Herpes Genitalis
Herpes Genitalis
PENDAHULUAN
Herpes genitalis merupakan infeksi pada genital dengan gejala khas berupa vesikel yang
berkelompok dengan dasar eritem bersifat rekuren. Herpes genitalis disebabkan oleh virus herpes
simpleks (Herpes Simplex Virus HSV) tipe 1 (HSV-1) atau oleh tipe 2 (HSV-2). Rute primer
penularan infeksi HSV-2 ialah melalui kontak seksual dengan partner seksual yang terinfeksi
baik yang simtomatis maupun yang asimtomatis, dimana risiko terjadinya infeksi berhubungan
dengan jumlah partner seksual. 1,2
Virus herpes merupakan sekelompok virus yang termasuk dalam famili herpesviridae
yang mempunyai morfologi yang identik dan mempunyai kemampuan untuk berada dalam
keadaan laten dalam sel hospes setelah infeksi primer. Virus yang berada dalam keadaan laten
dapat bertahan untuk periode yang lama. Virus tersebut tetap mempunyai kemampuan untuk
mengadakan reaktivasi kembali sehingga dapat terjadi infeksi yang rekurens. 2
Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi di
berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Insiden herpes genitalis tidak
dapat dilaporakan secara pasti tetapi diestimasikan ada 500.000 kasus baru terjadi tiap tahun.
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat pada beberapa dekade terakhir,
sehingga menjadi masalah dunia yang diperhatikan. Pengenalan segera infeksi herpes simpleks
dan pentalaksanaan segera sangat penting dalam penanganan penyakit ini. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan virus herpes
simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2) dengan gejala khas berupa vesikel yang
berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens. Tipe 1 biasa ditemukan di daerah mulut
(herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes genital. Kontak seksual merupakan cara utama yang
menyebarkan virus. Setelah infeksi awal, virus tertidur dalam tubuh dan dapat aktif kembali
beberapa kali dalam setahun. 3
2.2 Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak begitu berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I
biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktifitas seksual. Antibodi terhadap
HSV-1 meningkat dengan usia dimulai pada masa kanak-kanak dan berkorelasi dengan status
sosial ekonomi, ras, dan kelompok budaya. Pada usia 30 tahun, 50% dari individu dalam status
sosial ekonomi tinggi dan 80% dalam status sosial ekonomi lebih rendah ditemukan seropositif.
Antibodi terhadap HSV-2 mulai muncul pada masa pubertas, berhubungan dengan tingkat
aktivitas seksual. Survei kesehatan terbaru nasional yang dilakukan di Amerika Serikat
mengungkapkan prevalensi antibodi HSV-2 dalam 45% dari ras kulit hitam, 22% dari ras
Meksiko-Amerika, dan 17% dari ras kulit putih.5 Secara keseluruhan, angka kematian yang
terkait dengan infeksi herpes simpleks berhubungan dengan 3 situasi: infeksi perinatal,
ensefalitis, dan infeksi pada host immunocompromised. 4
2
Pada umumnya disebabkan oleh HSV-2 yang penularannya secara utama melalui vaginal
atau anal seks. Beberapa tahun ini, HSV-1 telah lebih sering juga menyebabkan herpes genital.
HSV-1 genital menyebar lewat oral seks. 5,6
2.4 Patogenesis
HSV-1 dan HSV-2 adalah termasuk dalam famili herphesviridae, sebuah grup virus DNA
rantai ganda lipid-enveloped yang berperanan secara luas pada infeksi manusia. Kedua
serotipe HSV dan virus varicella zoster mempunyai hubungan dekat sebagai subfamili virus
alpha-herpesviridae. 7,10
Alfa herpes virus menginfeksi tipe sel multipel, bertumbuh cepat dan secara efisien
menghancurkan sel host dan infeksi pada sel host. Infeksi pada natural host ditandai oleh lesi
epidermis, seringkali melibatkan permukaan mukosa dengan penyebaran virus pada sistem
saraf dan menetap sebagai infeksi laten pada neuron, dimana dapat aktif kembali secara
periodik. Transmisi infeksi HSV seringkali berlangsung lewat kontak erat dengan pasien
yang dapat menularkan virus lewat permukaan mukosa. 5,7
Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring, virus menyebar melalui droplet
pernapasan, atau melalui kontak langsung dengan saliva yang terinfeksi. HSV-2 biasanya
ditularkan secara seksual. Setelah virus masuk ke dalam tubuh hospes, terjadi penggabungan
dengan DNA hospes dan mengadakan multiplikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. 5,7
Waktu itu pada hospes itu sendiri belum ada antibodi spesifik. Keadaan ini dapat
mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat.
Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional dan
berdiam di sana serta bersifat laten. Infeksi orofaring HSV-1 menimbulkan infeksi laten di
4
ganglia trigeminal, sedangkan infeksi genital HSV-2 menimbulkan infeksi laten di ganglion
sakral. 5,7
Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami
reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekuren. Pada saat ini dalam
tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala
konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. 5,7
Faktor pencetus tersebut antara lain adalah trauma atau koitus, demam, stres fisik atau
emosi, sinar UV, gangguan pencernaan, alergi makanan dan obat-obatan dan beberapa kasus
tidak diketahui dengan jelas penyebabnya. Penularan hampir selalu melalui hubungan seksul
baik genito genital, ano genital maupun oro genital. 1,3,8
Infeksi oleh HSV dapat bersifat laten tanpa gejala klinis dan kelompok ini bertanggung
jawab terhadap penyebaran penyakit. Infeksi dengan HSV dimulai dari kontak virus dengan
mukosa (orofaring, serviks, konjungtiva) atau kulit yang abrasi. Replikasi virus dalam sel
epidermis dan dermis menyebabkan destruksi seluler dan peradangan. 1,3,8
untuk sembuh. Pada pria lesi biasanya terjadi di glans, preputium, batang dari penis atau
daerah uretra. Pada wanita lesi biasa terjadi pada labia, vulva, klitoris, serviks, perineum,
bokong. 4
Gejala dari herpes disebut juga outbreaks, muncul dalam dua minggu setelah orang
terinfeksi dan dapat saja berlangsung untuk beberapa minggu. Adapun gejalanya sebagai
berikut: 1,8,9
Infeksi primer
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise, dan anoreksia, dan dapat ditemukan
pembengkakan kelenjar getah bening regional. 5
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi
krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks.
Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga
memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi
virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada
genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks. 10
Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. 5
Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis.
Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual,
dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat
jenis makanan dan minuman yang merangsang. 5
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan berlangsung kira-kira
7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas,
gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat di sekitarnya (non loco).
Gambar 5.
Gambar 6.
2.6 Diagnosa
Secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan
dasar eritem dan bersifat rekuren. Gejala dan tanda dihubungkan dengan HSV-2. diagnosis dapat
ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisis jika gejalanya khas dan melalui pengambilan
contoh dari luka (lesi) dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. 1,2,3,8,9
Tes darah yang mendeteksi HSV-1 dan HSV-2 dapat menolong meskipun hasilnya tidak
terlalu memuaskan. Virus kadangkala, namun tak selalu, dapat dideteksi lewat tes laboratorium
yaitu kultur. Kultur dikerjakan dengan menggunakan swab untuk memperoleh material yang
akan dipelajari dari luka yang dicurigai sebagai herpes. 1,6
Pada stadium dini erupsi vesikel sangat khas, akan tetapi pada stadium yang lanjut tidak
khas lagi, penderita harus dideteksi dengan kemungkinan penyakit lain, termasuk chancroid dan
kandidiasis. Konfirmasi virus dapat dilakukan melalui mikroskop elektron atau kultur jaringan.
10
Tzanck test. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel
datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Pemeriksaan ini berguna untuk
diagnosis cepat (biasanya dalam 1 jam). Tes ini tidak dapat membedakan HSV-1 dan
HSV-2. 2
Pemeriksaan antibodi poliklonal dengan cara imunofluoresensi, imunoperoksidase, dan
ELISA. Titer antibodi tidak meningkat saat terjadi infeksi rekuren sehingga tidak bisa
2.7.
Diagnosis Banding
Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, dan ulkus
Ulkus pada
herpes genitalis
Ulkus durum
(Sifilis)
Ulkus Molle
Ulkus pada
LGV
11
Ulkus/lesi primer
Jumlah
Tanda radang
Eritema
Nyeri tekan
Bersih/ kotor
Tepi/dinding
Indurasi
KGB regional
Tanda radang
Bengkak/tumor
Periadenitis
Supurasi
Lesi primer
Pem. Penunjang
Sediaan hapus
TSS
>1,
berkelompok
Soliter
>1
>>
+
+
Pus, kotor
Bergaung
-
Soliter
-
+
+
+
Serum vesikel
Tidak bergaung
-
Bersih
Tidak bergaung
+
+/+/+
+
+
>>
+
+
+, serentak
+
+
+
+
+, tidak
serentak
Berkurang
atau hilang
Mikroskop
lapangan
gelap : +,
warna putih
pada latar
belakang gelap
Basil
berkelompok/
berantai
Mikroskop
lapang gelap : -
Kultur bakteri,
tes antibodi
imunofluoresens
, biopsy
Antibiotik
VDRL : +
TPHA : +
FTA Abs :
IgG+, IgM+
Pemeriksaan lain
Terapi
Rongent tulang
dan thoraks,
LCS
Antibiotik
Antibiotik
12
Tidak ada obat untuk herpes genitalis. Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan
penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan yang mencegah episode rekurens secara
tuntas. Apabila lesi basah karena cairan vesikel dapat dikompres terlebih dahulu. Pengobatan
dengan obat antivirus dapat: 3
Idoksuridin. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi,
yang sering dengan interval beberapa jam. Analog timidin, dimasukkan ke dalam DNA
virus menggantikan
13
Pengobatan infeksi primer: 200 mg per oral setiap 4 jam (5 kali / hari) selama 7-10 hari,
atau 400 mg per oral 3 kali / hari selama 5-10 hari.
Terapi intermiten untuk rekurensi: 200 mg per oral setiap 4 jam (5 kali / hari) selama 5
hari, dimulai di awal tanda atau gejala rekurensi.
Supresi untuk rekurensi (bila rekuren >8 kali / tahun): 400 mg per oral 2 kali / hari
sampai 12 bulan, regimen alternatif berkisar dari 200 mg 3 kali / hari sampai 200 mg 5
kali / hari.
Ensefalitis HSV: 10-15 mg/kgBB intravena setiap 8 jam selama 14-21 hari.
Famsiklovir (Famvir). Prodrug yang ketika berbiotransformasi menjadi metabolit aktif,
penciclovir, dapat menghambat sintesis / replikasi DNA virus. Digunakan untuk melawan
virus herpes simpleks dan varicella-zoster. Diindikasikan untuk pengobatan episode
rekuren atau terapi supresif dari herpes genital pada orang dewasa imunokompeten.
Pengobatan episode rekuren: 1000 mg per oral 2 kali / hari selama 1 hari, dimulai dalam
ketika tidak mengalami tanda-tanda infeksi, untuk meminimalkan peluang infeksi berulang.
14
Pasien yang mengalami komplikasi berat mungkin perlu dirawat di rumah sakit, sehingga
mereka dapat menerima obat antiviral intravena.
Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha dapat dilakukan dengan tujuan
meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe I) dan
lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin
atau asiklovir secara berkala menurut beberapa peneliti memberikan hasil yang baik. Efek
levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang
sudah tidak dianut lagi. 1
2.9
Pencegahan
Saran untuk mencegah herpes genitalis adalah sama seperti untuk mencegah infeksi
menular seksual lainnya. Kuncinya adalah untuk menghindari terinfeksi dengan HSV, yang
sangat menular sementara lesi timbul. Cara terbaik untuk mencegah infeksi adalah untuk
menjauhkan diri dari aktivitas seksual atau membatasi hubungan seksual hanya untuk satu orang
yang bebas infeksi. Edukasi yang dapat diberikan antara lain: 3
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada penyakit herpes genitalis antara lain herpes ocular,
gangguan neurologic, dan herpes neonatal. Komplikasi herpes pada kehamilan dapat
menyebabkan abortus pada kehamilan trimester pertama, partus premature, dan pertumbuhan
15
janin terhambat pada trimester kedua kehamilan dan pada neonates dapat terjadi ensefalitis,
makrosefali, mikroopthalmia dan keratokonjungtivitis. 4
Herpes okuler biasanya disebabkan oleh HSV-1 namun terkadang dapat juga disebabkan
HSV-2. Herpes dapat menyebabkan penyakit mata yang serius seperti kekeruhan pada kornea,
blepharokonjungtivitis, keratitis stromal, uveitis, kekeruhan retina peripheral sampai terjadi
kebutaan. 4
Infeksi pada HSV dapat menyebabkan komplikasi pada saraf, karena menyerang sistem
saraf. HSV dapat menyebabkan meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, demam, fotofobia
ringan dan peningkatan limfosit dalam cairan serebrospinal. Dapat menyerang saraf sacral
dengan disfungsi sistem saraf otonom dengan gejala kesemutan, nyeri pelvik, retensi urin dan
konstipasi. Gejala ini biasanya berlangsung beberapa minggu hingga bulan. 4
Wanita hamil yang menderita herpes dapat menginfeksi bayinya. Bayi yang lahir dengan
herpes dapat meninggal atau mengalami gangguan pada otak, kulit, mulut atau mata. Bila
transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus, bila pada trimester II terjadi
prematuritas dan pertumbuhan janin terhambat. Bila pada kehamilan timbul herpes genital, hal
ini perlu mendapat perhatian karena virus dapat melalui plasenta sampai ke sirkulasi fetal serta
dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. 1,6
2.11.
Prognosis
Pengobatan secara dini dan tepat akan memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa
16
Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di
sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat
lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis
akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa. 1
BAB III
KESIMPULAN
Herpes genitalis adalah infeksi menular seksual di daerah genital yang disebabkan virus
herpes simpleks (HSV). Infeksi ini menyebar di seluruh dunia, dapat dialami baik laki-laki
maupun perempuan, lebih sering pada pasien yang aktif secara seksual. Penyebabnya bisa
disebabkan baik oleh HSV-1 maupun HSV-2. HSV-1 menyerang orofasial dan HSV-2 menyerang
genital, tetapi bisa rancu karena adanya hubungan seks oral. Perjalanan penyakit diakibatkan
oleh neurovirulensi, latensi, dan kemampuan reaktifasi dari HSV.
17
Herpes genitalis dibagi menjadi 3 fase yaitu, infeksi primer, fase laten, dan infeksi
rekuren. Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik, (demam, malaise, dan anoreksia, pembengkakan kelenjar getah bening
regional). Kelainan klinis berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa, berisi cairan jernih kemudian seropurulen, menjadi krusta dan mengalami ulserasi
yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks, dan juga tidak terdapat indurasi, serta dapat
timbul infeksi sekunder. Fase laten tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dalam keadaan
tidak aktif pada ganglion dorsalis. Infeksi rekuren lebih ringan daripada infeksi primer selama 710 hari, ada faktor pemicu, dapat di tempat yang sama atau tempat lain. Pemeriksaan
penunjangnya antara lain dengan Tzanck test, mikroskop elektron, tes antibodi, kultur virus, dan
tes DNA HSV. Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, maupun
ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.
Herpes genitalis tidak ada pengobatan yang mencegah rekurensi secara tuntas.
Penatalaksanaan dengan antivirus hanya mempersingkat masa penyakit dan masa untuk rekurens
lebih panjang. Apabila lesi basah dapat dikompres terlebih dahulu baru diberikan antivirus
topikal untuk lesi dini. Pencegahan dengan membatasi pasangan seksual, memakai kondom, dan
antivirus untuk mencegah infeksi rekuren. Pengobatan secara dini dan tepat akan memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih
jarang.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Handoko RP. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal. 381-3.
2. Salvaggio MR, Lutwick LI, Seenivasan M, et al. Herpes Simplex. Terakhir diperbarui: 5
Januari
2012.
Diakses:
Januari
2013.
Tersedia
di:
http://emedicine.medscape.com/article/218580-overview.
3. Mayo Clinic. Genital Herpes. Terakhir diperbarui: 21 Mei 2012. Diakses: 1 Januari 2013.
Tersedia di: http://www.mayoclinic.com/health/genital-herpes/DS00179.
4. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, et al. Herpes Simplex. In: Fitzpatrick TB, Johnson
RA, Wolff K, et al. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Third Edition.
USA: McGraw Hill Companies Inc.: 1997.
19
5. Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al.
Fitzpatricks Dermatology Ini General Medicine. Seventh Edition. USA: McGraw Hill
Companies Inc.; 2008. Hal. 1873-84.
6. Genital herpes, [11 August 2014].
Available
from
http://www.NIAD-Health
Matters.co.uk.
7. Fleming DT, McQuillan GM, Johnson RE, et al. Herpes simplex virus type 2 in the
United States, 1976 to 1994. N Engl J Med. Oct 16 1997;337(16):1105-11.
8. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Herpes Genitalis. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. Hal 273-4.
9. Richwald GA, Warren TJ. The Diagnosis and Management of Genital Herpes: The Silent
Epidemic. Terakhir diperbarui: 8 Mei 2002. Diakses: 1 Januari 2013. Tersedia di:
http://www.medscape.org/viewarticle/439752.
10. Corey L, Wald A, Genital herpes. In Sexually Transmitted Disease, Holmes K.K, Mardh
PA, Sparling PF, Lemon SM, Stamn WE, Piot P, etc (ed) Third edition 2000. New
York:McGraw-Hill, p 285-305.
20