Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP FREKUENSI NAPAS

PADA BALITA DENGAN ISPA DI DESA WONOREJO KECAMATAN


KALIWUNGU UTARA KABUPATEN KENDAL

Manuscript

Oleh : Nur
Khosim
G2A009081

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS


ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2013

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Manuscript dengan judul


Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Frekuensi Napas Pada Balita Dengan Ispa Di Desa
Wonorejo Kecamatan Kaliwungu Utara Kabupaten Kendal

Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan


Semarang, September 2013

Pembimbing I

Ns. Dera Alfiyanti, S. Kep, M. Kep

Pembimbing II

Sufiati Bintanah, SKM, M. Si

Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Frekuensi Napas Pada Balita


Dengan ISPA Di Desa Wonorejo Kecamatan Kaliwungu Utara Kabupaten
Kendal
1

Nur Khosim , Dera Alfiyanti , Sufiati Bintanah


1

Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes UNIMUS,

Dosen Keperawatan Anak Fikkes UNIMUS

Staf Dosen Jurusan Fakultas Analis Gizi UNIMUS

Abstrak
Latar belakang angka kesakitan ISPA (infeksi saluran pernapasan bagian akut) masih tinggi
di kaliwungu utara sebanyak 528 kasus (Dinkes Kendal, 2012). Kebanyakan orang tua
memberikan obat pada balita yang menderita ISPA dari warung untuk menyembuhkan. Madu
mempunyai manfaat sebagai antimikroba yang dapat menyembuhkan ISPA. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas
pada balita dengan ISPA. Metode penelitian adalah quasi eksperimen Randomized PretestPosttest with Control Groupdesign, dengan intervensi pemberian madu. Proses penelitian ini
telah dilaksanakan pada bulan Juli Agustus 2013 di Desa Wonorejo dengan teknik Simple
Random Sampling. Metode analisa data dengan uji statistik parametrik paired t test. Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas
pada balita dengan ISPA dengan nilai (p-value = .002, =0,05). Rekomendasi madu dapat
menjadi alternatif pengobatan untuk yang menderita ISPA.
Kata kunci : Frekuensi Napas Balita ISPA, Madu

Abstract
Background morbidity of ISPA (Acute respiratory tract infections) is still high in the north
Kaliwungu 528 cases (Department of Health Kendal, 2012). Most parents give medicine to
ISPA toddler from stall to heal. Honey has benefits as antimicrobial that can heal sufferer
ISPA. The purpose of this study is to determine the effect of honey on respiratory rate in ISPA
toddler. Methods of quasi-experimental study is randomized pretest-posttest design with
Control Group, by interventions of giving honey. The research process was conducted in
July-August 2013 in the village of Wonorejo with Simple Random Sampling technique.
Methods of data analysis with statistical parametric paired t test. Results of this study showed
the effect of honey on respiratory rate in ISPA toddler by value (p-value = .002, = .05).
Recommendations honey can be an alternative treatment for the ISPA.
Keywords: respiratory rate toddlers ISPA, honey

PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kematian yang tersering pada anak-anak di negara yang sedang berkembang dan negara maju.
Diperkirakan empat dari 15 juta kematian pada anak yang menderita ISPA pada usia di bawah
5 tahun dan sepertiga dari kematian ISPA adalah bayi. Dari hasil penelitian fungsi paru pada
anak di negara berkembang biasanya disebabkan oleh bakteri, biasanya Streptococcus
pneumoniae atau Haemophillus influenzae (Susi, 2002). Infeksi saluran nafas akut (ISPA)
jarang ditemukan yang berakibat fatal. Infeksi saluran pernafasan dapat dicegah sidini
mungkin. Beberapa yang menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan akut seperti influenza,
otitis media, faringitis (Erlien, 2008).
ISPA juga berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Berdasarkan data
penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010 ISPA menepati urutan sembilan yaitu dengan
jumlah kasus 17.918 sedangkan, data dari penyakit rawat jalan dirumah sakit 2010 ISPA
menepati urutan pertama dengan jumlah 291.356 kasus (Kemenkes RI, 2012).
Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan akut hanya bersifat ringan seperti batuk, pilek
tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Tetapi banyak masyarakat menggunakan antibiotik
pada anak yang menderita infeksi saluran pernapasan ringan seperti faringitis dan bronkitis.
Pemberian antibiotik pada saluran pernapasan ringan atau demam (tanpa tanda gejala klinis
pernapasan yang serius). Akan pengakibatkan penggunaan antibiotik secara luas tanpa
manfaat dan akan mengakibatkan efek samping yang besar serta meningkatkan resistensi
antibiotik. Antibiotik sebaiknya tidak diberikan kepada infeksi saluran pernapaan atas agar
mencegah perkembangan infeksi tersebut menjadi pneumonia bakterialis. Pneumonia
bakterialis yang tinggi pada anak yang berkujung ke tenaga kesehatan dan faktor risiko
terhadap pneumonia, seperti kurang gizi dan bayi berat lahir rendah relatif banyak. Sehingga
angka kematian bayi akibat pneumonia menjadi tinggi dan penggunaan terapi antibiotik untuk
situasi terjadinya pneumonia bakterialis1(Susi, 2002).
Madu mengandung zat antibiotik yang aktif melawan serangan berbagai kuman patogen
penyebab penyakit. Beberapa penyakit infeksi oleh berbagai kuman patogen yang dapat
dicegah dan disemmbuhkan dengan meminum madu secara teratur diantaranya: infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA), batuk, demam (Aden,2010). Penelitian Rasmaliah (2004)
merekomendasikan seseorang Ibu yang merawat anaknya yang terkena ISPA dirumah

