Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Suatu perjanjian bisa dikatakan sah dan berlaku mengikat
yang
dibolehkan.
Tetapi pada kenyataannya di lapangan banyak kita temui
perjanjian-perjanjian yang dibuat tidak memenuhi syaratsyarat yang ditentukan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.
Apa yang terjadi apabila seseorang atau badan hukum telah terikat dalam
suatu perjanjian/kontrak, tetapi seseorang atau badan hukum tersebut tidak
dapat memenuhi prestasinya, yang dikenal dengan istilah wanprestasi?
Indonesia sebagai negara hukum, telah mengatur situasi tersebut sebagai salah
satu kasus Hukum Perdata. Hukum Perdata adalah rangkaian peraturanperaturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu
dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Maka dari itu, sangatlah pantas apabila wanprestasi dikategorikan sebagai
kasus perdata.
Pada umumnya, seseorang atau badan hukum yang terlibat kasus
wanprestasi akan membayar sejumlah denda. Namun, ada juga yang
menerapkan hukuman sita jaminan bagi mereka yang terbuki melakukannya.
Yang dimaksud dengan sita jaminan adalah jaminan berupa uang atau aset lain
yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk
mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan
tersebut tidak beralasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Wanprestasi
2.1.1. Pengertian Wanprestasi Menurut Hukum Perdata
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi
buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau
lalai melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.1
Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak
memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk
memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan
adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut
pembatalan perjanjian. Sebagaimana tertulis dalam keputusan Mahkamah
Agung tangal 21 Mei 1973 No. 70HK/Sip/1972: Apabila salah satu pihak
melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang
dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli.
2.1.2. Ruang Lingkup Wanprestasi dalam KUH Perdata2
1. Bentuk-bentuk wanprestasi:
a.
1 Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 15
2 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), cet. Ke-6.
hal.18
a.
b.
3.
Isi Peringatan:
a. Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi
b. Dasar teguran
4.
tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang
rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan
contoh yang disetujui.
Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang
lalai. Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar
ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian
berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak
sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak
penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang
terjadi kerusakan (sengaja atau tidak sengaja), atau barang yang dibawa tidak
sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus
diganti.
2.2. Ganti Rugi Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
2.2.1. Ganti Rugi Perdata Perspektif Hukum Positif
Menurut pasal 1243 KUH Perdata4, pengertian ganti rugi perdata lebih
menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenubinya suatu
perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditir akibat
kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.
2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik
kreditur akibat kelalaian debitur.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.
2.2.2. Ganti Rugi Pidana Perspektif Hukum Positif
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang
yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang
lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya
personal reparation, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan
dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya
terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut.
Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih
4 Subekti, KUH Perdata, (Jakarta: PT. AKA, 2004), cet. Ke-34, hlm. 324
Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam ganti kerugian itu tidak selalu
ketiga unsur tersebut harus ada. yang ada mungkin kerugian yang
sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin
kerugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak
kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang
harus di penuhi oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi)
yang meliputi:
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUH
Perdata).6
2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang
ditentukan dalam pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat
akibat langsung dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung
ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan
atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku
manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1
KUH Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUH Perdata
tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan
melawan hukum.
2.2.4. Konsep Ganti Rugi Menurut Hukum Islam
Syamsul Anwar, konsep ganti rugi dalam hukum Islam lebih
menitikberatkan pada hak dan kewajiban antara pihak debitur dan pihak
kreditur. Menurutnya, ganti rugi dalam Islam hanya dibebankan pada pihak
debitur apabila pihak kreditur dirugikan oleh pihak debitur akibat tidak
melaksanakan tanggung jawab atau ingkar janji. Ganti rugi hanya dibebankan
pada debitur yang ingkar janji apabila kerugian yang dialami oleh kreditur
memiliki hubungan sebab akibat dengan perbuatan ingkar janji atau ingkar
akad dengan debitur. Tanggung jawab akad memiliki tiga unsur pokok:
1.
6 Subekti, KUH Perdata, (Jakarta: PT. AKA, 2004), cet. Ke-34, hlm. 325
2.
3.
2.
tanggungan
diuraikan
secara
lengkap,
pengertian
di
atas
Sebagaimana
diuraikan
oleh
Asmuni
Mth.
dalam
uqubah
ditetapkan
karena
adanya
unsur
kerugian
pada
korban.
Sementara
uqubah
d) Taaddi
yang
mewajibkan
dhaman
benar-benar
darar
pelanggaran
kepada
dapat
secara
langsung.
sebab-sebab
(mutaaddi)
sendiri,
diberlakukan,
karena
dinisbatkan
lain,
maka
Jika
bukan
kepada
darar
dinisbatkan
perbuatan
dhaman
seseorang tidak
pelaku
tidak
dapat
pelaku
dapat
dibebani
makna
darar,
sehingga
ukurannya,
baik
Ganti
rugi
menitikberatkan
perdata
dalam
tanggung
jawab
hukum
para
Islam
pihak
lebih
dalam
oleh
kedua
belah
pihak,
maka
tentu
akan
Islam
adalah
tanggung
jawab
perdata
dalam
dibebankan
kepada
pihak
debitur
akibat
tidak
ganti
rugi
(dhaman).
Pertama,
tidak
Sebab
Sebab
Ganti
Rugi
menurut
Hukum
Perdata
Dalam pasal 1248 KUH Perdata menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan sebab-sebab ganti rugi adalah ganti rugi
yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. Dengan
10
kata lain harus ada hubungan sebab-akibat atau kausalverband antara kerugian yang diderita dengan perbuatan
wanprestasi. Atau akibat langsung dari perbuatan debitur yang
ingkar melaksanakan suatu perjanjian menurut selayaknya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian di atas, maka dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
11
Jika
nasabah
wanprestasi
tidak
dapat
memenuhi
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Saliman, Abdul. 2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: Kencana.
Setiawan. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian. Jakarta: Putra Abadin.
12
13