga sesuai dengan
hasil studi kasus-kontrol berbasis populasi oleh Cramer tahun 1984 dan McCann
tahun 2003. Akan tetapi hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian kohort oleh
Schulz tahun 2004 dan Kiani tahun 2006. Kombinasi dari semua data
menunjukkan sedikit hubungan terbalik yang signifikan, meskipun hal tersebut
sangat heterogen antara hasil yang disatukan dari penelitian kohort dan penelitian
case-control.

36

Mungkin mekanisme terus-menerus dimana asupan tinggi daging mungkin


berhubungan dengan resiko kanker ovarium memasukkan fakta bahwa bahwa
daging itu mengandung karsinogeniki heterocyclic amines maupun kandungan
lemak pada daging. Lemak dijelaskan menjadi potensial untuk arah sebaliknya
dari hubungan antara unggas dan daging merah/olahan dan resiko kanker atas
variasi kandungan lemak, mulai dari 4% pada unggas yang kurus sampai 20%
pada beberapa daging merah. Dibandingkan dengan daging merah, unggas juga
memiliki proporsi kecil kandungan saturasi asam lemak (30%

dibandingkan

45%) dan proporsi tinggi kandungan asam lemak tak jenuh ganda (15%
dibandingkan <10%). Biarpun, hubungan antara lemak dan resiko kanker ovarium
belum jelas penyebabnya, sekalipun meta-analisis dari sebagian besar data kasuskontrol menunjukkan hubungan positif, analisis yang disatukan dari 12 penelitian
kohort menunjukkan tidak ada hubungan antara total, asam lemak jenuh tunggal,
asam lemak jenuh ganda, asam lemak jenuh trans atau asupan sayuran lemak dan
resiko kanker ovarium dan hanya sebuah hubungan positif yang lemah untuk
asupan lemak jenuh.
Mekanisme lain yang mungkin proses asupan tinggi daging dapat
meningkatkan resiko kanker melalui pembentukan endogen dari nitroso
compounds. Bukti mengenai efek dari N-nitroso compounds pada resiko kanker
ovarium masih jarang, meskipun satu penelitian case-control di China melaporkan
tidak ada hubungan dengan asupan makanan hewani asin yang mengandung kadar
tinggi nitrites dan nitrates. Meskipun demikian, peneliti menuliskan bahwa
konsumsi dari daging tersebut rendah di china, karena harganya relatif mahal.
Secara umum, data mengenai hubungan dengan asupan ikan tidak
konsisten. SWH dan AOCS menyebutkan adanya hubungan terbalik dengan
konsumsi ikan total dan ikan berlemak, dengan efek lemah atau tidak berefek
yang terlihat untuk ikan bebas lemak dan kerang-kerangan. Pada meta-analisis ini,
diamati batas bawah hubungan terbalik yang signifikan dengan asupan total ikan,
meskipun datanya sangat beragam.
Bukti lebih lanjut mendukung hipotesis bahwa konsumsi ikan dapat
mengurangi risiko berasal dari penelitian kohort baru-baru ini yang menunjukkan
bahwa vegetarian yang juga mengkonsumsi ikan memiliki risiko lebih rendah