menggunakan obat tradisional yaitu jeruk nipis sendok dan dicampur dengan madu
sendok teh, dan diberikan tiga kali sehari.
Kandungan madu yang mampu melawan bakteri dan virus didalam tubuh manusia penyebab
timbulnya berbagai macam penyakit dalam tubuh, madu bagian yang penting untuk obat dan
madu diyakini sebagai asupan gizi dan nutrisi yang baik bagi tubuh manusia. Madu
mempunyai manfaat diantaranya sebagai antimikroba yang bisa menghambat pertumbuhan
mikroorganisme, mempercepat persembuhan luka, sebagai energi dan daya tahan tubuh.
Contohnya dalam mengobati penyakit gangguan pernapasan dan paru-paru seperti ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) (Rostita, 2008). Menurut peneliti Cohen et al (2012) madu
dapat diberikan pada anak yang mengalami infeksi pernapasan atas untuk mengurangi
frekuensi batuk dan kesulitan tidur.
Berdasarkan penelitian survei Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal pada tahun 2011 yang
pernah dilakukan bahwa angka kesakitan ISPA masih tinggi di daerah Kaliwungu Utara yaitu
pada anak balita didapat sebanyak 538 kasus (Dinkes Kendal, 2012). Peneliti melakukan studi
pendahuluan di Desa Wonorejo, balita yang menderita ISPA pada tahun 2012 sejumlah 127
orang dan pada bulan Januari Maret 2013 terdapat 34 orang.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa kebanyakan orang tua
memberikan obat dari warung, pukesmas dan bidan untuk menyembuhkan balita mereka yang
menderita ISPA. Jarang orang tua yang menggunakan terapi lain misalnya madu untuk
mengobati anaknya. Terkait dari uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Frekuensi Napas Pada Balita Dengan ISPA Di Desa
Wonorejo Kecamatan Kaliwungu Utara Kabupaten Kendal. Adapun tujuan penelitian untuk
mengetahui pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas pada balita dengan ISPA di
Desa Wonorejo Kecamatan Kaliwungu Utara Kabupaten Kendal.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi eksperimen) dengan disain
Randomized Pretest-Posttest with Control Groupdesign Ciri tipe penelitian ini adalah dalam
rancangan penelitian ini dilakukan randomisasi, pengelompokkan anggota-anggota kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan berdasarkan acak atau random. Sampel adalah
anak balita yang menderita ISPA di Desa Wonorejo area sampel sejumlah 30 responden (15

