Ketika usulan daerah otonom disetujui menjadi undang-undang, seketika itu juga
daerah otonom baru melaksanakan urusan pemerintahan daerah yang didesentralisasikan
secara penuh, tanpa dilakukan masa persiapan terlebih dahulu. Tidak peduli apakah tersedia
sumber daya manusia yang memadai dalam melaksanakan 31 bidang urusan pemerintahan.
Misalnya suatu daerah otonom baru tidak memiliki sumber daya manusia di bidang
kehutanan atau pertambangan, tetapi daerah tersebut wajib melaksanakan urusan
pertambangan termasuk pembe-rian izin di bidang pertambangan dan kehutanan. Bisa
dibayangkan dampak negatif dari kebijakan ini terhadap kerusakan lingkungan hidup. Hal
yang sama juga terjadi dengan urusan pemerintahan lainnya.
Terdapat 20 RUU pembentukan daerah otonom baru (7 provinsi, 12 kabupaten, dan 1
kota) yang sudah diajukan, tetapi belum sempat diselesaikan DPR pada masa lalu. Untuk
mengontrol laju pemekaran daerah, Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium
(penundaan). Sayangnya laju usulan pemekaran daerah seakan-akan bagaikan "air bah" yang
tidak terbendung. Saat ini, terdapat 13 (tiga belas) usulan yang diajukan melalui DPR RI dan
yang diusulkan melalui Kemendagri berjumlah 148; terdiri atas 29 provinsi, 108 kabupaten,
dan 11 kota. Seluruh usulan pembentukan daerah otonom baru mencapai 181.Ada dua pintu
pengajuan usulan pembentukan daerah otonom baru, yaitu melalui usul inisiatif DpR RI dan
pemerintah. Di satu sisi, DPR yang mewakili daerah pemilihannya, berkewajiban
menyampaikan aspirasi konstituennya terkait dengan usul pemekaran daerah sekaligus
memperjuangkannya.
Ada persyaratan yang harus dipenuhi kedua lembaga tersebut. Pertama, harus
mendapat persetujuan dari DPRD provinsi induk untuk usul pemekaran provinsi dan DPRD
kabupaten/kota induk untuk usul pemekaran daerah kabupaten/kota. Kedua, memenuhi syarat
teknis mencakup geografi, demografi, dan kesisteman. Yang dimaksud dengan kesisteman
adalah kemampuan keuangan, sistem pertahanan dan keamanan, sumber daya alam dan
manusia Ketiga, memenuhi cakupan wilayah serta batas wilayah yang tegas. Keempat,
memiliki sarana dan prasana dasar untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan baru.
Kelima, posisi calon ibu kota harus strategis dan telah disepakati.
Apabila usulan calon daerah otonom memenuhi persyaratan, ditetapkan menjadi calon
daerah otonom dan diberi masa persiapan (misal lima tahun). Calon daerah otonom akan
dipimpin penjabat sementara guber-nur /bupati/wali kota yang berasal dari PNS dan tidak
memiliki DPRD. Pada masa persiapan ini calon daerah otonom diberi kesempatan untuk
Permasalahan
Ada kecenderungan pemekaran wilayah di daerah Kepri dan Banten berlangsung
damai antara lain disebabkan oleh relatif rendahnya perebutan SDA (Sumber Daya Alam).
Ada kecenderungan 72,8% responden di empat daerah penelitian yakin adanya SDA (Sumber
Daya Alam) seperti tambang, hutan, hasil perairan, bisa diperebutkan kepemilikannya pada
saat ada pemekaran wilayah. Utamanya di daerah perbatasan. Jika tidak diantisipasi dengan
baik, wilayah pemekaran akan sangat rawan potensi konflik dan pelanggaran HAM.
Pembahasan
Data agregat 4 daerah menunjukkan penyebab yang paling utama yang menyebabkan
pemekaran wilayah di daerah ini berjalan damai dan sukses menurut suara terbesar (34,3%),
mereka menyakini bila dalam pemekaran diperhitungkan keterwakilan etnis dan agama yang
memadai dalam memposisikan jabatan publik dan birokrasi daerah maka pemekaran akan
cenderung damai. Elit parpol jangan dibiarkan atau tidak etis memobilisasi massa untuk
melakukan tindakan represi berupa kekerasan (19,2%). Kemudian menyusul adanya
ketokohan teladan dan kharismatik serta kekuatan kultural yang mengawalnya.
Sebaliknya di daerah Malut rencana pemekaran cenderung menimbulkan konflik
horizontal dan Sumut cenderung menimbulkan konflik vertikal, yang selanjutnya memicu
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berupa kerusuhan dan meninggalnya anggota
dewan karena serangan jantung akibat desakan aksi massa. Hal itu cenderung disebabkan
oleh perebutan SDA.
Data agregat 4 daerah menunjukkan suara terbanya responden (43,8%) menganggap
kegagalan pemekaran disebabkan oleh kurang atau tidak berjalannya secara maksimal
lembaga politik (DPRD atau parlemen) dalam menyerap aspirasi pemekaran yang murni
dukungan penduduk. Hal yang terjadi ada pihak yang membayar para pendemo untuk
memberikan tekanan (19,6%). Selain itu daerah induk terlalu khwatir akan kehilangan PAD,
padahal masalah asset daerah dan SDA bisa dirundingkan secara damai, adil dan bermartabat.
Selebihnya, ada pandangan 6,8% responden yang menilai bahwa elit yang memiliki uang dan
orang terlalu memaksakan kehendaknya untuk berkuasa tanpa mempertimbangkan potensi
konflik horizontal yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, kekerasan dan pelanggaran
HAM umumnya.
Data agregat 4 daerah, menunjukkan mayoritas sederhana (25,3) responden yang tidak
setuju adanya pemekaran wilayah karena alasan daerah baru yang akan dimekarkan
cenderung tidak mampu mandiri dalam hal pembiayaan (PAD kecil, potensi dan kreatifitas
masyarakat dan pemda yang ada dinilai masih rendah, dst.). Pada peringkat kedua, mereka
yang tidak setuju (14%), menilai pemekaran daerah akan menuai konflik perbatasan yang
akan menimbulkan korban dan pelanggaran HAM.
Ada sebanyak 70 responden dari 85 responden di Malut yang sangat meyakini bahwa
sumber daya alam seperti hasil tambang emas, hutan, kedekatan dengan ibukota kabupaten
yang sudah maju, dapat dan telah menimbulkan aksi kekerasan missal. Kurang
diperhitungkannya potensi konflik akibat SDA, di daerahnya ketika ada rencana pemekaran
bisa menimbulkan pelanggatan HAM. Ini mengindikasikan berbagai pihak perlu lebih
berhati-hati dalam melakukan pemekaran. Jika tidak melibatkan warga, bisa terjadi salah
paham, perseteruan dan tindakan kekerasan yang akan menjadi buahnya, bukan kesejahteraan
dan kedamaian.
Ada kecenderungan 60 responden dari 85 responden di Malut yang mengiyakan
paling banyak bahwa tingkat kemiskinan yang tinggi, sangat rawan provokasi sehingga
terpicunya konflik karena issu SARA dan perebutan SDA. Persoalan pengungsi, sulitnya
mata pencharian dan rusaknya infrastruktur masih mewarnai propinsi yang mengalami
konflik komunal dan horizontal pasca dimekarkan dari provinsi induknya, Maluku.
Ada kecenderungan responden Malut menyebutkan penyebab pemicu konflik di sana
adalah pihak yang bertikai awalnya diprovokasi oleh pihak tertentu oleh penolakkan terhadap
rencana pemekaran desa menjadi kecamatan baru. Sehingga konflik pemekaran desa Malifut
menjadi kecamatan Malifut, ditolak oleh warga yang pro kecamatan induknya, Kao. Hal ini
meluas hingga ke Tobelo, Ternate, Tidore dan Jailolo. Kasus responden Kepri menyebutkan
faktor pertikaian batas tanah di Batam dan wilayah perairan tangkapan ikan dan tambang
minyak gas di Natuna-Anambas dan Kalbar yang bisa menimbulkan konflik kepentingan di
daerahnya.
Responden di Banten berpandangan bahwa konflik bisa disebabkan oleh provokasi
pihak tertentu namun belum terjadi karena ada otoritas Pemda dan Jawara yang disegani.
Kasus Sumut juga mayoritas berpandangan hal yang sama. Pola umumnya, menurut
mayoritas semua responden di empat daerah bahwa adanya provokasi pihak tertentu menjadi
pemicu konflik di tiga daerah penelitian. Ini mengindikasikan opini umum responden bahwa
konflik yang terjadi tidak bersifat alamiah, melainkan dibuat atau disengaja (conflict by
design).
Data agregat 4 daerah menunjukkan kecenderungan mayoritas responden (33,6%)
yang menyatakan setuju dengan pemekaran daerah. Alasan mereka karena pemekaran
tersebut dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah yang baru dimekarkan. Pada
peringkat kedua, mereka yang setuju menyatakan pemekaran dapat mempercepat urusan
administrasi atau izin yang sebelumnya jauh dan rumit. Ketiga, mereka yakin pemekaran
dapat memperbaiki fasilitas publik (jalan, drainase, sekolah, kesehatan, pasar, dll) jika
dibandingkan ketika masih menginduk. Selebihnya menyetujui pemekaran dapat memberikan
kesempatan putra daerah lebih tampil di DPRD dan birokrasi, kemudian masyarakat
setempat akan lebih diajak berunding soal kepentingan mereka.
dan pemakaian asset daerah tidak dibicarakan soal kompensasi lewat cara damai dan
kekeluargaan.
Keempat, ada pengaturan waktu persiapan transisi atau masa tenggang hingga
terpenuhi syarat daerah yang akan dimekarkan meimiliki kemandirian dalam hal PAD, SDM,
Infrastruktur publik, resiko konflik dan potensi pelanggaran HAM yang rendah.
Selanjutnya 31,7% yang berpendapat wajib ada moratorium pemekaran wilayah.
Penambahan daerah administrasi baru wajib dihentikan atau ditunda dalam waktu tak tak
terhingga atau hingga persyaratan kelayakan daerah untuk dimekarkan terpenuhi. Peneliti
berpandangan kriteria tersebut sudah dimiliki oleh Depdagri dan Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah (DPOD). Namun syaratnya baru meliputi persoalan teknis administratif,
ekonomi dan politik. Syarat yang berperspektif HAM belum rinci diperhitungkan dan
dipertimbangkan. Seperti syarat tidak berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM berat
(genocida), konflik komunal- tawuran antaretnis dan agama, pengabaian terhadap kelompok
rentan, marginal dan minoritas di daerah perbatasan dan pemekaran.
Sebaliknya ada 27,9% responden yang kecewa dengan pemekaran wilayah yang ada.
Mereka berpandangan bahwa banyak daerah yang telah dimekarkan dalam kurun waktu 5
hingga sepulu tahun berjalan cenderung gagal membangun kemandirian dalam hal SDM
(sumber daya manusia), transparansi dan akuntabilitas Pemda rendah, inovasi dan kreativitas
untuk kesejahteraan publik rendah, pungutan liar dan beban diluar pajak bertambah
memberatkan penduduk, calon wiraswasta dan pengusaha untuk berinvestasi. Pengangguran
tinggi, kejahatan meningkat, yang bermuara ke kekerasan dan pelanggaran HAM di tingkat
lokal. Daerah pemekaran yang dinilai gagal itu wajib dikembalikan ke daerah induknya
(reintegrasi wilayah).
Saran-saran
1. Untuk pihak KEMHUKHAM dan unsur terkait, disarankan membuat Standar Operating
Procedur (SOP) dan indikator syarat pemekaran daerah yang berperspektif HAM. Model
dan indikator ini sebaiknya juga menjadi persyaratan wajib dlam penilaian kelayakan
pemekaran. Isinya merupakan naskah akademis perspektif AHM dalam pemekaran
wilayah. Selanjutnya membuat kelayakkan resiko konflik dan resiko pelanggaran HAM
sebagai output-nya. Jika rendah dan bisa dikelola potnesi dan resiko pelanggaran HAMnya barulah daerah tersebut layak dimekarkan, selain syarat baku yang telah ditetapkan
oleh UU, Kemendagri dan DPOD.
2. Untuk DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah): perlu penyempurnaan Standar
Operating Procedur (SOP) dan indikator syarat pemekaran daerah yang berperspektif
HAM dan Konflik, wajib membuat kelayakkan resiko konflik dan resiko pelanggaran
HAM. Hal ini perlu dirancang secara komprehensif dan disertai contoh dan panduan
yang sederhana. Misalnya antara lain pertanyaan yang merupakan indikator perspektif
HAM dalam pemekaran daerah sebagai berikut:
a. Apakah dalam rencana pemekaran wilayah sudah ada penjelasan tentang resiko konflik
dan pelanggaran HAM?
b. Apakah dalam rencana pemekaran wilayah sudah ada sistem peringatan dini yang
terkait dengan potensi pengerahan massa untuk melakukan tindakan anarkhis?
