Anda di halaman 1dari 14

Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun- tahun dan dianggap oleh

beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada orang tua.Meskipun frekuensi kejang pasca
stroke diperkirakan hanya berkisar antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya
didasarkan pada studi retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien
begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini sering terjadi pada
pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak, perdarahan subarachnoid atau riwayat
kejang atau epilepsi.
2.1 Epilepsi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.
Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan
dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar
belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut.
Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya
penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama
yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak
adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi
pada setiap orang di seluruh dunia.12
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.13 Terdapat dua
kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di
mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan
pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan
biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik
termasuk dalam epilepsi umum.14,15
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut.16
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi
adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan
serangan tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi
berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor
pencetus, kronisitas.16 Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri
epilepsi yang harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi
epilepsi.1
Seorang terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya
penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya
demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak
oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di
dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi

jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan
timbulnya epilepsi di kemudian hari.16
2.1.2 Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada
anak, di mana ditemukan 4 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi.17 Faktor resiko terjadinya epilepsi
sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor,
penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacammacam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan
penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi
epilepsi pada anak laki laki lebih tinggi daripada anak perempuan.18
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun
pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data
yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada
tahun pertama, 62 pada usia 1 5 tahun, 50 pada 5 9 tahun, dan 39 pada 10
14 tahun.2
2.1.3 Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang
fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua,
yaitu :19
I. Pendahuluan
Bangkitan adalah suatu tanda dan gejala dari epilepsi, tetapi tidak semua bangkitan merupakan
suatutanda adanya kelainan neurologik. Bangkitan dapat juga dihasilkan dari kadar gula darah yang
rendah,infeksi, demam, cedera kepala berat, kekurangan oksigen, dan kesemuanya tersebut bukan
merupakanepilepsi. Bangkitan dapat juga merupakan gangguan mental maupun fisik. Bangkitan tersebut dapat
jugadisebabkan karena gangguan motorik yang disebut konvulsi (Davis, 2004).Istilah kejang non epilepsi (non
epileptic seizure) digunakan untuk menjelaskan suatu bangkitan yangmenyerupai epilepsi tetapi mempunyai
penyebab yang berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi,kejang non epilepsi tidak disebabkan oleh adanya
perubahan pada aktivitas otak (Selkirk et al., 2008.).
Gambar patofisiologi kejang yang disebabkan oleh epilepsi dimana ada perbedaan dengankejang yang
disebabkan non epilepsi.Pada epilepsi disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak sedangkan
Nonepilepsi kejangnya Tidak disebabkan perubahan pada aktivitas otak . Terminologi bangkitan atau seizure
adalah suatu kejadian mendadak, tiba-tiba, dan dalam waktu yangpendek dimana terjadi perubahan pada seorang
yang dalam keadaan sadar dimanapun, dan dalamkeadaan apapun berupa perilaku maupun perasaannya.

Bangkitan sering digunakan untuk menjelaskankejadian epilepsi dan pada epilepsi didapatkan beberapa
perbedaan tipe bangkitan (Henry, 2000).
II. Penyebab bangkitan
Bangkitan dapat terjadi oleh beberapa keadaan, misalnya oleh karena penurunan kadar gula
darah(hipoglikemia), pingsan atau perubahan kesadaran singkat pada seseorang yang mengalami infarkmiokard
akut. Pada seseorang mungkin juga didapatkan lebih dari satu tipe bangkitan, berupa kejangepilepsi dan juga
kejang non epilepsi (Henry, 2000).Bangkitan epilepsi dapat terjadi oleh karena kejadian tiba-tiba dan
berhentinya secara singkat darimekanisme kerja sel-sel otak. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh adanya
perubahan aktivitaslistrik di dalam sel-sel neuron. Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian bangkitan
epilepsitergantung di mana perubahan tersebut berlangsung di dalam sel-sel neuron. Pengaruh dari
kejadiantersebut mungkin dapat menyebabkan gangguan kesadaran maupun tingkah laku (Reuber et al.,
2007).Epilepsi mempunyai kecenderungan satu atau lebih area di otak yang memproduksi secara tibatibalonjakan

energi

listrik

yang

menyebabkan

terjadinya

kerusakan

fungsional

sel-sel

neuron.