37

terkena kanker ovarium dibandingkan dengan pemakan daging (RR: 0,37; 95%
CI: 0,18,0,77) dan jika dibandingkan vegetarian yang tidak makan ikan (RR: 0,69;
95% CI:0,45, 1,07). Secara keseluruhan, hubungan terbalik antara ikan dan kanker
ovarium secara biologis masuk akal karena ikan, khususnya ikan berlemak,
merupakan sumber yang baik dari omega-3 asam lemak, yang mungkin memiliki
sifat anti kanker dalam kaitannya dengan berbagai jenis kanker termasuk kanker
ovarium. Sebuah meta-analisis menunjukkan hubungan terbalik antara asupan
omega-3asam lemak tak jenuh ganda dan kanker ovarium.
Namun, hasil metaanalisis selanjutnya yang dilakukan oleh Jiang et al
tahun 2014 menunjukkan bahwa total konsumsi ikan tidak berhubungan secara
bermakna dengan risiko kanker ovarium. Kandungan polyunsaturated omega-3
asam lemak dalam ikan dianggap mampu mengurangi risiko beberapa jenis
kanker (Fernandez et al., 1999). Namun, di sisi lain, senyawa karsinogenik dan
mutagenik Nnitroso dan amina heterosiklik dalam olahan ikan dapat
meningkatkan risiko kanker (Lijinsky, 1999; Rohrmann, 2009).
Seperti halnya studi epidemiologi lain, data dari SWH dan AOCS memiliki
sejumlah kekuatan dan keterbatasan. Kekuatan utama adalah penggabungan
jumlah dari peserta, penggunaan subyek populasi kontrol, dan tingkat respon
tinggi untuk kasus-kasus. Alasan umum untuk bukan partisipan adalah sakit atau
kematian, dengan demikian bias seleksi bisa saja timbul jika ada item makanan
dalam penelitian yang mempengaruhi kelangsungan hidup. Kelemahan dari
penelitian ini adalah respon yang rendah pada kelompok kontrol, khususnya pada
AOCS (47%).
Untuk meminimalkan kemungkinan recall bias, responden ditanya tentang
konsumsi pangan 1 tahun sebelum penelitian, atau pada kasus 1 tahun sebelum di
diagnosis dan kasus direkrut sesegera mungkin setelah didiagnosis. Hasil metaanalisis juga dapat menjadi bias jika studi yang menemukan hubungan asosiatif
lebih banyak diterbitkan dibandingkan dengan penelitian yang menunjukkan tidak
ada hubungan. Bias juga dapat terjadi jika hasil studi individu yang digunakan
pada meta-analisis mempunyai bias tersendiri. Penelitian ini menunjukkan tidak
ada bukti statistik pada bias publikasi.

38

Kesimpulannya, temuan dari 2 penelitian kasus-kontrol berbasis populasi


dan meta-analisis menunjukkan bahwa asupan tinggi daging olahan dapat
berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi dari ovarium kanker, sedangkan
asupan tinggi daging unggas atau ikan mungkin berhubungan dengan risiko yang
lebih rendah terkena kanker ovarium. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
mengikuti pedoman diet umum untuk mengurangi asupan daging olahan dan
meningkatkan asupan daging unggas dan ikan, dapat mengurangi risiko kanker
ovarium pada perempuan.

39

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kanker ovarium merupakan tumor dengan histiogenesis yang
beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga dermoblast (ektodermal,
endodermal, mesodermal) dengan sifat-sifat histiologis maupun
biologis yang beraneka ragam
2. Kanker ovarium ganas terdiri dari 90 95 % kanker epitel ovarium,
dan selebihnya 5 10 % terdiri dari tumor germ sel dan tumor sex
cord-stroma.
3. Etiologi kanker ovarium masih belum jelas, namun diketahui kanker
ovarium dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehamilan dan
paritas, genetik, usia, penggunaan alat kontrasepsi oral, ligase atau
pengikatan tuba, ras, indeks masa tubuh, dan pengaruh bahan industri
4. Selain itu, faktor resiko asupan tinggi daging olahan diketahui dapat
berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi dari kanker ovarium,
sedangkan asupan tinggi daging unggas atau ikan mungkin
berhubungan dengan risiko yang lebih rendah terkena kanker ovarium.

