Bambang Setiyohadi
KALSIUM
Konsentrasi kalsium serum, dalam keadaan normal berkisar antara 8,5-10,5 mg/dl (2,1-2,5 mMol).
Sekitar 50% kalsium sertum berada dalam keadaan terikat dengan protein, terutama albumin, dan
sebagian kecil berada dalam bentuk garam kompleks. Sisanya, merupakan ion kalsium yang bebas yang
merupakan bentuk kalsium yang aktif untuk metabolisme.
Kadar kalsium total serum, sangat dipengaruhi oleh kadar albumin serum. Pada keadaan
hipoalbuminemia, kadar kalsium serum total juga akan turun, sehingga diperlukan perhitungan koreksi
pada keadaan hipoalbuminemia untuk memperkirakan kadar kalsium total yang sesungguhnya. Cara
yang sedarhana adalah dengan menambahkan 0,8 mg/dl kadar kalsium untuk setiap 1 g/dl albumin bila
konsentrasi albumin serum < 4 mg/dl. Misalnya didapatkan kadar kalsium total 10,5 mg/dl pada albumin
serum 2 g/dl, maka kadar kalsium serum setelah koreksi adalah 10,5 + (2x0,8) = 12,1 mg/dl.
Perubahan pH darah juga akan mempengaruhi kadar kalsium serum, tetapi bukan kalsium total,
melainkan kadar ion kalsium. Dalam keadaan asidosis kadar ion kalsium akan meningkat, karena
banyak kalsium yang dilepas oleh albumin pengikatnya, sebaliknya pada keadaan alkalosis kadar ion
kalsium akan menurun.
Kadar kalsium didalam serum dipengaruhi oleh keseimbangan antara fluks kalsium ke cairan
ekstraseluler dari saluran cerna, tulang dan ginjal; serta fluks kalsium keluar dari cairan ekstraseluler
kedalam tulang dan keluar melalui urin.
HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam darah lebih besar daripada pengeluarannya.
Penyebab hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang osteoklastik dan penyerapan kalsium di
saluran cerna yang berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi oleh berbagai faktor,
misalnya Hormon Paratiroid (PTH), PTH-related protein (PTHrP) dan 1,25-dihidroksi vitamin D
[1,25(OH2D]. Beberapa sitokin juga dapat meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, seperti IL-1,
IL-1, TNF, limfotoksin dam TGF-. Peningkatan absorpsi kalsium di saluran cerna sebagai penyebab
hiperkalsemia biasanya lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar vitamin D serum, baik
akibat intoksikasi maupun pada limfoma.
Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian,
beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium lewat urin juga adapat menyebabkan
hiperkalsemia, atau memperberat hiperkalsewmia yang sudah ada. Beberapa faktor yang mengganggu
reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHrP, ADH dan dehidrasi.
Gambaran klinik
Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada penyakit primernya. Bisanya gambaran
klinik yang nyata timbul bila kadar kalsium serum mencapai 14 mg/dl.
Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan muntah merupakan gejala yang sering didapoatkan. Pada
hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadang-kadang didapatkan ulkus peptikum dan
pankreatitis. Kadang-kadang juga didapatkan poliuria akibat gangguan mengkonsentrasikan urin di
tubulus distal. Sehingga rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah dehidrasi yang berat.
1
Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasi jantung sehingga akan memperpendek interval QT.
Pada penderita yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia harus dicegah karena akan
meningkatkan sensitifitas terhadp obat tersebut.
Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejalan klinik
akibat hiperkalsemia. Pada kadar kalsium < 12 mg/dl, biasanya tidak diperlukan tindakan terapetik,
kecuali bila ada gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar kalsium 12-14 mg/dl, terapi agresif harus
diberikan bila terdapat gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar > 14 mg/dl, terapi harus diberikan
walaupun tidak ada gejalan klinik. Selain itu mengatasi penyakit primernya juga harus diperhatikan
Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus 3-4 liter dalam 24 jam merupakan tindakan pertama yang harus
dilakukan pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang dapat menurunkan kadar kalsium
serum sampai 1-3 mg/dl. Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi kalsium dengan jalan
meningkatkan filtrasi glomerulus dan mernurunkan reabsorbsi kalsium di tubuluh proksimal dan distal.
Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum masih tinggi, dapat diberikan dosis kecil loop
diuretics, misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik tidak boleh diberikan sebelum
keadaan hidrasi tercapai, karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia. Loop diuretics akan
bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik tiazid
merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi
kalsium lewat ginjal.
Pada keadaan hiperkalsemia yang berat, kadang-kadang diperlukan tindakan dialisis dengan
menggunakan cairan dializat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium.
Setelah keadaan klinik memungkinkan, penderita harus dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk
mencegah keseimbangan kalsium yang negatif.
Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi harus
diberikan terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obat-obatan.
Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang dapat diberikan untuk mengatasi hiperkalsemia
karena obat ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat ini dapat diberikan secara perinfus dengan dosis 60-90 mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah demam, mialgia dan
kadang-kadang hipertensi. Selain itu obat ini juga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga selama
pemberian harus diawasi dengan ketat.
Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA
didalam osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang. Dosis obat ini adalah 15-25 g/kgBB,
diberikan per-infus dalam waktu 4-6 jam. Efek hipokalsemia akan mulai terlihat setelah 12 jam
pemberian dan mencapai puncaknya dalam waktu 48-72 jam. Pada umunmya dosis tunggal plikamisin
sudah mencukupi untuk mencapai keadaan normokalsemia, tetapi bila diperlukan, pemberian dapat
diulang setelah 48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap sumsum tulang, hepar dan ginjal
sehingga saat ini penggunannya telah digantikan oleh bisfosfonat yang lebih kurang toksik.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid
dan mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Obat
ini bekerja sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsiu dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian.
Dosisnya adalah 4-8 IU/kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan setiap 6-8 jam.
Sayangnya efek hipokalsemiknya tidak dapat dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan, Biasanya
kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah 24 jam walaupun pemberian kalsitonin
dilanjutkan. Kombinasi kalsitonin dengan bisfosfonat akan memberikan efek yang lebih cepat dan lebih
besar dibandingkan dengan pemakaiannya secara tunggal.
Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan
keganasan hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan
pemberiannya. Biasanya diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama 3-5 hari.
2
HIPERPARATIROIDISME PRIMER
Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab
yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia tetapi yang tersering adalah pada
dekade ke-6 dan wanita lebih serinbg 3 kali dibandingkan laki-laki. Insidensnya mencapai 1:500-1000.
Bila timbul pada anak-anak harus dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti neoplasia
endokrin multipel tipe I dan II.
Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) yang
tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan soliter, oleh
sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid, biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang. Penyebab lain yang
jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang sangat jarang adalah karsinoma pada
kelenjar paratiroid.
Gambaran klinik dan laboratorik
Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering
akan tampak pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan menimbulkan keadaan di tulang
yang disebut osteitis fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal pada falang distal, a salt
and pepper appearance pada tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulang-tulang ppanjang.
Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat dilihat dengan membuat foto radiografi konvensional.
Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis,
hiperkalsiuria dan penurunan klirens kreatinin.
Kelainan lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan
pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout dan kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup
jantung.
Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan,
dapat normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan menurun sedangkan ekskresi fosfat urin
akan meningkat. Kadar 25(OH)D biasanya rendah sedangkan kadar 1,25(OH) 2D biasanya meningkat,
tetapi peningkatan ini tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting.
Penatalaksanaan
Hiperparatiroidisme primer akan sembuh bila kelenjar paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun
demikian, keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian besar bersifat asimtomatik.
Indikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme primer adalah :
1. Kadar kalsium serum > 1 mg/dl diatas batas normal tertinggi,
2. Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer, seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica,
3. Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan hiperkalsemia yang mengancam jiwa,
4. Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mg/hari)
5. Densitometri tulang pada radius distal yang menurun dengan nilai skore T < -2,
6. Umur dibawah 50 tahun.
Bila penderita tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan, maka beberapa tindakan medik dapat
dilakukan, seperti hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup, pemberian preparat fosfat, terapi
estrogen pada wanita pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang akan datang dapat
diberikan obat-obat kalsimimetik.
Pemberian kalsium pada penderita hiperparatiroidisme primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu
tinggi maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu rendah akan merangsang sekresi PTH lebih
lanjut.
3
Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi
otonom dan berkembang menjadi keadaan sepertri hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut
hiperparatiroidisme tersier.
Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter.
Pada hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH tetap tak dapat ditekan walaupun
kelainan metaboliknya sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier maupun
hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang
tidak memberikan respons yang baik oleh regulator fisiologik. Perubahan-perubahan pada tinbgkat
jaringan, seluler dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini, seperti peningkatan jumlah sel
paratiroid, perubahan mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan perubahan fungsi
VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan resistensi organ target terhadap PTH juga dapat menyebabkan
hiperparatiroidisme persisten walaupun telah diberikan terapi kalsium dan vitamin D.
disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal sehingga ekskresi kalsium lewat urin menurun. Selain itu, kadar
alkali fosfatse pada mieloma multipel juga seringkali tidak meningkat, karena aktifitas osteoblas juga
tidak meningkat. Oleh sebab itu, pada keadaan ini, seringkali bone scanning juga memberikan hasil
negatif.
HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum yang dapat terjadi pada beberapa keadaan,
seperti hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan metabolisme vitamin D, hipomagnesemia
dan gagal ginjal akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH, hipokalsemia dapat
dikelompokkan kedalam 2 bagian, yaitu hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah
(hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH yang miningkat (hiperparatiroidisme
sekunder).
Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat
kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut. Dalam keadaan lanjut akan didapatkan tanda
Chvostek dan Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah sekitar mulut bila dilakukan
ketokan pada nervus fasialis di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal yang terjadi bila
dilakukan bendungan lengan dengan menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg diatas
tekanan sistolik selama 3 menit. Spasme karpal yang klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan,
ekstensi interfalang dan aduksi jari-jari.
Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada
keadaan yang berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani), laringospasme atau bronkospasme,
sampai kejang-kejang umum.
Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval QT pada EKG yang reversibel setelah
hipokalsemia dikoreksi.
Penatalaksanaan hipokalsemia akut
Penatalaksaan hipokalsemia akut ditenmtukan oleh derajat dan kecepatan timbulnya hipokalsemia.
Hipokalsemia ringan (Ca serum 7,5-8,5 mg/dl) yang asimtomatik, cukup diterapi dengan kalsium oral
500-1000 mg tiap 6 jam disertai pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar kalsium serum <
7,5 mg/dl, diperlukan pemberian kalsium intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium
elemental/10ml ampul) lebih disukai daripada kalsium sitrat (272 mg kalsium elemental/10 ml ampul)
karena tidak iritatif. Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat dalam 50-100 ml dekstrosa
5% dan diberikan per-infus 5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan gejala
hipokalsemia. Hipokalsemia yang berat dan persisten dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka
waktu yang lebih lama, misalnya 15 mg/kgBB kalsium elemental diinfus selama 4-6 jam. Secara praktis
dapat dilakukan dengan melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam 1 liter dekstrosa 5% dan diinfus
dengan kecepatan 50 ml/jam (45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat dari 200 mg
kalsium elemental/100 ml dekstrosa 5% harus dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena
maupun jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi.Pada hipokalsemia berat dan persisten, juga harus
dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium oral 1-2 gram/hari dan 1,25(OH) 2D 0,51,0gr/hari. Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap hipomagnesemia juga harus
dilakukan selain terapi terhadap hipokalsemianya.
HIPOPARATIROIDISME
Hipoparatiroidisme adalah produkjsi hormon PTH yang tidak mencukupi untuk mempertahankan
kadar kalsium ekstraseluler dalam batas normal. Secara umum, penyebab hipoparatiroidisme dapat
dibagi dalam 4 kelompok, yaitu :
i.
Kelenjar paratiroid yang tidak berkembang,
ii.
Destruksi kelenjar paratiroid,
iii.
Penurunan fungsi kelenjar parartiroid,
iv.
Aksi PTH yang terganggu.
Secara klinis, hipoparatiroidisme akan menunjukkan gejala-gejala hipokalsemia pada berbagai
tingkatan tergantung pada derajat hipoparatiroidismenya dan hipokalsemianya.
Secara biokimia, akan tampak gambaran hipokalsemia, hiperfosfatemia, PTH yang rendah atau tidak
terdeteksi, dan kadar 1,25(OH)2D yang rendah. Untuk membedakan dengan PTH yang resisten, dapat
dilakukan tes Ellsworth-Howard, yaitu dengan pemberian PTH bioaktif dan akan tampak peningkatan
ekskresi cAMP urin dan fosfat urin.
Pada gambaran radiologik dan CT-scan kepala, akan tampak kalsifikasi basal ganglia.
Penatalaksanaan hipoparatiroidisme bertujuan untuk memperbaiki kadar kalsium dan fosfat serum
senormal mungkin. Dalam hal ini dapat diberikan preparat kalsium dan vitamin D. Pada umumnya
kebutuhan kalsium elemental adalah 1 g/hari. Dengan membaiknya kadar kalsium plasma, maka
hiperkalsiuria akan bertambah karena efek PTH di ginjal tidak ada. Bila hiperkalsiuria tetap terjadi dan
kadar kalsium plasma tidak dapat mencapai kadar 8 mg/dl, maka dapat ditambahkan diuretik tiazid. Bila
kadar kalsium serum sudah normal, sedangkan kadar fosfat serum tetap diatas 6 mg/dl, maka perlu
diberikan antasid yang tidak diabsorpsi untuk mengurangi hiperfosfatemia dan mencegah kalsifikasi
metastatik.
PSEUDOHIPOPARATIROIDISME
Pseudohipoparatiroidisme (PHP) adalah keadaan klinik yang secara biokimia ditandai oleh gambaran
hipoparatiroidisme, yaiutu hipokalsemia dan hiperfosfatemia, tetapi sekresi PTH meningkat dan jaringan
target tidak berespons terhadap aktifitas biologik PTH. Seringkali PHP disertai dengan kelainan
perkembangan yang disebut Albrights hereditary osteodystrophy (AHO) yang terdiri dari tubuh pendek,
muka bundar, obesitas, brakidaktili dan osifikasi subkutan. Untuk membedakan dengan
hipoparatiroidisme, dapat dilakukan tes Ellsworth-Howard (lihat diatas).
HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia ternyata ditemukan lebih banyak dari dugaan sebelumnya. Umumnya
hipomagnesemia terjadi akibat pembuangan yang berlebihan baik lewat saluran cerna maupun ginjal.
Pembuangan Mg lewat saluran cerna, biasanya disebabkan oleh vomitus, diare, sindrom malabsorpsi
dan reseksi usus. Sedangkan ekskresi Mg lewat urin tergantung dari reabsorpsi di tubuluh yang bersifat
proporsional dengan Natrium dan Kalsium. Pembuangan Mg yang berlebihan lewat urin akan
dipengaruhi oleh terapi cairan terutama NaCl 0,9%, kelebihan cairan dalam tubuh dan
hiperaldosteronisme primer. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria juga akan menghambat reabsorpsi Mg di
ginjal sehingga akan meningkatkan ekskrresi Mg dan hipomagnesemia. Penyebab lain ekskresi Mg yang
berlebihan adalah diuresis osmotik, misalnya akibat steroid dan juga diabetes melitus.
Secara klinis, hipomagnesemia ditandai oleh hipereksitabilitas neuromuskuler, termasuk tetani dan
dapat ditandai oleh tanda Chvostek dan Trousseau. Pada EKG akan didapatkan perpanjangan interval PR
dan QT dan Aritmia.
Vitamin D-dependent rickets (VDDR) type I. Disebut juga pseudo-vitamin D deficiency, merupakan
penyakit herediter yang bersifat resesif autosomal, yang ditandai oleh kadar 1,25(OH)2D yang rendah
akibat gangguan aktifitas 25(OH)D-1-hidroksilase di ginjal, sehingga kadar 25(OH)D didalam serum
dapat normal atau tinggi sedangkan kadar 1,25(OH)2D didalam serum sangat rendah. Penyakit ini sangat
jarang, biasanya menyerang anak dibawah 2 tahun, terutama pada 6 bulan pertama kehidupan dan dapat
diatasi dengan memberikan vitamin D dosis tinggi atau kalsitriol dosis fisiologik.
Vitamin D-dependent rickets (VDDR) type II. Disebut juga hereditary 1,25(OH)2D resistent rickets,
merupakan kelainan yang jarang yang juga menyerang anak-anak yang diakibatkan oleh abnormalitas
jumlah, afinitas dan fungsi reseptor 1,25(OH)2D intraseluler, sehingga kadar i,25(OH)2D didalam serum
tinggi, tetapi tidak berfungsi.
Defisiensi kalsium. Dapat terjadi akibat asupan yang kurang atau ekskresi yang berlebihan lewat urin
atau faeces. Ekskresi lewat urin yang berlebih dapat diakibatkan oleh kebocoran di ginjal atau akibat
penggunaan glukokortikoid atau hiperkalsiuria idiopatik. Terapi pilihan adalah dengan pemberian
kalsium karbonat, karena selain harganya murah, juga kandungan kalsium elementalnya cukup tinggi.
Defisiensi fosfat. Dapat disebakan oleh asupan fosfat yang rendah, gangguan absorpsi fosfat di usus
atau peningkatan klirens fosfat di ginjal. Hipofosfatemia akan mengakibatkan peningkatan aktifitas
25(OH)D-1-hidroksilase di ginjal, sehingga kadar 1,25(OH)2D meningkat. Akibatnya akan terjadi
hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas.
X-linked hypophosphatemia (vitamin D-resistent rickets, VDRR). Disebabkan oleh defek pada
transport fosfat di tubulus ginjal sehingga terjadi pembuangan fosfat yang berlebihan dan
hipofosfatemia. Kelainan ini juga akan mengakibatkan gangguan metabolisme vitamin D, sehingga
produksi 1,25(OH)2D menurun. Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak-anak, tetapi kadangkadang ditemukan secara sporadik pada orang dewasa.
Hipofosfatasia. Merupakan kelainan yang diturunkan secara resesif autosomal dan ditandai oleh
rendahnya kadar alkali fosfatase di serum dan jaringan. Mekanisme osteomalasia pada kelainan ini tidak
jelas; diduga akibat kegagalan hidrolisa pirofosfat yang merupakan inhibitor mineralisasi, sehingga
terjadi defek mineralisasi tulang.
De Toni-Debr-Fanconi Syndrome. Ditandai oleh fosfaturia, aminoasciduria, glikosuria,
bikarbonaturia dan kadang-kadang asidosis dan hiperkalsiuria. Kelainan tulang biasanya berhubungan
dengan asidosis, hipofosfatemia dan metabolisme vitamin D yang abnormal.
Sindrom Nefrotik. Diakibatkan oleh pembuangan vitamin D yang berlebihan lewat urin. Didalam
darah, vitamin D terikat pada -globulin yang disebut vitamin D-binding protein (DBP). Pada sindrom
nefrotik, DBP ikut terbuang lewat urin sehingga vitamin D yang terikat DBP ikut terbuang. Walaupun
demikian, kadar vitamin D bebas didalam serum tetap dalam batas normal, sehingga pengukuran kadar
vitamin D total dapat menyesatkan.
Penyakit Hati Kronik. Hati berperan pada hidroksilasi vitamin D pada posisi 25, walaupun demikian,
penurunan kadar 25(OH)D terutama disebabkan oleh penurunan sintesis DBP oleh hati, nutrisi yang
buruk dan malabsorpsi.
10
1,25(OH) 2D,
sehingga
Anti konvulsan. Penggunaan fenitoin atau fenobarbital jangka panjang akan merangsang enzim
sitokrom P450 di hepar sehingga mengganggu metabolisme vitamin D. Akibatnya kadar 25(OH)D
didalam serum turun, tetapi kadar 1,25(OH)2D tetap dalam batas normal. Selain itu, fenitoin juga dapat
menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, penggunaan anti konvulsan jarang menimbulkan gejala klinik osteomalasia, kecuali bila
disertai faktor predisposisi lain, seperti nutrisi yang buruk atau paparan sinar matahari yang kurang.
Intoksikasi alumunium. Terjadi akibat asupan kalsium yang berlebih, misalnya penggunaan pengikat
fosfat yang mengandung Alumunium, atau anatasida yang mengandung alumunium atau penggunaan
cairan dialisat yang mengandung alumunium pada penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
Alumunium akan menghambat aktifitas PTH dan 1-hidroksilase, menghambat aktifitas osteoblas dan
mengganggu mineralisasi tulang.
Tumor-induced hypophosphatemic osteomalacia. Diakibatkan oleh produksi faktor humoral oleh
tumor (biasanya mesenkimal) yang akan menekan produksi 1,25(OH)2D dan reabsorpsi fosfat di ginjal
sehingga timbul fosfaturia dan hipofosfatemia.
Etidronat. Merupakan bisfosfonat generasi I yang dapat menghambat kristalisasi kalsium fosfat,
terutama pada dosis 5-10 mg/kgBB. Efek ini tidak didapatkan pada bisfosfonat lain.
Flourida. Garam ini dapat merangsang formasi tulang, tetapi dapat mengganggu mineralisasi tulang
dengan mekanisme yang tidak diketahui.
OSTEODISTROFI RENAL
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi gangguan fungsi ginjal. Pada gagal ginjal tahap akhir,
umumnya sudah terdapat kelainan histologik tulang. Hampir semua penderita yang menjalani dialisis,
mengidap osteodistrofi renal yang secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme kalsium, fosfor,
PTH dan vitamin D.
Akibat penurunan fungsi ginjal, akan terjadi retensi fosfat sehingga kadar fosfat
serum meningkat dan kadar kalsium serum menurun. Penurunan kadar fosfat
serum akan menurunkan kadar 1,25 dihidroksivitamin D, sehingga kadar
kalsium akan makin mneurun karena absorbsi kalsium menurun. Kadar kalsium
dan 1,25 dihidroksivitamin D yang menurun akan merangsang produksi PTH dan
proliferasi sel-sel kelenjar paratiroid, sehingga terjadi mobilisasi kalsium dari
tulang kedalam darah. Pada penderita gagal ginjal, terjadi resistensi tulang
terhadap PTH, akibatnya hiperparatirtoidisme akan semakin berat.
Osteodistrofi renal, merupakan kelainan tulang dan sendi dengan spektrum yang luas yang terjadi
pada penderita gagal ginjal. Kelainan ini ditandai oleh nyeri tulang, kelemahan otot, deformitas skeletal,
retardasi pertumbuhan dan kalsifikasi ekstraskeletal. Ada 4 tipe osteodistrofi renal, yaitu tipe high-bone
turnover, lwe bone-turnover,tipe campuran dan amiloidosis.