Bangkitannerologik merupakan suatu reaksi tubuh terhadap lonjakan listrik yang abnormal di dalam sel-sel
neuron.Sehingga dikatakan epilepsi apabila terjadi dua atau lebih bangkitan tanpa provokasi (Engelborghs et
al.,2000).
III. Pembagian kejang non epilepsi
Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya maka didapatkan dua kategoriutama
kejang non epilepsi, yaitu:

Bangkitan fisiologik

Bangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, misalnya terjadinyaperubahan secara mendadak
suplai aliran darah, glukosa maupun oksigen ke otak. Termasuk jugabangkitan fisiologik adalah adanya
perubahan irama jantung, mendadak terjadi penurunan tekanan darahatau terjadinya hipoglikemia.

Bangkitan psikogenik

Bangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya tekanan psikologis yangberat pada seseorang,
misalnya trauma emosional oleh karena siksaan seksual maupun fisik, perceraianatau kematian orang yang
dicintai.
IV. Penyebab kejang non epilepsi
Beberapa kejadian kejang non epilepsi mempunyai penyebab fisik (yang berhubungan dengan tubuh),misalnya
adalah pingsan yang sering disebut juga sinkop. Tetapi terdapat juga beberapa kejadian kejangnon epilepsi yang
disebabkan oleh penyebab psikologik (yang berhubungan dengan jiwa), misalnya padaserangan panik.Jika
kejadian kejang non epilepsi penyebabnya adalah fisik maka akan lebih mudah untuk menegakkandiagnosisnya
berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Sebagai contoh adalah pingsan yang mungkindidiagnosis oleh karena
adanya masalah pada jantungnya. Istilah kejang non epilepsi biasanyadigunakan untuk menjelaskan kejadian
bangkitan yang disebabkan oleh faktor psikologik.Kadang-kadang sangat sulit untuk mendapatkan alasan

mengapa terjadi dan kapan mulainya kejadiankejang non epilepsi. Beberapa penderita kejang non epilepsi
mengatakan bahwa kejadiannya sangatcepat dan waktunya pendek setelah terjadinya stres yang spesifik, tetapi

cepat dan waktunya pendek setelah terjadinya stres yang spesifik,


tetapi penderita lain melaporkan
penderita lain melaporkan

bahwa kejadian kejang non epilepsi bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik.
Sehingga sangat
sulit untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non epilepsi juga
melaporkan
terjadinya bangkitan setelah mengalami stres maupun kecemasan.
Tabel I menjelaskan penyebab yang paling sering didapatkan dari kejang non epilepsi yaitu:
Tabel I. Penyebab kejang non epilepsi
1. Penghentian konsumsi alkohol
2. Penghentian konsumsi Benzodiazepine
3. Massive sleep deprivation
4. Penggunaan kokain
5. Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi,
malingering)
6. Cedera kepala akut (dalam satu minggu)
7. Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma
8. Uremia
9. Eklampsia
10. Demam tinggi
11. Hipoksemia
12. Hiperglikemia atau hipoglikemia
13. Gangguan elektrolit
Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian kejang non epilepsi sangat bervariasi. Apa
yang terjadi
selama kejadian kejang epilepsi dapat juga terjadi pada kejadian kejang non epilepsi. Selama
kejadian
kejang non epilepsi, seperti halnya pada kejang epilepsi, penderita mungkin dapat terjatuh
dan melukai
dirinya sendiri, terjadi konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami
inkontinensia. Keduanya
dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda peringatan sebelumnya (Daoud,
2004).
Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena faktor psikologik
(Reuber,
2005).
Serangan panik
Serangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau teringat pengalaman
menakutkan sebelumnya. Serangan panik dapat sangat membingungkan pada diri seseorang.
Penderita
merasa cemas atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan. Pengaruh fisik terhadap
serangan
tersebut misalnya adalah kesulitan bernafas, berkeringat, berdebar-debar dan merasa bergetar.
Penderita dapat juga kehilangan kesadaran dan terjadi serangan konvulsi. Serangan dapat
terjadi lagi

walaupun penderita sudah tidak dalam situasi yang menakutkan.


Cut off atau serangan menghindar
Jenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan kesulitan mengatasi stres
yang berat atau berada dalam situasi emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering
dijumpai
pada penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya kesulitan yang membutuhkan
penyelesaian. Seperti halnya pada serangan panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun
penderita
tidak berada dalam situasi tertekan.
Respon terlambat terhadap stres berat
Serangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat atau dalam situasi
peperangan atau bencana alam dimana penderita melihat banyak korban berjatuhan. Kejang
non epilepsi
mungkin merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu keadaan yang
timbul

BAB I PENDAHULUAN Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang


pada usia lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari
stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang
pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.
Tinjauan pustaka ini membahas mengenai epidemiologi, patogenesis, klasifikasi,
manifestasi klinis, studi diagnostik, diagnosa diferensial dan pengelolaan kejang yang
berhubungan dengan berbagai lesi serebrovaskular, dengan fokus pada penggunaan
antikonvulsan pada usia lanjut. Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan
penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai
gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke.Faktor usia menjadi faktor risiko
independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian dan
prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsy pasca stroke. Kejang sekunder pada
penderita stroke telah ditemukan selama bertahuntahun dan dianggap oleh beberapa
pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada orang tua.Meskipun frekuensi kejang pasca
stroke diperkirakan hanya berkisar antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini
hanya didasarkan pada studi retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi
atau jumlah pasien begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat
diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke
batang otak, perdarahan subarachnoid atau riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi
sebelumnya seperti kejang lebih sering pada perdarahan otak atau stroke kardioembolik
tidak ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang
paling sering diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan
usia diatas 35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami
epilepsi, penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma
kepala. Dari data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang
mempunyai riwayat stroke akan mengalami kejang, namun epilepsi (kejang
berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil dari kelompok ini. Mengingat

bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000 orang di negara ini mengalami
stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah stroke berkisar sekitar
36.500 kasus baru per tahun. Upaya metodeologis terbesar dan paling teliti
untuk memeriksa kejang pasca stroke adalah laporan dari kelompok penelitian
prospektif multisenter kejang pasca stroke. Sebuah studi menyatakan bahwa
pada1897 pasien ditemukan kejadian kejang pasca stroke sebesar 8,9%.
Perkembangan serangan epilepsi berulang jarang terjadi, hanya pada sekitar
2,5% pasien, tetapi dalam waktu 9 bulan perlu untuk selalu dipantau. Kejang
lebih sering terjadi pada stroke hemoragik daripada stroke iskemik. Bladin et al
menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien dengan
perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke
iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien,
termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan
perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan
serangan transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran
dari perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95
pasien dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi pada saat
pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang terjadi
saat pasien berada di rumah sakit (4,1%). 2

B. Klasifikasi dan Patogenesis Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang


dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia
serebral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma.
Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam
waktu 2 minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang.
Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2
minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang
pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada
dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2
hari pertama setelah iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada
penelitian kejang pasca stroke muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke.
Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada
24 jam pertama. Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler
dan natrium dapat menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek
kalsium mediasi lainnya. Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang
terjadinya kejang. Eksitotoxisitas glutamat adalah mekanisme kematian sel
yang ditandai dalam bentuk stroke eksperimental. Obat Antiglutamatergic
mungkin memiliki peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain
dari perannya untuk pengobatan kejang. Disfungsi dari daerah metabolik juga
mungkin relevan dalam terjadinya kejang onset cepat. Dalam konteks besar
pada daerah iskemia hipoksia, tingginya tingkat neurotransmiter eksitotoksik
dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Dalam penelitian setelah terjadi iskemik
otak pada model hewan percobaan, populasi neuron di neokorteks hippocampus
telah mengubah sifat membran dan terjadi peningkatan rangsangan, yang dapat
menurunkan ambang terjadinya kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari
jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam 3

C. stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk
terjadinya aktivitas kejang. Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat
menyebabkan terjadinya kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan
salah satu penyebab tersering terjadinya status epileptikus dan memiliki
prognosis yang buruk. Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terusmenerus dalam rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat
dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah
terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti siktarik
meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat
epilepsi pasca trauma. Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan
mengapa pada pasien epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang
lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi
pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa
risiko yang lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke
iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat
dan pada 90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding
dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul
pada kejang onset cepat vs 93% dengan kejang onset lambat. Teori bahwa
emboli kardiogenik ke otak memiliki kemungkinan menyebabkan kejang akut
masih menimbulkan kontroversi. Di antara 1640 pasien dengan iskemia
serebral, kejadian yang terkait dengan penyakit jantung paling sering dikaitkan
dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan dengan
hematoma supratentorial (16,2%). Namun, definisi mekanisme kardiogenik
dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria tertentu.Beberapa penulis masih
mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa kardioembolik. Kejang
pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian tentang penyakit jantung
sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada alasan untuk menduga bahwa
lesi kardioembolikakan seperti emboli dari pembuluh darah besar mungkin
dapat menyebabkan kejang, seperti emboli jantung dan pembuluh darah besar
sering melibatkan lesi pada cabang kortikal 4
D. distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal belum pasti,
tetapi kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi
cepat setelah fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya.
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat
menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk
terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa
lobus otak dibandingkan dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap
stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang.
Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang masih
kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang
menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer
otak, paling sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh
karena itu penyebab kejang tidak dapat diketahui. Dianalogikan dengan
keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap lebih
epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Pada 123 pasien
terjadi peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan perdarahan dalam
struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retromamilar basal (19%) dan tidak
ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan

temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan terjadi kejang. Perdarahan
karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan dengan kejang.
Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti vena
lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang. Mekanisme
kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari metabolisme darah
seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang mengarah
pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang
diproduksi oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan
subarachnoid, sering terjadi perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung
menghubungkan antara lobus frontal dan temporal. Pasien dengan perdarahan
subarachnoid mungkin juga memiliki komponen perdarahan intraparenchymal.
Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat
keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar 5
E. atau kecacatan pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien
dengan gangguan neurologis cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang
melibatkan daerah kortikal yang lebih luas. Dalam studi retrospektif, faktor
risiko kejang setelah perdarahan subarachnoid termasuk aneurisma arteri
serebral media, hematoma intraparenchymal, infark serebral, riwayat hipertensi
dan ketebalan tulang belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor klinis
untuk kejang setelah terjadi perdarahan intraparenchymal. Lesi vaskuler dapat
menyebabkan kejang dengan mekanisme yang lain. Kejang karena malformasi
arteriovenosa dan aneurisma biasanya terjadi ketika pecahnya lesi tersebut,
tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejang oleh iritasi yang
berdekatan dengan parenkim otak. Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan
lesi vaskuler yang secara signifikan terjadi dalam pengaturan reperfusi setelah
prosedur revaskularisasi, paling sering endarterektomi karotis untuk stenosis
karotis kronis ekstrakranial. Sindrom reperfusi, pertama dijelaskan oleh Sundt
dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien, fenomena migrain atipikal,
dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering tidak lengkap. Onset
dari sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai 3 minggu setelah
revaskularisasi dan sering ditandai oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi bedah
malformasi dari arteriovenosa juga dapat menyebabkan intraoperatif atau
hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau perdarahan. Sebaliknya,
malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk laju aliran
darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perdarahan.
Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dalam
pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol
bertanggung jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan
menjadi dilatasi yang kronik. Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan
prosedur revaskularisasi, pembuluh darah tidak dapat vasokonstriksi dan
parenkim otak mengalami peningkatan besar dalam aliran darah. Pelepasan
neuropeptida vasoaktif dari saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi
terhadap 6
F. perkembangan sindrom reperfusi dalam oksidan yang berkembang sebelum
revaskularisasi dan peradangan untuk mengembalikan sirkulasi. C. Manisfestasi
Klinis Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh

lesi fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam
sebuah studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah
jenis yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%).
Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial,
sedangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder.
Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan
cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun. Dalam serangkaian besar
pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status epileptikus. Kesimpulan
itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar, status
epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik
atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola
electroencephalographic (EEG). Keistimewaan fenomenologis sindrom
reperfusi adalah serupa dengan timbulnya onset fokal dengan generalisasi
sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang biasanya terjadi di wilayah
vascular ipsilateral sesuai teori pembedahan pada arteri karotis interna. Kadangkadang status epileptikus terjadi kemudian. D. Diagnosis Holmes menemukan
bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi periodik lateralizing dan
bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik lateralizing pada EEG
setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus
paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan
normal pada perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang
relatif rendah masing-masing 20%, 10% dan 5%. 7
G. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi
pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG
tunggal. Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah
yang luas dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral
atau daerah subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala
neurologis yang buruk pasca stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan
fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan berlawanan
dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak
adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama
dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.
Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark.
Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan
resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial.
Studistudi menunjukkan peningkatan intensitasgambaran tahanan difusi yang
berat dan urutan T2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi
yang rendah. Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda
iskemik nonvascular dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran
angiografi resonansi magnetik dan peningkatan leptomeningeal pada pencitraan
resonansi magnetik dengan kontras. Studi lain menunjukkan terjadi peningkatan
intensitas pada gambaran tahanan difusi di bagian dorsolateral dari thalamus
ipsilateral pada 2 pasien. E. Diferensial Diagnosis Diagnosis diferensial iskemia
akibat kejang termasuk kejang sekunder karena penyebab lain. Withdrawal obat
(Benzodiazepin) dan gangguan metabolisme (misalnya kelainan glukosa)
biasanya dapat menyebabkan kejang umum, kecuali memang sudah ada lesi
yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fenomena fokus dan serangan

iskemik transien dapat memperlambat fokus pada hasil temuan EEG. Diantara
semua itu, kelainan glukosa tidak boleh diabaikan. 8
H. F. Penatalaksanaan Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh
karakteristik individu tiap pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara
bersamaan dan komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji
terkontrol untuk mengevaluasi kejang pasca stroke yang telah dilakukan untuk
menilai agen khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana
cara untuk memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan
bahwa kejang pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor
mutlak kejang pasca stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara
empiris untuk kejang ketika mereka baru terserang stroke. Bladin et al
berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan kejang pasca stroke
akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak etis,
meskipun insiden kejang pasca strokerelatif masih rendah. Arboix et al
menyimpulkan bahwa efektivitas antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi
dalam uji prospektif secara acak yang dilakukan pada pasien dengan risiko
tinggi. Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan
antikonvulsan tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90
pasien kejang dapat dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas
kejang fokal pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama
adalah karbamazepin dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki keuntungan
dari pemberian parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan
atau status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga
merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas
jantung lebih rendah dari fenitoin.Benzodiazepin, khususnya lorazepam,
awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang
berlangsung. Tidak ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk
mengobati kejang onset cepat dan kejang onset lambat. Obat antiepilepsi yang
baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama untuk pasien tua karena
efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni
panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering
digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam 9
I. uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini
menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang
bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine.
Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan
levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial
refrakter, dalam praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin
telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua
obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi,
terutama pada pasien stroke pada usia lanjut. Interaksi obat merupakan
pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terkena stroke,sudah banyak
memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewati metabolisme di
hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein. Sebagai contoh,
interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk mempertahankan rentang
terapi yang konsisten dari kedua agen. Dalam pedoman yang direkomendasikan

oleh Dewan stroke dari American Heart Association menyatakan bahwa


profilaksis kejang seragam dalam periode akut setelah perdarahan intraserebral
dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas kejang dapat
menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma,
meskipun tidak ada data klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien
dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada
pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk
diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis fenitoin natrium dititrasi
dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan penghentian pengobatan
setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi selama pengobatan.
Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi munculnya
kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan mungkin
memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang. Studi retrospektif
kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan profilaksis
setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah
yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang
perdarahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin 10
J. tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak
dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki
kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa
faktor risiko yang muncul. Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan
yang penting adalah mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak
jelas peran dari terapi antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti
anecdotal, kejang pada sindrom reperfusi kadang-kadang merespon obat
antiepilepsi, tetapi sulit untuk mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang
cukup kuat. Beberapa ahli bedah memberikan profilaksis secara empiris karena
ada kekhawatiran akan terjadinnya kejang selama 1 sampai 2 minggu setelah
endarterektomi pada pasien dengan stenosis karotis derajat tinggi. Pada
penanganan infark vena sering kali diberikan antikoagulasi sistemik dan, barubaru ini, pemberian trombolisis intra thrombus melalui endovascular telah
menunjukkan keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut peraturan pemberian
terapi antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang. G. Prognosis Dampak
buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memiliki data yang
bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi prospektif,
kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit
neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik
dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa
kejang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang
memberikan kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam
studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam
waktu 48 jam dari serangan stroke atau transient ischemic attack memiliki
angka kejadian meninggal di rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%)
dari pada mereka yang tidak menunjukkan adanya kejang (14,4%). 11
K. parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status
mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan
yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah

dari fenitoin.Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan


kepada pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data
mendukung penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan
kejang onset lambat. Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan
sebagai agen lin i pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping
yang menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika
Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk pengobatan
gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi,
lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk
pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang
dari carbamazepine. Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya,
topiramate dan levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi
kejang parsial refrakter, dalam praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi.
Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial.
Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti
sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.Interaksi obat merupakan
pertimbangan penting, kebanyakan pasien yangterkena stroke,sudah banyak
memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama
melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada
protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk
mempertahankan rentang terapi yang konsisten dari kedua agen.
Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari
American Heart Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam
periode akut setelah perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan
intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi
lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk
mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal
dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi
kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis
fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan
penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi
selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi
munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan
mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang.
Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari

antikonvulsan profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko


yang relatif rendah yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang
besar tentang perdarahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin
tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak
dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki
kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa
faktor risiko yang muncul.
G. Prognosis
Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memiliki
data yang bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi
prospektif, kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi
atau defisit neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih
baik dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa
kejang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang memberikan
kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam studi lainnya
dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48 jam dari
serangan stroke atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal
di rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak
menunjukkan adanya kejang (14,4%).
Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang
onset lambat dan pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian
dapat diukur dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi
lebih sering terjadi pada pasien dengan residua neurologis berat (48%)
dibandingkan dengan mereka yang tidak (20%). Kejang pada sindrom reperfusi
biasanya sembuh sendiri. Prognosis jangka panjang tergantung pada
perkembangan perdarahan intraserebral.

Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset lambat dan
pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian dapat diukur dengan Skala
Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering terjadi pada pasien dengan
residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mereka yang tidak (20%). Kejang pada
sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri. Prognosis jangka panjang tergantung pada
perkembangan perdarahan intraserebral. 12
BAB III PENUTUP Kejang pasca stroke merupakan fenomena yang sering terjadi dan dapat
diobati, sedangkan kejang pasca stroke yang berkembang menjadi epilepsi relatif jarang. Lesi
serebrovaskular yang terkait dengan kejang meliputi perdarahan intraserebral (parenkim) dan
subarachnoid serta trombosis vena serebral (dengan atau tanpa infark pada vena) yang
melibatkan lesi pada korteks cerebral, defisit neurologis yang besar atau disabilitas, dan
prosedur revaskularisasi yang melibatkan arteri karotid internal. Pengobatan kejang pasca
stroke tidak berbeda dari pendekatan untuk mengobati kejang onset parsial akibat kerusakan
otak. Kejang pasca stroke memiliki respon yang baik terhadap penggunaan obat antiepilepsi
tunggal. Mengingat bahwa kejadian epilepsi pasca stroke relatif rendah, tidak ada indikasi
untuk pemberian antiepilepsi profilaksis untuk mencegah kejang pada pasien dengan stroke
iskemik akut yang tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya. Kebutuhan penggunaan
antikonvulsan kronis harus dievaluasi secara berkala, mungkin setiap 6 bulan. Meskipun
tidak ada data klinis yang mendokumentasikan efektivitasnya, kebanyakan pasien dengan
perdarahan intraserebral atau subarachnoid harus mendapatkan terapi profilaksis antiepilepsi
jangka pendek. Penelitian lebih lanjut mengenai kejang pasca stroke dapat meliputi penilaian
ukuran dari lesi awal untuk menentukan kesesuaian terapi antiepilepsi kronis setelah kejang
tunggal dan penentuan faktor risiko untuk sindrom reperfusi. Epilepsi pasca stroke juga bisa
menjadi model penelitian yang bertujuan untuk mencegah transformasi cedera jaringan otak
dalam fokus epilepsi. 13

Anda mungkin juga menyukai