40

DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 2010. Cancer Facts and Figures 2010. [OnlineAvailable
at:http://documents.cancer.org/acs/groups/cid/documents/ webcontent/003130pdf.pdf [Accessed: 10th Agustus 2010].
Armstrong B, Doll R. Environmental factors and cancer incidence and mortality
in different countries, with special reference to dietary practices. Int J
Cancer 1975;15:61731.
Bell J, Brady MF, Young RC, et al. 2006. Randomized phase III trial of three
versus six cycles of adjuvant carboplatin and paclitaxel in early stage
epithelial ovarian carcinoma: a Gynecologic Oncology Group study.
Gynecol Oncol 102:432.
Busman, B., 2008. Kanker Ovarium, dalam: Aziz M.F., Andriono, Siafuddin A.B.
(editor) Buku Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Bosetti C, Negri E, Franceschi S, et al. Diet and ovarian cancer risk: a casecontrol study in Italy. Int J Cancer 2001;93:9115.
Beral, V. 2008. Ovarian Cancer and Oral Contraceptives: Collaborative Reanalysis of
Data from 45 Epidemiological Studies Including 23,257 Women with Ovarian
Cancer and 87,303 Controls. Cancer Medical Journal. 371 (9609), 303-314.
Chi DS, Abu-Rustum NR, Sonoda Y, et al. 2005. The safety and efficacy of
laparoscopic surgical staging of apparent stage I ovarian and fallopian tube
cancers. Am J Obstet Gynecol 192:1614
Choi, J.H., Wong, A.S.T., Huang, H.F., Leung, P.C., 2007. Gonadotropins and
Ovarian Cancer. Endocrine Reviews. 28 (4): 440-461.
Copeland, L.J., 2007. Epithelial Ovarian Cancer, in : Clinical Gynecologic
Oncology, 7th Ed. Mosby Elsevier inc. p.317-371.
Coleman, R.L., Gershenson, D.M., 2007. Neoplastic Disease of the Ovary, in :
Katz, V.L., Lentz, G.M., Lobo, R.A., Gershenson, D.M. Comprehensive
Ginecology, 5th Ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. p.
Covens AL. 2000. A critique of surgical cytoreduction in advanced ovarian cancer.
Gynecol Oncol 78:269.
Cramer DW, Welch WR, Hutchison GB, Willett W, Scully RE. Dietary animal fat
in relation to ovarian cancer risk. Obstet Gynecol 1984;63:8338.
Cuningham, F.G., et al. 2010. Williams Obstetrics, 23rd Edition, United States :
The McGraw-Hill
Czyz, A.H. 2008. Ovarian Cancer- Risk factors: Imaginis. [Online] Available at:
http://www.imaginis.com/ovarian-cancer/ovarian-cancer-risk-factors-1
[Accessed: 19th September 2010].
Djuana, A., Rauf, S., Manuaba. 2001. Pengenalan Dini Kanker Ovarium. Makalah
Ilmiah PIT XII POGI Palembang.

41

Earle CC, Schrag D, Neville BA, et al: Effect of surgeon specialty on processes of
care and outcomes for ovarian cancer patients. J Natl Cancer Inst 98:172,
2006
Eisenkop SM, Spirtos NM. 2001. The clinical significance of occult
macroscopically positive retroperitoneal nodes in patients with epithelial
ovarian cancer. Gynecol Oncol 82:143
Edwards, Robert P, Paul Blackburn, et al. 2014. Ovarian Cancer. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/ovarian_cancer/page9_em.htm#ovarian_c
ancer_prevention pada tanggal 26 Maret 2015.
Fauzan, R. 2009. Gambaran faktor penggunaan kontrasepsi terhadap angka kejadian
kanker ovarium di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta berdasarkan
pemeriksaan histopatologik tahun 2003-2007 (tesis). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Fernandez E, Chatenoud L, La Vecchia C, Negri E, Franceschi S (1999) Fish
consumption and cancer risk. Am J Clin Nutr 70: 8590.
Fleischer A. Ovarian cancer. In: Fleischer AC, Javitt MC, Jeffrey RB Jr, et al.
Clinical Gynecologic Imaging. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams &
Wilkins; 1996:107.
Granstrom, C., 2008. Population Attributable Fraction for Ovarian Cancer in
Swedish Women by Morphologic Type. 98 (1),199-205. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2359681. Accessed on:
October 10th, 2010.
Green, Andrew E, Agustin A Garcia, Samina Ahmed, et al. 2014. Ovarian
Cancer. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/255771overview pada tanggal 26 Maret 2015.
Griffiths CT. 1975. Surgical resection of tumor bulk in the primary treatment of
ovarian carcinoma. Natl Cancer Inst Monogr 42:101
Goff BA, Mandel LS, Drescher CW, Urban N, Gough S, Schurman KM, et al.
Development of an ovarian cancer symptom index: possibilities for earlier
detection. Cancer. Jan 15 2007;109(2):221-7.
Havrilesky, L.J. and Berchuck, A., 2001. Molecular Alteration in Sporadic Cancer,
in: Ovarian cancer 2nd Ed. Lippincott Williams and Wilkins Publisher.p.
Helm,
C
William.
2015.
Ovarian
Cysts .
diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/255865-overview pada tanggal 29
maret 2015.
Iyer VR, Lee SI. MRI, CT, and PET/CT for ovarian cancer detection and adnexal
lesion characterization. AJR Am J Roentgenol. Feb 2010;194(2):311-21.
Jiang, Pei-yue, Zhong-bo Jiang, Ke-xin Shen, Ying Yue. Fish Intake and
Ovarian Cancer Risk: A Meta-Analysis of 15 Case-Control and Cohort
Studies. Plos One April 2014 Volume 9 Issue 4
Joedosepoetro, Soetomo. 2009. Tumor Jinak pada Alat Genital dalam Ilmu
Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal: 346351.
42

Kolahdooz F, Ibiebele TI, van der Pols JC, Webb PM. Dietary patterns and
ovarian cancer risk. Am J Clin Nutr 2009;89:297304.
Kiani F, Knutsen S, Singh P, Ursin G, Fraser G. Dietary risk factors for ovarian
cancer: the Adventist Health Study (United States). Cancer Causes Control
2006;17:13746
Karst, A.M and Drapkin, R. 2010. Ovarian cancer Pathogenesis : A Model in
Evolution. Journal of Oncology. Vol 2010. Article ID 932371, 13
Kapoor,
Dharmesh.
2015.
Endometriosis.
diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/271899-overview pada tanggal 29
maret 2015.
Karyana, K. 2005. Profil Kanker Ovarium di Rumah Sakit Sanglah Denpasar
periode Januari 2002 sampai Desember 2004 (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Larsson SC, Wolk A. No association of meat, fish, and egg consumption with
ovarian cancer risk. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2005;14: 10245.
La Vecchia C, Decarli A, Negri E, et al. Dietary factors and the risk of epithelial
ovarian cancer. J Natl Cancer Inst 1987;79:6639.
Lahmann, P.H. 2009. Anthropometric Measures and Epithelial Ovarian Cancer Risk
in The European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. NCBI
Journal. Vol 19. 1982-1492.
Lijinsky W (1999) N-Nitroso compounds in the diet. Mutat Res 443: 129138.
McCann SE, Freudenheim JL, Marshall JR, Graham S. Risk of human ovarian
cancer is related to dietary intake of selected nutrients, phytochemicals and
food groups. J Nutr 2003;133:193742.
Mori M, Miyake H. Dietary and other risk factors of ovarian cancer among
elderly women. Jpn J Cancer Res 1988;79:9971004.
Morgan RJ Jr, Alvarez RD, Armstrong DK, et al: NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology. Ovarian cancer, including fallopian tube cancer and
primary peritoneal cancer. Version 2. 2011. www.nccn.org. Accessed May
12, 2011
Nagell, J.R., Gershenson, D.M., 2008. Ovarian Cancer : Etiology, Screening, and
Surgery, in: Te Linde Operative Gynecology,10th Ed. Florida: Lippincott
Williams and Wilkins.p.1308-1339.
Ollendorf,
Arthur
T.
2014.
Cervicitis.
diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/253402-overview pada tanggal 29
maret 2015.
Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Pan SY, Ugnat AM, Mao Y, Wen SW, Johnson KC. A case-control study of diet
and the risk of ovarian cancer. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev
2004;13:15217.