Osteodistrofi renal tipe high bone-turnover. Kelainan ini berhubungan dengan retensi fosfat,
hipokalsemia, gangguan produksi 1,25(OH)2D di ginjal, resistensi skeletal terhadap efek kalsemik PTH
dan penurunan ekspresi VDR dan CaSR di kelenjar paratiroid, sehingga terjadi hiperparatiroidisme
11
sekunder dan hiperplasi kelenjar paratiroid yang progresif. Peningkatan produksi PTH pada tipe ini
dapat sangat tinggi, yaitu 20-30 kali nilai normal, sehingga lebih tinggi daripada keadaan
hiperparatiroidisme primer. Secara histologik akan tampak gambaran khas osteitis fibrosa, yaitu jaringan
fibrosa yang berdekatan dengan trabekula tulang. Aktifitas osteoklas dan osteoblas meningkat yang
ditandai oleh banyaknya osteoklas dan osteroblas, lakuna Howship, dan tulang kanselous yang ditutupi
oleh osteoid yang baru terbentuk. Secara radiologik, akan tampak erosi subperiosteal pada tulang-tulang
panjang, terutama pada tepi falang digital, ujung klavikula, antara iskium dan pubis, sendi sakroiliakal
dan sambungan metafisis dan diafisis pada tulang panjang. Pada ruas tulang vertebra, akan tampak
gambaran osteosklerosis, sedangkan pada tulang kepala akan tampak gambaran salt and pepper.
Osteodistrofi renal tipe low bone-turnover. Ada 2 subtipe, yaitu tipe tulang adinamik dan tipe
osteomalasia. Tulang adinamik ditandai oleh formasi dan turnover tulang yang dibawah normal.
Keadaan ini dapat ditemukan pada 40% penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis rutin atau
50% penderita yang menjalani dialisis peritoneal. Kadar PTH hanya meningkat sedikit atau bahkan
dalam batas normal. Pada tipe osteomalasia, akan tampak defek pada mineralisasi tulang. Intoksikasi
alumunium, merupakan penyebab tersering adinamik tulang dan osteomalasia pada penderita gagal
ginjal. Tetapi kelainan ini sekarang sudah jarang didapatkan, karena Alumunium sudah tidak digunakan
lagi sebagai pengikat fosfat. Penyebab lain tipe osteodistrofi ini adalah diabetes melitus, glukokortikoid,
osteoporosis senilis, suplementasi kalsium dan vitamin D yang berlebihan. Baik kalsium maupun
vitamin D akan menekan kadar PTH didalam serum. Selain itu, kalsitriol juga akan menekan aktifitas
osteoblas bila digunakan pada penderita yang menjalani hemodialisis secara teratur.
Osteodistrofi renal tipe campuran. Gambaran campuran osteitis fibrosa dan osteomalasia juga dapat
ditemukan pada sebagian kecil penderita gagal ginjal kronik. Kelainan ini ditandai oleh
hiperparatiroidisme sekunder dengan defek pada mineralisasi tulang. Secara biokimia akan didapatkan
hipokalsemia dan/atau hipofosfatemia dan defisiensi vitamin D. Keadaan ini dapat ditemukan pada
penderita osteitis fibrosa dengan intoksikasi alumunium yang awal, atau pada penderita intoksikasi
alumunium yang mulai menunjukkan respons dengan terapi deferoksamin dengan peningkatan formasi
tulang.
Amiloidosis pada gagal ginjal. Dapat ditemukan pada penderita gagal ginjal kronik yang telah
menjalani hemodialisis lebih dari 7-10 tahun. Keadaan ini disebabkan oleh deposisi serat amiloid yang
terdiri dari 2-mikroglobulin (2M). Pada penderita akan didapatkan kista tulang multipel, fraktur
patologik, artritis sckapulohumeral yang erosif, sindrom terowongan karpal dan spondiloartropati.
Secara histologik, serat amiloid 2M mirip dengan amiloid AA, tetapi serat amiloid 2M banyak
didapatkan di daerah osteoartikular, sehingga menimbulkan gejala muskuloskeletal. Secara radiologik,
kista multipel akan ditemukan pada ujung-ujung tulang panjang, terutama pada kaput humeral dan kaput
femoris.
Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan Osteodistrofi renal adalah (1) mempertahankan kadar kalsium
dan fosfat dalam batas normal; (2) mencegah kalsifikasi ekstraskeletal; (3) mencegah bahan-bahan
toksik seperti alumunium dan kelebihan besi; (4) mempertimbangkan penggunaan steroid vitamin D dan
pengikat fosfat; (5) secara selektif menggunakan chelating agent seperti deferoksamin untuk mengatasi
intoksikasi alumunium. Sumber utama penyebab osteodistrofi renal adalah retensi fosfat, oleh sebab itu
diet rendah fosfat dan penggunaan bahan pengikat fosfat sangat penting sekali pada penatalaksanaan
gagal ginjal kronik. Pengikat fosfat yang baik adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat yang harus
dimakan bersamaan dengan waktu makan agar efek pengikatan fosfatnya maksimal. Kalsium sitrat juga
dapat digunakan, tetapi sitrat akan meningkatkan absorpsi alumunium, sehingga penggunaannya tidak
dianjurkan. Penggunaan sterol vitamin D, seperti kalsitriol, kalsifediol, 1-OH-D dan dihidrotakisterol
12
sangat efektif untuk mengatasi hiperparatiroidisme sekunder, bila hipokalsemia tidak dapat diatasi
walaupun kadar fosfat sudah dalam batas normal. Pemberian kalsitriol dapat dimulai dengan dosis
harian yang rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kliniknya, biasanya digunakan
dosis 0,25-1,5 g/hari. Pada penderita hemodialisis, kalsitriol dapat diberikan intravena bersmaan
dengan waktu dialisisnya. Pada penderita dengan dialisis peritoneal, kalsitriol juga dapat diberikan
intermiten 2-3 kali per-minggu dengan dosis per-kali yang lebih besar daripada dosis harian, misalnya
0,5-4,0 g/kali, 3 kali per-minggu atau 2,0-5,0 g/kali, 2 kali per-minggu. Bila timbul hiperkalsemia
setelah beberapa bulan penggunaan kalsitriol dengan kadar PTH dan fosfatase alkali kembali normal
dari kadar yang tinggi sebelumnya, maka hal ini menunjukkan bahwa osteitis fibrosa sudah teratasi.
Tetapi bila hiperkalsemia terjadi pada minggu-minggu awal pemberian kalsitriol, maka hal ini
menunjukkan adanya osteodistri renal dengan low bone turnover (misalnya karena intoksikasi
alumunium) atau adanya hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Dalam hal ini, bila intoksikasi
alumunium dapat disingkirkan, maka diindikasikan untuk melakukan paratiroidektomi. Indikasi spesifik
paeratiroidektomi adalah (1) hiperkalsemia persisten, dengan kadar kalsium diatas 11-12 mg/dl; (2)
pruritus yang tidak dapat diatasi dengan dialisis yang intensif atau pengobatan medik lainnya; (3)
kalsifikasi ekstrasekeletal yang progresif atau hiperfosfatemia yang persisten walaupun telah diberikan
diet rendah fosfat yang ketat dan bahan pengikat fosfat; (4) nyeri tulang yang berat atau fraktur
patologis; (5) timbulnya kalsifilaksis. Dalam hal ini, penyebab hiperkalsemia yang lain, seperti
intoksikasi vitamin D atau sarkoidosis harus disingkirkan.
OSTEONEKROSIS
Disebut juga ischemic bone necrosis, avascular necrosis atau aseptic necrosis. Kelainan ini dapat
terjadi akibat beberapa keadaan klinis, misalnya akibat penyakit tertentu (seperti penyakit Gaucher),
akibat pengobatan (misalnya glukokortikoid), keadaan fisiologik atau patologik tertentu (kehamilan,
tromboemboli) atau tidak diketahui (idiopatik). Pada umumnya osteonekrosis menyerang ujung-ujung
tulang panjang, misalnya kaput femoris atau kaput humer; tetapi dapat juga menyerang tulanglainnya.
Kematian tulang terjadi akibat putusnya vaskularisasi arteri ke tulang, baik karena oklusi, vaskulitis,
emboli lemak, perdarahan, kelainan jaringan tulang, maupun akibat penekanan sinusoid, misalnya pada
proses infiltratif (seperti pada penyakit Gaucher) atau peningkatan adiposit didalam sumsum tulang
karena efek toksik terhadap liposit (misalnya akibat glukokortikoid atau alkohol). Akibat osteonekrosis
akan terjadi peningkatan tekanan intraoseus (IOP) yang akhirnya akan menjadi lingkaran setan, karena
iskemia dan kerusakan sel akan bertambah berat.
Gejala utama osteonekrosis adalah nyeri tulang pada area yang terserang. Keadaan ini harus dicurigai
pada penderita yang menggunakan steroid dosis tinggi atau jangka panjang yang mengeluh nyeri tulang.
Pada stadium awal, osteonekrosis tidak menunjukkan gambaran radiologik yang bermakna dan
diperlukan pemeriksaan MRI untuk mendeteksinya. Pada stadium lanjut akan tampak gambaran
osteosklerosis, rusaknya kaput femoris sampai kolaps kaput femoris.
Menurut Arlet dan Ficat, osteonekrosis dapat dibagi dalam 5 stadium, yaitu :
Stadium 0 : manifestasi klinik dan radiologik tidak ada, tetapi gambaran MRI jelas
Stadium I : manifestasi klinik ada, radiologik tidak ada, MRI jelas
Stadium II : gambaran osteopenia dan osteosklerosis pada radiologik.
Stadium III : kolaps tulang awal yang ditandai oleh crescent sign, yaitu tulang
Subkortikal yang translusen dikelilingi oleh area tulang yang mati
Stadium IV : kolaps tulang lanjut, yaitu flattening kaput femoris
Pada stadium 0, I, II, penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif atau dilakukan dekompresi
untuk mengurangi tekanan intra-osseus. Penatalaksanaan konservatif meliputi penggunaan analgesik,
terapi fisik untuk menguatkan otot dan mencegah kontraktur dan penggunaan alat bantu untuk
13
mobilisasi. Bila nyeri tetap berlanjut atau pada stadium III dan IV, perlu dilakukan tindakan artroplasti.
Pada osteonekrosis yang menyerang sendi yang bukan penopang berat badan, tidak diperlukan
intervensi bedah, karena nyerinya ringan dan gangguan fungsionalnya tidak berat.
Legg-Calv-Perthes disease (LCPD). Merupakan osteonekrosis idiopatik pada epifisis kaput femoris
anak-anak umur 2-12 tahun, yang tidak diketahui penyebabnya, tetapi didapatkan terputusnya aliran
darah ke epifisis kaput femoris. Akibatnya osteoblas, osteosit dan sel sumsum tulang mati; kalsifikasi
endokondral terhenti, tetapi pertumbuhan rawan sendi tetap baik karena mendapat nutrisi dari cairan
sinovial. Proses revaskularisasi ke area yang nekrosis kemudian akan terjadi, dimulai dari daerah perifer
ke sentral, dan tulang baru akan tumbuh pada permukaan korteks subkondral atau daerah trabekular di
sentral area yang nekrosis diikuti dengan pembersihan tulang yang nekrosis. Proses resorpsi tulang akan
lebih aktif dibandingkan dengan proses formasi tulang, sehingga tulang subkondral menjadi lemah. Bila
tulang trabekular mengalami kolaps, maka episoda nekrosis yang kedua akan timbul kembali. Nyeri
tulang biasanya timbul bila ada fraktur. Biasanya anak-anak dengan LCPD akan pincang bila berjalan
disertai nyeri pada daerah lutut atau bagian anterior tungkai atas dengan keterbatasan gerak pada koksa
yang disertai abduksi dan endorotasi. Prognosis LCPD tergantung pada beratnya penyakit, deformitas
kaput femoris dan proses penyembuhannya. Dalam jangka panjang, seringkali LCPD berkembang
menjadi osteoartritis sekunder. Pada ank perempuan, prognosis LCPD akan lebih buruk dibandingkan
anak laki-laki, karena anak perempuan lebih cepat matang secara seksual dibandingkan laki-laki
sehingga lempeng pertumbuhan lebih cepat menutup dan tidak memberikan kesempatan bagi kaput
femoris untuk melakukan modeling.
KEPUSTAKAAN
1. Shane E. Hypercalcemia: Pathogenesis, Clinical Manifestation, Differensial Diagnosis and
Management. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 1999:183-7.
2. Bilezikian JP. Primary Hyperparathyroidism. . In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic
Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia, 1999:187-92.
3. Indridason OS, Quarles LD. Tertiary Hyperparathyroidism and Refractory Secondary
Hyperparathyroidism. . In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia,
1999:198-202.
4. Roberts MM, Stewart AF. Humoral Hypercalcemia of Malignancy. . In: Favus MJ et al (eds).
Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia, 1999:2083-7.
5. Abdulmutalib. Osteolisis pada keganasan. . Dalam: Markum HMS, Hardjodisastro D (eds).
Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyaskit Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1996:109-20.
6. Shane E. Hypocalcemia: Pathogenesis, Differensial Diagnosis and Management. . In: Favus MJ
et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 1999:223-6.
7. Goltzman D, Cole DEC. Hypoparathyroidism. . In: Favus MJ et al (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia, 1999:226-30.
8. Klein GL. Nutritional Rickets and Osteomalasia. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia, 1999:315-9.
14
9. Bikle DD. Osteomalacia and Rickets. In: Andreoli TE, Mandell GL, Muray JF et al (eds). Cecil
Textbook of Medicine. Vol 2. 19th ed. WB Saunders Co, Philadelphia 1988:1406-12
10. Pettifor JM. Nutritional and Drug-induced Rickets and Osteomalacia. In : Favus MJ (ed). Primer
on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. ASBMR,
Washington 2003:399-406
11. Krane SM. Hyperostosis, Neoplasms and other disorders of bone and cartilage. In: Isselbacher
KJ, Adams RD, Braunwald E, et al (eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 9th ed. Mc
Graw-Hill Book Co, New York 1980:1863-9.
15