Anda di halaman 1dari 54

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE

Definisi
Stroke (Penyakit Serebrovaskuler) adalah kematian jaringan otak (infark serebral)
yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.
Stroke bisa berupa iskemik maupun perdarahan (hemoragik). Pada stroke iskemik,
aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah
menyumbat suatu pembuluh darah. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah
sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah di otak dan merusaknya.

Penyebab
Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju
ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam arteri
karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius
karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian
besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di
dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri karotis dan arteri
vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah
yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke
semacam ini disebut emboli serebral, yang paling sering terjadi pada penderita yang
baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau
gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium).
Emboli lemak jarng menyebabkan stroke. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari
sumsum tulang yan gpecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung
di dalam sebuah arteri.
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan
menyempitnya pembuluh darah yang menuju ke otak.
Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh
darah di otak dan menyebabkan stroke.

Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah
ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan.
Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun.
Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera
atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.
Gejala
Sebagian besar kasus terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan
kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke).
Stroke bisa menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat
bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution).
Perkembangan penyakit bisasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode
stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau tejadi beberapa
perbaikan.
Gejala yang terjadi tergantung kepada daerah otak yang terkena:
Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah
satu sisi tubuh
Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
Penglihatan ganda
Pusing
Bicara tidak jelas (rero)
Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh
Pergerakan yang tidak biasa
Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih
Ketidakseimbangan dan terjatuh
Pingsan.
Kelainan neurologis yang terjadi lebih berat, lebih luas, berhubungan dengan koma
atau stupor dan sifatnya menetap. Selain itu, stroke bisa menyebabkan depresi atau
ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi.
Stroke bisa menyebabkan edema atau pembengkakan otak. Hal ini berbahaya karena
ruang dalam tengkorak sangat terbatas. Tekanan yang timbul bisa lebih jauh merusak
jaringan otak dan memperburuk kelainan neurologis, meskipun strokenya sendiri
tidak bertambah luas.
Dignosa
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik membantu menentukan lokasi kerusakan otak.
Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.
Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke,

apakah perdarahan atau tumor otak.


Kadang dilakukan angiografi.
Pengobatan
Biasanya diberikan odsigen dan dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat
makanan.
Pada stroke in evolution diberikan antikoagulan (misalnya heparin), tetapi obat ini
tidak diberikan jika telah terjadi completed stroke.
Antikoagulan juga biasanya tidak diberikan kepada penderita tekanan darah tinggi
dan tidak pernah diberikan kepda penderita dengan perdarahan otak karena akan
menambah resiko terjadinya perdarahan ke dalam otak.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah
atau dipulihkan jika obat tertentu yang berfungsi menghancurkan bekuan darah
(misalnya streptokinase atau plasminogen jaringan) diberikan dalam waktu 3 jam
setelah timbulnya stroke. Segera dilakukan pemeriksaan untuk menentukan bahwa
penyebabnya adalah bekuan darah dan bukan perdarahan, yang tidak bisa diatasi
dengan obat penghancur bekuan darah.
Pada completed stroke, beberapa jaringan otak telah mati memperbaiki aliran darah
ke daerh tersebut tidak akan dapat mengembalikan fungsinya. Karena itu biasanya
tidak dilakukan pembedahan. Tetapi pengangkatan sumbatan setelah stroke ringan
atau transient ischemic attack, bisa mengurangi resiko terjadinya stroke di masa yang
akan datang. Untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak pada
penderita stroke akut, biasanya diberikan manitol atau kortikosteroid.
Penderita stroke yang sangat berat mungkin memerlukan respirator untuk
mempertahankan pernafasan yang adekuat.
Diberikan perhatian khusus kepada fungsi kandung kemih, saluran pencernaan dan
kulit (untuk mencegah timbulnya luka di kulit karena penekanan).
Kelainan yang menyertai stroke (misalnya gagal jantung, irama jantung yang tidak
teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru-paru) harus diobati.
Setelah serangan stroke, biasanya terjadi perubahan suasana hati (terutama depresi),
yang bisa diatasi dengan obat-obatan atau terapi psikis.
REHABILITASI
Rehabilitasi intensif bisa membantu penderita untuk belajar mengatasi
kelumpuhan/kecacatan karena kelainan fungsi sebagian jaringan otak.
Bagian otak lainnya kadang bisa menggantikan fungsi yang sebelumnya dijalankan
oleh bagian otak yang mengalami kerusakan.
Rehabilitasi segera dimulai setelah tekanan darah, denyut nadi dan pernafasan
penderita stabil. Dilakukan latihan untuk mempertahankan kekuatan otot, mencegah
kontraksi otot dan luka karena penekanan (akibat berbaring terlalu lama) dan latihan
berjalan serta berbicara.

PROGNOSIS
Banyak penderita yang mengalami kesembuhan dan kembali menjalankan fungsi
normalnya.
Penderita lainnya mengalami kelumpuhan fisik dan menatal dan tidak mampu
bergerak, berbicara atau makan secara normal. Sekitar 50% penderita yang
mengalami kelumpuhan separuh badan dan gejala berat lainnya, bisa kembali
memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. Mereka bisa berfikir dengan jernih dan
berjalan dengan baik, meskipun penggunaan lengan atau tungkai yang terkena agak
terbatas.
Sekitar 20% penderita meninggal di rumah sakit. Yang berbahaya adalah stroke yang
disertai dengan penurunan kesadaran dan gangguan pernafasan atau gangguan fungsi
jantung. Kelainan neurologis yang menetap setelah 6 bulan cenderung akan terus
menetap, meskipun beberapa mengalami perbaikan.
Serangan Iskemik Sesaat
Definisi
Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA) adalah gangguan fungsi
otak yang merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak untuk sementara
waktu.
TIA lebih banyak terjadi pada usia setengah baya dan resikonya meningkat sejalan
dengan bertambahnya umur. Kadang-kadang TIA terjadi pada anak-anak atau dewasa
muda yang memiliki penyakit jantung atau kelainan darah.
Penyebab
Serpihan kecil dari endapan lemak dan kalsium pada dinding pembuluh darah
(ateroma) bisa lepas, mengikuti aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil
yang menuju ke otak, sehingga untuk sementara waktu menyumbat aliran darah ke
otak dan menyebabkan terjadinya TIA.
Resiko terjadinya TIA meningkat pada:
tekanan darah tinggi
aterosklerosis
penyakit jantung (terutama pada kelainan katup atau irama jantung)
diabetes
kelebihan sel darah merah (polisitemia).
Gejala
TIA terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berlangsung selama 2-30 menit, jarang
sampai lebih dari 1-2 jam.
Gejalanya tergantung kepada bagian otak mana yang mengalami kekuranan darah:
Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri karotis, maka yang paling sering
ditemukan adalah kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan
Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, biasanya terjadi pusing,

penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.


Gejala lainnya yang biasa ditemukan adalah:
Hilangnya rasa atau kelainan sensasi pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi
tubuh
Kelemahan atau kelumpuhan pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
Penglihatan ganda
Pusing
Bicara tidak jelas
Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
Tidak mampu mengenali bagian tubuh
Gerakan yang tidak biasa
Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih
Ketidakseimbangan dan terjatuh
Pingsan.
Gejala-gejala yang sama akan ditemukan pada stroke, tetapi pada TIA gejala ini
bersifat sementara dan reversibel. Tetapi TIA cenderung kambuh; penderita bisa
mengalami beberapa kali serangan dalam 1 hari atau hanya 2-3 kali dalam beberapa
tahun. Sekitar sepertiga kasus TIA berakhir menjadi stroke dan secara kasar separuh
dari stroke ini terjadi dalam waktu 1 tahun setelah TIA.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Karena tidak terjadi kerusakan
otak, maka diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan bantuan CT scan maupun MRI.
Digunakan beberapa teknik untuk menilai kemungkinan adanya penyumbatan pada
salah satu atau kedua arteri karotis. Aliran darah yang tidak biasa menyebabkan suara
(bruit) yang terdengar melalui stetoskop. Dilakukan skening ultrasonik dan teknik
Doppler secara bersamaan untuk mengetahui ukuran sumbatan dan jumlah darah
yang bisa mengalir di sekitarnya.
Angiografi serebral dilakukan untuk menentukan ukuran dan lokasi sumbatan.
Untuk menilai arteri karotis biasanya dilakukan pemeriksaan MRI atau angiografi,
sedangkan untuk menilai arteri vertebralis dilakukan pemeriksaan ultrasonik dan
teknik Doppler. Sumbatan di dalam arteri vertebral tidak dapat diangkat karena
pembedahannya lebih sulit bila dibandingkan dengan pembedahan pada arteri karotis.
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah stroke. Faktor resiko utama untuk stroke

adalah tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, merokok dan diabetes; karena itu
langkah pertama adalah memperbaiki faktor-faktor resiko tersebut.
Obat-obatan diberikan untuk mengurangi kecenderungan pembentukan bekuan darah,
yang merupakan penyebab utama dari stroke. Salah satu obat yang paling efektif
adalah aspirin. Kadang diberikan dipiridamol, tetapi obat ini hanya efektif untuk
sebagian kecil penderita. Untuk yang alergi terhadap aspirin, bisa diganti dengan
tiklopidin. Jika diperlukan obat yang lebih kuat, bisa diberikan antikoagulan
(misalnya heparin atau warfarin).
Luasnya penyumbatan pada arteri karotis membantu dalam menentukan pengobatan.
Jika lebih dari 70% pembuluh darah yang tersumbat dan penderita memiliki gejala
yang menyerupai stroke selama 6 bulan terakhir, maka perlu dilakukan pembedahan
untuk mencegah stroke. Sumbatan yang kecil diangkat hanya jika telah menyebabkan
TIA yang lebih lanjut atau stroke.
Pada pembedahan enarterektomi, endapan lemak (ateroma) di dalam arteri dibuang.
Pembedahan ini memiliki resiko terjadinya stroke sebesar 2%. Pada sumbatan kecil
yang tidak menimbulkan gejala sebaiknya tidak dilakukan pembedahan, karena resiko
pembedahan tampaknya lebih besar.

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA NY. J DENGAN STROKE NON HAEMMORHAGIC
DI RUANG PERAWATAN SERUNI (RUANG SYARAF)
RSUD ULIN BANJARMASIN

I. DATA DEMOGRAFI
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SM
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Suku bangsa : Jawa/Indonesia

Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tukang Kayu ( Buruh )
Status perkawinan : Kawin
Alamat : Jln. manggis Pasar Batuah Banjarmasin, Kelurahan Kuripan, Kecamatan
Banjar Timur.
Tanggal wawancara : 13 Juni 2002
Tanggal MRS : 13 Juni 2002
Nomor RMK : 45 86 37
Diagnosa Medis : Stroke Non Haemmorhagic
B. IDENTITAS PENANGUNG JAWAB
Klien menggunakan KS.
II. POLA FUNGSIONAL
A. PERSEPSI KESEHATAN DAN PENANGANAN KESEHATAN
1. Keluhan Utama:
Bicara pelo dan tidak bisa menggerakkan anggota badan sebelah kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (sesuai PQRST):
Sejak selasa sore sehabis kerja ( jam 15.30 ) sehabis nonton TV tiba tiba klien
bicaranya menjadi pelo, kemudian jam 18.00 di bawa ke RS Ulin dan di rawat di
ruang PDP pad hari kamis pada saat hendak kembali ke tempat tidur, di wc klien
tidak dapat berdiri, kaki kiri dan lengan kiri terasa lemah kemudian klien di
konsulkan ke ruang syaraf dan akhirnya di rawat di ruang syaraf.
3. Penggunaan Obat Sekarang:
Infus RL 20 tetes/menit.
Nicholin 3 x 100 mg
Mertigo 3 x 1
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien tidak pernah masuk RS dan klien tidak mempunyai riwayat penyakit menular,
keturunan dan penyakit lainnya.
Upaya pencegahan yang dilakukan terhadap penyakit: pasien berobat ke mantri atau
puskesmas.
Pasien tidak pernah menjalani prosedur tindakan bedah. Pasien tidak mempunyai
riwayat penyakit pada masa anak-anak.
5. Kebiasaan :
Kebiasaan yang dapat mempengaruhi kesehatan seperti merokok tidak pernah
dilakukan pasien.
Riwayat pemakaian alkohol tidak pernah.
6. Riwayat Penyakit Keluarga:
Didalam keluarga pasien terdapat anggota keluarga menderita hypertensi yaitu isteri

pasien.
7. Riwayat Sosial
Hubungan dengan keluarga dan tetangga di sekitar rumah baik ditandai dengan
banyaknya amgota keluarga yang menuggui pasien serta tetangga yang datang
membesuk.
B. POLA NUTRISI-MATABOLIK
1. Masukan Nutrisi Sebelum Sakit:
Frekuensi makan 3 x sehari, dengan jenis makanan: nasi biasa, lauk pauk berupa ikan,
tahu, tempe, telur dan sayur. Jenis minuman yang diminum: air teh dan air putih.
Makanan pantangan : daging, ikan asin.
Kudapan/makanan untuk sore hari : kue.
2. Saat Sakit
Selama dirawat di RS, frekuensi makan pasien 3 x sehari, dengan diet BBDM. Jenis
minuman air putih. Nafsu makan normal, tidak ada disfagia.
Keadaan gigi partial atau sudah banyak yang tanggal. Pasien tidak menggunakan gigi
palsu (protesa).
Fluktuasi BB 6 bulan terakhir: tetap.
Riwayat penyembuhan/kulit tidak ada masalah (normal).
3. Pemeriksaan Fisik:
a. Pemeriksaan tanda vital
Tinggi Badan : 158 cm.
Berat Badan : 47 kg.
b. Kulit
Warna kulit normal, tidak pucat, cyanosis maupun ikterik tidak ditemukan. Suhu
36oC. turgor baik, kembali kurang dari 2 detik. Tidak ditemukan adanya edema, lesi
maupun memar. Luka tirah baring (dekubitus) tidak ditemukan.
c. Rambut dan kulit Kepala
Keadaan rambut kering dan tebal. Sebagian besar rambut sudah mulai beruban.
d. Mulut
Keadaan kebersihan (hygiene) mulut bersih. Keadaan gusi normal. Keadaan lidah,
mucosa tampak kering, tonsil dalam keadaan normal dan pasien dapat berbicara
walaupun pelo. Gigi sudah banyak yang tanggal. Pasien tidak memakai gigi palsu.
e. Abdomen
Hepar tidak teraba, limpa tidak teraba, ginjal tidak teraba.
f. Temuan laboratorium
Darah : Hb : 11,9 gr%.
Leukosit : 11.200/mm3.
LED : 40 mm/jam I, 68 mm/jam II.
hitung jenis : Bas : 0, Eos : 0, Seg : 80, Limfo : 19, Mono : 0.

Kimia darah :
Gula darah puasa: 92 mg/dl.
Cholesterol : 150 mg/dl.
SGOT : 27 mg/dl.
SGPT : 31mg/dl.
Tryseligerida : 86 mg/dl
Urea : 29 mg/dl.
Urea nitrogen : 13 mg/dl.
Creatinin : 0,7 mg/dl.
Asam urat : 4,0 mg/dl
CT SCAN :
Terjadi trombosis pad ventrikel dektra yang bersifat akut.
C. POLA ELIMINASI
1. Feses
Kebiasaan defekasi : 1 kali sehari, selama dirawat frekuensi BAB 1 x sehari. Masalah
tidak ditemukan.
a. Abdomen
Struktur simetris. Frekuensi bising usus : 10 x/menit (normal: 8-12 x/menit). Tidak
ditemukan/teraba adanya distensi.
b. Rektum
Tidak ditemukan adanya lesi.
2. Urine
Frekuensi BAK 3-4 x/hari, klien tidak menggunakan alat bantu, masalah tidak ada.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Ginjal
Ginjal tidak teraba, nyeri ketuk tidak ada.
b. Blast
Tidak teraba adanya distensi.
4. Laboratorium
Urinalisa :
- Warna : kuning jernih
- Kejernihan : jernih
- Urobilin : Normal
- Leokosit : 0-2 /lbp
- Eritrocyt : 1-2 /lbp
- Epithel : +
D. POLA AKTIVITAS - LATIHAN
Kemampuan perawatan diri:
0 = Mandiri.

1 = Alat Bantu.
2 = Dibantu oleh orang lain.
3 = Dibantu oleh orang lain dan alat.
4 = Tergantung secara total.
AKTIVITAS 0 1 2 3 4
Mandi
Berpakaian/Berhias
Toileting
Mobilitas di TT
Berpindah
Ambulasi
Naik tangga
Berbelanja
Memasak
Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan alat bantu : ada, yaitu pispot.
1. Pemeriksaan Fisik:
a. Pernafasan/Sirkulasi:
Tekanan darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 80 x/menit.
Respirasi : 22 x/menit.
Kualitas pernafasan normal (reguler), tidak terdapat batuk, bunyi nafas normal
(vesikuler). Tidak ditemukan adanya kelainan berupa Wheezing, ronchi kering
maupun ronkhi basah.
b. Muskuloskeletal:
Rentang gerak pasien terbatas, terdapat hemiparetik pada ekstremitas sinistra.
Tonus otot N
N
lesi LMN. Hipotonik pada ekstrmitas sinitra
Kekuatan otot :
SKALA KETERANGAN
0 Paralisis Total.
1 Masih ada kontraksi.
2 Gerakan mungkin bila gravitasi dihilangkan.
3 Gerakan dapat melawan gravitasi.
4 Gerakan terjadi seperti menahan. Gravitasi dan tahanan ringan.
5 Normal
Tabel Skala Kekuatan Otot

Ektremitas:
- Pemeriksaan fungsi motorik:
M51
51
- Genggaman tangan: miotonia pada bagian kiri.
- Pemeriksaan sistem sensorik :
- Tes nyeri : + ( menurun )
- Tes temperatur : + ( menurun )
- Tes fibrasi : + ( menurun )
- Tes Periposeptif : + ( menurun )
- Tes Raba Halus : + ( menurun )
- Tes refleks:
RF = BHR 0
TFR 0
APR 0
KPR 0
--BHR - - --- Tes Fungsi Persyarafan:
1. Kaku kuduk : (-).
2. Tanda kernig : (-).
3. Tanda Brudzinski: (-).
4. Babinski : (-).
E. POLA KOGNITIF-KONSEPTUAL
1. Pendengaran
Pendengaran dalam batas normal. Dalam berkomunikasi pasien dapat mendengar
pertanyaan yang diajukan oleh perawat/dokter.
2. Penglihatan
Mata simetris kiri dan kanan, kebersihan mata bersih, alis mata tebal, kemampuan
menggerakan alis mata baik (normal). Konjungtiva tidak anemis, benjolan tidak
teraba. Pada pupil isokor. Reflek terhadap cahaya (+/+) miosis. Pasien tidak
menggunakan alat bantu penglihatan berupa kaca mata.
3. Status Mental :
Kesadaran : compos mentis, dengan GCS: 4,5,6.
Bicara normal, pasien dapat berbicara walaupun agak terbata-bata ( pelo )/disatria.
vertigo kadang kadang.
4. Pemeriksaan Nervus I s.d XII

- Nervus I (N. Olfactorius):


Pasien dapat membedakan bau alkohol dan minyak angin. Pada kedua hidung.
- Nervus II (N. Optikus):
Pasien dapat mengenai keluarga.
- Nervus III, IV, VI (N. Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusent):
Pupil berbentuk isokor, reguler, tidak ada ptosis, tidak ditemukan edema, pupil
mengecil dan kembali jika terkena cahaya, tak ada pembatasan gerak mata.
- Nervus V (N. Trigeminus):
Sensibilitas wajah baik, pasien dapat merasakan rabaan.
- Nervus VII (N. Fasialis):
Pasien dapat mebedakan nyeri , rabaan, kontraksi masester lemah, reflek rahang ada
tapi lmbat terdapat penurunan sudut mulut.
- Nervus VIII (N. Akustikus):
Pasien dapat mendengarkan bunyi gesekan rambutnya.
- Nervus IX (N. Glossofaringeus):
Ada refleks muntah ketika spatel disentuhkan pada posterior faring.
- Nervus X (N.Vagus):
Ovula berada di tengah.
- Nervus XI (N. Asesorius):
Dapat mengangkat bahu (massa otot trapezius baik).
- Nervus XII (N. Hipoglosus):
Tidak ada atrofi, tidak ada fasikulasi, posisi lidah mengarah ke kiri.
F. POLA TIDUR-ISTIRAHAT
1. Kebiasaan tidur dalam sehari 7-8 jam.
Tidur siang : kadang-kadang ( 1 jam).
Tidur malam : Pukul: 22.00-05.00 ( 7 jam).
Pasien merasa segar bila bangun tidur. Masalah tidur tidak ada.
2. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran umum pasien composmentis, pasien tampak lemah, lingkaran hitam di
sekitar mata tidak ditemukan.
G. POLA PERSEPSI/KONSEP DIRI
1. Masalah utama mengenai perawatan di RS / Penyakit (Finansial/perawatan):
Tidak ada masalah dalam hal finansial/perawatan karena biaya perawatan/pengobatan
di rumah sakit sepenuhnya dibiayai oleh dengan kartu sehat. Selain itu pasien sering
ditunggui oleh anak-anaknya yang menunggui secara bergantian.
2. Keadaan Emosional:
Keadaan emosional pasien stabil, pasien adalah orang yang suka humor.
3. Kemampuan adaptasi:
Pola adaptasi pasien baik, ditandai dengan pasien dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan di RS. Pasien sering berbagi pengalaman dengan pasien lain di
sebelahnya.

4. Konsep Diri: baik.


Pasien mampu menerima keadaan dirinya walaupun sedikit ccemas dengan sakitnya.
H. POLA PERAN HUBUNGAN
Kepedulian keluarga terhadap pasien baik ditandai dengan adanya keluarga yang
menunggui pasien selama dirawat RS dan keluarga mau bekerjasama dalam tindakan
perawatan.
I. POLA SEKSUALITAS
Tidak dikaji.
J. POLA KOPING - TOLERANSI STRESS
1. Kemampuan adaptasi: baik.
2. Cara mengambil keputusan: dibantu oleh keluarga.
3. Koping terhadap masalah :
Apabila pasien mempunyai/mengalami masalah, pasien biasanya memecahkan
masalahnya tersebut dengan jalan bermusyawarah bersama anggota keluarga yang
lain (anak-anaknya).
K. POLA NILAI-KEPERCAYAAN
Tidak ada pembatasan religius dan tidak meminta kunjungan pemuka agama.

III. ANALISA DATA


NO. DATA ETIOLOGI MASALAH
1.
DS: - Klien mengatakan lengan dan tungkai kirinya tidak dapat di gerakkan.
- Klien mengatakan kadang kadang pusing dan vertigo.
DO: - Pasien mengalami hemiparese sinistra.
- Kekuatan lengan dan tungkai menurun.
- Kekuatan lengan dan tungkai kiri ( 1 ).
- Penurunan dalam rasa dan refleks.
- LED 40 mm/jam I, 60 mm/jam II.
- Hasil CT SCAN terdapat trombosis pada hemisfer kanan.
Interupsi aliran darah sekunder terhdap adanya trombosis.
Gangguan perfusi jaringan serebral.
2. DS: - Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak dapat bangun, duduk
apalagi berdiri.
- Klien mengatakan lengan dan tungkainya lemah saat di gerakkan.
DO: - Kekuatan lengan dan tungkai klien ( 1 ).
- Rentang gerak pada lengan dan tungkai kir terbatas.
- Aktifitas klien di bantu oleh isterinya.
- Sensasi dan refleks menurun.

Kerusakan neuromuscular sekunder terhadap hemiparese


Kerusakan mobilitas fisik.
3. DS : - Klien mengatakan ia susah bicara.

DO: - Bicara klien terdengar pelo.


- Posisi lidah agak ke kiri Kerusakan neuromuscular sekunder terhadap kelemahan.
Kerusakan komonikasi verbal
4. DS : - Klien mengatakan kaki kiri dan lengan kirinya lemah.
- Sebagian aktifitas klien di bantu oleh isteri.
- Klien tampak lemah.

DO: - Motorik dan refleks klien menurun dari normal.


- Aktifitas klien terbatas. Perubahan fungsi cerebral sekunder terhadap perubahan
mobilitas. Resiko cedera

IV. DAFTAR MASALAH


NO. DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL MUNCUL TANGGAL TERATASI
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b/d Interupsi aliran darah sekunder terhadap
adanya trombosis d/d
- Klien mengatakan lengan dan tungkai kirinya tidak dapat di gerakkan.
- Klien mengatakan kadang kadang pusing dan vertigo.
- Pasien mengalami hemiparese sinistra.
- Kekuatan lengan dan tungkai menurun.
- Kekuatan lengan dan tungkai kiri ( 1 ).
- Penurunan dalam rasa dan refleks.
- LED 40 mm/jam I, 60 mm/jam II.
- Hasil CT SCAN terdapat trombosis pada hemisfer kanan.
13-06-2002

2. Kerusakan mobilitas fisik b/d Kerusakan neuromuscular sekunder terhadap


hemiparese d/d :
- Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak dapat bangun, duduk apalagi
berdiri.
- Klien mengatakan lengan dan tungkainya lemah saat di gerakkan.
- Kekuatan lengan dan tungkai klien ( 1 ).
- Rentang gerak pada lengan dan tungkai kir terbatas.
- Aktifitas klien di bantu oleh isterinya.
- Sensasi dan refleks menurun. 13-06-2002
3. Kerusakan komonikasi verbal b/d Kerusakan neuromuscular sekunder terhadap
kelemahan d/d :
- Klien mengatakan ia susah bicara.
- Bicara klien terdengar pelo.
- Posisi lidah agak ke kiri 13-06-2002 21-06-2002
4. Resiko cedera b/d Perubahan fungsi cerebral sekunder terhadap perubahan
mobilitas d/d :
- Klien mengatakan kaki kiri dan lengan kirinya lemah.
- Sebagian aktifitas klien di bantu oleh isteri.
- Klien tampak lemah.
- Motorik dan refleks klien menurun dari normal.
- Aktifitas klien terbatas. 13-06-2002 V. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Rencana Intervensi Rasionalisasi
1.
I
Mempertahankan tingkat kesadaran, fungsi motorik, kognitif, motorik, sensorik dan
kestabilan tanda vital.
1. Tentukan faktor penyebab penurunan perfusi jaringan.
2. Pantau dan catat status neurologysesering mungkin dan badingkan dengan yang
normal.
3. Pantau tanda tanda vital.
4. Letakkan kepala dalam posisi datar dan dalam posisi anatomis.
5. Pertahankan keadaan tirah baring.
6. cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernafasan yang memaksa.
7. Berikan oksigen sesuai dengan indikasi.
8. Berikan obat obatan sesuai dengan indikasi.
9. Hindari fleksi dan rotasi leher.
1. Mempengaruhi penetapan intervensi sesuai dengan keadaan.
2. mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK serta mengetahui
resolosi SSP.

3. Variasi mungkin terjadi oleh trauma cerebral akibat kerusakan vaso motor otak.
4. Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainage.
5. Aktifitas dan stimylasi kontinu dapat meningkatkan tekanan TIK.
6. Manuver valsava dapat meningkatkan TIK.
7. Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi cerebral dan tekanan
meningkat sehingga terbentuk odema.
2.
II
Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang di buktikan oleh tidak adanya
kontraktur, footdroop serta meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
terkena atau terkompensasi.
1. Kaji kemempuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dengan cara yang
teratur.
2. Ubah posisi minimal tiap 2 jam.
3. Lakukan latihan rentang gera pasif dan aktif.
4. Sokong ektrimitas pada posisi fungsionalnya.
5. tinggikan tangan dan kepala.
6. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk.
7. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema dan tanda ynag lainnya.
8. Inspeksi daerah kulit yang menonjol.
9. konsultasikan dengan ahli fisiotherapy.
1. Mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan yang membantu dalam
pemilihanintervensi.
2. Menurunkan resiko trauma / iskemia jaringan.
3. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur.
4. Mencegah kontraktur dan memfasilitasi fungsinya.
5. Meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah terjadinya edema.
6. Membantu melatih kembali jaras syaraf, meingkatkan respon prioseptik dan
motorik.
7. jaringan yang terkene edema lebih mudah terkena trauma.
8. Resiko terjadi iskemia yang menyebabkan decubitus.
9. Pengembangan program khusus untuk menemukan kebutuhan yang berarti.
3.
III
Komonikasi verbal dapat kembali normal.
1. Kaji tipe / derajat disfungsi atau kesulitan bicara.
2. Perhatikan kesalahan dalam komonikasi dan berikan umpan balik.
3. Mintalah klien untuk mengikuti perintah sederhana.
4. Tunjukkan objek dan minta klien untuk menyebutkan nama benda / barang.
1. Menentukan daerah dan derajat kerusakancerebral yang terjadi dan kesulitan klien

dalam berkomonikasi.
2. Klien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan
tidak menyadari komonikasi yang dikeluarkannya tidak nyata.
3. Membantu penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.
4. Menentukan penilaian terhadap kerusakan motorik.
4.
IV
Mencegah terjadinya cedera fisik.
1. Lakukan tidakan mengurangi bahaya lingkungan seperti :
- Orientasikan klien dengan lingkungan.
- Pertahankan tempat tidur pada posisi rendah dan pengaman terpasang.
- Berikan pencahayaan yang adekuat pada setiap area.
- Letakkan alat perabot pada jarak yang mudah di jangkau.
2. Mengkaji ektrimitas setiap hari terhadap cedera yang tidak terdeteksi.
3. Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit di lemaskan dengan lotion.
4. kurangi faktor resiko yang berkenaan dengan penggunaan alat bantu.
- Kaji ketepatan penggunaan alat.
- Kaji alat terhadap kebocoran dan kondisinya.
- Konsul dengan ahli therapy untuk latihan pustur.
1. Penekanan terhadap keamanan menurunkan resiko terjadinya cedera.
2. Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi klien terhadap suhu
dan cedera.
3. Penggunaan alat bantu yang tidak tepat dapat menyebabkan regangan atau jatuh.

VI. CATATAN PERKEMBANGAN

NO. HARI/ TANGGAL DIAGNOSA PERKEMBANGAN TANDA TANGAN


1.
Jumat,
29-03-2002
Pukul:
10.00 Wita.
I
S: - Pasien mengatakan sudah tidak pusing lagi.
O: - TD: 140/100 mmHg
- N: 80 x/menit.
- Resp: 16 x/menit.
- Hemiparese sinistra
A: Perubahan perfusi serebral dapat diminimalkan.
P: Lanjutkan intervensi 1,2,3,5,6.
I : Melanjutkan intervensi:
1. Memantau/ mencatat status neurologis.
2. Memantau TD.
3. Mengevaluasi keadaan pupil.
5. Mengatur posisi kepala pada posisi agak ditinggikan.
6. Mempertahankan posisi tirah baring, menciptakan lingkungan yang tenang.
E : - GCS: 4,5,6.
- TD: 140/100 mmHg.
- Resp: 16 x/menit.
- Nadi: 80 x/menit.
- Pasien dapat baring kiri dan kanan.
- Berkolaborasi pemberian obat:
- Nicholin 1 x 500 mg.
- Alinamin F
1x1 ampul/IV
2.
Jumat,
29-03-2002
Pukul:
10.30 Wita
II
S: Keluarga pasien mengatakan pasien sudah mulai banyak makan.

- Keluarga pasien mengatakan sudah dapat minum gelas.

O: - Makanan dapat dihabiskan dari porsi yang di-sediakan.


- Setelah menelan pasien tidak lagi memegangi lehernya.
A: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat diminmalkan.
P : Lanjutkan intervensi 1,2,3,4.
I : 1. Mengkaji kemampuan pasien dalam mengunyah dan menelan makanan dan
minuman.
2. Meninggikan kepala pada tempat tidur selama makan.
3. Memberikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
4. Meningkatkan upaya untuk dapat menelan dengan mudah disertai dengan makan
pisang atau minum air dan menstimulasi bibir untuk membuka/ menutup.
E : - Pasien dapat mengunyah makanan dengan perlahan.
- Pasien dapat menghabiskan bagian dari porsi yang disajikan.

3.
Jumat,
29-03-2002
Pukul 13.00 Wita.
III
S : - Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak dapat bangun ataupun duduk
tanpa bantuan.
- Keluarga mengata- kan bahwa semua aktifitas pasien seperti makan, minum, BAK
dan BAB dibantu.
O : - Pasien hanya dapat berbaring ke kiri dan ke kanan.
- aktifitas untuk duduk dibantu.
- Makan dan minum dibantu/disuapi.
A : Kerusakan mobilitas fisik belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi 1,2,3,4,5.
P : 1. Mengkaji derajat imobilisasi dengan skala ketergantungan.
2. Mengubah posisi minimal setiap 2 jam.
3. Melakukan latihan ROM aktif maupun pasif.
4. Menempatkan bantal di daerah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan.
5. Membantu mengembangkan keseimbangan duduk/bantu duduk di sisi tempat tidur.
E : - Skala ketergantungan: 4.
- Tidak ada tanda-tanda luka tirah baring.
- Ekstremitas kiri atas dan bawah masih terjadi kelemahan tonus otot.
4. Jumat,
29-03-2002
Pukul: 13.30 Wita IV S : - Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien masih
terpasang kateter.
- Pasien mengatakan masih belum dapat mengontrol refleks berkemih.

O : - Pasien masih terpasang kateter.


A : Inkontinensia refleks belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi 1,2,3.
I : 1. Mengkaji pola ber-kemih.
2. Mempalpasi adanya distensi kandung kemih.
3. Mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi seperti awan, darah atau bau tidak enak
pada urine.
E : - Pasien masih terpasang kateter.
- Jumlah urine 750 cc.
- Distensi kandung kencing tidak ada.
- Tanda infeksi tidak ada.
5. Sabtu,
30-03-2002
Pukul: 15.30 Wita. II S : - Pasien mengatakan sudah mulai dapat makan banyak.
- Pasien mengata- kan minum gelas belimbing.
O : - Makanan dapat di habiskan porsi dari yang disedia-kan.
A : Perubahan nutrisi dapat diatasi.
P : Hentikan intervensi.
I:6. Sabtu,
30-03-2002
Pukul; 16.00 Wita. III S : - Keluarga pasien mengatakan bahwa semua aktifitas pasien
seperti makan, minum, BAK dan BAB masih dibantu.
O : - Pasien hanya dapat berbaring ke kiri dan ke kanan.
- Pada ekstremitas sinistra bagian atas dan bawah masih hemiparese.
A : Kerusakan mobilitas fisik belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi 1,2,3,4,5.
P : 1. Mengkaji derajat imobilisasi dengan skala ketergantungan.
2. Mengubah posisi minimal setiap 2 jam.
3. Melakukan latihan ROM aktif maupun pasif.
4. Menempatkan bantal di daerah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan.
5. Membantu mengembangkan keseimbangan duduk/bantu duduk di sisi tempat tidur.
E : - Skala ketergantungan: 4.
- Tidak ada tanda-tanda luka tirah baring.
- Ekstremitas kiri atas dan bawah masih terjadi kelemahan.
7.
Sabtu,
30-03-2002
Pukul 17.00 Wita.
IV
S : - Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien masih terpasang kateter.

- Pasien mengata- kan masih belum mampu mengontrol refleks berkemih.


O : - Pasien masih menggunakan kateter.
A : Inkontinensia refleks belum dapat diatasi.
P : Lanjutkan intervensi 1,2,3.
P : 1. Mengkaji pola berkemih.
2. Melakukan palpasi adanya distensi pada kandung kemih.
3. Mengobservasi adanya tanda infeksi.
E : - Pasien masih menggunakan kateter.
- Tidak ada distensi kandung kemih.
- Tanda infeksi tidak diemukan.
Diposkan oleh nara sama di 19.17 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: askep, kmb, lp

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MIASTENIA


GRAVIS
Definisi miastenia gravis
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi tranmisi neuromuscular
pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik
yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan
pada otot-otot volunteer dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial, serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita 15 sampai 35
tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada
ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson,
partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi
yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan
masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan

Insiden
Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria (usia 40 tahun).
Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas pada pria dengan 50-60 tahun.
Klasifikasi
Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe :
1. Oeular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
kematian
2. A. Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet
dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
B. Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
A. Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progesi penyakit
biasanya komlit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurangmemuaskan, aktivitas
penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
B. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi.
Respon terhadap obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan :
- pekerjaan fisik yang berlebihan

- emosi
- infeksi
- melahirkan anak
- progresif dari penyakit
- obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya streptomisin,
neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan muscle relaxan.
- Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena hilangnya kalium
Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi
impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor
normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian
memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai
penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang
merusak tranmisi neuromuscular.
Komplikasi
Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi
Pneumonia
Bullous death
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan fungsi melalui pemberian obat
antikolinestrase dan mengurangi serta membuang antibodi yang bersikulasi
Obat anti kolinestrase
1. piridostigmin bromide (mestinon), ambenonium klorida (Mytelase), neostigmin
bromide (Prostigmin).
2. diberikan untuk meningkatkan respon otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan
kekuatan otot, hasil diperkirakan dalam 1 jam setelah pemberian.

Terapi imunosupresif
1. ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau pembuangan
antibody secara langsung dengan pertukaran plasma.
2. kortikostreoid menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody yang
menghambat
3. pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara dalam titer
antibodi
4. Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi) menyebabkan remisi
subtansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hiperlasia kalenjer timus. kalenjer
timus. kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer timus.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama : Kelemahan otot
Riwayat kesehatan : Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis.
Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah
istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya
jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot.
B1 (Breathing)
Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3 (Brain)
Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata
atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik
B4 (Bladder)

Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic
usus turun.
B6 (Bone)
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
Prioritas masalah keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan potensial pasien dapat meliputi
hal berikut :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Deficit peraatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
intubasi, atau paralisis otot.
Intervensi dokumentasi
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan :
Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
a. Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternative jika klien
menggunakan ventilator
b. Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktifitas
c. Ukur parameter pernafasan dengan teratur
d. Kolaborasi dengn dokter untuk pemberian obat antikolinergik
e. Sucktion sesuai kebutuhan (obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi
bronkial)

2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
Tujuan ;
Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias
a. Buat jadwal perawatan diri dengan interval
b. Berikan waktu istirahat diantara aktivitas
c. Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat
berlebihan atau sertakan keluarga
d. Peragakan tehnik-tehnik penghematan energi
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
intubasi, atau paralisis otot.
Tujuan :
Masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik
a. Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral
b. Hentikan pemberian makan peroraljika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral
atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan
c. Pasang selang makan kecil dan berikan makan perselang jika terdapat disfagia.
d. Catat intake dan output
e. Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori
f. Timbang pasien setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian, ed. 3,
EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.
EGC.jakarta.

Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.


Diposkan oleh nara sama di 19.14 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: askep, kmb, lp

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN LUKA BAKAR


(COMBUSTIO)
A. DEFINISI
Luka bakar merupakan ruda paksa yang disebakan oleh tehnis. Kerusakan yang
terjadi pada penderita tidak hanya mengenai kulit saja, tetapi juga organ lain.
Penyebab ruda paksa tehnis ini berupa api, air, panas, listrik, bahkan kimia radiasi,
dll.
Luka bakar adalah suatu keadaan dimana integritas kulit atau mukosa terputus akibat
trauma api, air panas, uap metal, panas, zat kimia dan listrik atau radiasi.
Luka bakar adalah luka yang disebabkan kontak dengan suhu tinggi seperti api, air
panas, bahkan kimia dan radiasi, juga sebab kontak dengan suhu rendah (frosh bite).
(Mansjoer 2000 : 365)
Jenis jenis luka bakar
1. Luka bakar listrik
Disebabkan oleh kontak dengan sumber tenaga bervoltage tinggi akibat arus listrik
dapat terjadi karena arus listrik mengaliri tubuh karena adanya loncatan arus listrik
atau karena ledakan tegangan tinggi antara lain akibat petir. Arus listrik menimbulkan
gangguan karena rangsangsan terhadap saraf dan otot. Energi panas yang timbul
akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jaringan
tersebut. Energi panas dari loncatan arus listrik tegangan tinggi yang mengenai tubuh
akan menimbulkan luka bakar yang dalam karena suhu bunga api listrik dapat
mencapai 2500oC, arus bolak balik menimbulkan rangsangan otot yang hebat
berupa kejang kejang.
Urutan tahanan jaringan dimulai dari yang paling rendah yaitu saraf, pembuluh darah,
otot, kulit, tendo dan tulang. Pada jaringan yang tahanannya tinggi akan lebih banyak
arus yang melewatinya, maka panas yang timbul akan lebih tinggi. Karena
epidermisnya lebih tebal, telapak tangan dan kaki mempunyai tahanan listrik lebih
tinggi sehingga luka bakar yang terjadi juga lebih berat bila daerah ini terkena arus
listrik.
2. Luka bakar kimia
Luka bakar kimia dapat disebabkan oleh zat asam, zat basa dan zat produksi
petroleum. Luka bakar alkali lebih berbahaya daripada oleh asam, karena
penetrasinya lebih dalam sehingga kerusakan yang ditimbulkan lebih berat. Sedang
asam umumnya berefek pada permukaan saja.
Zat kimia dapat bersifat oksidator sepert kaporit, kalium permanganate dan asam

kromat. Bahan korosif seperti fenol dan fosfor putih juga larutan basa seperti kalium
hidroksida dan natrium hidroksida menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi
akibat penggaraman dapat disebabkan oleh asam formiat, asetat, tanat, flourat, dan
klorida. Asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Beberapa bahan
dapat menyebabkan keracunan sistemik. Asam florida dan oksalat dapat
menyebabkan hipokalsemia. Asam tanat, kromat, pikrat dan fosfor dapat merusak hati
dan ginjal kalau diabsorpsi tubuh. Lisol dapat menyebabkan methemoglobinemia.
B. ETIOLOGI
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ketubuh. Panas
tersebut mungkin dipindankan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab luka bakar. Beratnya luka bakar juga
dipengaruhi oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas (misal suhu benda
yang membakar, jenis pakaian yang terbakar, sumber panas : api, air panas dan
minyak panas), listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi kebakaran dan
ruangan yang tertutup.
Faktor yang menjadi penyebab beratnya luka bakar antara lain :
1. Keluasan luka bakar
2. Kedalaman luka bakar
3. Umur pasien
4. Agen penyebab
5. Fraktur atau luka luka lain yang menyertai
6. Penyakit yang dialami terdahulu seperti diabetes, jantung, ginjal, dll
7. Obesitas
8. Adanya trauma inhalasi
C. PATOFISIOLOGI
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler
yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas tinggi. Sel darah yang ada
didalamnya ikut rusak sehingga dapat menjadi anemia. Mengingat permeabilitas
menyebabkan udem dan menimbulkan bula dengan serta elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka
bakar menyebakan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan,
cairan masuk kebula yang terbentuk pada luka bakar derajat III dan pengeluaran
cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Akibat luka bakar, fungsi kulit yang hilang berakibat terjadi perubahan fisiologi.
Diantaranya adalah
1. Hilang daya lindung terhadap infeksi
2. Cairan tubuh terbuang
3. Hilang kemampuan mengendalikan suhu
4. Kelenjat keringat dan uap
5. Banyak kehilangan reseptor sensori

Luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga air,


natrium, klorida dan protein akan keluar dari sel dan menyebabkan terjadinya edema
yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan hemo konsentrasi. Donna (1991)
menyatakan bahwa kehilangan cairan tubuh pada pasien luka bakar dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain :
1. Peningkatan mineralo kortikoid
a. Retensi air, natrium dan klorida
b. Ekskresi kalium
2. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah ; keluarnya elektrolit dan protein dari
pembuluh darah.
3. Perbedaan tekan osmotik intra dan ekstrasel.
Kehilangan volume cairan akan mempengaruhi nilai normal cairan dan elektolit
tubuh yang selanjutnya akan terlihat dari hasil laboratorium.
Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya kerusakan kulit tetapi juga
mempengaruhi sistem tubuh pasien. Seluruh sistem tubuh menunjukkan perubahan
reaksi fisiologis sebagai respon kompensasi terhadap luka bakar, yang luas (mayor)
tubuh tidak mampu lagi untuk mengkompensasi sehingga timbul berbagai macam
komplikasi.
Burn shock (syok hipovolemik)
Burn shock atau shock luka bakar merupakan komplikasi yang sering dialami pasien
dengan luka bakar luas karena hipovolemik yang tidak segera diatasi. Manifestasi
sistemik tubuh terhadap kondisi ini (Burgess 1991) adalah berupa :
1. Respon kardiovaskuler
Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler melalui kebocoran kapiler
yang mengakibatkan kehilangan Na, air dan protein plasma serta edema jaringan
yang diikuti dengan penurunan curah jantung, hemokonsentrasi sel darah merah,
penurunan perfusi pada organ mayor dan edema menyeluruh.
2. Respon renalis
Dengan menurunnya volume intravaskuler, maka aliran plasma ke ginjal dan GFR
(laju filtrasi glomelular) mengakibatkan haluaran urine akan menurun. Jika resusitasi
cairan untuk kebutuhan intravaskuler tidak adekuat atau terlambat diberikan, maka
akan memungkinkan terjadinnya gagal ginjal akut. Dengan resusitasi cairan yang
adekuat, maka cairan interstitial dapat ditarik kembali ke intravaskuler dan akan
terjadi fase diuresis.
3. Respon gastro intestinal
Respon umum yang biasa terjadi pada pasien luka bakar >20% adalah penurunan
aktifitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolenik
dan neurologik serta respon endokrin terhadap adanya perlukaan luas. Pemasangan
NGT akan mencegah distensi abdomen, muntah dan potensi aspirasi. Dengan
resusitasi yang adekuat, aktifitas gastrointestinal akan kembali normal pada 24 48
jam setelah luka bakar.
4. Respon imunologi

a. Respon barier mekanik


Kulit berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme yang
mungkin masuk. Terjadi gangguan integritas kulit akan memungkinkan
mikroorganisme masuk kedalam tubuh.
b. Respon imun seluler
D. MANIFESTASI KLINIK
Derajat luka bakar
1. Derajat I
Tampak merah dan agak menonjol dari kulit normal disekitarnya, kulit kering, sangat
nyeri dan sering disertai sensasi menyengat. Jaringan yang rusak hanya epidermis,
lama sembuh 5 hari dan hasil kulit kembali normal.
2. Derajat II
a) Derajat IIa
Jaringan yang rusak sebagian epidermis, dimana folikel rambut dan kelenjar keringat
utuh disertai rasa nyeri dan warna lesi merah atau kuning, lepuh, luka basah, lama
sembuh 7 14 hari dan hasil kulit kembali normal atau pucat.
b) Derajat IIb
Jaringan yang rusak sampai epidermis, dimana hanya kelenjar keringat saja yang
utuh. Tanda klinis sama dengan derajat Iia, lama sembuh 14-21 hari. Hasil kulit
pucat, mengkilap, kadang ada cikatrix atau hipertrofi.
3. Derajat III
Jaringan yang rusak seluruh epidermis dan dermis. Kulit tampak pucat, abu abu
gelap atau hitam, tampak retak retak atau kulit tampak terkelupas, avaskuler, sering
dengan bayangan trombosis vena, tidak disertai rasa nyeri. Lama sembuh >21hari dan
hasil kulitnya menjadi cikatrik dan hipertropi.
E. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan keperawatan
a. Penanganan awal ditempat kejadian
Tindakan yang dilakukan terhadap luka bakar :
1) Jauhkan korban dari sumber panas, jika penyebabnya api, jangan biarkan korban
berlari, anjurkan korban untuk berguling guling atau bungkus tubuh korban dengan
kain basah dan pindahkan segera korban ke ruangan yang cukup berventilasi jika
kejadian luka bakar berada diruangan tertutup.
2) Buka pakaian dan perhiasan yang dikenakan korban
3) Kaji kelancaran jalan nafas korban, beri bantuan pernafasan korbam dan oksigen
bila diperlukan
4) Beri pendinginan dengan merendam korban dalam air bersih yang bersuhu 200C
selama 15 20 menit segera setelah terjadinya luka bakar
5) Jika penyebab luka bakar adalah zat kimia, siram korban dengan air sebanyak
banyaknya untuk menghilangkan zat kimia dari tubuhnya
6) Kaji kesadaran, keadaan umum, luas dan kedalaman luka bakar serta cedera lain
yang menyertai luka bakar

7) Segera bawa korban ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut

b. Penanganan luka bakar di unit gawat darurat


Tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien pada 24 jam pettama yaitu :
1) Penilaian keadaan umum pasien. Perhatikan A : Airway (jalan nafas), B : Breathing
(pernafasan), C : Circulation (sirkulasi)
2) Penilaian luas dan kedalaman luka bakar
3) Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara dan edema saluran pernafasan
4) Kaji adanya faktor faktor lain yang memperberat luka bakar seperti adanya
fraktur, riwayat penyakit sebelumnya (seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dll)
5) Pasang infus (IV line), jika luka bakar >20% derajat II / III biasanya dipasang CVP
(kolaborasi dengan dokter)
6) Pasang kateter urin
7) Pasang NGT jika diperlukan
8) Beri terapi oksigen sesuai kebutuhan
9) Berikan suntikan ATS / toxoid
10) Perawatan luka :
Cuci luka dengan cairan savlon 1% (savlon : NaCl = 1 : 100)
Biarkan lepuh utuh (jangan dipecah kecuali terdapat pada sendi yang mengganggu
pergerakan
Selimuti pasien dengan selimut steril
11) Pemberian obat obatan (kolaborasi dokter)
Antasida H2 antagonis
Roborantia (vitamin C dan A)
Analgetik
antibiotik
12) Mobilisasi secara dini
13) Pengaturan posisi
Keterangan :
Pada 8 jam I diberikan dari kebutuhan cairan
Pada 8 jam II diberikan dari kebutuhan cairan
Pada 8 jam III diberikan sisanya
c. Penanganan luka bakar di unit perawatan intensif
Hal yang perlu diperhatikan selama pasien dirawat di unit ini meliputi :
1) Pantau keadaan pasien dan setting ventilator. Kaji apakah pasien mengadakan
perlawanan terhadap ventilator
2) Observasi tanda tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, setiap jam dan suhu
setiap 4 jam
3) Pantau nilai CVP
4) Amati neurologis pasien (GCS)
5) Pantau status hemodinamik

6) Pantau haluaran urin (minimal 1ml/kg BB/jam)


7) Auskultasi suara paru setiap pertukaran jaga
8) Cek asalisa gas darah setipa hari atau bila diperlukan
9) Pantau status oksigen
10) Penghisapan lendir (suction) minimal setiap 2jam dan jika perlu
11) Perawatan tiap 2jam (beri boraq gliserin)
12) Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes mata setiap 2jam
13) Ganti posisi pasien setiap 3jam (perhatikan posisi yang benar bagi pasien)
14) Fisoterapi dada
15) Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter dan tube setiap
hari
16) Ganti kateter dan NGT setiap minggu
17) Observasi letak tube (ETT) setiap shift
18) Observasi setiap aspirasi cairan lambung
19) Periksa laboratorium darah : elektrolit, ureum/kreatinin, AGD, proteim (albumin),
dan gula darah (kolaborasi dokter)
20) Perawatan luka bakar sesuai protokol rumah sakit
21) Pemberian medikasi sesuai dengan petunjuk dokter

d. Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar


Terdapat dua jenis perawatan luka selama dirawat di bangsal yaitu :
1) Perawatan terbuka
Yakni luka yang telah diberi obat topical dibiarkan terbuka tanpa balutan dan diberi
pelindung cradle bed. Biasanya juga dilakukan untuk daerah yang sulit dibalut seperti
wajah, perineum, dan lipat paha
Keuntungan :
Waktu yang dibutuhkan lebih singkat
Lebih praktis dan efisien
Bila terjadi infeksi mudah terdeteksi
Kerugian :
Pasien merasa kurang nyaman
Dari segi etika kurang
2) Perawatan tertutup
Yakni penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah dibeikan obat topical.
Keuntungan :
Luka tidak langsung berhubungan dengan udara ruangan (mengurangi kontaminasi)
Pasien merasa lebih nyaman
Kerugian :
Balutan sering membatasi gerakan pasien
Biaya perawatan bertambah

Butuh waktu perawatan lebih lama


Pasien merasa nyeri saat balutan dibuka
Urutan prosedur tindakan perawatan luka pada pasien luka bakar antara lain :
1) Cuci / bersihkan luka dengan cairan savlon 1% dan cukur rambut yang tumbuh
pada daerah luka bakar sperti pada wajah, aksila, pubis, dll
2) Lakukan nekrotomi jaringan nekrosis
3) Lakukan escharotomy jika luka bakar melingkar (circumferential) dan eschar
menekan pembuluh darah. Eskartomi dilakukan oleh dokter
4) Bullae (lepuh) dibiarkan utuh sampai hari ke 5 post luka bakar, kecuali jika di
daerah sendi / pergerakan boleh dipecahkan dengan menggunakan spuit steril dan
kemudian lakukan nekrotomi
5) Mandikan pasien tiap hari jika mungkin
6) Jika banyak pus, bersihkan dengan betadin sol 2%
7) Perhatikan ekspresi wajah dan keadaan umum pasien selama merawat luka
8) Bilas savlon 1% dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%
9) Keringkan menggunakan kasa steril
10) Beri salep silver sulfadiazine (SSD) setebal 0,5cm pada seluruh daerah luka bakar
(kecuali wajah hanya jika luka bakar dalam [derajat III] dan jika luka bakar pada
wajah derajat I/II, beri salep antibiotika)
11) Tutup dengan kasa steril (perawatan tertutup atau biarkan terbuka (gunakan cradle
bed)
e. Terapi psikiater
Mengingat pasien dengan luka bakar mengalami masalah psikis maka perawat perlu
bekerja sama dengan psikiatri untuk membantu pasien mengatasi masalah psikisnya,
namun bukan berarti menggantikan peran perawat dalam memberikan support dan
empati, sehingga diharapkan pasien dapat dapat menerima keadaan dirinya dan dapat
kembali kemasyarakat tanpa perasaan terisolasi.
Hal lain yang perlu diingat bahwa sering kali pasien mengalami luka bakar karena
upaya bunuh diri atau mencelakakan dirinya sendiri dengan latar belakang gangguan
mental atau depresi yang dialaminya sehingga perlu terapi lebih lanjut oleh psikiatris.
f. Terapi fisioterapis
Pasien luka bakar mengalami trauma bukan hanya secara fisik namun secara psikis
juga. Pasien juga mengalami nyeri yang hebat sehingga pasien tidak berani untuk
menggerakkan anggota tubuhnya terutama ynag mengalami luka bakar. Hal ini akan
mengakibatkan berbagai komplikasi terhadap pasien diantaranya yaitu terjadi
kontraktur dan defisit fungsi tubuh.
Untuk mencegah terjadinya kontraktur, deformitas dan kemunduran fungsi tubuh,
perawat memerlukan kerjasama dengan anggota tim kesehatan lain yaitu fisioterapis.
Pasien luka bakar akan mendapatkan latihan yang sesuai dengan kebutuhan fisiknya.
Dengan pemberian latihan sedini mungkin dan pengaturan posisi yang sesuai dengan
keadaan luka bakar, diharapkan terjadinya kecacatan dapat dicegah atau
dinminimalkan. Rehabilitasi dini dapat dilakukan sejak pasien mengalami luka bakar.

Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberi posisi.
g. Terapi nutrisi
Ahli gizi diharapkan dapat membantu pasien dalam pemenuhan nutrisi yang tidak
hanya memenuhi kecukupan jumlah kalori, protein, lemak, dll tapi terutama juga
dalam hal pemenuhan makanan dan cara penyajian yang menarik karena hal ini akan
sangat mempengaruhi nafsu makan pasien. Dengan pemberian nutrisi yang kuat serta
menu yang variatif, diharapkan pasien dapat mengalami proses penyembuhan luka
secara optimal.
Ahli gizi bertugas memberikan penyuluhan tentang gizi pada pasien dan dengan
dukungan perawat dan keluarga dalam memberikan motivasi untuk meningkatkan
intake nutrisinya maka diharapkan kebutuhan nutrisi yang adekuat bagi pasien
terpenuhi.
Penentuan kebutuhan energi pasien luka bakar menurut CURRERI :
Dewasa (18tahun) :
(25kcal x BB ideal) + (40kcal x % luka bakar)
Anak anak :
(kalori basal menurut umur x BB ideal) + (40kcal x % luka bakar)
Berat badan yang digunakan adalah berat badan ideal yaitu :
Dewasa :
BB ideal (kg) = TB (cm) 100 10% dari (TB 100)
Anak anak :
BB ideal (kg) = (umur dalam bulan : 2) + 4 atau
(umur dalam tahun x 2) = 8
Energi basal untuk bayi dan anak menurut umur
Umur
(tahun) Energi basal
Laki laki (kcal) Perempuan (kcal)
01
13
46
69
10 14
14 18 55 60
50
45
40 45
25 25
20 25 55 60
50
45
30 40

20 55
20
Kecukupan protein untuk bayi dan anak menurut umur
Golongan umur (Tahun) Kecukupan protein (gr/kg BB)
01
13
46
6 10
10 18 2,5
2
1,8
1,5
1 1,5
Perhitungan kebutuhan protein untuk pasien luka bakar dengan rumus DAVIEZ dan
LILIJEDAHL
Dewasa (18 tahun)
(1gr x kg BB ideal) + (3gr x % total luas luka bakar)
Anak anak
(Kebutuhan protein menurut umur x kg BB ideal) + (3gr x % total luka
bakar)
Kebutuhan lemak bagi pasien luka bakar menurut GOODENOUGH dan WOLFE
adalah sebesar 30% dari total energi.
Kebutuhan karbohidrat untuk pasien luka bakar menurut CURRERI adalah 60 70%
dari total energi dengan keadaan atau lokasi luka bakar yang dialami.
2. Penanganan medis
Tindakan yang dilakukan dalam pelaksanaan pasien luka bakar antara lain terapi
cairan dan terapi obat obatan topical.
a. Pemberian cairan intravena
Tiga macam cairan diperlukan dalam kalkulasi kebutuhan pasien :
1) Koloid termasuk plasma dan plasma expander seperti dextran
2) Elektolit seperti NaCl, larutan ringer, larutan Hartman atau larutan tirode
3) Larutan non elektrolit seperti glukosa 5%
Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus ditentukan secara teliti.
Kemudian jumlah cairan infus yang akan diberikan dihitung. Ada beberapa cara
untuk menghitung kebutuhan cairan ini.
Pemberian cairan ada beberapa formula :
1) Formula Baxter hanya memakai cairan RL dengan jumlah : % luas luka bakar x
BB (kg) x 4cc diberikan 8 jam I dan nya 16 jam berikut untuk hari ke 2
tergantung keadaan.
2) Formula Evans

Cairan yang diberikan adalah saline


Elektrolit dosis : 1cc x BB kg x % luka bakar
Koloid dosis : 1cc x Bb kg x % luka bakar
Glukosa : - Dewasa : 2000cc
- Anak : 1000cc
3) Formula Brook
Cairan yang diberikan adalah Ringer Laktat
Elektrolit : 1,5cc x BB kg x % luka bakar
Koloid : 0,5cc x Bb kg x % luka bakar
Dektros : - Dewasa : 2000cc
- Anak : 1000cc
4) Formula farkland
Cairan yang diberikan adalah Ringer Laktat
Elektrolit : 4cc x BB kg x % luka bakar
b. Terapi obat obatan topical
Ada berbagai jenis obat topical yang dapat digunakan pada pasien luka bakar antara
lain :
1) Mafenamid Acetate (sulfamylon)
Indikasi : Luka dengan kuman pathogen gram positif dan negatif, terapi pilihan untuk
luka bakar listrik dan pada telinga.
Keterangan : Berikan 1 2 kali per hari dengan sarung tangan steril, menimbulkan
nyeri partial thickness burn selama 30 menit, jangan dibalut karena dapat
merngurangi efektifitas dan menyebabkan macerasi.
2) Silver Nitrat
Indikasi : Efektif sebagai spectrum luas pada luka pathogen dan infeksi candida,
digunakan pada pasien yang alergi sulfa atau tosix epidermal nekrolisis.
Keterangan : Berikan 0,5% balutan basah 2 3 kali per hari, yakinkan balutan tetap
lembab dengan membasahi setiap 2 jam.
3) Silver Sulfadiazine
Indikasi : Spektrum luas untukmicrobial pathogen ; gunakan dengan hati hati pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
Keterangan : Berikan 1 2 kali per hari dengan sarung steril, biarkan luka terbuka
atau tertutup dengan kasa steril.
4) Povidone Iodine (Betadine)
Indikasi : Efektif terhadap kuman gram positif dan negatif, candida albican dan
jamur.
Keterangan : Tersedia dalam bentuk solution, sabun dan salep, mudah digunakan
dengan sarung tangan steril, mempunyai kecenderungan untuk menjadi kerak dan
menimbulkan nyeri, iritasi, mengganggu pergerakan dan dapat menyebabkan asidosis
metabolik.
Dengan pemberian obat obatan topical secara tepat dan efektif, diharapkan dapat
mengurangi terjadinya infeksi luka dan mencegah sepsis yang seringkali masih
menjadi penyebab kematian pasien.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratoriyum darah yang meliputi :
1. Hb, Ht, trombosit
2. Protein total (albumin dan globulin)
3. Ureum dan kreatinin
4. Elektrolit
5. Gula darah
6. Analisa gas darah (jika perlu lakukan tiap 12 jam atau minimal tiap hari)
7. Karboksihaemoglobin
8. Tes fungsi hati / LFT
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan melalui rute abnormal
2. Resiko tinggi terhadap perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan atau
interupsi aliran darah arterial atau vena
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak
adekuat, kerusakan perlindungan kulit
4. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit atau jaringan, pembentukan edema
B. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan melalui rute abnormal
Tujuan dan kriteria hasil :
Menunjukkan perbaikan dibuktikan oleh haluaran urin individu adekuat, tanda vital
stabil dan membran mukosa lembab.
Intervensi :
a. Awasi tanda tanda vital
Memberi pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler.
Catatan pemngamtan infasif diindikasikan untuk pasien dengan luka bakar mayor
inhalasi asap atau penyakit jantung sebelumnya meskipun terdapat hubungan
peningkatan resiko infeksi, perlu berhati hati dalam mengawasi dan merawat sisi
inversi.
b. Awasi haluaran urin dan berat jenis. Observasi warna urin dan hemates sesuai
indikasi
Secara umum, penggantian cairan harus dititrasi untuk menyakinkan rata rata
haluaran urin 30 50 ml/jam (pada orang dewasa). Urin dapat tampak merah sampai
hitam, pada kerusakan otot massif sehubungan dengan adanya darah dan keluarnya
mioglobin. Bila terjadi mioglobinuria menyolok, minimum haluran urin harus 75
100 ml/jam untuk mencegah kerusakan atau nekrosis tubulus.
c. Perkirakan drainase luka dan kehilangan yang tak tampak

Peningkatan permeabilitas kapiler, perpindahan protein, proses inflamsi dan


kehilangan melalui evaporasi besar mempengaruhi volume sirkulasi dan haluaran
urin, khususnya selama 24 72 jam pertama setelah terbakar.
d. Observasi distansi abdomen, hematemesis, feses hitam. Hemates drainase NG dan
feses secara periodik
Stres (curling) ulkus terjadi pada setengah dari semua pasien yang luka bakar berat
(dapat terjadi pada awal minggu pertama).
2. Resiko tinggi terhadap perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan atau
interupsi aliran darah arterial atau vena
Tujuan dan kriteria hasil :
Mempertahankan nadi perifer teraba dengan kualitas atau kekuatan sama ; pengisian
kapiler dan warna kulit normal pada area yang cedera.
Intervensi :
a. Kaji warna, sensasi, gerakan, nadi perifer (melalui dopler) dan pengisian kapiler
pada ekstremitas luka bakar melingkar. Bandingkan dengan hasil pada tungkai yang
tidak sakit.
Pembentukan edema dapat secara cepat menekan pembuluh darah, sehingga
mempengaruhi sirkulasi dan peningkatan statis vena / edema. Perbedaan dengan
tungkai yang tak sakit membantu membedakan masalah sistemik dengan lokal
(contoh hipovolemia / penurunan curah jantung)
b. Tinggikan ekstremitas yang sakit dengan tepat. Lepaskan perhiasan / jam tangan.
Hindari memplester sekitar ektremitas / jari yang terbakar.
Meningkatkan sirkulasi sistemik / aliran balik vena dan dapat menurunkan edema
atau pengaruh gangguan lain yang mempengaruhi konstruksi jaringan edema.
Peninggian yang lama dapat mengganggu perfusi atrial bila TD turun atau tekanan
jaringan meningkat secara berlebihan.
c. Dorong latihan rentang gerak aktif pada bagian tubuh yang tak sakit.
Meningkatkan sirkulasi lokal dan sistemik.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak
adekuat, kerusakan perlindungan kulit
Tujuan dan kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu, bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi :
a. Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang
datang kontak dengan pasien.
Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
b. Gunakan skort, sarung tangan, masker dan tehnik aseptik ketat selama perawatan
luka langsung dan berikan pakaian steril / baju juga linen / pakaian.
Mencegah terpajan pada organisme infeksius.
c. Ganti balutan dan bersihkan area terbakar dalam bak hidroterapi atau pancuran
dengan kepala, pancuran dapat dipegang. Pertahankan suhu air pada 37,80C. Cuci

area dengan agen pembersih ringan atau sabun bedah.


Air melembutkan dan membantu membuang balutan dan jaringan parut (lapisan kulit
mati atau jaringan). Sumbernya bervariasi dari kamar mandi atau pancuran. Air mandi
mempunyai keuntungan memberi dukungan untuk latihan ekstremitas tetapi dapat
meningkatkan kontaminasi silang pada luka. Pancuran meningkatkan inspeksi luka
dan mencegah kontaminasi dari debris yang mengapung.
d. Bersihkan jaringan nekrotik / yang lepas (termasuk pecahnya lepuh) dengan
gunting dan forsep. Jangan gaggu lepuh yang utuh bila lebih kecil dari 2 3 cm,
jangan pengaruhi fungsi sendi dan jangan pajankan luka yang terinfeksi.
Meningkatkan penyembuhan. Mencegah autokontaminasi. Lepuh yang kecil
membantu melindungi kulit dan meningkatkan kecepatan repitelisasi kecuali luka
bakar akibat dari kimia (dimana kasus cairan lepuh mengandung zat yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan).
4. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit atau jaringan, pembentukan edema
Tujuan dan kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri berkurang / terkontrol.
b. Menunjukkan ekspresi wajah / postur tubuh rileks.
c. Berpartisipasi dalam aktifitas dan tidur / istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi / karakter dan intesitas (skala 0 10).
Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan /
kerusakan tetapi biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
Perubahan lokasi / karakter / intensitas dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi
(contoh iskemia tungkai) atau perbaikan / kembalinya fungsi saraf / sensasi.
b. Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri
Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme
koping.
c. Dorong penggunaan tehnik manajemen stres, contoh relaksasi progresif, nafas
dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan ras control yang dapat
menurrunkan ketergantungan farmakologis.
d. Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan.
Kekurangan tidur dapat meningkatkan persepsi nyeri / kemampuan koping menuru
Diposkan oleh nara sama di 19.09 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: askep, kmb, lp