43

Pothuri, B., Mario, M.L., Douglas, A., Levine, Agnes, V., Adam, B., Olshen,
Arroyo, C., Bogomolniy, F., Olvera, N., Lin, O., Robert, A., Soslow,
Robson, M.E., Offit K., Barakat, R., Boyd, J., 2010. Genetic Analysis of the
Early Natural History of Epithelial Ovarian Carcinoma. PloS ONE 5(4):
e10358. doi:10.1371/journal,pone.0010358.
Rohrmann S, Hermann S, Linseisen J (2009) Heterocyclic aromatic amine intake
increases colorectal adenoma risk: findings from a prospective European
cohort study. Am J Clin Nutr 89: 14181424.
Ryerson AB, Eheman C, Burton J, McCall N, Blackman D, Subramanian S, et al.
Symptoms, diagnoses, and time to key diagnostic procedures among older
U.S. women with ovarian cancer. Obstet Gynecol. May 2007;109(5):105361.
Schulz M, Nothlings U, Allen N, et al. No association of consumption of animal
foods with risk of ovarian cancer. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev
2007;16:8525.
Shu XO, Gao YT, Yuan JM, Ziegler RG, Brinton LA. Dietary factors and
epithelial ovarian cancer. Br J Cancer 1989;59:926.
Sihombing, M, Sirait, A.M. 2007. Survival Rate of Ovarium Cancer. Puslitbang
Biomedis dan Farmasi, Balitbangkes RI. Majalah Kedokteran Indonesia Vol
: 57, Nomor : 10, Oktober 2007.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo...(dkk), EGC, Jakarta.
Tavani A, La Vecchia C, Gallus S, et al. Red meat intake and cancer risk: a study
in Italy. Int J Cancer 2000;86:4258
Teng,
Nelson.
2015.
Adnexal
Tumors.
diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/258044-overview#a0112
pada
tanggal 29 maret 2015
Trimbos JB, Parmar M, Vergote I, et al: International Collaborative Ovarian
Neoplasm trial 1 and Adjuvant Chemo Therapy in Ovarian Neoplasm trial:
Two parallel randomized phase III trials of adjuvant chemotherapy in
patients with early-stage ovarian carcinoma. J Natl Cancer Inst 95:105, 2003
Tozzi R, Kohler C, Ferrara A, et al: Laparoscopic treatment of early ovarian
cancer: surgical and survival outcomes. Gynecol Oncol 93:199, 2004
U.S. Preventive Services Task Force. Screening for ovarian cancer:
recommendation statement. AHRQ: Agency for Healthcare Research and
Quality.
Available
at
http://www.ahrq.gov/clinic/3rduspstf/ovariancan/ovcanrs.htm.
Accessed
January 25, 2010.
Whitney, C.W. 2011. Gynecologic Oncology Group Surgical Procedures Manual.
Gynecologic
Oncology
Group.
Available
at:
https://gogmember.gog.org/manuals/pdf/surgman.pdf. Accessed May 12

44

Yazbek J, Raju SK, Ben-Nagi J, Holland TK, Hillaby K, Jurkovic D. Effect of


quality of gynaecological ultrasonography on management of patients with
suspected ovarian cancer: a randomised controlled trial. Lancet Oncol. Feb
2008;9(2):124-31.
Yen ML, Yen BL, Bai CH, Lin RS. Risk factors for ovarian cancer in Taiwan: a
case-control study in a low-incidence population. Gynecol Oncol
2003;89:31824.
. Zhang M, Yang ZY, Binns CW, Lee AH. Diet and ovarian cancer risk: a casecontrol study in China. Br J Cancer 2002;86:7127.
Young RC, Walton LA, Ellenberg SS, et al. 1990. Adjuvant therapy in stage I and
stage II epithelial ovarian cancer: results of two prospective, randomized
trials. N Engl J Med 322:1021
th
25 FIGO annual report on the result of treatment in gynecology cancer. 2003. Int.
J Gyncol Obstet ; 83

45

Anda mungkin juga menyukai