Anda di halaman 1dari 4

Di antara masalah yang paling rumit dalam kehidupan Islam adalah yang berkaitan dengan

hiburan dan seni. Karena sudah menjadi sesuatu yang umum kebanyakan manusia terjebak
kelalaian dalam hiburan dan seni, yang memang erat hubungannya dengan perasaan,
kesenangan, hati serta akal pikiran. Sebuah fenomena menggelisahkan, kini tengah dan
bahkan sebenarnya telah cukup lama bergulir di kalangan masyarakat Islam, yakni
kegemaran mendengarkan lagu dan musik.
Melalui kegemaran itu berbagai budaya lain yang merusak merambati relung-relung
kehidupan generasi Islam. Sebagian besar dari mereka menganut budaya moderen yang
hingar bingar penuh sensasi dan pertarungan reputasi, masih pula membaur dengan seribu
satu jenis dan bentuk kemaksiatan yang terkadang sudah menjadi agama mereka. Seni musik,
sastra dan tari dalam Islam sebenarnya telah mempunyai ketentuan tersendiri yang kati.
Segala bentuk ekspresi dan pelahiran nilai estetika dari setiap orang mempunyai aturan sesuai
dengan norma dan tata nilai yang berlaku. Namun sejauh mana hal tersebut menjadi sebuah
konsep baku, sampai hari ini Majlis Ulama belum pernah mengeluarkan fatwa tentang
ketentuan khusus seperti halnya ketentuan menyangkut halal dan haramnya makanan.
Sejak zaman kekuasaan Dinasti Muawiyyah tahun 661-749 M dan kekuasaan Dinasti
Abbasiyah tahun 749-1200 M hingga zaman moderen saat ini, pembicaraan tentang
Tamaddun (seni dan kebudayaan) dalam Islam memang tidak pernah selesai mewarnai gerak
dinamika kehidupan muslim. Oleh kaum modernisme orientalis seni kerap dijadikan sebagai
tameng terhadap penyempitan pemahaman ajaran Islam, sehingga berbagai kajian dan
penelitian tentang kesenian Islam (Seni Islam) terus dilakukan. Dari segi objek penelitian,
menurut Sayyed Hossein Nasr:1987, seni Islam sebenarnya telah menjadi bahan studi para
sarjana Barat sejak abad kesembilan belas dan para sarjana Muslim yang berpendidikan Barat
selama beberapa dekade, setelah itu seni Islam menarik perhatian masyarakat luas sejak dua
atau tiga dekade yang lalu. Banyak karya mengenai sejarah, teknik penciptaan, lingkungan
sosial dan aspek-aspek lainnya dari seni Islam yang diterbitkan dalam berbagai bahasa di
Erofa. Beberapa terbitan itu berpegang teguh pada signifikansi dan makna spiritual yang asli,
walaupun jumlahnya hanya sedikit sekali. Selain itu tulisan-tulisan T. Burckhardt, yang
memberikan penjelasan khusus mengenai demensi intelektual, simbolisme dan demensidemensi spiritual Islam, sangatlah sedikit karya yang memandang seni Islam sebagai
manifestasi bentuk-bentuk realitas spiritual (al-haqaiq) wahyu Islam itu sendiri karena
diwarnai oleh pengejawantahannya yang bersifat duniawi dan menyalahi hukum Islam.
Terlebih ketika goyangan (seni tari) Inul Daratista, photo ekpresi dan foese Anjasmara serta
sejumlah selebriti kita mencuat kepermukaan dan menjadi bahan pembicaraan yang hangat,
hingga melahirkan pro dan kontra tentang lahirnya Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi. Dari sudut pandang para seniman dengan mengatasnamakan
kebebasan berekpresi hal tersebut sebenarnya bukanlah satu hal yang perlu diperdebatkan,
tetapi dari segi intensitas, media yang digunakan dan mayoritas masyarakat pengguna media
terbut adalah umat Islam, maka hal itu dapat menjadi bumerang.
Islam sendiri sebenarnya adalah agama yang realistis. Islam memperhatikan tabiat dan
kebutuhan manusia, baik jasmani, rohani, akal dan perasaannya, sesuai dengan kebutuhan
manusia dalam batasan-batasan yang seimbang. Jika olah raga kebutuhan jasmani, beribadah
sebagai kebutuhan rohani, ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni merupakan
kebutuhan rasa (intuisi), yaitu seni yang dapat meningkatkan derajat dan kemulyaan manusia,
bukan seni yang dapat menjerumuskan manusia dalam kehinaan.

Bagaimana sebenarnya ekpresi yang islami dan apa dalil-dalil yang mendukung kesenian dan
budaya dalam kehidupan muslim? Pertanyaan ini secara sepintas akan terjawab dengan
hadirnya buku HADIS HADIS KEBUDAYAAN terbitan Desantara Jakarta. Buku yang
dieditori oleh Ahmad Tohari dan Bisri Efendi ini berbicara tentang seni dan budaya dalam
Islam dengan menghadirkan tidak kurang dari 71 Hadis yang berkaitan langsung dengan seni
dan budaya di masa Nabi, khususnya seni tarik suara dan seni musik.
Dalam hal berekpresi, Ahmad Tohari pada bagian pengantarnya mengatakan bahwa
sesungguhnya umat Islam tidak berbeda dengan umat yang hidup dengan karunia akal budi
dan perasaan. Dengan kedua hal tersebut setiap manusia mampu berpikir dan merasakan
segala hal yang tertangkap oleh panca indera, serta berkreasi dalam berbagai bentuk ciptaan
dan penemuan, baik yang non seni maupun yang bersifat seni. Dengan kata lain umat Islam
mempunyai hak dan posisi yang sama dengan umat lain dalam hal seni dan berkesenian.
Hal ini sesuai dengan konsep ajaran Islam yang terdapat dalam salah satu ayat Alquran yang
memerintahkan manusia untuk memanfaatkan faktor estetika yang telah dikaruniakan
kepadanya (Surat A-Nahl:78). Bahkan Allah Swt sendiri mengakui bagaimana peran sebuah
hasil karya seni seperti syair puisi dapat menjadikan sang penyairnya menjadi penghuni
neraka atau penghuni surga. Demikian urgen dan pentingnya kedudukan seni serta seniman
itu sendiri dalam merubah dan menciptakan sebuah kebudayaan, hingga Allah Swt sendiri
mencantumkan nama salah satu surat dalam Al-Quran dengan jenis profesi kesenimanan,
yaitu surat Asy-SyuAra (Para Penyair).
Bagaimana berkesenian; berekpresi, bermain musik, bertari dan bernyanyi pada zaman
Rasul ? Buku kecil dengan 64 halaman ini menjadi wajib untuk dibaca, karena ia mencoba
mengaktualisasikan sejumlah kejadian dan momen-momen di mana Rasul ikut menikmati,
melihat dan mendengarkan ketika beberapa sahabat mengekpresikan nilai estetikanya dengan
bermain musik. Rasul-pun seolah mebolehkan dan tidak terkesan melarang ketika sejumlah
wanita bermain musik, bernyanyi dan menari dalam sebuah acara perkawinan yang dihadiri
oleh Rasul sendiri. Buku ini menampilkan kejadian sejarah tentang awal mula
dibolehkankannya bermain musik melalui Hadis-Hadis Nabi yang dari segi periwayatannya
tergolong shahih. Baik dari segi sanad maupun matannya.
Perdebatan tentang seni musik dalam Islam secara khusus memang telah dibicarakan oleh
Dr. Ysuf Al-Qardlawy melalui bukunya Figh Al-Ghina wa alMusiqi fi Dhau-I Al-Quran wa
As-Sunnah (Piqih Musik dan Lagu Perspektif Al-Qran dan As-Sunnah) terbitan Maktabah
Wahbah, Kairo 2001, dan buku Tahrim Alatit Tharab (Polemik Seputar Hukum Lagu dan
Musik ) tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani terbitan Dar Ash-Shiddiq, Saudi
Arabia 1999. Kedua buku tersebut berusaha menjelaskan bagaimana seni musik Islam
bermula, berkembang dan digemari serta bagaimana hukum-hukumnya berdasarkan sejumlah
dalil ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi. Namun secara spesifik kehadiran buku HADISHADIS KEBUDAYAAN lebih kepada merangkum sejumlah Hadis-Hadis Nabi yang secara
khusus menggambarkan keterlibatan Rasul dalam musik, ketika para sahabat mencoba
memainkannya dihadapan Nabi. Menariknya buku ini adalah tentang kumpulan Hadis-Hadis
yang menggambarkan Nabi sebagai penikmat sekaligus sebagai apresian dari musik itu
sendiri saat itu.
Kehadiran buku ini dalam khasanah keilmuan dan refrensi seni dan kebudayaan Islam
sangatlah berarti. Selain sebagai bahan rujukan baru tentang kehidupan Rasul, juga dapat
menjadi bahan refrensi penting tentang pengkondisian-pencarian eksistensi kesenian dalam

Islam. Karena masih banyak masyarakat muslim yang belum mengerti dan faham bagaimana
sebenarnya sebuah kebudayaan, khususnya seni diciptakan, diekpresikan dan dinikmati
dengan tidak melanggar norma-norma ajaran agama.
Buku ini dibagi ke dalam dua bagian utama. Yang pertama menyangkut sekumpulan Hadis
tentang kesenian, dan yang kedua sekumpulan Hadis tentang Pluralitas dan toleransi. Buku
ini sendiri tampaknya memang sengaja tidak memberi analisa-analisa dan penjelasan lebih
jauh dan berarti tentang isi serta relefansi dalil-dalil Hadis dengan realita dunia seni Islam
saat ini, sehingga memberi kesan sekaligus tantangan kepada pembaca untuk
menginterfestasi, men-tafsir, mengapresiasi sendiri dalil-dalil Hadis tersebut sebagai ramburambu sekaligus sebagai bahan rujukan yang signifikan dalam dunia berkebudayaan dan
berkesenian

1. QS.Al A'raf :137.



.
Adapun istidlal dari ayat tersebut adalah mengatakan halalnya segala hal
yang baik yang terdapt dalam risalah Muhammadiyah yang terjaga dan risalah
tersebut merupakan undang-undang yang mudah dan ringan. Asy Syaukani
mengatakan :" Ibnu Abdus Salam menegaskan dalam Dala'ilul Ahkam yang
dimaksud dengan Ath Thayyibat dalam ayat itu adalah hal-hal yang dapat
dinikmati.
2. QS. Luqman : 19

Menunjukkan kepada pemahaman pujian bagi suara yang bagus
3. QS. Faathir : 1

Az Zuhry dan ibnu Juraij menafsirkan ini adalah suara yang bagus.

DALIL-DALIL AL-QURAN TENTANG SENI

Oleh
HARI RAYADI PUTRA

INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA


FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI
2016

Anda mungkin juga menyukai