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STRUMA


Pengertian struma nodosa non toksik

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
(Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).
1.
Anatomi kelenjar tyroid
Kelenjar tyroid mempunyai dua lobus, struktur yang kaya vaskularisasi, lobus terletak
di sebelah lateral trakea tepat dibawah laring dan dihubungkan dengan jembatan
jaringan tiroid, yang disebut isthmus, yang terlentang pada permukaan anterior trakea.
Secara mikroskopik, tiroid terutama terdiri atas folikel steroid, yang masing masing
menyimpan materi koloid dibagian pusatnya. Folikel memproduksi, menyimpan dan
mensekresi kedua hormon utama T3 (triodotironin) dan T4 (tiroksin). Jika kelenjar
secara aktif mengandung folikel yang besar, yang masing masing mempunyai
jumlah koloid yang disimpan dalam jumlah besar sel selnya, sel sel parafolikular
mensekresi hormon kalsitonin. Hormon ini dan dua hormon lainnya mempengaruhi
metabolisme kalsium. Hormon hormon ini akan dibicarakan kemudian.
1.
Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor
penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1.
1.
Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air
minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
1.
1.
Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak,
kacang kedelai).

Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide,


sulfonylurea dan litium).
1.
Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam
sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar,
iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating
Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin
(T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan
balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada
tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak
aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui
rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar
hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
1.
Gejala-gejala
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya
kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar,
akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan
juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
1.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul dan tidak toksik,
melalui :
1.
1.
Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3

(triyodotironin) dalam batas normal.


Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.
Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang hanya dapat dilakukan oleh
seorang tenaga ahli yang berpengalaman.
Pencegahan
Penatalaksanaan
Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah
endemik sedang dan berat.
Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi
suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas
enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc 0,8 cc.
1.
1.
Tindakan operasi
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila
pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ
sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
Konsep Asuhan Keperawatan
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan pedoman asuhan
keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien secara ilmiah dan sistematis
yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan dan
evaluasi keperawatan.
1.

Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara
keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan
masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan
pemeriksaan fisik meliputi :
1.
1.
Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi
otot.
Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil,
depresi.
Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat,
makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid,
goiter.
Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.
Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada
krisis tirotoksikosis).
Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap
iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C,
diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus,
eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering
terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
Langkah selanjutnya adalah penentuan diagnosa keperawatan yang merupakan suatu
pernyataan dan masalah pasien secara nyata maupun potensial berdasarkan data yang
terkumpul. Diagnosa keperawatan pada pasien dengan struma nodosa nontoksis
khususnya post operai dapat dirumuskan sebagai berikut ;
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan


laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan,
rangsangan pada sistem saraf pusat.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap
jaringan/otot dan edema pasca operasi.
1.
Perencanaan keperawatan/intervensi
Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan yang akan
dilaksanakan untuk menanggulangi masalah pasien sesuai diagnosa keperawatan
yang telah ditentukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan pasien. Berdasarkan
diagnosa keperawatan yang diuraikan di atas, maka disusunlah rencana
keperawatan/intervensi sebagai berikut :
1.
1.
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.
Tujuan yang ingin dicpai sesuai kriteria hasil :
Mempertahankan jalan nafas paten dengan mencegah aspirasi.
Rencana tindakan/intervensi
Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.
Rasional :
Pernafasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi berkembangnya distres pada
pernafasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau perdarahan.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi.
Rasional :
Ronchi merupakan indikasi adanya obstruksi.spasme laringeal yang membutuhkan

evaluasi dan intervensi yang cepat.


Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.
Rasional :
Indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan evaluasi dan intervensi
segera.
Waspadakan pasien untuk menghindari ikatan pada leher, menyokog kepala dengan
bantal.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan tegangan pada daerah luka karena pembedahan.
Bantu dalam perubahan posisi, latihan nafas dalam dan atau batuk efektif sesuai
indikasi.
Rasional :
Mempertahankan kebersihan jalan nafas dan evaluasi. Namun batuk tidak dianjurkan
dan dapat menimbulkan nyeri yang berat, tetapi hal itu perlu untuk membersihkan
jalan nafas.
Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat warna dan
karakteristik sputum.
Rasional :
Edema atau nyeri dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mengeluarkan dan
membersihkan jalan nafas sendiri.
Lakukan penilaian ulang terhadap balutan secara teratur, terutama pada bagian
posterior
Rasional :
Jika terjadi perdarahan, balutan bagian anterior mungkin akan tampak kering karena
darah tertampung/terkumpul pada daerah yang tergantung.
Selidiki kesulitan menelan, penumpukan sekresi oral.

Rasional :
Merupakan indikasi edema/perdarahan yang membeku pada jaringan sekitar daerah
operasi.
Pertahankan alat trakeosnomi di dekat pasien.
Rasional :
Terkenanya jalan nafas dapat menciptakan suasana yang mengancam kehidupan yang
memerlukan tindakan yang darurat.
Pembedahan tulang
Rasional :
Mungkin sangat diperlukan untuk penyambungan/perbaikan pembuluh darah yang
mengalami perdarahan yang terus menerus.
1.
1.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf
laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.
Rencana tindakan/intervensi
Kaji fungsi bicara secara periodik.
Rasional :
Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena
pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf
menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.
Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan
jawaban ya atau tidak.
Rasional :

Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.


Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas
tulis/papan gambar.
Rasional :
Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.
Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungan pasien secara teratur.
Rasional ;
Menurunnya ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunias.
Beritahu pasien untuk terus menerus membatasi bicara dan jawablah bel panggilan
dengan segera.
Rasional :
Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan kebutuhan yang
diketahui/memerlukan bantuan.
Pertahankan lingkungan yang tenang.
Rasional :
Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan menurunkan
kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan.
1.
1.
Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan,
rangsangan pada sistem saraf pusat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi

Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140
200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan
pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan
tersentak, adanya kejang, prestesia.
Rasional :
Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 7 hari pasca
operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari
trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid
selama pembedahan.
Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang
rendah.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
Memantau kadar kalsium dalam serum.
Rasional :
Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
Kolaborasi
Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional ;
Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga
menjadi permanen.
1.
1.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap


jaringan/otot dan paska operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan mengadakan
relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas
(skala 0 10) dan lamanya.
Rasional :
Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan
efektivitas terapi.
Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal
pasir/bantal kecil.
Rasional :
Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan posisi.
Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk menyokong leher selama
pergerakan dan untuk menghindari hiperekstensi leher.
Rasional :
Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.
Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang mudah.
Rasional :
Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.
Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami
kesulitan menelan.
Rasional :

Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami
kesulitan menelan.
Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik yang
lembut, relaksasi progresif.
Rasional :
Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk
mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.
Kolaborasi
Beri obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai kebutuhannya.
Berikan es jika ada indikasi
Rasional :
Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap nyeri.
1.
1.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan
tindakan berhubungan dengan tidak mengungkapkan secara terbuka/mengingat
kembali, setelah menginterpretasikan konsepsi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan penanganannya,
berpartisipasi dalam program pengobatan, melakukan perubahan gaya hidup yang
perlu.
Rencana tindakan/intervensi :
Tinjau ulang prosedur pembedahan dan harapan selanjutnya.
Rasional ;
Member pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat keputusan sesuai
informasi.

Diskusikan kebutuhan diet yang seimbang, diet bergizi dan bila dapat mencakup
garam beriodium.
Mempercepat penyembuhan dan membantu pasien mencapai berat badan yang sesuai
dengan pemakaian garam beriodium cukup.
Hindari makanan yang bersifat gastrogenik, misalnya makanan laut yang berlebihan,
kacang kedelai, lobak.
Rasional :
Merupakan kontradiksi setelah tiroidiktomi sebab makanan ini menekan aktivitas
tyroid.
Identifikasi makanan tinggi kalsium (misalnya : kuning telur, hati)
Rasional :
Memaksimalkan suplay dan absorbsi jika fungsi kelenjar paratiroid terganggu.
Dorong program latihan umum progresif
Rasional :
Latihan dapat menstimulasi kelenjar tyroid dan produksi hormon yang memfasilitasi
pemulihan kesejahteraan.
1.
Pelaksanaan keperawatan
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dengan
menggunakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan
keperawatan, haruslah dilibatkan tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang
berhubungan dengan pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah
sakit.
1.
Evaluasi

Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
menilai tingkat keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dari rumusan seluruh rencana keperawatan serta impelementasinya, maka pada tahap
evaluasi ini akan difokuskan pada :
1.
Apakah jalan nafas pasien efektif?
2.
Apakah komunikasi verbal dari pasien lancar?
3.
Apakah tidak terjadi tanda-tanda infeksi?
4.
Apakah gangguan rasa nyaman dari pasien dapat terpenuhi?
5.
Apakah pasien telah mengerti tentang proses penyakitnya serta tindakan perawatan
dan pengobatannya?
Sumber:
1.
Brunner dan Suddarth, (2001) Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 2,
penerbit EGC.
2.
Guyton, C. Arthur, (1991), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Missisipi;
Departemen of Physiology and Biophysis. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
3.
Junadi, Purnawan,(2000), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke III, penerbit FKUI,
Jakarta.
4.
Long, Barbara C, (1996), Keperawatan Medikal Bedah, EGC. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta.
5.

Price, Sylvia A,(1998). Patofisiologi, jilid 2, penerbit EGC, Jakarta.


6. Tucker, Susan Martin(1998), Standar Perawatan Pasien, Penerbit buku kedokteran,
EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai