Makalah 14
Makalah 14
Abstrak: Fraktur dapat menyebabkan berbagai komplikasi oleh karena itu diperlukan
penanganan yang tepat sedini mungkin. Untuk mendiagnosis fraktur kita dapat melakukan
pemeriksaan radiologi. Dengan pemeriksaan radiologi kita dapat menentukan tipe dan tingkat
keparahan fraktur. Tujuan pemeriksaan radiologis untuk konfirmasi adanya fraktur, melihat
sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya, menentukan teknik
pengobatan, menentukan apakah fraktur yang dialami fraktur baru atau fraktur lama,
menentukan fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler, melihat adanya keadaan patologis
lain pada tulang, dan untuk melihat apakah ada benda asing dalam tulang. Prinsip
penanganan dari fraktur tibia ini adalah dengan konservatif dan operatif. Dengan konservatif
prinsip pengobatan adalah mencegah bertambahnya depresi, tidak menahan beban dan segera
mobilisasi pada sendi lutut agar tidak terjadi kekakuan sendi. Dapat dilakukan dengan
verband elastis, traksi dan gips sirkuler. Sedangkan untuk operatif dilakukan jika terjadi
fraktur terbuka, kegagalan dalam terapi konservatif, fraktur tidak stabil, serta adanya
nonunion. Penilaian penyembuhan frakur ( union ) didasarkan atas union secara klinis dan
union secara radiologik. Union secara radiologik dinilai dengan pemeriksaan roentgen pada
daerah fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan
adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada kedua fragmen.
Kata kunci: fraktur, tibia.
Gio Vano Beril Karel Naihonam, NIM: 1020268, Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana,
Jalan Arjuna Utara, Giovanoberilkarel31@yahoo.com
PENDAHULUAN
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia baik dari segi jumlah
pemakaian jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya
jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan
lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita
harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organorgan lain seperti trauma capitis, trauma thoraks, trauma abdomen, trauma ginjal, dll. Fraktur
yang diakibatkan juga sering berupa fraktur terbuka.1
Fraktur adalah terputusnya / hilangnya kontinuitas struktur jaringan tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial, umumnya
disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut. Keadaan
tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap
2,3
fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang sudah menyambung
pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medula atau ruangan dalam
daerah fraktur.
tertutup, yaitu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. (2). Fraktur
terbuka, yaitu fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit
dan jaringan lunak.2
ANAMNESIS : ada trauma
Bilamana tidak ada riwayat trauma berarti fraktur patologis. Trauma harus diperinci
jenisnya, besar-ringannya trauma, arah trauma dan posisi penderita atau eketremitas yang
bersangkutan (posisi tibia) dan juga mekanisme trauma.1
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum, meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, dicari kemungkinan
komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel, fraktir pelfis, fraktur terbuka, tanda
tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi.1
Pemeriksaan status lokasi, tanda tanda klinis pada fraktur tulang panjang : Look, cari
apakah terdapat : (a).Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, (misalnya pada
fraktur kondilus lateralis humerus), angulasi, rotasi, dan pemendekan. (b).Functio laesa
(hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur kruris tidak bisa berjalan. Lihat juga ukuran
panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan, misalnya, pada tungkai bawah meliputi apparenth
length ( jarak antara ubilikus dengan maleolus medialis) dan true lenght ( jarak antara SIAS
dengan maleolus medialis).1
Feel, apakah terdapat nyeri tekan. Pemeriksaan nyeri sumbu tidak dilakukan lagi karena akan
menambah trauma.1
Move, untuk mencari : (a).Krepitasi, terasa bila fraktur digerakan, tetapi ini bukan cara yang