c. Apakah ada kajian akademis dan praxis tentang potensi konflik dan perebutan SDA di
daerah ini dan sekitarnya?
d. Apakah sudah ada kajian tentang pemekaran wilayah dan audit HAM Sipol dan
Ekosob, dan potensi Pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan di daerah
yang akan dimekarkan?
e. Apakah ada parameter yang menunjukkan tingkatan rendah, sedang dan tinggi terkait
potensi pelanggaran HAM dan konflik horizontal untuk daerah yang dimekarkan?
f. Bagaimana proses baku usul pemekaran wilayah dapat dipantau oleh semua pihak
secara transparan, sehingga tidak menimbulkan salah paham dan prasangka butruk
dari pihak pengusul?
3. Untuk DEPDAGRI dan DPOD: Proses pemekaran suatu wilayah di daerah konflik dan non
konflik sebaiknya dikaitkan dengan peringatan dini dan pencegahan terhadap terjadinya
pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai prasyarat pemekaran. Ada
kecenderungan untuk kasus Malut, Kepri, banten dan Sumut, mayoritas mereka
menyatakan tidak memperoleh cukup informasi dan sosialisasi tentang risiko pemekaran
daerah, seperti konflik batas wilayah, SDA, korupsi, salah urus oleh SDM yang rendah.
4. Untuk Bappenas, BAPEDA, Humas Pemda, Koran Daerah, Radio, TV dan rumah produksi
agar membuat iklan layanan masyarakat yang mencerdaskan dan memuat substansi
peringatan dini tentang risiko dan manfaat pemekaran dan kemungkinan penggabungan
wilayah jika pemekaran gagal.
5. Untuk Kemenkopolhukam, Kemendagri dan Media Massa: Agar tidak menimbulkan
konflik dan salah pengertian antarwarga, ada saran bahwa hendaknya dilakukan
sosialisasi yang cukup disetiap instansi mengenai manfaat dan resiko pemekaran
wilayah, perlunya mengelola konflik agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia
dengan membuat iklan layanan masyarakat di radio, TV dan media massa cetak,
memberikan buku-buku dan brosur kepada masyarakat dan pelajar, juga dengan
memasukkannya dalam kurikulum pendidikan menengah maupun tinggi. Ada pandangan
dengan persiapan yang matang maka diharapkan dalam melakukan pemekaran tidak
mengorbankan masyarakat masuk dalam perangkap konflik.
6. Litbang HAM dan Komnas HAM: perlu disusun indikator pemenuhan HAM dalam syarakt
pemekaran daerah misalnya: Apakah dalam rencana pemekaran wilayah sudah ada
penjelasan tentang resiko konflik dan pelanggaran HAM. Apakah dalam rencana
pemekaran wilayah sudah ada sistem peringatan dini yang terkait dengan potensi
pengerahan massa untuk melakukan tindakan anarkhis. Jika ada perlu ada penjelasan
tentang rencana antisipasi merangkul dan menegoisasikan alternative yang ada sehingga
tidak terjadi kekerasan fisik dan kekerasan kultural. Seringkali tidak adanya kaitan
pemekaran wilayah dengan resiko pelanggaran HAM telah menimbulkan konflik karena
batas wilayah. Hal ini sangat rentan terjadi, berulang dan sering berbuah terjadi konflik
horizontal.
7. Untuk Eksekutif dan Legislatif: Akar persoalan konflik pemekaran wilayah antara lain
karena rendahnya pemenuhan HAM Sipol dan Ekosob, karena kurangnya partisipasi dan
sosialisasi tentang pemekaran. Akibatnya masyarakat yang belum dan kurang memahami
tujuan dari pemekaran menjadi rawan provokasi dan tindak kekerasan terkait rencana
pemekaran.
Perjuangan masyarakat mendukung partai dukungan pemerintah dan ijin dari pemerintah
daerah induk tentu dengan kajian yang ilmiah dan independen, masyarakat atau kelompok
masyarakat mengajukan pada wakilnya DPRD kemudian ditindak lanjuti dengan
rekomendasi layak atau tidak untuk dimekarkan ke pemerintah yang berhak untuk
memutuskan. Dalam hal ini mulai dari awal sejak dari aspirasi tokoh, aspirasi Pemda, aspirasi
DPRD, uji kelayakan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), pembahasan di
DPR RI dan pengesahan oleh Kemendagri, memerlukan perspektif dan pemenuhan indikator
HAM.***
DaftarPustaka
Alqadrie, Syarif Ibrahim Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis
dalam Antropologi Indonesia, Tahun XXIII No. 58, Januari-April 1999.
Iskandar, Dadan . Identitas Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya: Kasus Etnik Madura
dan Etnik Dayak, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya PMB LIPI, Vol. VI No.2 Tahun
2004.
Makagansa. Tantangan Pemekaran Daerah. Jakarta: FusPad, 2008.
Pieris, John . Konflik Maluku Konflik Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor, 2004.
Ratnawati, Tri. Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Ratnawati, Tri (ed.) Studi Tentang Pemekaran Daerah: Pemetaan Problematika Politik,
ekonomi dan sosial Budaya di daerah-daerah Pemekaran Era Reformasi. Jakarta: LIPI Press,
2009.
Rozi, Syafuan et.all. Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konfik di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Sumarsono. Potret 57 DOB.Sebuah Hasil evaluasi Dini Perkembangan 57 Daerah Otonom
Baru. Jakarta. 2010.
Lampiran
Kinerja Daerah Pemekaran Tak Memuaskan
Mohamad Burhanudin | Benny N Joewono | Selasa, 3 Mei 2011 | 20:48 WIB
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Banyak daerah-daerah otonom baru hasil pemekaran yang
kinerjanya tak memuaskan. Terkait persoalan tersebut, dalam 2-3 tahun ini pemerintah akan
mengevaluasi dan membina daerah-daerah tersebut. Bila tak ada perbaikan akan dilakukan
penghapusan atau penggabungan.
"Ada 205 daerah otonom baru di Indonesia dan umumnya kinerjanya belum memuaskan.
Indikasinya pada segi layanan publik, kesejahteraan masyarakat, dan tata kelola pemerintahan
yang masih kurang. Kami akan mengevaluasinya," ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Djohermansyah Djohan, di Banda Aceh, Selasa (3/5/2011).
Sejak era reformasi, di Aceh terdapat 12 kabupaten dan kota otonom baru. Dari jumlah
tersebut beberapa daerah masuk kategori tak memuaskan. Namun, dalam kesempatan itu
Djohan menolak menyebutkan nama-nama daerah yang dimaksud. "Di Aceh ada beberapa
daerah, tapi itu tak hanya di Aceh. Di daerah-daerah lain juga sama saja," kata dia.
Kinerja yang tak memuaskan tersebut terjadi, lanjut Djohan, karena pembentukan daerah
otonom baru itu tak melalui persiapan yang matang.
Sejak awal pembentukan, aspek kemampuan keuangan daerah, aparatur, persiapan batas
wilayah, potensi keuangan, dan kapasita ibukota wilayah tak direncanakan dengan baik.
Akibatnya, di tengah waktu berjalan, banyak kesulitan yang dialami daerah-daerah tersebut.
Ada juga daerah yang dulu maju justru mengalami penurunan kinerja setelah dimekarkan.
Hal ini karena potensi yang semula menunjang kemajuan daerah itu diambil daerah lain.
Karena itu, lanjut Djohan, kedepan pemerintah pusat akan lebih memperketat pembentukan
daerah otonom baru atau pemekaran. Hal ini akan diatur dalam draf revisi Undang Undang
Pemerintahan Daerah.
"Kedepan, daerah yang akan dimekarkan tak bisa langsung otonom, tapi bertahap, seperti
dulu ada kota administratif, kabupaten administratif," katanya.
Selain menata kembali ketentuan pemekaran, pemerintah juga akan berupaya meningkatkan
profesionalitas pamong. Hal ini terkait banyaknya kapasitas pamong yang belum sesuai
kebutuhan. Salah satu penyebabnya adalah banyak pamong yang tak ditempatkan sesuai
dengan kapasitasnya.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, mengatakan, peningkatan kapasitas pamong harus dimulai
dari jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Lembaha pendidikan seperti Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai salah satu lembaga pendidikan pencetak
pamong harus direvitalisasi dan diperbaiki.
"Masalah pamong salah satu yang perlu dilakukan adalah perbaikan di Jatinangor (tempat
lembaga IPDN). Itu saya kira sangat penting," katanya.
Dokumen Desartada secara resmi telah ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, dan
disampaikan pada rapat kerja antara Pemerintah dengan Komisi II DPR-RI pada 21
September 2010 lalu.