kelompok perlakuan, 15 kelompok kontrol), dengan metode Simple Random Sampling,


penelitian ini dilakukan di Desa Wonorejo Kecamatan Kaliwungu Utara Kendal. Alat
pengumpulan data dengan lembar observasi. Proses penelitian berlangsung dari 8 Juli - 24
Agustus 2013. Data dianalisis secara univariat, bivariat (uji paired t test).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian diperoleh pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas pada balita
dengan ISPA berada pada median umur anak 3.20 tahun pada kelompok kontrol, sedangkan
pada kelompok intervensi median umur anak 4.00 tahun. Pada jenis kelamin sebagian besar
kelompok kontrol berjenis kelamin perempuan 9 responden (60%) dan pada kelompok
intervensi berjenis kelamin laki-laki 9 responden (60%). Hasil perhitungan berdasarkan
frekuensi napas pada kelompok kontrol pada pengukuran awal menunjukkan bahwa frekuensi
napas rata-rata 33 dan pada kelompok kontrol pada pengukuran akhir didapatkan rata-rata
38.47. Sedangkan pada frekuensi napas pada kelompok intervensi pada pengukuran awal
menunjukkan bahwa frekuensi napas rata-rata 32.73 dan pada frekuensi napas kelompok
intervensi akhir menunjukkan bahwa frekuensi napas rata-rata 29.63.
Diperoleh hasil ada pengaruh antara frekuensi napas pada kelompok kontrol pada pengukuran
awal dengan pengukuran akhir, ada pengaruh antara frekuensi napas pada kelompok
intervensi pengukuran awal dengan pengukuran akhir, tidak ada pengaruh antara frekuensi
napas pada kelompok konrol awal dengan kelompok intervensi awal, ada pengaruh antara
frekuensi napas pada kelompok kontrol akhir dengan kelompok intervensi akhir. Terdapat
perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok kontrol pada pengukuran awal dengan
akhir, namun rata-rata lebih tinggi pada kelompok kontrol pengukuran akhir (tabel 1).
Terdapat perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok intervensi pengukuran awal
dengan pengukuran akhir, menunjukkan bahwa frekuensi napas pada kelompok intervensi
pada pengukuran menunjukkan lebih stabil frekuensi pernapasannya (tabel 2). Terdapat
perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok intervensi pengukuran awal dengan
pengukuran akhir (tabel 3), namun menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pemberian obat
sebelum kelompok kontrol dengan pada kelompok sebelum pemberian madu. Terdapat
perbedaan rata-rata pada kelompok kontrol akhir dengan kelompok intervensi akhir (tabel 4),
namun menunjukkan bahwa frekuensi napas pada kelompok intervensi akhir frekuensi napas
lebih stabil dari pada kelompok konrol akhir.

Tabel 1
Analisi perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok kontrol pada pengukuran awal
dengan akhir di Desa Wonorejo 8 Juli 24 Agustus 2013 (n1=n2=15)
Variabel
Sebelum
kontrol
Setelah
kontrol

Mean
33.00

SD
3.566

38.47

2.100

Beda mean
.970

Nilai t
-5.634

Nilai p
.000

Tabel 2
Analisi perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok intervensi pada pengukuran awal
dengan akhir di Desa Wonorejo 8 Juli 24 Agustus 2013 (n1=n2=15)
Variabel
Sebelum
intervensi
Setelah
intervensi

Mean
32.73

SD
3.863

29.63

1.291

Beda mean
.825

Nilai t
3.717

Nilai p
.002

Tabel 3
Analisi perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok kontrol pada pengukuran awal
dengan frekuensi napas kelompok intervensi pengukuran awal di Desa Wonorejo 8 Juli 24
Agustus 2013 (n1=n2=15)
Variabel
Sebelum
kontrol
Sebelum
intervensi

Mean
33.00

SD
3.566

32.73

3.863

Beda mean
1.551

Nilai t
.172

Nilai p
.866

Tabel 4
Analisi perbedaan rata-rata frekuensi napas pada kelompok kontrol pada pengukuran akhir
dengan frekuensi napas kelompok intervensi pengukuran akhir di Desa Wonorejo 8 Juli 24
Agustus 2013 (n1=n2=15)
Variabel
Setelah
kontrol
Setelah
intervensi

Mean
38.47

SD
2.100

29.63

1.291

Beda mean
.518

Nilai t
16.981

Nilai p
.000

Dari penelitian diperoleh ada pengaruh pemberian obat kelompok sebelum kontrol dan
sesudah kelompok kontrol terhadap frekuensi napas pada balita dengan ISPA, dimana nilai
P=.000 (p <0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmaliah menunjukkan frekuensi napas
cepat. Menurut Depkes RI (2008), mengatakan bahwa frekuensi napas 38,47 masih terbilang
normal. Menurut Susi (2002), mengatakan bahwa banyak masyarakat menggunakan antibiotik
pada anak yang menderita infeksi saluran pernapasan ringan seperti faringitis dan bronkitis.
Pemberian antibiotik pada saluran pernapasan ringan atau demam (tanpa tanda gejala klinis
pernapasan yang serius). Akan pengakibatkan penggunaan antibiotik secara luas tanpa
manfaat dan akan mengakibatkan efek samping yang besar serta meningkatkan resistensi
antibiotik. Antibiotik sebaiknya tidak diberikan kepada infeksi saluran pernapaan atas agar
mencegah perkembangan infeksi tersebut menjadi pneumonia bakterialis. Pneumonia
bakterialis yang tinggi pada anak yang berkujung ke tenaga kesehatan dan faktor risiko
terhadap pneumonia, seperti kurang gizi dan bayi berat lahir rendah relatif banyak. Sehingga
angka kematian bayi akibat pneumonia menjadi tinggi dan penggunaan terapi antibiotik untuk
situasi terjadinya pneumonia bakterialis.
Hasil penelitian juga diperoleh ada pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas pada
balita dengan ISPA, dimana nilai p=0.002 (p < 0.05). Menurut Ngastiyah (2005), mengatakan
bahwa frekuensi pernapasan pada usia 3-5 tahun yaitu normalnya 20-30x/ menit. Sedangkan
menurut Depkes RI (2008) mengatakan bahwa frekuensi pernapasan <40x/ menit belum
termasuk napas cepat. Menurut Aden (2010), mengatakan bahwa madu merupakan
desinfektan ringan, sehingga mampu menyembuhkan radang tenggorokkan. Cairan manis ini
juga bisa meningkatkan produksi saliva atau cairan ludah yang dapat membantu mengatasi
tenggorokkan yang kering atau teriritasi. Dan madu juga dapat mengobati batuk, pilek pada

anak. Menurut Hammad (2011), madu juga dapat mengatur napas yang sangat bermanfaat
pada penderita paru-paru.
Hasil penelitian juga diperoleh tidak ada pengaruh pemberian obat kelompok sebelum kontrol
dan frekuensi napas pada kelompok sebelum intervensi terhadap frekuensi napas pada balita
dengan ISPA, dengan nilai p= .886 (p > 0.05). Hasil penelitian ini mengatakan bahwa
frekuensi napas kelompok kontrol awal dan frekuensi napas kelompok intervensi awal masih
terbilang normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmaliah yang menunjukkan bahwa
frekuensi napas masih terbilang normal.
Hasil penelitian ini diperoleh ada pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas pada
balita dengan ISPA, dengan nilai p=.000 (p < 0.05). Hasil penelitian tentang nilai rata-rata
frekuensi napas kelompok intervensi adalah berbeda dengan kelompok kontrol. Frekuensi
napas kelompok yang diberikan intervensi pemberian madu sangat berpengaruh pada
frekuensi napas, karena dapat menstabilkan frekuensi napas. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Cohen et al (2012) yaitu madu dapat diberikan pada anak yang mengalami
infeksi pernapasan atas untuk mengurangi frekuensi batuk dan kesulitan tidur. Aden (2010)
madu mengandung zat antibiotik yang aktif untuk melawan serangan berbagai kuman dan
bakteri yang menyebabkan penyakit. Dan madu dapat mencegah atau menyembuhkan ISPA,
batuk dan demam dengan cara meminum secara rutin. Dan madu mempunyai kandungan
yang mampu melawan bakteri dan virus didalam tubuh manusia ditimbulkan oleh berbagai
macam penyakit, oleh karena itu madu diyakini sebagai asupan gizi dan nutrisi yang baik
untuk tubuh.
Dalam penelitian ini sarana dan prasarana masih kurang memadahi seperti alat yang
digunakan dan cara pemberian madu. Peneliti melakukan cara mengukur frekuensi napas
yaitu di dada. Penelitian ini hanya mengontrol beberapa faktor yang mempengaruhi
pemberian madu terhadap frekuensi napas pada balita dengan ISPA yang memiliki kategori
napas cepat. Dan interaksi dan komunikasi antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi
sulit terjaga dengan baik. Diharapakan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan
penelitian yang serupa dapat menggunakan alat yang tepat untuk mengukur frekuensi napas
yaitu menggunakan alat Thermometer analog dan cara pemberian madu juga mungkin
ditambah dengan susu atau jeruk agar hasil yang didapatkan akan jauh lebih baik.
Penelitian ini dapat mendukung teori dan referensi yang sudah ada bahwa ada pengaruh
pemberian madu terhadap frekuensi napas pada balita dengan ISPA. Bahwa temuan dalam

penelitian ini memberikan implikasi bagi pelayanan keperawatan anak di Puskesmas untuk
memberikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi kesehatan ISPA. Penelitian ini dapat
meperkuat hasil penelitian yang telah ada tentang pengaruh pemberian madu terhadap
frekuensi napas pada balita dengan ISPA, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk
peneliti.

PENUTUP
Hasil penelitian yang dilakukan pada pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas
pada balita dengan ISPA di Desa Wonorejo Kecamatan Kaliwungu Utara Kabupaten Kendal
diperoleh hasil karakteristik responden rata-rata umur ibu pada kelompok kontrol berumur 29
tahun sedangkan pada rata-rata umur ibu pada kelompok intervensi berumur 30.07 tahun.
Berdasarkan pendidikan orang tua sebagian besar kelompok kontrol berpendidikan SD dan
SMA masing-masing 5 responden (33.3%), sedangkan kelompok intervensi berpendidikan
SMA sebanyak 7 responden (46.7%). Berdasarkan pekerjaan orang tua sebagian besar
kelompok kontrol bekerja sebagai petani yaitu 6 responden (40%), sedangkan pada kelompok
intervensi sebagai ibu rumah tangga sebanyak 9 responden (60%). Berdasarkan umur anak
pada median umur anak kelompok kontrol berumur 3.20 tahun dan kelompok intervensi
berumur 4.00 tahun. Berdasarkan jenis kelamin responden kelompok kontrol paling banyak
perempuan sebanyak 9 orang (60%), sedangkan kelompok intervensi paling banyak laki-laki
yaitu 9 orang (60%).
Pengaruh pemberian madu terhadap frekuensi napas pada balita dengan ISPA. Frekuensi
napas pada kelompok kontrol pada pengukuran awal rata-rata 33 dan frekuensi napas pada
kelompok kontrol pada pengukuran akhir rata-rata 38,87, sedangkan frekuensi napas pada
kelompok intervensi pada pengukuran awal rata-rata 32,73 dan frekuensi napas pada
kelompok intervensi pada pengukuran akhir rata-rata 29,63. Ada pengaruh pemberian madu
terhadap frekuensi napas pada balita dengan ISPA dengan nilai (p-value = .002, =0,05).
Diharapkan madu dapat menjadi alternatif pengobatan untuk penderita ISPA pada bailita yang
dapat diberikan oleh orang tua kepada anaknya ketika anaknya mengalami ISPA. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai kesehatan pada anak menderita
ISPA dan juga dijadikan masukan dalam penatalaksanaan keperawatan ISPA balita dengan
menggunakan terapi madu. Bagi tenaga kesehatan dimana penilitian ini dapat memberikan

gambaran tentang perawatan balita penderita ISPA menggunakan terapi madu sehingga
meningkatkan keterampilan terutama di bidang kesehatan. Untuk penelitian selanjutnya yang
berminat untuk mengangkat tema yang sama diharap menggunakan penelitian sebagai acuan,
sehingga dapat

mempertimbangkan variabel lain yang lebih mempengaruhi pengaruh

pemberian madu terhadap balita dengan ISPA seperti menambahkan variabel lain seperti
susu yang dapat meningkatkan protein. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan
data tambahan seperti kuesioner dan wawancara agar hasil yang didapat lebih mendalam dan
sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap dengan lembar observasi.

DAFTAR PUSTAKA
Aden R. (2010). Manfaat dan Khasiat Madu: Keajaiban Sang Arsitek Alam. Yogyakarta:
Hanggar Kreator.
Cohen, et all. (2012). Effect of Honey on Nocturnal Cough and Sleep Quality: A Doubleblind, Ramdomized,Pacebo-Controlled Study. Http://pediatrics.aappublications.org.
Diunduh 17 April 2013
Depkes RI. (2008). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Usaid
Dinas Kesehatan Kendal. (2012). Profil Kesehatan Kabupaten Kendal. Kendal: Dinas
Kesehatan Kendal.
Erlien. (2008). Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka.
Hammad, Said. (2011). 99 Resep Sehat dengan Madu. Solo: Aqwamedika.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Kementrian Kesehatan RI. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Rasmaliah.
(2004).
Penanggulangannya.

Infeksi

Saluran

Pernafasan

Akut

(ISPA)

Dan

Http://Usudigital library.com. Diunduh 11 April 2013

Riwidikdo, handoko. (2009). Statistik Kesehetan: Belajar mudah teknik analisis data dalam
Penelitian Kesehatan (Plus Aplikasi Software SPSS). Yogyakarta: Mitra Cendikia
Press.
Rostita. (2008). Berkat Madu: Sehat, Cantik, dan Penuh Vitalitas. Bandung: Qanita.

Susi, Natalia. (2002). Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang: Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai