Anda di halaman 1dari 9

TELAAH TERHADAP

PUTUSAN MK.NOMOR : 49/PUU-X/2012 DAN PUTUSAN MK.NOMOR :


72/PUU-XII/2014
I. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
A. Dalam Putusan MK Nomor : 49/PUU-X/2012
Pemohon :
Pemohon dalam permohonan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No.30
Tahun 2004 adalah Kant Kamal (perorangan, warga Negara Indonesia) ,
Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Jalan Dr. Nurdin I Nomor 24, RT/RW
008/007, Kelurahan Grogol, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta
Barat. Dalam hal ini memberi kuasa kepada :
1). Tomson Situmeang, S.H;
2). Charles A.M Hutagalung, S.H;
3). Natalia Hutajulu, S.H;
4). Jupryanto Purba, S.H;
5). Mangembang Hutasoit, S.H;
B. Dalam Putusan MK Nomor : 72/PUU-XII/2014
Pemohon dalam permohonan uji materi Pasal 66 ayat (1), (3) dan ayat
(4) UU No.2 Tahun 2014 adalah Tomson Situmeang,SH, (perorangan,
Warga Negara Indonesia) Pekerjaan : Advocat dan Managing Partner
pada Law Firm RB Situmeang & Partners, Alamat : Gedung Pusat
Alkitab (Gedung LAI) Lantai 9, unit 901, Jalan Salemba Raya No.12,
Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Dalam hal ini
memberi kuasa kepada :
1). Pintor Situmeang, SH
2). Dedy Ronald Gultom,SH
3). Wilfird Fernando S, SH
4). Charles A.M Hutagalung,SH,
5). Pereddi Sihombing,SH
Kesemua pemohon uji materi Pasal 66 ayat (1), (3) dan (4) UU No.30/2004 jo
UU No.2/2014 tentang Jabatan Notaris, adalah perorangan yang juga warga
Negara Indonesia , tetapi bukan berasal dari praktisi Notaris.
II. PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI MENERIMA DAN
MENOLAK PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW
2.1
Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No.49/PUU-X/2012 yang menerima/mengabulkan permohonan
pemohon Terhadap Pasal 66 Ayat (1) adalah :

(3.10) Menimbang
bahwa
pada pokoknya
Pemohon
mendalilkan Pasal 66 ayat (1) sepanjang frasa dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah UU Jabatan Notaris
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, karena penyidik Kepolisian RI mengalami kendala
dalam melakukan proses penyidikan laporan polisi terhadap
notaris sehubungan dengan tindak pidana membuat keterangan
palsu kedalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
266 KUHP. Oleh karena yang dipanggil adalah notaris maka
penyidik kepolisian terlebih dahulu harus meminta izin kepada
Majelis Pengawas Daerah untuk
memeriksa notaris dalam
perkara pidana. Menurut Pemohon
ketentuan tersebut
bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam
hukum bagi setiap warga negara Indonesia, tidak terkecuali
notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945;
(3.11)
Menimbang bahwa notaries adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian
tanggal
pembuatan
akta,
menyimpan
akta,
memberikan grosse, salinan dan juga kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-kata itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang
ditetapkan oleh undang-undang; [vide Pasal 15 UU Jabatan
Notaris)
(3.12)
Menimbang bahwa menurut Pasal 1870 KUH Perdata, akta
notaris berlaku sebagai pembuktian yang kuat kepada pihakpihak yang membuatnya. Artinya kedudukan notaris sangat
penting karena oleh undang-undang diberi wewenang
menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian
bahwa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya
dianggap benar untuk kepastian hukum dari para subjek hukum
yang etrtuang dalam akta sampai dibuktikannya sebaliknya
dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
(3.13) Menimbang bahwa Pasal 4 dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU
Jabatan Notaris mewajibkan notaries untuk menjaga kerahasiaan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan


sumpah janji jabatan kecuali Undang-Undang menentukan lain.
Kemudian
terhadap
pelanggaran
kewajiban
tersebut
berdasarkan Pasal 85 UU Jabatan Notaris, seorang notaris dapat
dikenai sanksi
berupa teguran lisan sampai dengan
pemberhentian dengan tidak hormat;
(3.14)
Menimbang bahwa oleh karena Pemohon mendasarkan
permohonannya
pada
pelanggaran
prinsip
persamaan
kedudukan dihadapan hukum dalam pemerintahan
dan
perlakuan
yang
adil, Mahkamah perlu merujuk pendapat
Mahkamah dalam Putusan Nomor 024/PUU-III/2005, tanggal 29
Maret 2006, bahwa ada tidaknya persoalan diskriminasi dalam
suatu Undang-Undang juga dapat dilihat
dari perspektif
bagaimana konstitusi merumuskan perlindungan terhadap suatu
hak konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut
oleh
konstitusi perlindungannya ditempatkan dalam rangka due
process ataukah dalam rangka perlindungan yang sama (equal
protection).Pembedaan
demikian
penting
dikemukakan
sebab seandainya suatu undang-undang mengingkari hak
dari semua orang maka pengingkaran demikian lebih tepat
untuk dinilai dalam rangka due process, namun, apabila suatu
Undang-Undang ternyata meniadakan suatu hak bagi beberapa
orang tetapi memberikan hak demikian kepada orang-orang
lainnya maka keadaan tersebut dapat
dianggap sebagai
pelanggaran terhadap prinsip equal protection;
(3.15)
Menimbang bahwa proses peradilan oleh penyidik,
penuntut umum, atau hakim untuk mengambil dokumendokumen dalam penyimpanan notaris dan memanggil niotaris
untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan
dokumen-dokumen yang dibuatnya yang hanya dapat dilakukan
dengan persetuan Majelis Pengawas Daerah, menurut Mahkamah
termasuk dalam kelompok pengaturan yang sehausnya tidak
mengandung perlakuan berbeda yang ebrtentangan dengan
prinsip equal protection sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yaitu persamaan atau
kesederajatan dihadapan hukum dan pemerintahan;
(3.16)
Menimbang bahwa semua proses penegakan
hukum
pidana terhadap notaris sebagaimana telah dirumuskan pada
paragraf di atas harus dilakukan tanpa campur tangan atau
intervensi dari kekuasaan lain di luar peradilan. Hal demikian

sejalan dengan prinsip penyelenggaraan kekuasaan peradilan


yang merdeka sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945
dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan, segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar
kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
(3.17)
Menimbang
bahwa
terhadap
notaris
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris perlakuan
yang berbeda dapat
dibenarkan sepanjang perlakuan itu
berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu yang
berkaitan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris
dalam melaksanakan tugas yang berhubungan dengan
moralitas. Menurut Mahkamah perlakuan yang berbeda
terhadap
jabatan
notaris tersebut diatur dan diberikan
perlindungan dalam Kode Etik Notaris, sedangkan notaries selaku
warga Negara dalam proses penegakkan hukum pada semua
tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum
sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, keharusan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan
prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan
dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang
memiliki kedudukan sama di hadapan hukum. Dengan cara
demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang
berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya
penegakan keadilan yang pada
akhirnya justru dapat
menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu
sendiri.
Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (justice
delayed justic denied);
2.2

Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI


No.72/PUU-XII/2014 yang menolak permohonan pemohon
Terhadap uji materi Pasal 66 Ayat (1), (3) dan (4) adalah :
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal
20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)

a.
b.
c.
d.
e.

UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:


adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah perseorangan warga
negara Indonesia yang terdaftar sebagi wajib pajak dan juga
berprofesi sebagai advokat (vide bukti P-5 sampai dengan bukti
P-8) merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya
Pasal 66 ayat (1), sepanjang frasa dengan persetujuan
Majelis Kehormatan Notaris dan ayat (3), serta ayat (4) UU
2/2014, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa dengan diberlakukannya kembali substansi ketentuan Pasal


66 ayat (1) sepanjang frasa, dengan persetujuan Majelis
Pengawas Daerah Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris di dalam Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014
menjadi frasa, dengan persetujuan Majelis Kehormatan
Notaris, yang termuat dalam Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang a quo, sebenarnya mempunyai kesamaan
substansi, akan memberi pengaruh terhadap penegakan hukum,
baik oleh advokat, polisi, jaksa, maupun kekuasaan kehakiman, yang
berujung pada hilangnya independensi penegak hukum khususnya
polisi, jaksa, dan hakim, serta juga berimplikasi pada hilangnya
integritas pelayanan hukum yang melibatkan advokat, sehingga
pelayanan hukum juga akan merosot dan akan menghilangkan
kepercayaan publik terhadap penegakan hukum;

Bahwa Pemohon yang berprofesi sebagai advokat sering berhadapan


atau beracara pada tahapan peradilan yang meliputi tahap awal
(pra-ajudikasi), tahap penyelidikan/penyidikan di Kepolisian, tahap
adjudikasi penuntutan, pemeriksaan
di
depan
persidangan
(Kejaksaan dan Pengadilan) terkait dengan mengambil fotokopi
minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol notaris dalam penyimpanan notaries dan memanggil
notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta
atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. Oleh

karena itu, Pemohon berhak mendapatkan kepastian hukum yang


adil perihal keberlakuan kewenangan Majelis Kehormatan Notaris
yang mengambil alih kewenangan Majelis Pengawas Daerah untuk
proses peradilan baik oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim;
[3.8] Menimbang bahwa benar Pemohon adalah warga negara
Indonesia
yang
mempunyai
hak
konstitusional
dan
kedudukannya sama di depan hukum sebagaimana yang
dijamin dalam UUD 1945, namun setelah membaca dengan
saksama permohonan Pemohon, Mahkamah tidak menemukan
adanya kerugian Pemohon baik secara nyata maupun potensial
dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh
Pemohon. Bahwa Pemohon yang berprofesi sebagai seorang
advokat justru telah dijamin dan dilindungi haknya dengan
keberadaan Mahkamah Kehormatan Notaris ketika ada seorang
warga negara Indonesia mengajukan permohonan untuk
dihadirkannya alat bukti berupa fotokopi minuta akta maupun
notaris, atau dapat saja Pemohon berada di posisi sebagai kuasa
hukum notaris untuk melindungi notaris yang sedang
berhadapan
dengan
masalah
hukum
yang
kemudian
menggunakan payung hukum yaitu pasal yang dimohonkan
pengujian. Adapun mengenai Pemohon sebagai wajib pajak
tidak dapat dipastikan pula
mengalami kerugian dengan
berlakunya pasal a quo;
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
menurut Mahkamah tidak ada kerugian konstitusional yang
dialami oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1),
sepanjang frasa dengan persetujuan Majelis Kehormatan
Notaris dan ayat (3), serta ayat (4) UU 2/2014 yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memenuhi
syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut
pokok permohonan Pemohon;
III.KETENTUAN HUKUM MENGENAI HAK INGKAR DAN KEWAJIBAN
INGKAR (BAIK PIDANA MAUPUN PERDATA)
3.1 HAK INGKAR (Verschoningsrecht)
Hak Ingkar atau hak menolak sebagai imunitas hukum notaris untuk
tidak berbicara atau memberikan keterangan apapun yang berkaitan
dengan akta (atau keterangan lainnya yang berkaitan dengan akta)
yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris sebagai saksi
dalam
penuntutan dan pengadilan merupakan Verschoningsrecht atau suatu

hak untuk tidak


berbicara/tidak memberikan informasi apapun
didasarkan pada Pasal 170 KUHAP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata.
3.1.1 Ketentuan Hukum Mengenai Hak Ingkar dan Kewajiban Ingkar
Menurut Hukum Pidana
a. PASAL 170 KUHAP :
(1)Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta
dibebaskan dari kewajibannya untuk
memberikan
keterangan sebagai saksi yaitu
tentang hal yang
dipercaya kepada mereka.
(2)Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.
Penjelasan :
Ayat (1) Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya
kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) Jika tidak ada ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang jabatan atas pekerjaan
dimaksud, maka seperti yang telah ditentukan oleh ayat
ini, hakim menentukan sah atau tidaknya alasan yang
dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
3.1.2 Ketentuan Hukum Mengenai Hak Ingkar dan Kewajiban Ingkar
Menurut Hukum Perdata
b. Pasal 1909 KUHPerdata :
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan
memberikan kesaksian di muka hakim. Namun dapatlah
meminta dibebaskan dari
kewajibannya memberikan
kesaksian.
c. Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata :
Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau
jabatannya
menurut
undangundang
diwajibkan
merahasiakan sesuatu, namun
hanyalah semata-mata
mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan
kepadanya demikian.
3.2 KEWAJIBAN INGKAR (Verschoningsplicht)
Kewajiban Ingkar suatu kewajiban untuk tidak bicara yang didasarkan
pada : Pasal 4 ayat (2) UUJN, Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN Pasal 54
UUJN.
3.2.1 Pasal 4 ayat (2) UUJN :

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi


sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji :
- bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik
Indonesia, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang tentang
Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.
- bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah,
jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
- bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai
Notaris.
- bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
- bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih
apapun, tidak pernah dan
tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada siapapun.
3.2.2 Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN :
Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan
sumpah/janji
jabatan,
kecuali
undang-undang
menentukan lain;
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN :
Kewajiban untuk merahasiakan segala
sesuatu yang
berhungungan dengan
akta dan surat-surat lainnya adalah
untuk melindungi kepentingan sesama pihak yang terkait dengan
akta tersebut.
3.2.3 Pasal 54 UUJN
Notaris hanya dapat memberikan,
memperlihatkan, atau
memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau
Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada
akta, ahli waris, atau
orang yang memperoleh hak, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai