PATA AREADI
khususnya batu bara, baik yang memiliki izin resmi maupun yang liar. Atau
daerah tambang di taman nasional atau
hutan lindung.
Karena telanjur sudah banyak areal
yang rusak parah, perlu langkah tegas
dan spektakuler dari pemerintah, baik
di pusat maupun di daerah. Kalau
perlu, dilakukan moratorium untuk
menghentikan sementara semua aktivitas yang berhubungan dengan
penebangan kayu. Sejalan dengan itu,
perlu dilakukan evaluasi menyeluruh
atas untung ruginya melanjutkan pengeluaran izin usaha di bidang perkayuan, termasuk pengaturan yang
lengkap dan menyeluruh bagi upaya
rehabilitasi hutan yang selama ini telanjur sudah hancur-hancuran. Banjir
hanyalah salah satu dari dampaknya.
Sejalan dengan itu diperlukan pengaturan ulang atas tata ruang, baik di ibu
kota negara maupun seluruh daerah di
Indonesia. Untuk Jakarta, mungkin
sudah saatnya meneruskan pemindahan pusat pemerintahan, dan kalau
perlu pemindahan ibu kota negara.
Demikian juga halnya berbagai daerah. Banyak daerah, khususnya Pulau
Jawa, yang sudah terlalu berat menopang
jumlah penduduk yang terlalu padat.
Salah satu dampak kepadatan penduduk adalah penebangan kayu dan
perambahan hutan, khususnya yang
berada di daerah hulu. Hancurnya lingkungan di daerah hulu menyebabkan
datangnya banjir kiriman. Sementara itu,
untuk pembangunan permukiman baru,
perlu diatur penyiapan lahan yang sesuai dengan peruntukannya.
Artinya, semua komponen pemerintahan perlu digerakkan untuk melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Khususnya yang terkait dengan
penataan penduduk beserta lingkungan hidupnya. Bukan saatnya lagi
masyarakat dibiarkan tumbuh dan
berkembang sendiri-sendiri, tanpa
pengaturan dari pemerintah. Justru
pemerintahan dibuat untuk kepentingan tersebut.
ENCERMATI tulisan di
Media Indonesia edisi Jumat, 17 September 2010
dengan judul Nasib Peneliti di Ujung Tanduk cukup membuat hati ini terusik. Sebagai PNS di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang bergaul dengan para peneliti, sedikit banyak apa yang ditulis
itu benar adanya. Hasil wawancara
yang dilakukan perwakilan peneliti
dari BPPT dan LIPI seolah menyiratkan
nasib orang-orang pintar (peneliti) di
negeri ini sedang berada di ujung
tanduk. Ujung tanduk digambarkan
dengan ketidakberpihakan pemerintah
terhadap pengembangan dunia riset
yang ditunjukkan dengan minimnya
anggaran riset per tahun hingga pengabaian aset intelektual yang terlihat dari
minimnya gaji seorang peneliti.
PARTISIPASI OPINI
Kirimkan ke email:
opini@mediaindonesia.com
atau opinimi@yahoo.com
atau fax: (021) 5812105
(Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi.
Sertakan nama. alamat lengkap,
nomor telepon dan foto kopi KTP).
Menjadi peneliti
Mungkin tidak banyak masyarakat
yang mengetahui bagaimana seorang
peneliti itu harus berjuang untuk memulai profesinya. Sebagai gambaran
awal, untuk penerimaan calon pegawai
negeri sipil (CPNS) di LIPI seorang
kandidat peneliti paling tidak harus
memiliki IPK 3,5 dan biasanya merupakan lulusan universitas ternama di
Indonesia. Dengan latar belakang seperti ini, ternyata tidak otomatis membuat seorang kandidat peneliti dapat
mulus menjadi peneliti.
Ada beberapa prasyarat lanjutannya,
yaitu mengikuti diklat fungsional peneliti, meneliti, membangun pemahaman melalui analisis dan sintesis, dan
akhirnya menuliskan laporan hasil
penelitian baik yang berupa jurnal
ilmiah maupun buku sebagai kum
Keberpihakan pemerintah
dalam memajukan iptek
semoga tidak sekadar
slogan karena aset
intelektual Indonesia
sesungguhnya tidak kalah
dari bangsa lain.
seorang peneliti. Seperti disebutkan,
tantangan yang terus dihadapi peneliti
Indonesia secara global adalah ketidakberpihakan negara dan minimnya anggaran penelitian. Hal itu sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan
karya seorang peneliti mengingat laboratorium penelitian beserta kelengkapan alat-alat penelitiannya membutuhkan biaya yang mahal, pun kegiatan/
survei lapangan yang pasti juga memerlukan biaya. Hal itu yang sering
membuat para peneliti Indonesia
masygul, kalau tidak bisa dibilang patah arang, karena dengan dana penelitian yang minim, apa yang dicita-cita-
Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman
(Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang);
Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)
MICOM
Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan
Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami,
Widhoroso
Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Silaban, M. Syaifullah, Nurtjahyadi, Panji Arimurti, Prita Daneswari,
Rani Nuraini, Ricky Julian, Widjokongko, Wisnu Arto Subari.
PUBLISHING
Asisten Kepala Divisi: Jessica Huwae
Staf: Adeste Adipriyanti, Regina Panontongan
CONTENT ENRICHMENT
Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada
Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara
Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto
ARTISTIK
Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy
Pata Areadi
Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette
Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana,
Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir,
Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono,
Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King
Manajer Produksi: Bambang Sumarsono
Deputi Manajer Produksi: Asnan
Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus
Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri
Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R
Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas
Sujiyono
Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto
Perwakilan Bandung: Aji Sukaryo (022) 4210500; Medan: A
Masduki Kadiro (061) 4514945; Padang: Yondri (0751) 811464;
Pekanbaru: Ferry Mustanto (0761) 856647; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Arief Ibnu (0251) 8349985, Denpasar: Pieter Sahertian (0361) 239210, Lampung: Muharis (0721)
773888; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi