Anda di halaman 1dari 5

Mati dalam hidup

Sang surya diam-diam beranjak dari balik cakrawala. Ayam-ayam jantan mulai berkokok
menunjukkan pesona mereka. Dari balik kota maupun luarnya, orang-orang mulai keluar dan
bekerja. Kota ini terletak di sebuah pegunungan yang hijau. Sebelah baratnya merupakan
sebuah hutan. Sementara itu, gerbang kota menghadap ke arah utara. Di depannya,
merupakan jalan yang menghubungkan kota ini dengan kota lain. Dari pinggiran jalan itu,
membentang ladang padi yang begitu luas.
Di gerbang kota, dua prajurit menghadang seorang anak kecil yang sedang berusaha
untuk masuk. Mereka mengacung-acungkan tombaknya kepadanya. Anak malang itu
bernama Iskandar. Terlebih lagi, tubuhnya kurus kecil.
Pergilah! Jangan kamu menyebarkan wabah di sini!prajurit itu menyentuhkan
tombak padanya, Apa Kamu ingin merasakan tajamnya tombak ini?
Iskandar gugup ketakutan, T.. tidak, Ia mulai menangis, Hiks.. A-aku akan pergi
Prajurit itu tak sabar, ia membelakangi Iskandar dan menirukan suara kucing besar,
Rooaaaar !!
Iskandar kaget dan berlari sekencang-kencangnya,Aaaaaa ..... ayah ...
Dia berlari mengikuti jalan besar. Orang-orang yang lewat mengacuhkan bocah itu.
Setelah beratus-ratus meter jauhnya, Iskandar berbelok ke barat melewati ladang padi dengan
maksud ingin ke hutan. Ketika masuk ke hutan, ia mencoba menoleh ke belakang dan
tersandung oleh akar pohon.
Aduh ...,ia meringis kesakitan sambil menangis.
Iskandar mencoba untuk bangun namun akhirnya jatuh kembali. Tubuhnya lemas. Ia
malah meringkup dan tenggelam dalam tangisannya. Tak lama kemudian, ia tertidur.
Tatkala siang datang, dia terbangun. Iskandar berusaha untuk berdiri. Isakannya masih
sedikit terasa. Ketika ia sudah dapat menguasai dirinya, Iskandar berjalan kembali ke kota. Di
ladang padi, terlihat dua prajurit yang mengusirnya sewaktu pagi dan beberapa penjaga
gerbang. Tidak jauh dari sini, kereta kuda berisi barang dagangan berjalan menuju kota.
Iskandar berlarian mengejar kereta kuda dan memintanya untuk berhenti.
Ada apa?tanya pedangang itu dari kursi pelananya.
Boleh Aku ikut menumpang bersama barang daganganmu menuju kota? Aku tidak
akan mencuri, kata Iskandar memohon. Melihat kondisinya, pedangang itu mengiyakan dan
membawa Iskandar menuju kota dengan rasa iba.
Sampailah mereka di pasar. Iskandar berterima kasih kepada pedagang itu atas
tumpangannya kemudian menyatu dengan kerumunan orang. Ia tidak tahu bahwa seseorang

sedang mengintainya. Setelah menemukan tempat yang sepi, Iskandar memisahkan diri dan
mulai mengendap-endap melewati rumah-rumah. Beberapa blok dari pasar, sampailah dia
pada sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Iskandar mencoba untuk masuk. Pintu terbuka
kemudian ia berjalan menuju sebuah kamar dan masih melihat ibunya berada di sana.
Ibu ...,ia memeluk ibunya yang sudah meninggal dibaringkan di tempat tidur
walaupun bau mayat mulai tercium. Iskandar memeluk ibunya dengan erat, sangat erat.
Meskipun kondisi ibunya kini mengenaskan. Tubuhnya kurus, mulutnya mengeluarkan darah
dan kondisi kulitnya mengerikan.
Ketika Iskandar tenggelam dalam pelukannya, tiba-tiba terdengar suara dentuman
yang keras. Anak itu kaget dan segera bersembunyi dari balik tubuh ibunya. Ternyata,
seorang prajurit yang tadi mengusirnya datang dengan wajah murka. Ia menatapnya tajam.
Apa Kamu ingin Aku bunuh?
Iskandar yang tadinya tenang bersama jasad ibunya kini merasa takut kembali.
Apalagi, prajurit itu mengarahkan tombak itu padanya. Dia menggoyang-goyangkan tubuh
ibunya dan memanggil-manggilnya.
Ibu ... tolong ...
Kamu pikir ia dapat menolongmu?prajurit itu mendekat.
Tiba-tiba ia memukul Iskandar menggunakan ujung tombaknya yang lain. Anak itu
kesakitan dan terjatuh ke bawah. Setelah itu, tubuhnya diikat oleh tali yang kuat dan panjang.
Cepat, berdiri !
Dengan susah payah, Iskandar akhirnya dapat berdiri. Baru sejenak ia dapat bernafas,
tubuhnya sudah ditarik keluar.
Dengan tubuh terikat dan tombak diarahkan padanya, Iskandar mulai berjalan. Ketika
sampai di luar rumah, ia melihat jasad ayahnya terkulai. Ayahnya bunuh diri. Iskandar dibawa
melewati alun-alun.
Saudara-saudara sekalian! Inilah salah satu penyebar wabah mematikan itu!
Keluarganya meninggal karenanya dan anaknya yang akan meneruskan. Namun tenanglah,
Saya akan membuangnya jauh!
Penduduk yang memperhatikan menatapnya dengan tatapan sinis dan benci. Tak
jarang, ada penduduk yang menyurakinya. Ada juga penduduk yang melemparinya dengan
batu.
Iskandar dibawa ke dalam hutan menggunakan kuda. Setelah belasan menit, kuda itu
telah membawa mereka ke hutan yang cukup dalam. Jarak yang ditempuh cukup untuk
membuat Iskandar kebingungan untuk kembali ke kota. Akhirnya sang prajurit menghentikan
laju kuda dan menendang Iskandar dari kudanya kemudian pergi.

Iskandar terjatuh dengan cukup keras. Dengan perasaan pasrah, anak itu diam
tengkurap. Dari lamunannya, tiba-tiba terdengar panggilan yang samar samar terdengar.
Hei...,katanya sambil menepuk-nepuk bahu Iskandar.
Iskandar berbalik dan mendapati seorang gadis seumuran menatapnya.
Ayo bangun, kau akan aman,katanya mengulurkan tangan. Iskandar memberikan
lengannya.
Ayo, cari tempat lain ...gadis itu membantunya berdiri. Mereka berjalan menuju
sebuah pohon kemudian bersandar di sana, Perkenalkan, Aku Sophie boleh Aku tahu
namamu?
Namaku Iskandar. Salam kenal.
Aku mendengar derap kuda tadi, jadi Aku bergegas ke sini dan tampaknya kamu
diusir. Apa kamu ingin ikut denganku?
Iskandar berjalan mengikuti Sophie. Mereka berjalan mengikuti suara air melewati
lebatnya tanaman. Beberapa ratus meter kemudian, mereka sampai di sebuah sungai berbatu
dengan air yang cukup dangkal. Di samping sungai, berdiri sebuah gubuk sederhana. Mereka
berhenti di sana dan berisirahat.
Kita ke sini?
Ya, ini rumahkujawab Sophie.
Awan menggumpal, memekat kehitam hitaman. Gemerincik air sedikit demi sedikit
turun kemudian hujan menjadi deras.
Sophie tersenyum padanya, Iskandar membalas senyuman itu. Sophie berbalik
kemudian berlari. Iskandar merespon dengan mengejarnya. Mereka bermain main di bawah
hujan. Menari-nari, petak umpet sampai menyanyi-nyanyi. Seolah semua penderitaan yang
mereka hadapi lenyap begitu saja. Rasa sakit yang disebabkan oleh terpelesetnya Sophie atau
Iskandar berubah menjadi canda tawa. Setelah saling mentertawakan, mereka saling
menolong.
Iskandar dan Sophie berhenti ketika hujan deras menjadi gerimis.
Aku lapar,Sophie memegang perutnya.
Sophie berjalan ke gubuknya. Ia mengambil dua buah tombak untuk berburu ikan.
Ayo, berburu ikan,Sophie memberikan salah satu tombak itu padanya.
Mereka mulai berjalan dan Sophie menunjuk ke sebuah arah,Di sana, airnya cukup
dalam dan sering ada ikannya juga.

Sesampainya di sana, mereka menceburkan diri dan berburu ikan bersama-sama. Dua
cara yang mereka lakukan ketika menangkap ikan. Pertama, menusuknya dengan tombak.
Kedua, menangkapnya dengan tangan. Setelah ikan yang ditangkap dirasa cukup, mereka
malah berlomba menangkap ikan dengan tangan namun selalu gagal.
Petang datang dan hujan benar-benar usai, mereka berhasil menangkap beberapa ikan
berukuran sedang dan membawanya ke gubuk.
Simpan ikan itu di sana,Sophie menunjuk tempat yang biasa dipakainya untuk
membuat api.
Sophie mengambil beberapa kayu dan ranting kering dari bawah gubuknya. Iskandar
membantunya menumpukkan kayu dan ranting kering kemudian membuat api. Setelah
mengambil kayu, Sophie membuat beberapa tongkat kecil yang digunakan untuk menusuk
ikan. Setelah menusuk ikan, Sophie menambahkan beberapa bumbu sederhana.
Malam datang, dinginnya malam mulai menusuk. Bertepatan dengan nyalanya api.
Api semakin membesar dan mereka mulai membakar ikan hasil buruannya.
Iskandar membakar ikannya sambil melamun. Suasana hening, mereka diam tanpa
sepatah kata pun keluar. Hanya ada suara api dan jangkrik.
Iskandar menatap Sophie yang berada disampingnya. Sophie hanya meninggikan
kedua alisnya.
Bolehkah Aku bersamamu?
Tentu, Aku berharap begitu
Suasana hening lagi.
Ikan sudah matang dan mereka memakannya bersama. Selepas makan, mereka hanya
diam di depan perapian. Diam tanpa suara, tanpa seuntai kata terucap. Sophie menguap,
diikuti oleh Iskandar yang sedang memperhatikannya. Mereka tertawa bersama, di bawah
lautan bintang. Akhirnya, mereka tertidur di depan api unggun yang mereka buat.
Selepas itu, hari-hari mereka lalui bersama. Pada suatu pagi seminggu setelahnya,
Sophie menyadari bahwa sekarang mereka terkena penyakit yang sedang mewabah dan
menakutkan di kota. Banyak orang yang meninggal karenanya.
Mereka terbangun di depan perapian. Mereka kaget sekaligus panik ketika kepalanya
terasa berat sekaligus kulit mereka dipenuhi oleh benjolan-benjolan kecil. Sophie berpikir
Iskandarlah yang menularkannya padanya.
Kamu diusir dari desa karena keluargamu terkena penyakit itu!Sophie menangis,
Aku sudah berusaha sampai sejauh ini untuk menghindari penyakit itu dariku. Keluargaku
sudah hancur karenanya. Sekarang Aku hancur oleh seseorang yang kuanggap te... teman.
Iskandar terdiam.

Mungkin sebaliknya, kamulah yang menularkanya padaku!Iskandar menunjuk ke


arah Sophie sambil meninggikan suaranya.
Sophie tersentak, ia berjalan menuju timur. Iskandar terdiam. Setelah beberapa lama,
ia memilih untuk mengikuti Sophie. Setelah berjam-jam berjalan, terbentang ladang padi di
hadapan mereka. Iskandar kenal tempat ini. Sophie berlari ke sebuah rumah petani di luar
dinding kota. Berpuluh-puluh meter dari halaman sebuah rumah, Sophie memanggil-manggil
seseorang.
A.. Ayah,teriaknya. Nafas sophie sesak, ia terpeleset kemudian tersungkur di
halaman rumahnya.Sophie kesakitan. Tak lama kemudian, ia muntah darah. Iskandar kaget
dan segera berlari ke arahnya.
Ayahnya keluar dan mendapati anaknya kesakitan. Dibelakangnya, seorang anak kecil
yang juga terlihat memiliki penyakit yang sama mengejar anaknya.
Ayah Sophie mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya dan melemparkannya. Pisau itu
mengenai dada Iskandar kemudian ia tersungkur. Tubuhnya menimpa pisau itu dan
menjadikannya menancap lebih dalam. Ayah Sophie melemparkan pisau kedua ke arah
anaknya dan mengenai badannya.
Dia hanya terdiam, kemudian menangis. Ia melucuti pedangnya. Pedang itu
berlumuran darah. Ia menatap pedang itu kemudian berjalan masuk ke rumahnya. Di tengah
rumah, ia menatap istrinya yang sedang sekarat, berlumuran darah tersayat-sayat oleh
pedangnya. Istrinya juga terkena penyakit yang sama dengan anaknya dan Iskandar.
Sang ayah menarik nafasnya dalam-dalam. Ia meninggikan pedangnya kemudian
membenamkan pedangnya ke arah jantung istrinya.
J .. ja.. jangan ...
Seketika, tubuhnya bergetar hebat kemudian meninggal dunia.
Sang Ayah mencabut pedangnya pelan-pelan dengan tubuh gemetaran. Ia terdiam
sebentar. Kemudian ia mengarahkan ujung pedang itu ke arah jantungnya sambil
memejamkan mata. Dalam satu tekanan, pedang itu berhasil menembus dadanya. Ia
menangis, sekaligus menahan sakit.Sakit karena tusukan pedangnya dan juga karena
hidupnya hancur karena sebuah penyakit. Namun, mengingat ia sekarang dapat melepas
semua beban, ia kini menikmati rasa sakit itu. Kemudian, tubuhnya ambruk seketika.
Oleh Akbar Maulana Ridho kelas IX-B MTsN 2 Kota Tasikmalaya

Anda mungkin juga menyukai