Geologi Regional Kulon Progo
Geologi Regional Kulon Progo
GEOLOGI REGIONAL
I.1. Geomorfologi Regional
Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah dibagi menjadi 3
zona, yaitu
B.
C.
D.
E.
a.
b.
1. Sistem eosen
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal pasiran, batu
gamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun moluska. Sistem eosen ini disebut
Nanggulan group. Tipe dari sistem ini misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo,
yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu
Yogyakarta beds, Discoclyina, Axiena Beds dan Napal Globirena, yang masing - masing
sistem ini tersusun oleh batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di sebelah timur
Nanggulan group ini berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping
eosen yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska
2. Sistem oligosen miosen
Sistem oligosen miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak dari
Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan dikeluarkannya
material material piroklastik dari kecil sampai balok yang berdiameter lebih dari 2 meter.
Kemudian material ini disebut formasi andesit tua, karena material vulkanik tersebut bersifat
andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen,
diendapkan pada lingkungan laut dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan
perlipatan yang dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem
oligosen miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen yang ada
dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi andesit tua ini membentuk daerah
perbukitan dengan puncak puncak miring.
3. Sistem miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami penggenangan air laut,
sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara tidak selaras. Fase
pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya terdiri dari batu gamping reef, napal,
tuff breksi, batu pasir, batu gamping globirena dan lignit yang kemudian disebut formasi
jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi sentolo yang formasinya terdiri dari batu
gamping, napal dan batu gamping konglomeratan. Formasi Sentolo sering dijumpai
kedudukannya diatas formasi Jonggrangan. Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama
sama banyak mengandung fosil foraminifera yang beumur burdigalian miosen. Formasi
formasi tersebut memilik ipersebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah
perbukitan dengan puncak yang relative bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami
pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana pembentukan
tersebut berlangsung terus menerus hingga sekarang yang letaknya tidak selaras diatas formasi
yang terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi regional
menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac Donald dan partners
(1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :
1.
Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan lignit, napal
pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan fosil
foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian tentang umur
batuannya didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi
ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin
Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut pasir, dan batu
lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak
fosil pelecypoda.
b. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras denagn ketebalan sekitar
60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir.
Yogyakarta beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
c. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta beds denagn ketebalan
sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik,
kemudian terinterklasi lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds
adalah discocyclina.
2. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff, tuff, breksi
lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang tersingkap di daerah kulon
progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan
660 m. Diperkirakan formasi ini formasi ini berumur oligosen miosen.
3.
Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi, batu lempung
dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya terdiri dari batu gamping
kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540
meter. Letak formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini
diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,
pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan dan batu
gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950
m. Letak formasi initak selaras dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar
miosen bawah sampai pleistosen.
Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut pasir, dan batu
lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak
fosil pelecypoda.
b. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras denagn ketebalan sekitar
60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir.
Yogyakarta beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
c.
Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta beds denagn ketebalan
sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik,
kemudian terinterklasi lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds
adalah discocyclina.
Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang umurnya lebih
tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang juga disebut formasi Yogyakarta.
Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir pasir baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan
endapan alluvialnya terdiri dari batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan
lempung secara berselang seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk dalam
formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya berupa breksi andesit,
aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari penelitian yang dilakukan
Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton seperti Globogerina Caperoensis bolii,
Globigeria Yeguaensis weinzeierl dan applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut
menunjukka batuan berumur Oligosen atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
pada bagian terbawah gunung berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit tua
diperkirakan berumur oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m.
1. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan merupakan
kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE SW dan 20 km mengarah SE
NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut jonggrangan plateu. Kubah
ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar yang berarah
tenggara barat laut dan tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome.
Pemotongan ini menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah jawa.
Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah mempunyai puncak yang
relative datar dan sayap sayap yang miring dan terjal.
Dalam
penurunan cekungan sampai di bawah permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin
pada kaki selatan pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah timur barat yang memisahkan
gunung Menoreh denagn vulkan gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo
merupakan dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa dengan
ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan
selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang memotong breksi gunung
ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong batu gamping Jonggrangan. Pada bagian
tenggara kubah terbentuk graben rendah.
2. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan (disconformity) antar formasi
penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi
andesit tua yang diendapkan tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan
diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang
diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.
DAFTAR PUSTAKA
Van Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1. A.Haque. Netherlands.