Anda di halaman 1dari 1

Opini | 21

KAMIS, 14 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Masalah Banjir Selalu Berulang


Oleh Baharuddin Aritonang
Pengamat sosial

ERSOALAN banjir sesungguhnya persoalan yang kita


hadapi setiap tahun. Selalu
berulang dan berulang. Cuma
kadarnya yang naik turun. Banjir besar
atau banjir kecil. Berita terakhir banjir
bandang di Wasior, Kabupaten Teluk
Wondama, Papua Barat, yang korbannya mencapai lebih dari 100 orang.
Pertanyaannya adakah kita mampu
menghilangkan bencana banjir? Mungkin percuma saja. Jadi kalau ada pejabat
yang berujar sebagai ahlinya banjir,
tidak salah juga. Kalimat itu bisa diartikan macam-macam. Misalnya ahli
pembuat banjir atau ahli penyebab
banjir. Bisa juga ahli mendramatisasi
banjir. Atau ahli menghadapi banjir,
bagaimanapun risikonya. Kita saja
yang salah mengartikannya, seolah
kalimat serahkan ahlinya itu diartikan
sebagai ahli untuk menghilangkan atau
menghentikan banjir. Padahal bukan
itu maksudnya. Lagi pula, bila keadaannya sudah seperti sekarang ini, manalah mungkin banjir dapat dihilangkan?
Paling-paling kadarnya diturunkan.
Namanya saja alam, setiap tahun
menurunkan hujan. Bahkan kita hanya
mengenal dua musim, yakni musim
kering atau kemarau dan musim hujan.
Masyarakat kita sudah bertumbuh apa
adanya tanpa ada perencanaan serta
tuntunan untuk dapat hidup teratur
serta jauh dari musibah banjir. Lagi pula
sejarah bertumbuhnya kota-kota di
negeri ini lahir dari tepian sungai atau
pantai. Wajarlah bila pertumbuhan
penduduk menyebabkan pembangunan di tepian itu tak terkendali.
Tuntutan perumahan dan permukiman juga tidak mempertimbangkan
faktor semacam itu. Lihat di pembangunan perumahan, masih tetap bersifat lapar tanah. Artinya pembangunan
perumahan yang mengandalkan luas
lahan, belum menuju ke atas alias pem-

bangunan apartemen. Bahkan sebaliknya, apartemen dibangun untuk


kebutuhan orang-orang kaya. Padahal
di banyak negara, perumahan rakyat
justru dicukupi dalam bentuk rumah
susun alias apartemen. Kalaupun ada
kondominium alias apartemen untuk
orang-orang kaya, jumlahnya lebih
sedikit.
Akibatnya di mana ruang kosong,
akan diisi dengan perumahan. Termasuk areal yang sesungguhnya untuk
jalur hijau atau rawa-rawa dan daerah
aliran sungai. Tak mengherankan bila
daerah Bandung Selatan tergenang
terus. Di berbagai negara daerah
semacam itu tidak boleh dibangun dan
bahkan dibiarkan apa adanya. Lihatlah
daerah yang masuk areal banjir, pada
umumnya adalah daerah seperti ini.
Dalam buku saya, Orang Batak Naik
Haji, saya menulis ke mana perginya
air itu kalau bukan untuk
membanjiri permukiman?
Pemerintah
Dari audit
BPK atas banjir
di daerah Jember beberapa
tahun lalu, dapat ditelusuri
bahwa sesungguhnya banjir ini
disebabkan ulah
kita juga. Jika permukiman liar di
bantaran sungai atau
ulah lain yang mendukung terjadinya banjir seperti membuang sampah sembarangan dipicu
masyarakat, tiadanya pengaturan atau
pemberian izin perumahan atau areal
usaha didaerah yang tidak semestinya
tentulah ulah pemerintah. Demikian
halnya hasil audit tersebut, peraturan
perundang-undangan yang menjaga
lingkungan hidup pada umumnya
tidak berjalan sebagaimana yang diatur
itu. Pegunungan dengan kemiringan

tanah 40 derajat yang semestinya diisi


tumbuhan besar dengan akar kuat
justru dibabat untuk diisi dengan
tanaman kopi yang rentan terhadap
longsor. Demikian juga bantaran sungai
di lereng pegunungan itu telah diubah
peruntukannya. Penggantian tanaman
dan perubahan bantaran sungai itu
dilakukan perusahaan daerah perkebunan kopi, yang justru dibentuk pemerintah daerah. Perusahaan daerah itu
memang mampu memberi penerimaan
Rp2 miliar setahun atau Rp10 miliar
selama lima tahun bagi pendapatan asli
daerah. Akan tetapi, begitu terjadi longsor dan banjir bandang datang, kerugian materi yang diakibatkannya saja
tidak kurang dari Rp100 miliar. Belum
lagi korban jiwa. Jika angka-angka yang
digambarkan
itu menun-

