Tujuan Harmonisasi ASEAN Adalah Meningkatkan Kerjasama Dengan Negara-Negara Asia
Tujuan Harmonisasi ASEAN Adalah Meningkatkan Kerjasama Dengan Negara-Negara Asia
yang menjadi anggota dalam penjaminan keamanan, kualitas, dan manfaat dari produk
kosmetik, serta mengeliminasi pembatasan ekspor produk ke negara Asia. Di samping itu,
juga dutujukan untuk meningkatkan kompetisi produk, bukan hanya dalam segi kualitas,
melainkan juga performance dan harga.
Harmonisasi perdagangan ASEAN dilakukan pada 11 sektor dimana diantaranya adalah
sektor kesehatan. Di sektor kesehatan harmonisasi meliputi:
Obat
Obat tradisional
Kosmetik
Suplemen Kesehatan
Alat Kesehatan
Pangan olahan
1. Di Bidang Obat :
ACTR/ACTD (standar dan persyaratan registrasi obat)
ASEAN Guidelines (Stability; validasi proses/MA; BA/BE)
Mutual Recognition Arrangements (MRA) on GMP Inspection (signed 2009)
Mutual Recognition Arrangements (MRA) on BE Study Report Format (tahap awal)
PMAS (Post Market Alert System)
2. Di Bidang Kosmetika;
Di bidang Kosmetika, Harmonisasi ASEAN mengacu pada ASEAN Cosmetic Directive yang
merupakan standar dan persyaratan dalam sistem notifikasi.
Setiap produsen kosmetik yang akan memasarkan produknya harus menotifikasikan produk
tersebut terlebih dahulu kepada pemerintah di tiap Negara ASEAN dimana produk tersebut
akan dipasarkan.
Setiap produsen yang menotifikasi produknya harus menyimpan data mutu dan keamanan
produk (Product Information File) yang siap diperiksa sewaktu-waktu oleh petugas pengawas
Badan POM RI (atau petugas lain yang berwenang di tiap negara).
Perbedaan yang mendasar dari harmonisasi ASEAN dengan sistem terdahulu (sistem
registrasi) adalah, pada sistem registrasi ada pengawasan sebelum produk beredar (pre market
approval) oleh pemerintah, sedangkan pada harmonisasi ASEAN tidak ada, dan hanya ada
pengawasan setelah beredar (post market surveillance). Alasannya karena dari analisa
penilaian resiko, kosmetik merupakan produk beresiko rendah sepanjang peraturan/regulasi
kosmetik telah dipatuhi oleh produsen. Hal tersebut menguntungkan produsen karena dapat
mempersingkat proses untuk memperoleh izin edar , karena tidak perlu evaluasi pre market
terlebih dahulu, tetapi konsumen tetap terlindungi karena adanya pengawasan post market
berupa sampling dan pengujian mutu dan keamanan dari Badan POM. Industri kosmetik
dituntut untuk bertanggung jawab penuh terhadap mutu dan keamanan produknya, untuk itu
perusahaan kosmetik harus memahami semua ketentuan ACD dan membuat database
keamanan bahan dan produknya.
Berikut merupakan Roadmap Harmonisasi Asean dibidang Kosmetik :
Menyiapkan DIP sesuai dengan pedoman ASEAN yang sewaktu waktu akan diaudit
oleh Badan POM
SDM memiliki kemampuan dalam pengisian dan penyusunan template notifikasi.
Memiliki safety assessor yang akan memberikan jaminan keamanan produk sebelum
dinotifikasi dan selama diedarkan;
Mengikuti persyaratan label dan klaim;
Mengikuti perkembangan peraturan terbaru dari ASEAN.
Menerapkan CPKB kesepakatan ASEAN: setiap produsen yang tidak CPKB tidak
dapat memproduksi produk kosmetika baru;
Produk yang dapat diperdagangkan adalah produk yang diproduksi sesuai CPKB;
Melakukan MONITORING EFEK SAMPING kosmetika beredar dan melaporkan ke
Badan POM apabila terjadi efek samping serius dan/atau fatal
ASEAN Guiding Principles for Inclusion into or Exclusion from the Negative List of
Substances for Traditional Medicines and Health Supplements
ASEAN Guiding Principles for the Use of Additives and Excipients in Traditional
Medicines and Health Supplements
ASEAN Guidelines on Limits of Contaminants for Traditional Medicines and Health
Supplements
ASEAN Guidelines for Minimising the Risk of Transmission of Transmissible
Spongiform Encephalopathies in Traditional Medicines and Health Supplements
ASEAN Guidelines on Stability and Shelf-Life of Traditional Medicines and Health
Supplements
ASEAN Guiding Principles on Safety Substantiation for Traditional Medicines and
Health Supplements
ASEAN Guidelines on Claims and Claims Substantiation for Traditional Medicines
and Health Supplements
ASEAN Guidelines on Good Manufacturing Practice for Traditional Medicines and
Health Supplements
ASEAN Guidelines on Labeling Requirements for Traditional Medicines and Health
Supplements
ASEAN General Principles for Establishing Maximum Levels of Vitamins and
Minerals in Health Supplements
Profesi Bidan
Sanitarian
Ahli Laboratorium Kesehatan
Rekam Medis
Keperawatan
Tekniker Gigi
Gizi
Radiologi
Elektro medik
Fisioteraspis
Pada tahun 2007 proses penyusunan standar profesi untuk Profesi Tenaga kesehatan
Teknik Wicara , Ahli Madya Farmasi, Okupasi Terapi dan Refraksionist Optisien, Perawat
dan Perawat Anaesthesi.