baik dan halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya ujung-unjung tulang
kortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi. Pemeriksaan
ini sebaiknya tidak dilakukan karena akan menambah trauma. (b).Nyeri bila digerakan, baik
pada gerakan aktif maupun pasif. (c).Memeriksa seberapa seberapa jauh gangguan
gerakan yang tidak mampu digerakan, range of motion ( derajat dari ruang lingkup
3
gerakansendi ), dan kekuatan. (d). Gerakan yang tidak normal, gerakan yang terjadi tidak
pada sendi, misalnya: pertengahan femur dapat digerakan. Ini adalah bukti paling penting
adanya fraktur yang membuktikan adanya putusnya kontunuitas tulang sesuai defenisi
fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya : bila tidak ada fasilitas pemeriksaan
rontgen.1
Pada look, feel and move ini juga dicari komplikasi-komplikasi lokal dan keadaan
neurovaskuler distal.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk fraktur-fraktur dengan tanda-tanda klasik, diagnosis dapat dibuat secara klinis
sedangkan pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk melengkapi deskripsi fraktur dan
dasar untuk tindakan selanjutnya.1
Untuk fraktur-fraktur dengan tanda-tanda klasik, memang diagnosanya harus dibantu
pemeriksaan radiologis baik baik rontgen biasa ataupun pemeriksaan cangih seperti MRI,
misalnya untuk fraktur tulang belakang dengan komplikasi neurologis. Foto rontgen minimal
harus 2 proyeksi yaitu AP dan Leteral. Posisi yang salah akan memberi interpretasi yang
salah. Untuk pergelangan tangan atau sendi panggul diperlukan posisi
axial pengganti
lateral.1
WORKING DIAGNOSIS
Fraktur terbuka tibia dekstra 1/3 tengah.
ETIOLOGI
Pada umumnya fraktur pada kaki disebabkan oleh : (1). Trauma :Fraktur akibat
trauma adalah jenis fraktur yang sering terjadi, misalnya jatuh, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan dalam berolahraga atau olahraga yang berlebihan. (2). Fraktur patologis :
Fraktur yang terjadi pada tuang karena adanya kelainan/penyakit yang menyebabkan
kelemahan pada tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma
ringan. (3). Fraktur stress : Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu, misalnya pada pelari jarak jauh, penari ballet, dan sebagainya.2,5
Sistem klasifikasi yang sering digunakan pada fraktur terbuka adalah sistem Gustilo sebagai
berikut:
Tipe I: lukanya bersih dan panjangnya kurang dari 1 cm.
Tipe II: panjang luka lebih dari 1 cm dan tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas.
Tipe III a: luka dengan kerusakan jaringan yang luas, biasanya lebih dari 10 cm dan
mengenai periosteum. Fraktur tipe ini dapat disertai kemungkinan komplikasi, contohnya:
luka tembak.
Tipe III b: luka dengan tulang yang periosteumnya terangkat.
Tipe III c: fraktur dengan gangguan vaskular dan memerlukan penanganan terhadap
vaskularnya agar vaskularisasi tungkai dapat normal kembali.2,4
Fraktur Distal Tibia
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam beberapa
macam trauma :
1. Trauma abduksi
Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat oblik,
fraktur pada maleolus medialis bersifat avulsi atau robekan pada ligamen bagian medial.
2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik atau avulsi
maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya menyebabkan strain atau
robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi fraktur pada
fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau fraktur avulsi
pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan dislokasi talus.
4. Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai dengan dislokasi
talus ke depan atau terjadi fraktur kominutif disertai dengan robekan diastesis.2
Klasifikasi
Lauge-Hansen(1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya pergeseran dari
fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan atau manipulasi yang
dilakukan. Klasifikasi lain yang lebih sederhana, menurut Danis & Weber (1991), dimana
fibula merupakan tulang yang penting dalam stabilitas dari kedudukan sendi berdasarkan atas
lokalisasi fraktur terhadap sindesmosis tibiofibular.
7
foto AP dengan fraktur depresi gambaran radiologisnya berupa suatu lokasi dengan densitas
yang meningkat. 2,4
1. Foto Polos
Foto polos sangat baik dalam mendiagnosis fraktur tibia. Pasien yang dicurigai
mengalami fraktur harus difoto dengan posisi AP, lateral, dan obliq untuk mengevaluasi
fraktur. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan foto polos yaitu lokasi fraktur, tipe
fraktur dan kedudukan fragmen, bagaimana struktur tulang, ada tidaknya dislokasi, ada
tidaknya fraktur epifisis, ada tidaknya pelebaran celah sendi. Pada foto AP dengan fraktur
depresi gambaran radiologisnya berupa suatu lokasi dengan densitas yang meningkat. Bila
dicurigai terdapat fraktur tetapi tidak terlihat pada foto, ulangi pemeriksaan setelah sepuluh
hari bila masih terdapat simptom. Pada minggu pertama atau kedua ini, garis fraktur sering
menjadi lebih jelas. Setelah itu fraktur akan bersatu, garis fraktur menghilang dan terjadi
reformasi tulang.2,8
Fraktur kondilus tibia
Gambar 3. Foto Genu posisi AP, tampak fraktur pada bagian lateral kondilus tibia9
Gambar 4. Foto cruris posisi AP, lateral tampak fraktur transversal pada diafisis tibia.10
Fraktur pergelangan kaki
Gambar 5. Fraktur Weber tipe A, tampak fraktur pada bagian distal syndesmosis.11
MRI
MRI telah menggantikan CT Scan di banyak tempat karena lebih sensitif dalam banyak hal
terutama dalam pemeriksaan soft tissue. MRI tidak hanya mampu mendeteksi radang pada
luka, akan tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mendeteksi abnormalitas dari ligament
di sekeliling jaringan lunak dan struktur tulang. Akan tetapi dalam pemeriksaan fraktur tulang
CT Scan lebih baik, karena CT scan dapat memperlihatkan ostopenia, yang biasanya paling
awal ditemukan pada fatigue cortical bone injury, sedangkan MRI tidak dapat mendeteksinya,
karena MRI lebih efektif dalam mendeteksi ligamen dan radang pada luka.14
10
Gambar 6. Gambar potongan coronar T1, memperlihatkan garis fraktur pada lateral plateu.11
Gambar 8. Gambar potongan sagital T1(A) & T2(B) memperlihatkan fraktur pada distal tibial
metaphysis.11
PENATALAKSANAAN
Fraktur tertutup
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reposisi tertutup dan dilakukan
imobilisasi dengan gips. Prinsip reposisi adalah fraktur tertutup, ada kontak 70% atau lebih,
tidak ada angulasi dan tidak ada rotasi.12
Cara imobilisasi dengan gips: Penderita tidur terlentang di atas meja periksa. Kedua
lutut dalam posisi fleksi 90, sedang kedua tungkai bawah menggantung di tepi meja.
Tungkai bawah yang patah ditarik ke arah bawah. Rotasi diperbaiki. Setelah tereposisi baru
dipasang gips sirkuler. Ada beberapa cara pemasangan gips, yaitu: (1). Cara long leg plaster:
Imobilisasi cara ini dilakukan dengan pemasangan gips mulai pangkal jari kaki sampai
proksimal femur dengan sendi talocrural dalam posisi netral sedang posisi lutut dalam fleksi
20. (2). Cara Sarmiento: Pemasangan gips dimulai dari jari kaki sampai di atas sendi
talocrural dengan molding sekitar maleolus. Kemudian setelah kering segera dilanjutkan ke
atas sampai 1 inci di bawah tuberositas tibia dengan molding pada permukaan anterior tibia,
gips dilanjutkan sampai ujung proksimal patella. Keuntungan cara Sarmiento ialah kaki dapat
diinjakkan lebih cepat.12
Jika setelah dilakukan reposisi tertutup ternyata hasilnya kurang baik: masih terjadi
angulasi, perpendekan lebih dari 2 cm, tidak ada kontak antara kedua ujung fragmen tulang,
12
maka dapat dianjurkan untuk dilakukan open reduksi dengan operasi dan pemasangan
internal fiksasi setelah 3 minggu (union secara fibrosa).12
Metode pengobatan operatif: Pemasangan plate dan scre, Nail intrameduler,
Pemasangan screw semata-mata, Pada fraktur oblik atau spiral, imobilisasi dengan gips
biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan tindakan operasi.12
Fraktur terbuka
Dilakukan debridement lukanya, kemudian tulang yang patah dilakukan reposisi
secara terbuka. Setelah itu dilakukan imobilisasi. Bermacam-macam cara imobilisasi untuk
fraktur terbuka: (1). Cara Trueta: Luka setelah dilakukan debridement tetap dibiarkan
terbuka tidak perlu dijahit. Setelah tulangnya direposisi gips dipasang langsung tanpa
pelindung kulit kecuali pada SIAS, calcaneus dan tendo Achilles. Gips dibuka setelah berbau
dan basah. Cara ini sudah ditinggalkan. Dahulu banyak dikerjakan pada zaman perang. (2).
Cara long leg plaster: Cara seperti telah diuraikan di atas. Hanya untuk fraktur terbuka
dibuat jendela setelah beberapa hari di atas luka. Dari lobang jendela ini luka dirawat sampai
sembuh. (3). Cara dengan memakai pen di luar tulang (Fiksasi eksterna): Cara ini sangat
baik untuk fraktur terbuka kruris grade III. Dengan cara ini perawatan luka yang luas di kruris
sangat mudah.12
Macam-macam bentuk fiksasi eksterna, diantaranya: Judet fiksasi eksterna, Roger Anderson,
Hoffman, Screw + Methyl methacrylate (INOE teknik).12
KOMPLIKASI
Dini
Sindrom kompartemen: Komplikasi ini terutama terjadi pada farktur proksimal tibia
tertutup. Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi
tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai bawah. Yang paling
sering terjadi adalah sindrom kompartemen anterior.12
13
Mekanisme:
dengan
terjadinya
fraktur
tibia
maka
terjadilah
perdarahan
tidak sederhana. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan jelas. Selain
itu, pemeriksaan radiologis juga penting. Penatalaksanaan dari fraktur tergantung dari kondisi
frakturnya, bisa dengan operatif maupun non operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Grace PA, Borley NR. At a galance ilmu bedah. Ed 3. Jakarta: erlangga; 2007. h. 3045.
2. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar ilmu bedah orthopedi. Edisi 2. Makassar:
Bintang Lamumpatue; 2003. hal. 370-1;455-62
3. Carter MA. Anatomi dan fisiologi tulang. Dalam: Price SA, Wilson LM [Editor].
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC; 2006.
hal. 1357-62
4. Eiff PM, Hatch RL, Calmbach WL, Higgins MK. Tibial fractures. In: Fracture
management for primary care. 2nd edition. Philadelphia: Saunders; 2003. p. 269-84
5. Crowther CL, Burnie G. Trauma. In: Primary orthopedic care. 2nd edition. Missouri:
Mosby; 2004. p 228-35
6. Arthur C. Guyton, John E. Hall. Textbook of medical physiology.11th ed.
Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc; 2006. p. 982-3.
7. Ahuja AT, Antonio GE, Wong KT, Yuen HY. Tibial plateau fracture. In: Case studies
in medical imaging. Cambridge: Cambridge University Press; 2006. p. 253
8. Mettler FA. Tibia and fibula. In: Essentials of radiology. 2 nd edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005. p. 338-42
9. Sorenson SM. Tibial plateau fractures. [online]. 2007. [cited 2009 August 30].
Available from URL : http://emedicine.medscape.com/article/396920-overview
10. Jones J. Tibial fracture. [online]. 2009. [cited 2009 August 30]. Available from
URL : http://radiopaedia.org/cases/tibial-fracture
15
11. Fristch T. Lateral tibia plateau fracture. [online]. 2006. [cited 2009 August 30].
Available from URL : http://www.mypacs.net
12. Staf pengajar bagian ilmu bedah FK UI. Kumpulan kuliah ilmu bedah.
16