Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Efektivitas
2.1.1 Pengertian Efektivitas
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang

telah ditentukan dalam setiap organisasi. Efektivitas disebut juga efektif, apabila
tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditemukan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat soewarno yang mengatakan bahwa efektivitas adalah pengukuran dalam arti
tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Caster I. Bernard, efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah
disepakati bersama (Bernard, 1992:207).
Menurut Cambel J.P, Pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling
menonjol adalah :
1. Keberhasilan program
2. Keberhasilan sasaran
3. Kepuasan terhadap program
4. Tingkat input dan output
5. Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989:121)
Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional
dalam melaksanakan program-program kerjayang sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya, secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat

Universitas Sumatera Utara

kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugastugas pokonya atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel,
1989:47). Sementara itu, menurut Richard M. Steers, efektivitas merupakan suatu
tingkatan kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas
pokoknya atau pencapaian sasarannya.
Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu social dijabarkan dengan penemuan atau
produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana social efektivitas seringkali ditinjau dari
sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat
disimpulkan pengertian efektivitas, yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan
dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya.
Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari
efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan
pendapat sehubungan dengan cara meningkatnya, car mengatur dan bahkan cara
menentukan indicator efektivitas, sehingga, dengan demikian akan lebih sulit lagi
bagaimana cara mengevaluasi tentang efektivitas.
Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi,
merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali
berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam usaha mengukur efektivitas yang
pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri.
Dari beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan
kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga secara fisik dan non
fisik untuk mencapai tujuan srta meraih keberhasilan maksimal.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektivitas


Pendekatan efektivitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang berbeda
dari lembaga, dimana lembaga mendapatkan input atau masukan berupa berbagai
macam sumber dari lingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam
lembaga mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan
kembali pada lingkungannya.
1. Pendekatan sasaran (Goal Approach)
Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil merealisasikan
sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai
dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan keberhasilan organisasi
dalam mencapai sasaran tersebut (Price, 1972:15).
Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan
pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal
berdasarakan sasaran resmi Official Goal dengan memperhatikan permasalahan yang
ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek output yaitu dengan
mengukur keberhasilan programdalam mencapai tingkat output yang direncanakan.
Dengan demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau
lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai.
2. Pendekatan Sumber (System Resource Approach)
Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu lembaga
dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya. Suatu lembaga harus
dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan system
agar dapat menjadi efektif.

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu


lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata
dalam lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang terdapat
pada lingkungan seringkai bersifat langka dan bernilai tinggi.
3. Pendekatan Proses (Internal Process Approach)
Pendekatan proses menganggap sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan dari
suatu lembaga internal. Pada lembaga yang efektif, proses internal berjalan dengan
lancer dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi.
Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian
terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga, yang
menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.
2.1.3 Masalah dalam Pengukuran Efektivitas
Efektivitas selalu diukur berdasarkan prestasi, produktivitas dan laba. Seperti
ada beberapa rancangan tentang memandang konsep ini dalam kerangka kerja dimensi
satu, yang memusatkan perhatian hannya kepada satu kriteria evaluasi (contoh,
produktivitas).
Pengukuran efektivitas dengan menggunakan sasaran yang sebenarnya dan
memberikan hasil daripada pengukuran efektivitas berdasarkan sasaran resmi dengan
memperhatikan masalah yang ditimbulkan oleh beberapa hal berikut:
1. Adanya macam-macam output
Adanya bermacam-macam output yang dihasilkan menyebabkan pengukuran
efektivitas dengan pendekatan sasaran menjadi sulit untuk dilakukan. Pengukuran juga
semakin sulit jika ada sasaran yang saling bertentangan dengan sasaran lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Efektivitas tidak akan dapat diukur hannya dengan menggunakan suatu indikator atau
efektivitas yang tinggi pada suatu sasaran yang seringkali disertai dengan efektivitas
yang rendah pada sasaran lainnya.
Selain itu, masalah itu juga muncul karena adanya bagian-bagian dalam suatu
lembaga yang mempunyai sasaran yang berbeda-bedasecara keseluruhan, sehingga
pengukuran