Pada tahun 2008 penyusunan standar Profesi akan difasilitasi oleh Puspropnakes untuk
profesi kesehatan Teknik Tranfusi, Teknik Instalasi Medik, Ahli Kesehatan Masyarakat dan
Kimia Klinik Indonesia.
Dengan ditetapkannya standar profesi oleh Menteri Kesehatan, maka uji kompetensi
untuk setiap jenis tenaga kesehatan dapat dilaksanakan sehingga kualitas tenaga kesehatan
sama baik di seluruh Indonesia.
Uji Kompetensi
Pengabdian
(inggris) untuk berkomunikasi dan juga teknologi informasi untuk mengimbangi era digital
saat ini. Sehingga tenaga kesehatan kita juga mampu mengisi peluang kerja internasional.
Peningkatan Kualitas SDM Kesehatan
Tenaga kesehatan asing yang berhasil mengisi peluang kerja di Indonesia nantinya, pastilah
yang memiliki kompetensi yang mumpuni. Mau tidak mau tenaga kesehatan kita harus
meningkatkan kompetensi agar tidak kalah performanya dengan tenaga kesehatan asing .
Disebutkan dalam Permenkes 317/2010 tentang Pendayagunaan tenaga kerja asing di
Indonesia bahwa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia harus memiliki sertifikat
kompetensi dan STR. ini artinya tenagakes kita juga harus memiliki kualitas yang sepadan.
Peningkatan kualitas SDM tidak hanya tanggung jawab pemerintah namun juga masyarakat
secara sinergi bersama-sama berjuang meningkatkan kualitas, memperkaya keterampilan,
tidak hanya hard skill tapi juga soft skill agar memiliki nilai saing tinggi. Peningkatan
kualitas SDM dapat dilakukan dengan pelatihan, kursus, praktek kerja langsung dan
sebagainya.
Belum lama ini pemerintah membuat kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) yang tertuang dalam PP no.8 tahun 2012, kebijakan ini adalah turunan dari . UU no
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengamanatkan adanya pengakuan kompetensi
kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dan sebagai perwujudan sistem perencanaan dan
informasi tenaga kerja baik secara makro dan mikro. KKNI adalah kerangka penjenjangan
kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang
pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian
pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.
Dalam Kebijakan KKNI terdapat 9 jenjang kualifikasi, yaitu : jenjang 1 sebagai jenjang
terendah sampai dengan jenjang 9 sebagai jenjang tertinggi. Jenjang 1 sampai dengan 3
dikelompokkan dalam jabatan operator, jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan
dalam jabatan ahli. Untuk mencapai jenjang kualifikasi, melalui 4 jalur yaitu otodidak,
industri (pengalaman kerja), pendidikan dan sertifikasi profesi. Dengan KKNI, kompetensi
seseorang tidak lagi dilihat dari ijazah tapi berdasarkan capaian pembelajaran yang kemudian
dikualifikasikan sebagai pengakuan terhadap hasil pembelajaran tenaga kerja.
KKNI berusaha menjembatani gap antara pendidikan tinggi kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja kesehatan. Kebijakan ini juga ibarat angin segar bagi tenaga kesehatan
Indonesia, untuk menjawab tantangan dan persaingan global yang kompetitif di era MEA
2015. Karena KKNI akan menjadi acuan bagi SDM kesehatan untuk bisa bersaing dengan
tenaga kesehatan asing dalam merebut pasar kerja baik regional maupun global. Karena
selama ini tenaga kesehatan Indonesia cukup sulit bersaing ditingkat global akibat tidak
adanya standar kualifikasi yang jelas. Dengan adanya KKNI, standar kualifikasi tenaga
kesehatan Indonesia dapat disetarakan dengan standar kualifikasi di negara lain, sehingga
tenaga kesehatan kita memiliki daya saing tinggi dan memiliki peluang lebih besar untuk bisa
bekerja di tingkat global.
PIC/S
Pharmaceutical Inspection Convention dan Pharmaceutical Inspection Co-operation
Scheme (tergabung bersama sebagai PIC/S), merupakan dua instrumen internasional antara
negara dan otoritas pengawasan sediaan farmasetik, yang secara aktif dan konstruktif
memberikan suatu kerjasama di bidang GMP (Good Manufacturing Practice).
Misi PIC / S adalah untuk memimpin pengembangan, implementasi dan
pemeliharaan dari Good Manufacturing Practice (GMP) yang telah disetarakan dan
menerapkan standar kualitas pengawasan di bidang produk obat.
Tujuan dari PIC/S adalah untuk memfasilitasi jaringan antara otoritas kesehatan yang
berpartisipasi dan memelihara kepercayaan antar anggotanya, pertukaran informasi dan
pengalaman di bidang GMP dan bidang terkait, serta memberikan pelatihan GMP.
PERBEDAAN PIC dan PIC SCHEME
PIC
PIC Scheme
Antar negara
Uji Praklinik
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.Karena itulah penelitian toksisitas
merupakan cara potensial untuk mengevaluasi berbagai aspek antara lain:
Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
Kerusakan genetik
Pertumbuhan tumor
Kejadian cacat waktu lahir.
Dari pengamatan uji pra klinik dengan subyek hewan uji ini dapat dipakai acuan
untuk menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak.Untuk
mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro
untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan
cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan
lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan.
Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antara lain :
a)
Uji Farmakodinamika
Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik seperti yang
diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan secara in vivo
dan in vitro.
b) Uji Farmakokinetik
- Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi)
- Merancang dosis dan aturan pakai
c) Uji Toksikologi
- Mengetahui keamanannya
d) Uji Farmasetika
- Memperoleh data farmasetika, meliputi formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk sediaan
yang paling sesuai dan cara penggunaannya.