PATA AREADI

jukkan eksternalitas mereka, dari sudut audit kinerja


yang dilakukan terhadap pemerintah
dalam hal lingkungan hidup menunjukkan pemerintahan, baik di tingkat
pusat, provinsi, maupun kabupaten,
tidak melaksanakan fungsi yang sesungguhnya.
Artinya, dalam banyak hal pemerintahan pada dasarnya juga tidak berjalan
dalam upaya pencegahan banjir. Pe-

merintah dan berbagai organisasi justru


baru menunjukkan perannya ketika
banjir sedang berlangsung. Bahkan
sering kali dapat ditegaskan bahwa
pemerintah dan masyarakat bersamasama beraktivitas yang mempermudah
atau memberi peluang bagi terjadinya
musibah dalam bentuk longsor dan
banjir.
Terkadang ada juga kemajuan pemerintah dalam berpikir dan bertindak.
Di Jakarta, misalnya, kita dapat melihat
langkah-langkah yang ditempuh pemerintah daerah dalam menegakkan
penggunaan jalur hijau. Beberapa
pompa bensin yang dulu sering saya
kecam di beberapa jalur hijau kini telah
dibongkar. Begitu juga beberapa bangunan liar, walau masih sering digunakan secara kucing-kucingan oleh
pengguna lahan. Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta pun telah bersikukuh untuk menyelesaikan proyek Kanal Banjir
Timur tahun ini juga. Meskipun
keampuhan proyek itu, khususnya dalam menanggulangi
banjir di Ibu Kota, belum dapat
dibuktikan, setidaknya proyek
itu memberi harapan.
Hutan
Tapi Indonesia bukanlah hanya
Jakarta. Di beberapa daerah, pembalakan liar masih berlangsung
terus. Beberapa media massa telah
berulang kali melaporkannya. Saya
tidak tahu adakah institusi dan pejabat yang berwenang bereaksi terhadap
laporan tersebut. Bahkan di beberapa
tempat pembabatan hutan berlangsung
di depan mata, baik dengan dalih untuk
perkebunan kelapa sawit atau hanya
untuk membuka areal perkebunan.
Lihatlah, misalnya, Bukit Soeharto di
Kalimantan Timur, atau di daerah
Provinsi Riau di Sumatra. Bahkan di
beberapa taman nasional, yang terakhir
tidak jauh dari ibu kota negara, yakni
di daerah Bogor, sebagaimana yang
diberitakan tanpa henti oleh Media Indonesia. Belum lagi pertambangan,

khususnya batu bara, baik yang memiliki izin resmi maupun yang liar. Atau
daerah tambang di taman nasional atau
hutan lindung.
Karena telanjur sudah banyak areal
yang rusak parah, perlu langkah tegas
dan spektakuler dari pemerintah, baik
di pusat maupun di daerah. Kalau
perlu, dilakukan moratorium untuk
menghentikan sementara semua aktivitas yang berhubungan dengan
penebangan kayu. Sejalan dengan itu,
perlu dilakukan evaluasi menyeluruh
atas untung ruginya melanjutkan pengeluaran izin usaha di bidang perkayuan, termasuk pengaturan yang
lengkap dan menyeluruh bagi upaya
rehabilitasi hutan yang selama ini telanjur sudah hancur-hancuran. Banjir
hanyalah salah satu dari dampaknya.
Sejalan dengan itu diperlukan pengaturan ulang atas tata ruang, baik di ibu
kota negara maupun seluruh daerah di
Indonesia. Untuk Jakarta, mungkin
sudah saatnya meneruskan pemindahan pusat pemerintahan, dan kalau
perlu pemindahan ibu kota negara.
Demikian juga halnya berbagai daerah. Banyak daerah, khususnya Pulau
Jawa, yang sudah terlalu berat menopang
jumlah penduduk yang terlalu padat.
Salah satu dampak kepadatan penduduk adalah penebangan kayu dan
perambahan hutan, khususnya yang
berada di daerah hulu. Hancurnya lingkungan di daerah hulu menyebabkan
datangnya banjir kiriman. Sementara itu,
untuk pembangunan permukiman baru,
perlu diatur penyiapan lahan yang sesuai dengan peruntukannya.
Artinya, semua komponen pemerintahan perlu digerakkan untuk melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Khususnya yang terkait dengan
penataan penduduk beserta lingkungan hidupnya. Bukan saatnya lagi
masyarakat dibiarkan tumbuh dan
berkembang sendiri-sendiri, tanpa
pengaturan dari pemerintah. Justru
pemerintahan dibuat untuk kepentingan tersebut.

kan dan diimpikan untuk diteliti tidak


bisa terwujud. Struktur pembiayaan
penelitian yang tidak realistis dan
seadanya seperti biaya bahan, peralatan, perjalanan, dan gaji yang cenderung
terkesan sebagai bantuan tunai langsung ala peneliti.
Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika para peneliti Indonesia lebih suka
bermitra dengan lembaga penelitian
luar negeri karena selain fasilitas laboratoriumnya canggih dan lengkap, segala yang diperlukan peneliti seperti
survei lapangan yang berhari-hari,
bahkan berminggu-minggu, di pulau
terpencil bisa dibiayai full. Banyak
penemuan-penemuan peneliti Indonesia akhir-akhir ini merupakan hasil
kerja sama dengan pihak luar.
Hal itu juga dialami para intelektual
Indonesia hasil program OFP, STMDP,
dan STAID. Setelah pulang ke Indonesia, dengan semangat dan cita-cita
mulia mengembangkan iptek nasional,
ternyata harus dihadapkan dengan
ketidaksiapan infrastruktur dan sistem
iptek nasional. Teman peneliti yang
sama menjelaskan waktu itu sekitar
1994 tidak ada perhatian yang serius
dari pemerintah dalam re-entry program
setelah kembali ke Indonesia.
Hal itu diperparah tidak adanya
strategi besar secara nasional yang
diberlakukan sama di setiap instansi
litbang dalam pengelolaan aset intelektual (peneliti) ini. Yang ada yaitu setiap
instansi bereksperimen masing-masing
bagaimana mempekerjakan tenagatenaga peneliti muda potensial ini. Alhasil yang terjadi adalah pengabaian
aset intelektual yang tidak ternilai. Hal
itu membuat hengkangnya aset intelektual tersebut dari lembaga-lembaga
litbang di Indonesia.
Ada banyak yang bekerja di Malaysia
(yang notabene sering melecehkan Indonesia) dan berkontribusi tinggi bagi

kemajuan teknologi aerospace Malaysia.


Banyak yang bekerja di dunia teknologi informasi sekadar mencari mainan
baru untuk menyalurkan kebutuhan
aktivasi intelektual, walaupun tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.
Untuk sebagian yang lain, tetap berada di Indonesia dan mampu mewujudkan idealisme sebagai peneliti karena bidang studi dan penelitian mereka
sinkron dengan kondisi unit kerja litbang tempat mereka dipekerjakan. Sebagian peneliti lain, karena bidang
studi dan minat penelitian tidak sesuai
dengan kebutuhan unit kerja, memilih
keluar dari litbang dan dari dunia penelitian dan berkiprah di perusahaan
swasta ataupun berwiraswasta.
Bisa dibayangkan kalau aset intelektual pada waktu itu ditempatkan dalam
kondisi yang kondusif, Indonesia sekarang mungkin bisa bersaing dengan
India, China, dan Korea dalam bidangbidang seperti teknologi penerbangan
dan angkasa luar, nuklir, farmakologi,
komunikasi baik optik, seluler, maupun
radio, dan dalam bidang teknologi informasi dan komputasi seperti dalam
teknologi rekayasa peranti lunak, database, dan internet.
Harusnya harapan yang sering diungkapkan Pak SBY, yaitu upaya mencapai critical mass of good leader (dalam
hal ini bidang iptek) bisa mendekati
kebenaran. Kalaupun belum mencapai
producer of hi-tech product, paling tidak
kita bisa mencapai kemandirian dalam
implementasinya baik itu dalam bidang
manufaktur, manajemen, maupun rekayasa sosial yang tingkat kompleksitasnya tinggi, seperti dilakukan India.
Sepertinya Indonesia masih punya
banyak PR dalam mengelola dan memanfaatkan aset intelektual (peneliti)
untuk memajukan bangsanya. Keberpihakan pemerintah dalam memajukan
iptek semoga tidak sekadar slogan
karena aset intelektual Indonesia sesungguhnya tidak kalah dari bangsa
lain.

Berlikunya Mendaki Profesi Peneliti


Oleh Heni Rosmawati
Bekerja di LIPI

ENCERMATI tulisan di
Media Indonesia edisi Jumat, 17 September 2010
dengan judul Nasib Peneliti di Ujung Tanduk cukup membuat hati ini terusik. Sebagai PNS di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang bergaul dengan para peneliti, sedikit banyak apa yang ditulis
itu benar adanya. Hasil wawancara
yang dilakukan perwakilan peneliti
dari BPPT dan LIPI seolah menyiratkan
nasib orang-orang pintar (peneliti) di
negeri ini sedang berada di ujung
tanduk. Ujung tanduk digambarkan
dengan ketidakberpihakan pemerintah
terhadap pengembangan dunia riset
yang ditunjukkan dengan minimnya
anggaran riset per tahun hingga pengabaian aset intelektual yang terlihat dari
minimnya gaji seorang peneliti.

 PARTISIPASI OPINI

Kirimkan ke email:
opini@mediaindonesia.com
atau opinimi@yahoo.com
atau fax: (021) 5812105
(Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi.
Sertakan nama. alamat lengkap,
nomor telepon dan foto kopi KTP).

Menjadi peneliti
Mungkin tidak banyak masyarakat
yang mengetahui bagaimana seorang
peneliti itu harus berjuang untuk memulai profesinya. Sebagai gambaran
awal, untuk penerimaan calon pegawai
negeri sipil (CPNS) di LIPI seorang
kandidat peneliti paling tidak harus
memiliki IPK 3,5 dan biasanya merupakan lulusan universitas ternama di
Indonesia. Dengan latar belakang seperti ini, ternyata tidak otomatis membuat seorang kandidat peneliti dapat
mulus menjadi peneliti.
Ada beberapa prasyarat lanjutannya,
yaitu mengikuti diklat fungsional peneliti, meneliti, membangun pemahaman melalui analisis dan sintesis, dan
akhirnya menuliskan laporan hasil
penelitian baik yang berupa jurnal
ilmiah maupun buku sebagai kum

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)


Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad
Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat
Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana
Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni
Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti Adhitama
Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat
Kepala Divisi Pemberitaan: Usman Kansong
Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban
Kepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi Dean
Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi
Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahjudi
Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi,
Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing
Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

untuk peningkatan kariernya.


Peneliti masa lalu
Situasi itu belum seberapa jika
dibandingkan dengan kejadian yang
dialami para intelektual muda pada
dekade 20 tahun ke belakang. Pada 1985
seperti yang tertulis di buku Pak Zuhal
yang berjudul Kekuatan Daya Saing Indonesia, melalui program yang dikenal
dengan OFP (Overseas Fellowship Program), Science and Technology Manpower
Development Program (STMDP) dan Science and Technology and Industrial Development (STAID) lebih dari 5.000 SDM
telah disekolahkan ke luar negeri dengan dana dari Bank Dunia.
Mereka adalah para lulusan terbaik
dari SMA terbaik yang terpilih dari
seluruh Indonesia yang harus melanjutkan S-1 dan S-2 di universitas terbaik
dunia di Amerika, Inggris, Prancis,
Belanda, dan Jepang. Negara-negara itu
dipilih karena di sanalah kiblat dan
pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi saat itu.
Bidang-bidang yang dipelajari merupakan bidang-bidang yang menurut
Pak Habibie (waktu itu masih menristek) akan menjadi bidang unggulan
Indonesia di masa depan seperti
teknologi penerbangan dan luar angkasa. Salah seorang peneliti LIPI, alumnus program OFP yang menuntut ilmu
di TU Delft Belanda jurusan material
science, menceritakan bagaimana dia
sampai berdarah-darah harus menyelesaikan studinya.
Waktu itu, menurutnya, para calon
mahasiswa yang telah dinyatakan lulus
seleksi ternyata sulit untuk memilih
program studi yang pas. Semuanya
harus sesuai dengan perencanaan dan
pemetaan yang telah dilakukan di
bawah Menristek Habibie, demikian
juga universitasnya telah ditentukan
sebelumnya. Yang ada dalam benak

Redaktur: Agus Mulyawan, Agus Wahyu Kristianto, Cri Qanon Ria


Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Gantyo
Koespradono, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida,
Jaka Budisantosa, Lintang Rowe, Mathias S. Brahmana, Mochamad
Anwar Surachman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono
Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana,
Ahmad Punto, Anton Kustedja, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki
Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko,
David Tobing, Denny Parsaulian, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny
Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni
Kartinah, Eri Anugrah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Handi Andrian, Heni Rahayu, Heru Prihmantoro, Heryadi, Hillarius U. Gani,
Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Jajang
Sumantri, Jerome Eugene, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnu Broto,
Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas,
Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Raja Suhud V.H.M, Ramdani,
Ratna Nuraini, Rina Garmina, Rommy Pujianto, Selamat Saragih,
Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitria Hamid,
Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief
Oebaidillah, Thalati Yani, Tutus Subronto, Wendy Mehari, Windy
Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum

mereka adalah tanggung jawab besar


yang dipikul demi menjaga kehormatan, harapan dan kebanggaan negara,
keluarga, dan diri sendiri. Mereka diharapkan menyelesaikan studi tepat
waktu dan sekembalinya ke Tanah Air
akan ditempatkan di lembaga litbang
seperti LIPI, BPPT, Lapan, dan Batan.
Tantangan peneliti
Dengan berlikunya perjuangan untuk menjadi peneliti baik di era dulu
maupun sekarang, ternyata hal itu
tidak serta-merta memuluskan karier

Keberpihakan pemerintah
dalam memajukan iptek
semoga tidak sekadar
slogan karena aset
intelektual Indonesia
sesungguhnya tidak kalah
dari bangsa lain.
seorang peneliti. Seperti disebutkan,
tantangan yang terus dihadapi peneliti
Indonesia secara global adalah ketidakberpihakan negara dan minimnya anggaran penelitian. Hal itu sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan
karya seorang peneliti mengingat laboratorium penelitian beserta kelengkapan alat-alat penelitiannya membutuhkan biaya yang mahal, pun kegiatan/
survei lapangan yang pasti juga memerlukan biaya. Hal itu yang sering
membuat para peneliti Indonesia
masygul, kalau tidak bisa dibilang patah arang, karena dengan dana penelitian yang minim, apa yang dicita-cita-

Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman
(Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang);
Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)
MICOM
Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan
Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami,
Widhoroso
Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Silaban, M. Syaifullah, Nurtjahyadi, Panji Arimurti, Prita Daneswari,
Rani Nuraini, Ricky Julian, Widjokongko, Wisnu Arto Subari.
PUBLISHING
Asisten Kepala Divisi: Jessica Huwae
Staf: Adeste Adipriyanti, Regina Panontongan
CONTENT ENRICHMENT
Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada
Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara
Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIK
Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy
Pata Areadi
Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette
Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana,
Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir,
Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono,
Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King
Manajer Produksi: Bambang Sumarsono
Deputi Manajer Produksi: Asnan
Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus
Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri
Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R
Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas
Sujiyono
Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto
Perwakilan Bandung: Aji Sukaryo (022) 4210500; Medan: A
Masduki Kadiro (061) 4514945; Padang: Yondri (0751) 811464;
Pekanbaru: Ferry Mustanto (0761) 856647; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Arief Ibnu (0251) 8349985, Denpasar: Pieter Sahertian (0361) 239210, Lampung: Muharis (0721)
773888; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi

Yudhanto (0274) 7497289; Palembang: Andi Hendriansyah


(0711)317526,
Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/
Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021)
5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan
(Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke-ning
Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab.
Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa
Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya
Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021)
5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi)
e-mail: redaksi@mediaindonesia.com, Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com,
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN
MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK
DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN

Anda mungkin juga menyukai