Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mual, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS. Penyakit AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan
tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang
penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus
AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya
ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 (Yopan, 2012). Acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian yang terkemuka di kalangan
perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human immunodeficiency
virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission
MCTC) adalah rute infeksi HIV pada anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah
terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan secara caeseran,
substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca
melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT
sebesar 2% (Yopan, 2012) .
Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquaired
Immune Deficiency Syndrome) di dunia maupun di Indonesia, baik pada orang dewasa
maupun anak semakin meningkat jumlahnya setiap tahun. Diduga jumlah kasus HIV/AIDS
ini menyerupai fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari
jumlah kasus yang sebenarnya (Gemari, 2010 dalam Yopan, 2012). Penyakit HIV/AIDS
merupakan salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia. Hal ini karena pada Januari
2006, UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih
dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Sejak HIV menjadi
pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar

400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak (penularan vertical).
Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak penderita HIV/AIDS mencapai 1.119 orang,
dengan jumlah penderita dibawah lima tahun dilaporkan mencapai 514 anak (Depkes, 2011
dalam Yopan, 2012). Dilaporkan juga sebanyak 34 anak usia bawah lima tahun (balita) di
propinsi Papua positif mengidap infeksi HIV(Judarwanto, 2010 dalam Yopan, 2012).
Kasus HIV/AIDS di negara berkembang sungguh sangat mengerikan karena kasusnya
mengalami kenaiakan yang luar biasa yang mempengaruhi angka kesakitan dan kematian
pada penduduk usia produktif. Dan hal ini berdampak sangat buruk terhadap pembangunan
sosial ekonomi suatu bangsa dan dapat menyebabkan usia harapan hidup menjadi terhambat
atau bahkan menjadi mundur. Selanjutnya dapat mengancam kehidupan penduduk bahkan
kehidupan sebuah bangsa. Di Indonesia telah dilaporkan pula kasus HIV/AIDS pada bayi
yang tertular dari ibunya yang mengidap HIV dan pada remaja yang tertular karena
berperilaku berisiko.
Dampak dari permasalahan pada anak tersebut diatas dapat mengarah pada penyebar
luasan HIV/ AIDS antara lain melalui hubungan sex yang tidak aman maupun melalui
penggunaan jarum suntik yang tidak steril oleh penyalahguna narkoba.
Ini semua dapat terjadi pada anak/ remaja penyalahguna narkoba, anak jalanan,
anak/remaja tuna susila atau yang dieksploitasi, anak/remaja nakal karena mereka termasuk
kelompok yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS selain itu pengetahuan mereka terhadap
permasalahan HIV/ AIDS masih sangat kurang. Untuk itu perlu diadakan upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV/ AIDS terhadap kelompok-kelompok rawan, masyarakat termasuk
kepada anak/remaja.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu rumah
tangga yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sementara jumlah
pekerja seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh
penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini
dapat meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV
harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk
ke dalam keluarga dan masyarakat umum (KPA, 2010 dalam Yopan, 2012).
Semakin tingginya jumlah penderita penyakit ini di Indonesia, selain membebani
pembiayaan sistem kesehatan juga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tak sedikit
karena sebagian besar penderita berada dalam usia produktif (20-39 tahun). Hal ini

memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia


sehingga mengakibatkan berkurangnya daya saing bangsa dalam percaturan global dunia.
Makin bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS terutama pada anak dan wanita
menyebabkan terancamnya Millenium Developmental Goals 2015 (4,5, dan 6) (Syafrawati,
2006 dalam Yopan, 2012).

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian HIV/AIDS
Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab
adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang secara progresif
menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan
menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus
ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker.
Meskipun penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum bisa disembuhkan.
Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya Virus.
Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh
maka ketika tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan
penyakit yang datang dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau
pilek biasa (Andy, 2011).
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung menyebabkan atau
menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahuntahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan (Andy
2011).
Menurut Ayu (2012), HIV, virus penyebab AIDS, juga dapat menular dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu
yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi lebih mungkin
menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah
untuk dianggap "aman". Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya
terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila
proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah
ibunya. Meminum air susu dari ibu yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si
bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi

risiko infeksi ketika sang ayah yang HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan
pencucian sperma dan inseminasi buatan.
AIDS bukan penyakit turunan, oleh sebab itu dapat menulari siapa saja.Virusnya sendiri
bernama HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang
terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah
terkena tumor . Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju
perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. Penyakit ini
kadang disebut infeksi oportunistik, karena penyakit ini menyerang dengan cara
memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun sehingga kanker dan infeksi
oportunistik inilah yang dapat menyebabkan kematian.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada
wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV
(Ayu, 2012). Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual
suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih
rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih
dianggap tabu untuk dibicarakan.
Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para peneliti di Institut Pasteur Perancis pada
tahun 1983 dan NIH yaitu sebuah institut kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun
1984. Meskipun tim dari Institute Pasteur Perancis yang dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie,
yang pertama kali mengumumkan penemuan ini di awal tahun 1983 namun penghargaan
untuk penemuan virus ini tetap diberikan kepada para peneliti baik yang berasal dari Perancis
maupun Amerika. Peneliti Perancis memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy
Associated Virus. Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini
HTLV-3 atau Human T-cell Lymphotropic Virustype-3 (Ayu, 2012).
Kemudian Komite Internasional untuk Taksonomi Virus memutuskan untuk menetapkan
nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai nama yang dikenal sampai sekarang.
Maka para peneliti tersebut juga sepakat untuk menggunakan istilah HIV. Sesuai dengan
namanya, virus ini memakan imunitas tubuh (Ayu, 2012).
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease
Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang
masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii)
pada lima laki-laki homoseksual diLos Angeles (Ayu, 2012).

Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1
lebih mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari
mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada
di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal
dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerunselatan. HIV-2 berasal
dari Sooty

Mangabey (Cercocebus

atys),

monyet

dari Guinea

Bissau, Gabon,

dan Kamerun (Ayu, 2012).


Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak
dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik
AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an diKongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat
bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada (Ayu, 2012).
Menurut Ayu (2012), berdasarkan hal tersebut diatas maka penderita AIDS dimasyarakat
digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS
positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS
negatif).
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi
peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula bahwa
epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV) tetapi juga
reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh
negara maju maupun negara berkembang (Ayu, 2012).
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya
menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan
yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan
transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV (Ayu, 2012).
2. Gejala-gejala Penyakit HIV/AIDS

Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan
tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu
tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi
membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan
kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang
berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV
terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV
(Andy, 2011).
Menurut Andy (2011), adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit
AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini :
Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri
dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa
pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti
hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga
mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu
kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem
protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga
karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan
diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.
System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan
kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon
anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan
nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu
mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes
simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan
rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit
(Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau
psoriasis.

Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit
jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih,
menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya
yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang
mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah pelvic inflammatory
disease (PID) dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).
3. Penularan Penyakit HIV/AIDS
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada
darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan, misalnya
air susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit (Andy, 2011)..
Sejumlah 75-85% penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya
melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para
pemakai narkoba suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah
yang tercemar (Andy, 2011).
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (1550 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat (Andy,
2011).
Infeksi pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar 2535% bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut melalui infeksi
yang terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan pemberian ASI (Andy, 2011).
Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko penularan
dapat dikurangi menjadi 8%(Andy, 2011).
Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak menjadi
lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak mempengaruhi
kesehatan perempuan HIV-positif(Andy, 2011).
Menurut Yopan (2012), peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan
adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang
tidak diketahui.

Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :


a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap
infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow
(1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan
seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).
b. Transmisi Non Seksual
Transmisi Parenral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum
suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik
yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara
transmisi parental ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum
tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang,
karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat
trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).
Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Yopan, 2012).
c. Penularan Masa Prenatal
HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus (lewat
plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang menyusui kira-kira
separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan, sepertiganya melalui menyusui ibu

dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua
pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam
uterus (Ayu, 2012).
Kehamilan
Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau AIDS selama
persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalah-masalah sebagai berikut :
1) Keguguran
2) Demam, infeksi dan kesehatan menurun.
3) Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin mengancam
jiwa ibu.
Melahirkan
Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih sehingga
terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).
Menyusui
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-kadang
ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi
kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada
bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena
infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan,
sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI
dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi
akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).
4. Penanganan Penyakit HIV/AIDS
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya
yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau,
jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara
signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu
takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak
menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah (Yopan, 2012).

Berbagai upaya telah dilakukan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia antara


lain: KIE, promosi perilaku seksual aman, penyediaan darah transfusi yang aman dari HIV,
pemasaran kondom, pemeriksaan dan pengobatan IMS, surveilans HIV/STS, surveilans
AIDS, layanan VCT yang masih terbatas pada RS tertentu dan LSM, pelatihan bagi petugas
kesehatan serta lintas sektor (universal precaution, VCT), pengobatan dan perawatan ODHA
yang masih terbatas, dan penelitian perilaku pada kelompok risiko tinggi (Yopan, 2012).
Kendatipun dari berbagai negara terus melakukan researchnya dalam mengatasi HIV
AIDS, namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun
vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Adapun
tujuan pemberian obat-obatan pada penderita AIDS adalah untuk membantu memperbaiki
daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas hidup bagi meraka yang diketahui terserang virus
HIV dalam upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian (Yopan, 2012).
Antibiotik adalah pengobatan untuk gonore. Pasangan seksual juga harus diperiksa dan
diobati sesegera mungkin bila terdiagnosis gonore. Hal ini berlaku untuk pasangan seksual
dalam 2 bulan terakhir, atau pasangan seksual terakhir bila selama 2 bulan ini tidak ada
aktivitas seksual. Banyak antibiotika yang aman dan efektif untuk mengobati gonorrhea,
membasmi N.gonorrhoeae, menghentikan rantai penularan, mengurangi gejala, dan
mengurangi kemungkinan terjadinya gejala sisa (Yopan, 2012).
Ada beberapa cara untuk mengobati atau menangani HIV/AIDS, yaitu:
Terapi Anti Virus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly
active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi
orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang
menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari
setidaknya tiga obat ( disebut koktail ) yang terdiri dari paling sedikit dua macam ( atau
kelas ) bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue
reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat
perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi
perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negaranegara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan

mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan


mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal (Yopan, 2012).
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah
virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun
menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART
dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari
seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.
Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan
umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat
kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV (Yopan, 2012).
Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan
kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu
bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap
meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien
lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART
memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan
tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV
tertentu yang resisten obat (Yopan, 2012).
Ketidaktaatan dan ketidak teraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah
alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan
HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk
penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas
fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan
obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil,
frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin.
Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan
HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem
kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan (Yopan, 2012).
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah
memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut (Yopan,
2012).

Penanganan eksperimental dan saran


Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik
global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga
negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan
perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan
target yang sulit bagi vaksin (Yopan, 2012).
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek
samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan
penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik
dapat

menjadi

bermanfaat

ketika

menangani

pasien

dengan

infeksi

HIV

atau

AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus
ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang
besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan
banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut (Yopan, 2012).
Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau
mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi
beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram,
kesemutan atau nyeri, namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis
terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanamantanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah
kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius (Yopan, 2012).
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan
mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang
menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang
memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga
memiliki beberapa manfaat. Pemakaian seleniumdengan dosis rutin harian dapat menurunkan
beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat
digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar,

tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas (Yopan,
2012).
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alternatif memiliki hanya
sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan
kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam
terapi

alternatif

tersebut

sesungguhnya

adalah

manfaat

paling

penting

dari

pemakaiannya (Yopan, 2012).


5. Pencegahan Penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil
Menurut Yopan (2012), penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara,
mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus
plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG
,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari
antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti
memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus,
yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui
pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA
atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus (Yopan, 2012).
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui
pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan
tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negaranegara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi
terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat
terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15%
penularan perinatal (Yopan, 2012).

Menurut Yopan (2012), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan
mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T
CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials
Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang
terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%.
Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun
1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi
zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat.
Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak
terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada
ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk
mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain:
1) seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2) pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3) pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4) tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak.
Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical.
Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul,
progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem
klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak
yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status
infeksi, status klinis, dan status imunologik (Yopan, 2012).
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada
anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+.
Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh
pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis
media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan
penyakit lain (Yopan, 2012).
Seluruh dunia, pada tahun 2008 diperkirakan 430.000 [240.000-610.000] infeksi baru
karena human immunodeficiency virus (HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90% diperoleh

melalui motherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru, antara 280 dan
360.000.000 diperoleh selama persalinan danpada periode pra-melahirkan. Dari infeksi
baruyang tersisa, sebagian besar diperoleh selama menyusui. Pada bayi yang terjangkit HIV
selama waktu persalinan, perkembangan penyakit terjadi sangat cepat dalam beberapa bulanp
ertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk mengaktifkan antiretroviral (ARV)
profilaksis harus diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir, semua bayi yang
memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir (Yopan, 2012).
Data

terbaru

yang

diterbitkan

mengkonfirmasi

manfaat

kelangsungan

hidup

dramatis bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV,
diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pedoman pengobatan pediatrik.
Pada Juni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera
pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang
akan membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada
November 2008, pertemuan diadakan untuk meninjau rekomendasioleh WHO untuk
pengujian diagnostikinfeksi HIVpada bayi dan anak-anak (Yopan, 2012).

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera ditanggulangi.
AIDS berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di Dunia, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini obat dan vaksin untuk menaggulangi AIDS belum ditemukan. Untuk itu
alternatif lain yang lebih mendekati dalam upaya pencegahan. Upaya pencegahan dapat
dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penularan AIDS.
Penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual, parental dan transplasental, sehingga
upaya pencegahan perlu diarahkan untuk merubah perilaku seksual masyarakat (terutama
yang memilikiki resiko tinggi), menghindari infeksi melalui donor darah, dan upaya
pencegahan infeksi perinatal sebelum ibu hamil. Perubahan perilaku dilakukan dengan
penyuluhan kesehatan.

Daftar Pustaka

Andy. 2011. HIV/AIDS Pada Ibu Hamil. http://ilmu-pasti-pengungkapkebenaran.blogspot.com/2011/11/hivaids-pada-ibu-hamil.html. Diakses tanggal 09 April
2013
Ayu. 2012. Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Sistem Kekebalan
Tubuh. http://ayups87.wordpress.com/2012/06/16/makalah-pengaruh-hivaids-terhadapsistem-kekebalan-tubuh-manusia/. Diakses tanggal 09 April 2013
Yopan. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan
HIV/AIDS. http://yopangumilar.blogspot.com/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamildengan.html. Diakses tanggal 09 April 2013

Anda mungkin juga menyukai