efektivitas

seringkali

terpaksa

dilakukan

dengan

memperhatikan

bermacam-macam secara simultan. Dengan demikian, yang diperoleh dari pengukuran


efektivitas adalah profil atau bentuk dari efek yang menunjukkan ukuran efektivitas
pada setiap sasaran yang dimilikinya. Selanjutnya hal lain yang sering dipermasalahkan
adalah frekuensi penggunaan criteria dalam pengukuran efektivitas seperti yang
dikemukakan oleh R.M Steers yaitu bahwa kriteria dan penggunaan hal-hal tersebut
dalam pengukuran efektivitas adalah :
a. Adaptabilitas dan Fleksibilitas
b. Produktifitas
c. Keberhasilan
d. Keterbukaan dalam berkomunikasi
e. Keberhasilan pencapaian program
f. Pengembangan program (Steers,1985:546)
2. Subjektifitas dalam adanya penelitian
Pengukuran efektivitas dengan menggunakan pendekatan sasaran seringkali
mengalami hambatan, karena sulitnya mengidentifikasi sasaran yang sebenarnya dan
juga karena kesulitan dalam pengukuran keberhasilan dalam mencapai sasaran. Hal ini
terjadi karena sasaran yang sebenarnya dalam pelaksanaan. Untuk itu ada baiknya bila
meninjau pendapat G.W England, bahwa perlu masuk kedalam suatu lembaga untuk

Universitas Sumatera Utara

mempelajari sasaran yang sebenarnya karena informasi yang diperoleh hannya dari
dalam suatu lembaga untuk melihat program yang berorientasi ke luar atau masyarakat,
seringkali dipengaruhi oleh subjektifitas.
Untuk sasaran yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, unsure subjektif itu
tidak berpengaruh tetapi untuk sasaran yang harus dideskripsikan secara kuantitatif,
informasi yang diperoleh akan sangat tergantung pada subjektifitas dalam suatu
lembaga mengenai sasarannya. Hal ini didukung oleh pendapat Richard M Steers yaitu
bahwa lingkungan dan keseluruhan elemen-elemen kontekstual berpengaruh terhadap
informasi lembaga dan menentukan tercapai tidaknya sasaran yang hendak dicapai
(Steers, 1985:558)

2.2

Pelayanan Sosial
Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai tindakan

yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Menurut Walter Friedlander dalam Muhidin, Kesejahteraan Sosial adalah sistem yang
terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk
membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk
mengembangkan

kemampuannya

sepenuh

mungkin

dan

meningkatkan

kesejahteraannya selarah dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Friedlander,


dalam Muhidin, 1992:1)
Sementara Elizabeth Wickenden dalam Muhidin mengemukakan bahwa
kesejahteraan sosial termasuk didalamnya peraturan perundangan, program, tunjangan

Universitas Sumatera Utara

dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat
(Wickenden, dalam Muhidin, 1992:1).
Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan UndangUndang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat 1 : Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan
dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga
negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah,
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjungjung
tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila(Muhidin,
1992:5).
Dari berbagai pengertian diatas dapat terlihat luas lingkup pengertian
kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat meluas dan melingkupi berbagai aspek
kehidupan. Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana
pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu didalamnya. Pelayanan sosial diartikan
dalam dua macam, yaitu:
a. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi
pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan,
perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.
b. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial
mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak

Universitas Sumatera Utara

beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna
sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992:41).
Maka dapat diartikan bahwa efektivitas pelayanan sosial adalah tercapainya
tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri.
Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah
sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengertian pelayanan
sosial di Negara-negara maju sama dengan point pertama, sedangkan di Negara-negara
berkembang umumnya sama dengan point kedua.
Di Negara Amerika Serikat, pelayanan sosial diartikan sebagai suatu aktifitas
yang terorganisir yang bertujuan untuk menolong orang-orang agar terdapat suatu
penyesuaian timbal balik antara individu dengan lingkungan sosialnya. Tujuan ini dapat
dicapai melalui teknik dan metode yang diciptakan untuk memungkinkan individu,
kelompok

dan

masyarakat

dan

melalui

tindakan-tindakan

kooperatif

untuk

meningkatkan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Sedangkan di Inggris, pelayanan


sosial mencakup suatu peralatan luas untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
dimana mereka hidup dalam keseluruhan yang mempunyai tanggung jawab untuk
menolong masyarakat yang lemah dan kurang beruntung dan memberikan perlindungan
dengan pelayanan-pelayanan yang tidak mungkin dipenuhi oleh mereka sendiri secara
perseorangan.
Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial akan
berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu Negara dan
juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan masalah
prioritas pelayanan. Semakin tersebarnya dan dipraktekkan secara universal pelayanan

Universitas Sumatera Utara

social, maka pelayanan social cenderung menjadi pelayanan yang ditujukan kepada
golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan khusus.
2.2.1 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung dari tujuan
klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial
sebagai berikut :
1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat.
2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.
3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian
sosial.
4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan
pembangunan.
5. Penyediaan dsan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar
pelayanan-pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi (Muhidin, 1992:42).
Richard M. Titmuus dalam Muhidin (1992:43) mengemukakan fungsi pelayanan
social ditinjau dari perspektif masyarakat sebagai berikut :
1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih
meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok dan masyarakat untuk masa
sekarang dan untuk masa yang akan dating.
2. Pelayanan-pelayanan

atau

keuntungan-keuntungan

yang

diciptakan

untuk

melindungi masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program


kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapat pelayanan sosial misalnya,
kompensasi kecelakaan industri dan sebagainya.
4. pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu
investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Alfred J. Khan dalam Muhidin (1992:43) menyatakan fungsi pelayanan sosial
adalah:
1. Pelayanan sosial untuk pengembangan
2. Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi
3. Pelayanan akses
Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk
mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui programprogram pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Pelayanan sosial
untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk
melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun didalam
kelompok/keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya.
Kebutuhan akan program pelayanan akses disebabkan oleh karena :
a. Adanya birokrasi moderen
b. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahamam masyarakat terhadap hal-hal dan
kewajiban/tanggung jawabnya
c. Diskriminasi
d. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang
memerlukan pelayanan sosial (Muhidin, 1992:44)

Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya berbagai kesenjangan, maka pelayanan sosial disini mempunyai


fungsi sebagai akses untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara
berbagai program, sehingga program-program pelayanan tersebut dapat berfungsi dan
dimamfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan sosial bukanlah
semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang
dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan program-program
referral.
Fungsi tambahan dari pelayanan sosial adalah menciptakan partisipasi anggota
masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Tujuannya dapat berupa terapi
individual dan sosial (untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan
masyarakat) dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian politis,
yaitu untuk mendistribusikan sumber-sumber dan kekuasaan.
Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu
diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Partisipasi terkadang merupakan alat, terkadang
merupakan tujuan. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan pelayanan merupakan
dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah satu. Karena itu harus
dipilih partisipasi sebagai tanggung jawab masyarakat dan pelayanan sebagai tanggung
jawab program. Pada umumnya suatu program sulit untuk meningkatkan kedua-duanya
sekaligus.
2.2.2 Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah Sosial
Menurut Walter A Friedlander dalam Muhidin (1992:7), Pekerjaan Sosial adalah
suatu pelayanan professional yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan
keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara

Universitas Sumatera Utara

perorangan

maupun

didalam

kelompok

untuk

mencapai

kepuasan

dan

ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial.


Pekerjaan sosial berusaha untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat
mencapai tingkat kesejahteraan sosial, mental dan psikis yang setinggi-tingginya.
Permasalahan dalam bidang pekerjaan sosial erat kaitannya dengan masalah fungsi
sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan peranannya sesuai dengan
tuntutan lingkungannya. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk memberikan pelayanan
social, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga diarahkan untuk membantu
individu, kelompok maupun masyarakat dalam menjalankan fungsi sosialnya.
Pekerja-pekerja sosial menyediakan pelayanan-pelayanan pertolongan dalam arti
yang dikenal dalam praktek pekerja sosial. Praktek pekerjaan sosial ini merupakan
realisasi daripada tugas fungsional didalam system kesejahteraan sosial guna membantu
orang-orang dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Praktek
pekerjaan sosial dapat didefinisikan sebagai kontelasi nilai, tujuan, pengetahuan dan
metoda. Praktek pekerjaan sosial dikembangkan dari perangkat tujuan-tujuan
professional sebagai yang diyakini dan diakui oleh masyarakat umum dan para pekerja
sosial. Dari kerangka teori pengetahuan praktek, profesi pekerjaan social, yaitu yang
berhubungan dengan metoda-metoda petolongan, proses-proses dan peranan-peranan.
Ada beberapa defenisi praktek pekerjaan sosial :
1. Kegiatan interventif yang diarahkan pada tujuan-tujuan dan dibimbing/didasari oleh
nilai-nilai, pengetahuan, dan teknik yang secara kolektif diakui, diterima serta
dikembangkan oleh profesi pekerjaan sosial.

Universitas Sumatera Utara

2. Praktek pekerjaan sosial merupakan penerapan ilmu pengetahuan mengenai tingkah


laku yang ditujukan untuk mengadakan perubahan perencana pada individuindividu, kelompok-kelompok serta system-sistem sosial.
Tindakan-tindakan yang ditujukan kearah perubahan didasari oleh nilai-nilai
metoda serta teknik-teknik yang diakui, diterima dan dikembangkan oleh profesi
pekerja sosial. Jadi, pekerjaan sosial merupakan praktek professional dalam pengertian
bahwa tindakan serta pelayanan-pelayanan yang diberikannya dilaksanakan oleh
anggota-anggota yang berpendidikan khusus dan secara formal diakui dan diterima oleh
dan didalam profesi pekerjaan sosial. Para pekerja social mampu melakukan penilaian
yang kompleks yang diperlukan bagi pemecahan masalah-masalah manusia didalam
suatu bidang kompetensi yang telah ditentukan.
Seorang pekerja sosial, mempunyai pemahaman tentang pribadi dan tingkah
laku manusia serta lingkungan sosialnya atau kondisi dimana manusia itu hidup.
Menurut pandangan Zastrow, setidaknya ada beberapa peranan yang biasa dilakukan
oleh pekerja sosial, yaitu :
1. Enabler
Sebagai Enabler, seorang pekerja social membantu masyarakat agar dapat
mengartikulasikan pola sikap kebutuhan mereka, mengidentifikasi masalah
mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah
yang mereka hadapi secara lebih efektif.
2. Broker
Peranan sebagai Broker, yaitu berperan dalam menghubungkan individu ataupun
kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan

Universitas Sumatera Utara

masyarakat (community service). Broker dapat juga dikatakan menjalankan


peran sebagai mediator yang menghubungkan pihak yang satu dengan pemilik
sumber daya.
3. Expert
Sebagai expert (tenaga ahli), ia lebih banyak memberikan saran dan dukungan
informasi dalam berbagai hal. Misalnya saja, seorang tenaga ahli dapat
memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi yang biasa
dikembangkan dalam masyarakat tersebut dan kelompok-kelompok mana saja
yang harus terwakili. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang
diberikan bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, usulan dan saran
tersebut lebih merupakan masukan gagasan untuk menjadi pertimbangan
masyarakat ataupunorganisasi dalam masyarakat tersebut.
4. Social Planner
Seorang social planner mengumpulkan data mengenai masalah social yang
terdapat dalam masyarakat tersebut, menganalisanya dan menyajikan alternative
tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu perencana
sosial mengembangkan program, mencoba mencari alternative sumber dan
mengembangkan consensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat
maupun kepentingan.
Peran expert dan sosial planner saling tumpang tindih. Seorang expert lebih
memfokuskan pada pemberian usulan dan saran, sedangkan social planner lebih
memfokuskan

tugas-tugas

terkait

dengan

pengembangan

dan

pengimplementasian program.

Universitas Sumatera Utara

5. Advocate
Peran advocate merupaka peran yang aktif dan terarah. Dimana community
worker menjalankan fungsi sebagai advocate yang mewakili kelompok
masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan atau layanan. Tetapi, institusi
yang seharusnya memberikan bantuan atau layanan tersebut tidak diperdulikan.
Peran advokasi dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh lembaga nonpemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah agar pemerintah
menyediakan ganti-rugi yang memadai bagi mereka yang terpuruk, atau agar
pemerintah meringankan biaya pendidikan.
6. Activist
Sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan institusional
yang lebih mendasar dan sering kali tujuannya adalah pengalian sumber daya
ataupun kekuasaan

pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan.

Seorang

biasanya

activist

memperhatikan

isu-isu

tertentu,

seperti

ketidaksesuaian dengan hokum yang berlaku, ketidakadilan dan perampasan


hak. Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok
yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan
tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada.
7. Educator
Dalam menjalankan peran sebagai educator (pendidik), pekerja social
diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja
social harus mampu berbicara didepan public untuk menyampaikan informasi
mengenai beberapa hal tertentu, sesuai dengan bidang yang ditanganinya

Universitas Sumatera Utara

2.3

Orang Lanjut Usia


Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai-nilai sosial budaya

sehingga dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan


berbudaya. Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya
yang dimiliki orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan
mamfaatnya oleh para generasi penerus mereka (Yasa, 1999).
Salah satu produktivitas budaya yang dimiliki lanjut usia adalah sikap suka
memberi, memberi adalah suatu bentuk komunikasi manusia. Dengan hubungan itu
manusia memberikan arti kepada dirinya, dan juga kepada sesamanya (Sumarjo, 1997).
Dasar perbuatan memberi adalah cinta kasih, perhatian, pengenalan, dan simpati
terhadap sesama. Itu berarti seorang peduli kepada orang lain dan ingin menolong orang
lain untuk mengembangkan dirinya. Lanjut usia dapat memberi kepada orang
lain/generasi muda daam wujud pengetahuan, pikiran, tenaga, selain memberikan apa
yang dimiliki.
Bagi lanjut usia, keluarga merupakan sumber kepuasan, dan mereka ingin
tinggal di tengah-tengah mereka, akan tetapi keluarga dapat menjadi frustasi bagi orang
lanjut usia, hal ini terjadi jika ada hambatan komunikasi antara lanjut usia dengan anak
atau cucu dimana perbedaan faktor generasi memegang peranan. Merawat mereka yang
sudah lanjut usia tidak bisa disamakan seperti merawat orang yang muda, apalagi
dianggap seperti kanak-kanak. Sifat yang dibawa semenjak muda akan menjadi sifatnya
diwaktu tua.
Usia tua ditandai oleh suatu proses yang sangat nampak dan bisa dilihat dengan
sangat jelas sekali. Yang paling nyata adalah secara fisik akan ada perubahan-perubahan

Universitas Sumatera Utara

yang menandakan menuanya diri seseorang. Misalkan, jalannya tidak secepat dulu, daya
tahan tubuhnya untuk bertahan di cuaca dingin makin berkurang, tulang-tulang mereka
mulai merapuh, urat-urat saraf mereka jadi kaku sehingga mereka tidak selincah orang
yang masih muda.
Sistem pendukung lanjut usia ada tiga komponen menurut Joseph. J Gallo
(1998), yaitu :
1. Jaringan-jaringan informal
2. Sistem pendukung formal
3. Dukungan-dukungan semiformal
Jaringan pendukung informal meliputi keluarga dan kawan-kawan, sistem pendukung
formal meliputi tim keamanan sosial setempat, program-program medikasi dan
kesejahteraan sosial. Dukungan semiformal meliputi bantuan-bantuan dan interaksi
yang disediakan oleh organisasi lingkungan sekitar seperti perkumpulan pengajian,
gereja atau perkumpulan warga lansia setempat.
Dengan demikian lanjut usia harus mengambil langkah awal untuk mengikuti
sumber-sumber dukungan di atas. Dorongan, semangat atau bantuan dari anggotaanggota keluarga, masyarakat sangat dibutuhkan oleh lanjut usia. Jenis-jenis bantuan
informal, formal dan semiformal apa saja yang tersedia bagi lanjut usia yang terkait
pada masa lampaunya.
Lanjut usia memiliki kriteria mandiri, yang dapat mengaktualisasikan dirinya
dengan tidak menggantungkan kepuasan-kepuasan utama pada lingkungan dan kepada
orang lain. Mereka lebih tergantung pada potensi-potensi mereka sendiri bagi

Universitas Sumatera Utara

perkembangan dan kelangsungan pertumbuhannya. Adapun kriteria orang yang mandiri


menurut Koswara (1991) adalah mempunyai :
1. Kemantapan relatif terhadap pukulan-pukulan, goncangan-goncangan atau
frustasi
2. Kemampuan mempertahankan ketenangan jiwa
3. Kadar arah yang tinggi
4. Agen yang merdeka
5. Bertanggung jawab
Lanjut usia yang mandiri dapat menghindari diri dari penghormatan, status dan
popularitas kepuasan yang berasal dari luar diri mereka anggap kurang penting
dibandingkan pertumbuhan diri.
Orang lanjut usia mempunyai tempat selain tinggal dengan keluarga, yaitu suati
wadah yang disebut dengan Panti Asuhan, dimana keluarga yang memasukkan orang
tuanya ke panti harus tetap menunjukkan kasih sayangnya meski mereka berada di
Panti Asuhan.
Panti Asuhan bisa menjadi pilihan yang baik untuk menikmati hari tua. Akan
tetapi sebagian masyarakat Indonesia memandangnya sebagai suatu yang negatif.
Pandangan masyarakat tentang Panti Asuhan dan orang tua yang dititipkan di sana
agaknya perlu diluruskan. Orang tua yang dititipkan di Panti Asuhan tidak berarti
mereka terbuang, mereka tetap memiliki keluarga yang merupakan bagian penting dari
keberadaannya. Di Panti Asuhan mereka menemukan teman yang relatif seusia
dengannya dimana mereka dapat berbagi cerita. Karena kebereadaan lansia di Panti
dengan berbagai karakter serta memiliki berbagai ragam problematika maka dipandang

Universitas Sumatera Utara

perlu untuk memberikan suatu penanganan khusus sesuai kelebihan serta kekurangan
yang mereka miliki.

2.4

Kerangka Pemikiran
Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga maupun anggota

masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya. Sejalan dengan peningkatan usia


harapan hidup, orang lanjut usia mengalami ketergantungan, dimana ketergantungan
tersebut disebabkan oleh kondisi orang lanjut usia yang banyak mengalami
perkembangan dalam bentuk-bentuk yang mengarah pada perubahan yang negatif.
Dalam hal ini pemerintah dibutuhkan untuk memberikan perlindungan sosial dalam
pelayanan sosial bagi lanjut usia guna menunjang kehidupan orang lanjut usia agar lebih
baik.
Tidak dipungkiri bahwa panti asuhanlah yang merupakan unit yang paling tepat
untuk memberikan pelayananan terhadap orang tua yang lanjut usia, dan panti asuhan
ini perlu diamaksimalkan guna mensejahterakan kehidupan orang lanjut usia dimanapun
mereka berada.
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Di Kecamatan Siborong-borong mempunyai
tugas membantu Dinas Sosial dalam pembinaan, sosialisasi dan pengasuhan lanjut usia.
Dalam hal ini UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Di Kecamatan Siborong-borong
menjalankan pelayanan sosial

di hari tua para lanjut usia, melalui program

kesejahteraan lanjut usia yang meliputi, bimbingan kesehatan, bimbingan rohani, dan
bimbingan sosial. Dimana melalui program ini, diharapkan warga binaan sosial
mendapatkan kesehatan yang baik, memiliki semangat hidup serta perhatian penuh.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Bagan Alir Pemikiran

UPT PS Lanjut Usia Siborong-borong

Program Kesejahteraan Lansia:


1. Bimbingan kesehatan
2. Bimbingan rohani
3. Bimbingan sosial

Warga Binaan Sosial

Hasil yang diharapkan :


1. Lanjut usia mendapatkan kesehatan yang
baik
2. Lanjut usia memiliki semangat hidup
3. Lanjut usia mendapat perhatian penuh
dari panti asuhan

Efektif

Tidak Efektif

Universitas Sumatera Utara

2.5

Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional


2.5.1 Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak

kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial
(Singarimbun, 1989:33). Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang
digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti
serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.
Untuk lebih mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan,
maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:
1.

Efektivitas adalah keberhasilan suatu aktifitas atau suatu kegiatan dalam mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, baik yang dilaksanakan secara individu,
kelompok, organisasi, lembaga maupun pemerintah

2.

Pelayanan sosial adalah suatu aktifitas yang bertujuan memberikan pertolongan,


bimbingan, perlindungan kepada individu, keluarga, masyarakat agar dapat
melaksanakan fungsi sosial dengan baik

3.

Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan.
Orang-orang yang termasuk dalam keluarga itu adalah Bapak, Ibu dan anakanaknya.

4.

Orang lanjut usia merupakan tahap akhir dari proses penuaan, dimana lanjut usia
digolongkan dari usia 60 tahun sebagai titik awal seseorang memasuki lanjut usia.

5.

UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia adalah unit pelaksana teknis di bidang
pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia yang memberikan pelayanan

Universitas Sumatera Utara

kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia terlantar dalam panti, yang berada
dibawah naungan dinas sosial provinsi sumatera utara.
Dengan demikian, dapat kita ambil defenisi konsep secara keseluruhan. Yang
dimaksud dengan efektivitas pelayanan sosial UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Di
Kecamatan Siborong-borong Kabupaten Tapanuli Utara Bagi Lanjut Usia adalah
tercapainya tujuan seluruh aktifitas pemberian pelayanan kepada orang Lanjut usia yang
telah dilakukan oleh UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.
2.5.2 Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana cara mengukur variabel (Singarimbun, 1989:33). Untuk mengukur variabel
dalam penelitian ini, yaitu dengan melihat berbagai indikator yang akan diteliti sebagai
berikut :
1. Bimbingan kesehatan, meliputi:
a. Pemeriksaan kesehatan
b. Perawatan dan pengobatan kesehatan
2. Bimbingan rohani, meliputi:
a. metode bimbingan rohani
b. intensitas bimbingan
3. Bimbingan sosial
Dari indikator-indikator yang digunakan tersebut, diharapkan dapat disimpulkan
sudah efektifkah upaya-upaya yang dilakukan oleh UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dalam pelayanan bagi lanjut usia terutama dalam keberfungsian sosialnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai