Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1.1
gunung meletus, tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau kapal
tenggelam. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan
amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap
mayat yang tidak dikenal.
Berbagai literatur memiliki patokan yang berbeda mengenai jumlah korban yang dapat
dikatakan massal. Dari sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10
orang. Silver dan Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung
dari lokasi bencana, terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh,
jumlah lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4
hingga 400 unit antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya
Dengan demikian, menurut Hadjiiski, suatu bencana digolongkan sebagai bencana
massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari kapasitas tempat yang tersedia di masingmasing rumah sakit.
Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat
dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa
hidup. Ada dampak hokum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta
pada kasus kriminal maka akan dapat.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi menjadi
dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah wawasan
mahasiswa/i dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan melatih
pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/i fakultas kedokteran, dimana pemikiran ilmiah
tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu persoalan
secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai
berikut :
Mengetahui tentang Disaster Victim Identification
Mengetahui tentang Prosedur Identifikasi dalam DVI
Mengetahui dan Memahami Tentang Toksikologi dalam Forensik
Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
Melengkapi tugas small group discussion modul XIX scenario V
Sebagai bahan referensi mahasiswa/i fakultas kedokteran UISU semester genap ( 6 ) dalam
menghadapi ujian akhir modul.
Itulah yang merupakan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat
diharapkan dapat berguna bagi setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh
tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.1 SKENARIO
Dalam pembahasan pada makalah ini awalnya kami mulai dari sebuah skenario yang
diberikan yaitu :
MODUL XXII (MEDIKOLEGAL)
SKENARIO 6
Disaster Victim Identification
Salah satu plaza terkenal di ibukota yang sedang ramai dikunjungi terbakar. Api yang
begitu besar disertai angin kencang menyebabkan asap hitam menutupi plaza tersebut. Pihak
pemadam kebakaran yang telah memakai masker beroksigen menembus kedalam plaza dan
berjuang sekuat tenaga untuk segera dapat memadamkan api agar tim medis bisa
melaksanakan tugas penyelamatan jiwa para korban yang terkurung didalamnya.
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban
hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada
pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia.
Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim
pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat
membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari
data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh,
dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan
untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar
Interpol.
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data
sebanyak banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang
terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain),
data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak
berwenang
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari
keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar
Interpol.
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1
macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers .
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun
tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu
fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses
4
identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi
berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang
bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa
yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di
kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing .
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap
kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang ditemui di
lapangan untuk menerapkan prosedur DVI. Pada kasus tenggelamnya kapal Rimba III, mayat
sudah dalam kondisi membusuk lanjut. Proses identifikasi sesuai kelima fase tersebut
menemui hambatan karena polisi mengirimkan mayat ke instalasi kamar jenazah dengan
Surat Permintaan Visum yang sudah berisi identitas korban.
Identifikasi dilakukan oleh pihak penyidik bersama sama dengan keluarga di TKP
berdasarkan property (pakaian, tas, dompet, perhiasan) yang melekat pada tubuh korban.
Akibat tindakan tersebut, keluarga menolak dilakukan pemeriksaan terhadap korban dengan
alasan sudah dikenali. Properti yang ada pada jenazah juga sudah langsung diserahkan pada
keluarga di TKP, sehingga sempat terjadi insiden tertukarnya jenazah. Hal ini dapat diatasi
setelah dilakukan pemeriksaan fisik terhadap mayat korban.
Pada kasus jatuhnya pesawat hercules di Magetan, tim DVI mengalami kendala
karena ada kurang koordinasi antara fase TKP dengan fase II & III; pemeriksaan fase II dan
fase III dilakukan oleh orang yang sama secara bersama-sama dan melibatkan keluarga; ini
menimbulkan ketidakakuratan dalam proses identifikasi, sehingga pada akhir pemeriksaan
didapatkan 4 mayat yang tidak peridentifikasi terdiri dari 2 anak, 1 wanita dewasa, serta 1
laki-laki dewasa. Data antemortem yang tersisa terdiri dari 2 anak, 1 wanita dewasa, dan 1
laki-laki dewasa namun tidak cocok dengan data postmortem jenazah.
Pada kasus Identifikasi korban gempa di Padang, fasilitas menjadi kendala yang
utama dimana pada 3 hari pertama tidak ada listrik dan sarana lain untuk mempreservasi
jenazah, sehingga kondisi mayat membusuk pada saat telah teridentifikasi. Hal ini sempat
menimbulkan penolakan dari keluarga. Dari ketiga kasus tersebut, fase kelima (debriefing)
tidak dilaksanakan. Kesulitan yang dihadapi adalah
mengumpulkan kembali para anggota tim yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia
untuk melakukan evaluasi kinerja.
Cara-cara ini sekarang erkembangdengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata dapat
dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan
akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. Metode
ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Caraini mempunyai
banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yangcanggih dan mahal.
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
7
e. bentuk wajah
f. DNA
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya,
maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur
korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2)
Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini dicatat
ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada
sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain:
misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau
keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara
tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal
sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban
dengan foto semasa hidupnya
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu:
a. Primer/utama
1) gigi geligi
2) sidik jari
3) DNA
b. Sekunder/pendukung
1) visual
2) properti
3) medic
Disamping itu ilmu ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya,
dan ini semua pada gilirannya akan menyulitkan kita dalam membuat definisi yang singkat
dan tepat mengenai Toksikologi. Sebagai contoh, menurut Ahli Kimia Toksikologi adalah
ilmu yang bersangkutan paut dengan efek-efek dan mekanisme kerja yang merugikan dari
agent-agent Kimia terhadap binatang dan manusia. Sedangkan dari para ahli Farmakologi
Toksikologi merupakan cabang Farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat
kimia didalam sistem biologik. Dengan keluasan Toksikologi maka sejumlah besar ahli-ahli
dibidang yang masing-masing turut terlibat dalam Toksikologi dalam bidang yang sesuai
dengan keahliannya.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam
dosistoksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Berdasarkansumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ;
opium, kokain, kurare, aflatoksin. Dari hewan ; bias/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral
: arsen, timah hitam. Dan berasal dari sintetik ; heroin.
Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang terdapat di
alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah tangga misalnya
deterjen, insektisida, pembersih. Racun yang digunakan dalam pertanian misalnya
insektisida, herbesida, pestisida. Racun yang digunakan dalam industri laboratorium dan
industri misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan
misalnya CN di dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun
dalam bentuk obat misalnya hipnotik sedatif. Pembagian lain berdasarkan atas kerja atau efek
yang ditimbulkan. Ada racun yang bekerja secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik.
2.7 Jenis-Jenis Keracunan
Keracunan Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Sejak di
kenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung CO. Gas
CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang selaput lendir,
sedikitlebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO
10
Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis adanya kontak
dan di temukannya gejala keracunan CO.
Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat
berwarna merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai
30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada mayat yang di
dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad
renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk nitroksi
hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan dengan pemeriksaan sederhana.
Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna
biasa tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam
mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid). Sedangkan
pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya
tidak ditemukan tanda khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan
hyperemia visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban
dapat bertahan hidup lebih dari jam.
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi
dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid
seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan yang dapat di temukan
adalah kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di
temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap
keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae. Pemeriksaan
mikroskopik pada otak memberi gambaran :
Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin
Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung
trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di sebut ring hemorrage
Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang mengandung trombi
Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat hipoksia dan
memecah.
11
dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemuka tanda tanda
asfiksia pada organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan pada
mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin
alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi
lambung yang dapat terjadi antemortal atau posmortal.
Korban mati akibat keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi
buruk. Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik).
Keracunan Alkohol
Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan
keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau kecepatan,
kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga cenderung
menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan
untuk mengontrol diri dan hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan
tindakan yang melanggar hukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun
tindakan bunuh diri.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol
Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan petunjuk
awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui
pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari darah vena.
Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan gejalagejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah
lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan,
kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadangkadang tidak ada kelainan.
Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan
histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak,
degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna.
Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis
interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat,
gambaran seran lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut
otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang
disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium.
Metoda Analisa Zat Toksik Kini, banyak teknik yang tersedia untuk
penyelidikan
terhadap
Biormarker
ataupun
zat
toksikdari
beragam
sumber
14
pencemaran/keracunan, sepertizat anorganik, organik, logam, media air, udara dan lain-lain.
Instrumentasi kimia modern yang dapat digunakan untuk analisis zat toksik antara lain:
Atomic Absorption Spectrometry (AAS) untuk deteksi logam, Gas Chromatography (GC)
untuk deteksi senyawa organik yang volatil, High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) untuk deteksi senyawa yang non-volatil. Dalam memilih metode pengambilan
sampel dan analisis, perilaku bahan kimia dalam tubuh dan proses kimia alamiah yang
terjadi di lingkungan harus dipahami terlebih dahulu, supaya kombinasi teknik pengambilan
sampel dan metode analisis memuaskan.
Disinilah, pentingnya akan pemahamanToksikologi dan dukungan dari disiplin
ilmu lainnyaseperti kimia analitik, farmakologi atau kimiakedokteran dan kimia lingkungan.
Dengan demikian akan dapat menentukan jenis sampel yang diambil,peralatan pengambilan
sampel yang tepat, waktu pengambilan sampel sesuai dengan potensi paparan,dapat
minimalisasi efek pengganggu serta diperolehnya sensitivitas metode analitik yang tepat.
Dengan strategi yang tepat, maka dapat dijadikansebagai asupan dalam
menjawab beragampertanyaan seperti: Apa (dan siapa) penyebabkeracunan/pencemaran?
Kapan dan bagaimanakeracunan/pencemaran terjadi? Bagaimana caranyazat racun
menyebabkan efek terhadap tubuh manusia? Seberapa luas pencemaran yang terjadi?
Apakah hasil pengujian bersifat valid? Dan apakah telah diinterpretasi secara benar? Pihak
mana
saja
yang
berpotensi
memiliki
tanggung
jawab
terhadap
peristiwa
3. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
4. Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin di karenakan terjadi toleransi pada
orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
5. Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka akan makin
cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat lokal, misalnya
asam sulfat
----Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi anatomi dengan
alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya beberapa mg/kg sehingga kadar
racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus
banyak, serta hati merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting.
----Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi logam,
pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik ditemukan
Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid dalam otak mampu menahan racun.
Misalnya CHCI3 tetap ada walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah
penting pada intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan. Untuk menghidari cairan
empedu mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu jangan
dibuka.
----Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan cara yang telah
disebutkan, adalah :
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)
17
Jika jenazah akan diawetkan, maka pengambilan contoh bahan harus dilakukan
sebelum pengawetan. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alkohol tidak dapat
dipakai sebagai disinfektan lokal saat pengambilan darah. Sebagai gantinya dapat digunakan
sublimat 1% atau merkuri klorida 1%
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap
kasus bencan namun dalam kenyataannya sering kali menemu kendala teknis, maupun
nonteknis. Jumlah jenaza yang banyak, tempat penyimpanan jenazah yan minim,
waktu yang terbatas, jumlah dokter forensic yang terbatas, otoritas keluarga serta
kurangny koordinasi menimbulkan masalah dalam menerapka prosedur DVI secara
konsisten.
Toksikologi forensik merupakan ilm investigasi kasus atau pencarian bukti
masala keracunan. Lebih jauh, toksikologi forensic merupakan bagian ilmu
Toksikologi Modern dala mengkaji perilaku zat racun dan keberadaan za racun dalam
sistim mahluk hidup serta perilak dalam lingkungan. Biomonitoring merupakan sala
satu cabang ilmu yang mendukung investigasi buktibukt ilmiah dalam Toksikologi
Forensik.
18
3.2
SARAN
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
19