Anda di halaman 1dari 140
KARAKTERISTIK HABITAT DAN KAITANNYA DENGAN JAAN TIGA JENIS KEPITING BAKAU (Scyiia olivacea, S. tranquebarica, dan S.serrata) DI PERAIRAN KARANG ANYAR, SEGARA ANAKAN, CILACAP JAWA TENGAH OLEH: FITRINA NAZAR PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK FITRINA NAZAR. Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepking Bakau (Scylia olivacea, S. ranquebarica, dan S. serrata) di Peraran Karang Anyat, Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh R. F. KASWADJI, ‘SULISTIONO dan NAWANGSARt SUGIRI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahul karakteristik ‘masing-masing habitat kepiting bakau dan fhubungannya dengan distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis dan ukuran. Penelitian dilaksanakan di perairan dan ai Galam hutan mangrove Karang Anyar, Segara Anakan. Pengambilan data. dilakukan setiap hari dari tanggal 1 ‘September 2001 sampai dengan tanggat 31 Desember 2001 Kondisi parameter kualtas air pada lokasi pengambilan sampel secara umum Cepeda aniar stasiun dan bulan, kecuall untuk parameter suhu tidak berkeva ome Slasiun, dan kedalaman perairan tidak berbeda antar bulan. Untuk tekeie sete ‘ordi dari lumpur, fat, dan pasir, dengan kandungan yang dominan \umpur Dj Stasiun 4, 5, dan 6 ditemukan 9 genus mangrove yang terdiri dari 6 famili, dengan kerapatan tertinggi terdapat pada Stasiun 6 (20 individu 100 m’), baik katagori Pohon maupun anakan. ‘Sumber makanan alami bagi kepiing bakau adalah bentos dan serasah, Bentos ditemukan sebanyak 11 genus, dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada dua jenis tainnya. Jenis S. serrata menempatl Stasiun 1, 2, dan 3 yang berada di SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: KARAKTERISTIK HABITAT DAN KAITANNYA DENGAN KEBERADAAN TIGA. JENIS KEPITING BAKAU (Scyifa olivaces, S. tranquebarica, dan S. serrata} DI PERAIRAN KARANG ANYAR, SEGARA ANAKAN, CILACAP JAWA TENGAH adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pemah dipublikasikan. Semua ‘sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Oktober 2002 KARAKTERISTIK HABITAT DAN KAITANNYA DENGAN KEBERADAAN TIGA JENIS KEPITING BAKAU (Scyila olivacea, S. tranquebarica, dan S.serrata) Dl PERAIRAN KARANG ANYAR, SEGARA ANAKAN, CILACAP JAWA TENGAH FITRINA NAZAR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoieh gelar Magister Sains pada Program Studi limu Kelautan PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 RIWAYAT HIDUP FITRINA NAZAR, penulis adalah anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan dr. H. Nazaruddin Tamin dan Hj. Fatimah Saidi, dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1975 di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat. Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Negeri 4 Batusangkar dan SDN 27 Padang tahun 1982-1988, SMPN 1 Padang tahun 1988-1991, SMAN 1 Padang tahun 1991-1894. Pada bulan September tahun 1994 melanjutkan studi ke program S1 pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang, yang diselesaikan pada bulan Agustus 1988. Semenjak bulan September 1999 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 Program Studi limu Kelautan (1KL) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama masa studi penulis selalu aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, antara lain OSIS, Ketua Majelis Permusyawaratan Kelas, pengurus ‘Senat Mahasiswa Fakuttas Perikanan, dan mengikuti berbagai kompetisi antar siswa antara lain siswa teladan SLTP Nasional 1990, Finalis Lomba Penelitian ilmiah Remaja 1991, Lomba Karya limiah Remaja LIP-TVRI 1992, dan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi ‘tingkat Universitas Bung Hatta Padang tahun 1996. PRAKATA Puli syukur yang tidak terhingga penulis sampaikan kehadirat Allah swt, dengan rahmat dan kanunia-Nya Penulisan tesis ini dapat dirampungkan. Penyusunan tesis ini dari awal sampai selesai tidak terlepas dart bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktu memberikan arahan, masukan dan kriikan, dorongan semangat, kesempatan, do'a restu, sorta dukungan dana, Untuk itu pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang Sebesar-besamya terutama kepada Bapak Dr. Ir. R.F Kaswadji, M.Sc selaku ketue komisi dan pembimbing pertama, Bapak Dr. tr. Sulistiono, M.Sc dan Ibu Prof. Dr. Neawangsari Sugiri selaku anggota pembimbing. Bapak Rektor institut Pertanian Bogor, Ibu Prof. Dr, ‘Syaftida Manuwoto, M.Sc selaku Direktur Program Pascasarjana IPB beserta ‘staf, Bapak De. Ir. John I. Pariwono, M.Sc selaku Ketua Program Studi lima Kelautan (PS-IKL), Bapak Dr. fr. Mula Purba, M.Sc beseria stat Pengajar PPs-IKL lainnya atas kerjasama, perhatian, semangat, pengetahuan, dan kesempatan yang diberikan solama menimba ilmu di jenjang S2 pada PPs IPB. Terima kasih yang tak terhingga kepada Pak Muh. Hatta, Mbak Nur Asia dan keluarga, atas segala pertolongan, bantuan, dorongan semangat dan pengertiannya. Direktur PMO-SACDP Cilacap beserta staf, keluarga Pak Kuatianto Cilacap, keluarga Mas Wardi, Mas Bardi, Pak Sastro, Pak Lurah, dan Warsono di Segara Anakan ates semua fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan, mak lupa juga kepada semua rekan-rokan se-angkatan (IKL-99) atas kerjasama, bantuan, dorongan semangat dan persahabatan yang tulus. Terima (asin yang tak terhingga kepada Suparman Sasmita, S.Pi dan Nurzula Yenti, S.Pi (eman-teman di Sakura 11 Loji dan di Wisma Buchorl Danmaga alas semua bantuan, dukungan, dan doanya. Akhimya penulis persembahkan tesis ini sebagai bukti bak, terima kasih dan pertarggungjawaban atas dan kesempatan yang diberikan kepada yang mulia Kedua orang tua Bapak ar, H. Nazaruddin Tamin, Ibunda Hj, Fatman Said, kakak-kakak dan adik-adik beserta seluruh keluarga besar tercinta, keponakan tersayang Fatia Farhani, juga M. Rifqi, S.Pi, MSI. alas segala Rengertian. dukungan, kepercayaan, pertiatian dan Kasih yang tak pemah puts, Semoga segala bantuan, kemudahan, dan pengorbanan yang diberikan cerca bihak, balk yang telah disebutkan di alas maupun yang tidak, diterima dan diniat Allah SWT disisi-Nya sebagai ibadah. Amien...... Bogor, Oktober 2002 Fitrina Nazar DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi dan Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Kepifing Bakau Klasifikas! dai ogi Daur Hidup dan Habitat Makanan dan Kebiasaan Makan . Preferensi Kepiting Bakau Terhadap Kualitas Air Suhu Salinitas Derajat Keasaman (pH) Fraksi Substrat Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut Hutan Mangrove .... Pengertian Hutan Mangrove Potensi Hutan Mangrove METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian .. Alat dan Bahan Penelitian . Metode Penelitian Lokasi Penelitian Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau vii Oana ao Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove . Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobentos. Anafisis Data Kelimpahan Pola Distribusi Kepiting Bakau Kerapatan Jenis Mangrove .. Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungar Penyebaran (Distribusi) Kepiting Bakau per Jenis Antar Stasiun dan Antar Bulan .. . Hubungan Antar Bulan per Stasiun dengan Jenis per Kalas Ukuran Kepiting Bakau HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Daerah Penelitian Kualitas Air dan Substrat Vegetasi Mangrove .. Ketersediaan Makanan Alami Kepiting Bakau Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan ... Jumlah dan Sebaran Ukuran Kepiting Bakau per Jenis Distribusi Kepiting Bakau Berdasarkan Umur Bulan .. Hubungan Keberadaan Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA ... viii 80 80 82 DAFTAR TABEL - Morfologi kepiting bakau (Scy#la spp) menurut Keenan (1999) ......... . Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan Kisaran parameter kualitas air per stasiun selama penelitian Rata-rata suhu selama penetitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) .. . 5. Rate-rata salinitas selama penelitian dan hasil uji Beda Nyala Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) ... a 8. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil (BN7) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian . 7. Rata-rata kedalaman air selama penetitian dan hasil uji Beda Nyata ‘Terkec# (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) 8. Rata-rata fraksi substrat per stasiun 8. Kondisi dan lokast penyebaran hutan mangrove di Segara Anakan ... 10. Dafiar jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di daerah penelitian. 11. Kerapatan mangrove per jenis dan per stasiun 12. Kelimpahan makrozoobentos di perairan Karang Anyar Segara Anakan .. 13. Bobot serasah di Stasiun 4, 5, dan 6 14, Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rata-rata jumlah kepiting S. Aenea 35 - 38 40 BSBS serrata, S. tranquebarica, dan S. olivacea . 59 16. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) ukuran karapas kepiting jenis S. serrata antar umur butan hijtiyah . 86 16. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) ukuran karapas kepiting jenis S- tranqueberica antar umur bulan hijriyah . 67 17, Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) ukuran karapas kepiting jenis S. olivacea antar umur bulan hijtiyah ... . 68 18. Indeks Morisita masing-masing jenis kepiting bakau 72 19. Prosentase kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata pada masing-masing stasiun berdasarkan karakteristik habitat yang mempengaruhinya_ . a 73 FRONA © OND . Kepiting bakau jenis S, ofivacea ..... . Kepiting bakau jenis S. franquebarica . Kepiting bakau jenis S. serrata |. Grafik analisis faktorial koresponden antara jenis kepiting per kelas DAFTAR GAMBAR Morfologi kepiting baka... 8 . Daur hidup kepiting bakau 10 . Peta lokasi penelitian 24 ‘Skema metode pengambilan sampal 27 . Hasil analisis sidik gerombol semua stasiun pada tiap bulan Pengamatan berdasarkan karakteristik lingkungan .. 57 ukuran dengan stasiun dan bulan pengamatan 74 PR enNnn . Lokasi stasiun penelitian ... DAFTAR LAMPIRAN Halaman + Perhitungan anova untuk jenis Scyila serrata ... 89 . Perhitungan anova untuk jenis S, tranquebarica 96 . Perhitungan anova untuk jenis S. olivacea .. 109 |. Hasil anaiisis fakiorial koresponden, 115 . Hasil uji Beda Nyata Terkecit (BNT) rata rata ukuran karapas kepiting S. serrata, S. tranquebarica, dan S. olivacea .......... pene 120 . Hasil analisis varians jumlah dan ukuran karapas kepiting jenis S. rbeda serrata yang tertangkap pada empat umur bulan bei - Hasil analisis varians jumiah dan ukuran karapas kepiting jenis S. franquebarica yang tertangkap pada empat umur bulan berbeda ._Hasil analisis varians jumlah dan ukuran karapas kepiting jenis S. olivacea yang tertangkap pada empat umur bulan berbeda . xi PENDAHULUAN Latar belakang Estuaria merupakan salah satu bentuk dati ekosistem lahan basah yang lvasnya di indonesia mencapai 38 juta ha (Wetland Indonesia, 1996). Kawasan- kawasan lahan basah (termasuk estuaria) ini, mengalami kerusakan yang sangat Sefus Karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak Perwawasan lingkungan. Hal ini mengakibalkan menyusutnya hutan mangrove, hutan rawa, hutan gambut beserta keanekaragaman spesies flora dan fauna di dalamnya, pencemaran air karena penggunaan pupuk, racun hama, penyakit, serta berbagai industri dan kegiatan pertambangan. Masalah serus lainnya adalah Pelumpuran, karena kegiatan pertanian di fahan atas yang tidak memperhatikan teknik konsorvasi hutan, tanah dan air, Kawasan Estauria Segara Anakan memilki luas 45 340 ha (Mumi, 1995). Secara administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Cilacap, Propins! Jawa Tengah, Kawasan ini terdiri atas daratan seluas 11 940 ha, perairan rawa bakau 29 400 ha, dan perairan rawa payau 4 000 ha. Estuaria Segara Anakan ini dibatasi oleh Pulau Nusakambangan seluas 30 000 ha. Kekhasan ekosistem ini karena tetaknya terlindung oleh Pulau Nusakambangan yang memisahkannya dari Samudera Indonesia. Segara Anakan tetap terpengaruh oleh gerakan pasang surut air laut Karena adanya dua kanal, yaitu kanal barat dan kanal timur, yang menghubungkannya dengan Samudera Indonesia. ‘Segara Anakan memillki tipe zonasi hutan mangrove yang terlengkap di Pulau Jawa (Adiwilaga, 1992), terdiri atas 26 jenis vegetasi dengan tiga jenis vegetasi paling dominan yaitu Rhizophora apiculate, R. mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza. Selain itu, ekosistem hutan mangrove dan perairan Segara Anakan Juga merupakan habitat dari berbagai spesies langka seperti pesut (Orchaella brevirostris), duyung (Dugong-dugong) serta jenis burung langka yang terancam punah seperti bluwok (Mycteria cinerea) (Mumi, 2000). ‘Secara ekologis berfungs! sebagai daerah pemijahan dan pembesaran (nursery ground) berbagai jenis spesies komersial balk ikan maupun udang dan habitat berbagai jenis fauna, diantaranya termasuk jenis yang dilindungi, serta sebagai tempat mencari makan bagi sekitar 45 jenis ikan peruaya (PKSPL, 1997). Dari segi sosial ekonomi, Segara Anakan merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitamya, baik di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, pariwisata dan transportasi, Produktivitas Segara Anakan berikut fungsi ekologis dan sosial ekonomisnya mendapat ancaman Karena pendangkalan yang berlangsung lama menyebabkan penyusutan Iuasan maupun kedalaman perairannya. Penyusutan ini disebabkan karena adanya sedimen yang terendapkan sebagai akibat adanya erosi di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, DAS Cikonde, dan DAS Cibeureum. Menurut ECL (1994), DAS Citandui mengkontribusi sekttar 5 juta m? lumpurtahun sedangkan DAS Cikonde sekitar 770 000 m® iumpurftahun. Disamping ju Napitupuiu dan Ramu (1982) menyebutkan adanya sumber lumpur dari DAS Segara Anakan sekitar 1,6 juta m*tahun dan limpasan banjir dari Kecamatan Nusa Wuluh sekitar 0,62 juta m°tahun, Akibat pelumpuran ini, luas perairan Segara Anakan menyempit dari 6 450 ha pada tahun 1903 menjadi 1 800 ha pada tahun 1992 (Diljen Pengairan Departemen PU, 1994). Semakin menyempitnya perairan Segara Anakan mengakibatkan terganggunya fungsi ekologis dan sosial ekonomis Karena rusaknya lingkungan dan sumberdaya alam, rusaknya hutan mangrove, yang pada akhimya akan menurunkan produksi perikanan. . Berdasarkan data Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap tahun 1995 menunjukkan penurunan produksi perikanan dari 19 551 ton pada tahun 1994 menjadi 13 764 ton pada tahun 1995 (mengalami penurunan sekitar 29,59 %). Data dari Perum Perhutani KPH Banyumas Barat tahun 1995 menunjukkan bahwa luas hutan mangrove Segara Anakan setiap tahun mengalami penyusutan rata-rata 300,5 haftahun, yaitu dari 15 712 ha pada tahun 1984 menjadi 15 689 ha pada tahun 1985, 12 133 ha pada tahun 1991, dan menjadi 9 695 ha pada tahun 1994. Di sisi lain Perubahan hidromorfografi perairan Segara Anakan ini diduga menunjang terciptanya habitat yang cukup baik bagi perkembangan kepiting bakau. Harga kepiting bakau semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya Permintaan terhadap komoditi ini, baik untuk pasaran di dalam negeri maupun luar hegeri. Hal ini memberikan dampak positif karena dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan, tetap eksploitasi yang terus menerus akan mengancam keberadaan kepiting bakau itu sendiri di alam. Untuk memecahkan masatah ini, perlu diusahakan kegiatan budidaya kepiting bakau. Dengan demikian tentu dibutuhkan data dan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek budidaya, diantaranya aspek ekologis terutama tentang karakteristk habitat dan hubungannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau (Scyila olivacea, S. tranquebarice, dan S. serrata) di habitat alaminya. Identifikasi dan Perumusan Masalah Perairan Segara Anakan saat ini terus mengalami akresi, pendangkalan serta perubahan ekosistem -perairan yang menyebabkan terjadinya perubahan hidromorfograf. Perubahan ini diduga menciptakan habitat yang baik bagi keberadaan kepiting bakau. Untuk mengetahui parameter karakteristik habitat dan kaltannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau, maka diperlukan pendekatan masalah sebagai berikut: 1 Menetapkan tipe habitat dari ke-tiga jenis kepiting bakau berdasarkan pada variasi karakteristik ingkungan. 2 Diamati dan diukur jenis dan kerapatan mangrove, parameter kualitas air dan Substrat, serta ketersediaan makanan alami kepiting bakau. 3 Pada tiap tipe habitat dihitung jumiah individu per jents, jenis kelamin, panjang karapas dan lebar karapas kepiting bakau. Kemudian dianalisis penyebaran dan ukuran per jenis. 4 Menentukan pola distribusi kepiting bakau pada tiap tipe habitat berdasarkan Pada karakteristik habitat yang mempengaruhinya. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pola distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis dan ukuran. 2. Mengetanui karakteristik masing-masing habitat kepiting bakau dan hubungannya dengan distribusi kepiting bakau. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi_ tentang keberadaan, distribusi, dan kondisi kepiting bakau di alam, dapat menjadi data dasar bagi kegiatan budidaya, serta menjadi bahan pertimbangan bagi perlindungan, Pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau untuk masa yang akan datang, Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah karakteristik dan tipe habitat yang berbeda di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, akan bepengaruh terhadap keberadaan dan pola penyebaran kepiting bakau. TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau Klasitikasi kepiting bakau menurut Oemardjati (1992) adalah sebagai berikut: Filurs : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda ‘Subordo : Branchyura Famili : Portunidae Genus Scylla spp. Genus Scylia spp. terdiri atas tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scyila serrata, S. oceanica, S. tranquebarica, dan S. serrata var. paramamosain, Wama digunakan sebagai faktor pembeda, yaitu S. oceanica dan S. tranquebarica mempunyai wama dasar kehijauan atau hijau keabuan, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosain mempunyai wema dasar hijau merah kecoklatan. ‘Sedangkan Keenan (1997) mengoreksi tata nama ini dengan membagi genus Scyli@ menjadi Seylia olivacea, S. franquebarica, dan S. serrata. Perbedaan morfologi_untuk membedakan ketiga jenis dari genus Scyila yaitu warna, gigi depan karapas, bentuk duri pada sendi jari, dan bentuk rambut (Tabel 1). ‘Tabel 1. Morfologi kepiting bakau (Scyla spp.} menurut Keenan (1997) fama Hijau menuju hijau| Hijau coklat merah, abu- abu Hijau buah zaitun seperti karat ‘Sumber i i Pigmen poligonal pembuat faamen poiigor ee dan berada pada - wama kaki terakhir pigidepan, Dalam Tajam Landai Duri pada Kedua dui jelas dan] Satu dur funcing, satu] sendi jar Kedua duri tumput runcing agak tumpul Melimpah pada Hanya pada daerah Rambut karapas hepatik Scylla serrata (Forskal) mempunyai nama lokal yang beranekaragam diantaranya kepiting lumpur (Australia), ketam batu (Malaysia), dan kepiting bakau di Indonesia (Moosa ef al, 1985). Ciri-ciri kepiting bakau yang merupakan bagian dari suku Portunidae adalah karapas berwama sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat sembilan buah duti tajam, dan pada bagian depan diantara kedua tangkai matanya terdapat enam buah dur, sapit kanan lebih besar dari sapit ki dengan wema kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki jalan dan satu pasang kaki renang yang terdapat pada wjung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi alat pendayung (Kasry, 1996). Selanjutnya Sulistiono ef af. (1992) menyatakan bahwa karapas berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastik dan kardiak jelas, empat duri triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada yang betina sedikit membulat. Morfologi kepiting bakau (Scyila spp.) dapat dilihat paca Gambar 1 ‘Kaui Jaton ii Kaki Solan i Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scyila spp.) Sedangkan Moosa ef a/, (1985) mendeskripsikan kepiting bakau sebagai benkut: karapas pipih atau agak cembung, bentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum bulat telur, karapas lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi antero-lateral bergigi lima sampai Sembilan buah, sungut melintang atau menyerong. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipin menyerupai dayung terutama dua ruas terakhimya. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya. Ruas abdomen Kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak membulat dan lebih lebar. Daur Hidup dan Habitat Dalam menjalani kehidupannya, kepiting bakau beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anak kepiting bakau ini akan berusaha Kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan hutan bakau untuk berfindung, mencari makanan, dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan ini akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah Perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya ke laut menjauhi pantai untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan berada di perairan bakau dan di sekitar pantai pada bagian yang berlumpur (Kasry, 1996). Setelah telur menetas akan muncul larva tingkat 1 (zoea 1) yang akan terus berganti kult dan terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat zoea V. Proses ini biasanya membutuhkan waktu 18 hari. Zoea V ini akan mengalami pergantian kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki ekor, Kepiting bakau pada tingkat megalopa ini akan beruaya kembali ke pantai, muara sungai, dan kemball ke hutan mangrove. Kepiting bakau dapat dikatakan dewasa dan telah dapat memijah pada umur 12-14 bulan (Afrianto dan Liviawati (1982). Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang daur hidup kepiting bakau, dapat dilihat pada Gambar 2. hidup kepiting bakau (Soim, 1999). Gambar 2, Daur Wamer (1977) menyatakan bahwa kepiting bakau mulai dari telur sampai Gewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu mulai dari zoea, megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa, Setiap terjadi pergantian kullt, zoea fumbuh dan berkembang yang ditandai dengan adanya seta renang pada endopoda mexiiped-nya, Megalopa yang mitip kepting dewasa seringkali dirujuk sebagai Kepiting pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke kepiting muda diperlukan waktu 11-12 hari, 10 Makanan dan Kebiasaan Makan Larva kepiting bakau membutuhkan pakan dalam jumlah tertentu untuk menunjang aktivitas pertumbuhannya. Jenis pakan yang dikonsumsi kepiting juga bervariasi, tergantung pada ukuran kepiting yang dipelihara. Dalam fase larva, kepiting menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan ukuran mulut kepiting yang juga relatif kecil. Umar (2000) menyatakan bahwa pada saat pertama kali menetas, larva kepiting bakau cenderung jebih ‘menyukai fitoplankton karena ukuran bukaan mulutnya yang masih kecil. Setelah mengalami perkembangan lebih lanjut sehingga mencapai ukuran yang memungkinkan untuk memangsa zooplankton, maka larva kepiting bakau cenderung lebih menyukai zooplankton, yaitu dari jenis kopepoda. Hal ini didukung oleh pendapat Kasry (1996) bahwa larva kepiting bakau lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva pada tingkat awal. Makanannya terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetraselmis chuli, Chlorella SP., rotifer, larva ekinodermata, larva berbagai jenis moluska, cacing, dan lain-lain, adi semakin tinggi tingkat larvanya, makanannya pun lebih bersifat karnivor- ‘omnivor. Makanan hidup yang diberikan pada larva yang dipelihara di laboratorium diusahakan berukuran tubuh yang lebih kecil daripada ukuran bukaan mulut larva. Karena itu, larva tingkat awal ini sebaiknya diberikan rotifera dan fitoplankton (Kasry, 1996). Setelah memasuki fase megalopa, kepiting bakau cenderung lebin menyukai ‘organisme yang berukuran lebih besar. Dari penelitian Munir (1999) didapatkan bahwa kombinasi pakan alami berupa Brachionus sp. dengan Tetraseimis sp memberikan kelangsungan hidup yang paling tinggi W Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-scavenger. Mereka memakan tumbuhan, bangkai hewan, kayu dan bambu di tambak-tambak (Kasry, 1996). Soim (1999) lebih lanjut_menjelaskan bahwa kepiting bakau lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan an udang. Aktivitas makan kepiting bakau jantan lebih tinggi daripada aktivitas makan kepiting betina (Mangampa et ai. 1987), Selanjutnya dijelaskan oleh Lavina (1877) dalam Mangampa et al. (1987) bahwa pada kepiting betina energi yang ada Gigunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad, sehingga aktivitas makan Pada kepiting betina cenderung menurun. Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di Sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akamya (oneumatophore). Hill (1978) Menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Hal senada juga diungkapkan Moosa ef al, (1985) bahwa kepiting bakau merupakan organisme bentik yang memakan serasah, habitatnya adalah Perairan intertidal di dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Opnai (1986) menyatakan bahwa kepiting bakau di perairan hutan mangrove Papua New Guinea, 89% lambungnya berisi bivalvia, gastropoda dan moluska lainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea yang sulit untuk diidentifikasi, Hasil analisa isi perut dari kepiting bakau yang ditangkap di muara Sungai Cenranae Bone menunjukkan bahwa lebin dari 90% isi lambungnya terdiri dari jenis alga (Spirogyra sp. dan Chara sp.), larva insekta dan benih tiram (Gunarto et al. 1987), sedangkan di Perairan Segara Anakan banyak ditemukan moluska dan titam, yang merupakan habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Tangan dan capit kepiting yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh dengan ganas atau merobek-robek makanannya. Sobekan makanan itu dibawa ke mulut dengan kedua sapitnya. Kepiting bakau biasanya ‘maken tidak beraturan, tetapi biasanya lebin aktif di malam hari daripada di siang hari. Karena itu kepiting bakau tergolong hewan noktumal (hewan yang aktit di malam hari) (Moosa ef af. 1985) Almada (2001) dari hasil penelitiannya di laboratorium menambahkan waktu makan kepiting bakau adalah malam hari (pukui 18.00 ~ 24.00). Siang hari kepiting Juga makan, tapi jumlan dan frekuensinya lebih kecil daripada malam hari. Dari hasil Percobaan di laboratorium diperoleh informasi bahwa kepiting bakau lebih menyukai umpan berupa kulit sapi karena baunya yang lebih menyengat dan disukai kepiting daripada umpan lain berupa belut dan ikan nila, Preferensi Kepiting Bakau Terhadap Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan semua organisme, termasuk kepiting bakau. Dengan demikian di alam, kepiting bakau hanya akan menempati habitat dalam suatu badan perairan yang memiliki kondisi kualitas air yang mampu ditolerir oleh organisme tersebut. Kedalaman Air Kedalaman air salah satunya dipengaruhi oleh peristwa pasang surut. Kedalaman air ini berpengaruh kepada kepiting bakau terutama pada saat terjadi Perkawinan. Walaupun demikian, kepiting bakau ini tetap dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan ismail (1987) mendapatkan kepiting bakau hidup pada kedalaman 30 cm- 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan 30 cm - 125 ‘em di muara sungai, Pada siang hari kepiting bakau terthat menuju ke perairan yang dangkal, Sedangkan di Pulau Caroline bagian timur, Scylla serrata ditangkap di perairan di Sekitar hutan mangrove saat air surut (Hill, 1980). Larva kepiting bakau yang berasal dari (aut banyak dijumpai di sekitar estuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang biasanya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung. Kepiting bakau tahap juvenil (first crab) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makan, lalu Kembali lagi ke zona sub-tidal pada saat air surut ‘Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap perairan Zona intertidal, membenamkan dirinya ke dalam tumpur atau menggali iubang pada substrat yang lunak (Mulya, 2000), Selanjutnya dikatakan bahwa sebelum molting (pre-molt) kepiting bakau membenamkan dirinya ke dalam lumpur atau masuk ke dalam lubang sampai karapasnya mengeras. Suhu ‘Suhu adaiah faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di laut adalah laju fotosintesis fitoplankton dan proses fisiologi hewan, meliputi metabolisme dan siklus reproduksinya. Menurut Hill (1982), suhu air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan, ‘molting, aktivitas dan juga nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20 °C akan mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun 14 Blasanya pada saat ini pertumbuhan akan terhenti, walaupun kepiting masih tetap hidup. i perairan hutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 28,8 °C - 36,0°C (Wahyuni dan Sunaryo, 1981). Toro (1986) mendapatkan kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu 27,6 °C — 30,5 °C. Sedangkan di perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tangerang, kepiting bakau ditemukan pada suhu perairan rata-rata 28,8 °C. Brick (1974) dalam Kasry (1986), menyatakan bahwa di Hawal kepiting bakau betina beruaya untuk memijah dengan cara mencari perairan dengan kisaran suhu air 24 °C — 28 °C, sedangkan di Thailand, suhu rata-rata 29,0 °C. Menurut Felder dan Heasman (1978), perairan yang bersuhu tinggl cenderung akan meningkatkan perlumbuhan kepiting bakau, sehingga kepiting bisa dewasa dalam waktu yang lebih singkat. ‘Suhu juga dapat mempengaruhi kehidupan larva, dalam hal ini tingkat Perkembangan larva dengan adanya perbedaan suhu pemeliharaan. Zooa ke lima Periama dicapal pada waktu 15 hari pemeliharaan dengan rata-rata suhu 27,5°C, 14 ~ 15 hari pada suhu 22,5 °C, 13 - 14 hari pada suhu 27 °C, dan 14 ~ 18 hari pada suhu 27 °C (Heasman dalam Siahainenia, 2000). Diduga bahwa disamping Kepadatan makanan, maka suhu juga berperan tethadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Salinitas Menurut Kinne (1964) dalam La Sara (1994), salinitas diduga mempengaruhi Steaktur dan fungsi organ organisme perairan melalui perubahan tekanan osmotik, Proporsi relatif bahan pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan kelarutan, is viskositas, perubahan penyerapan sinar, penghantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan mengubah komposisi spesies pada situasi ekologi saat itu. Organisme tertentu membutuhkan salinitas berbeda pada setiap fase dari sikius hidupnya. Pada kepiting bakau, salinitas berpengaruh terutama pada saat Pergantian Kuli, Kasry (1991) mengungkapkan bahwa kisaran ideal untuk Pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi diketahui bahwa larva 20ea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersalinitas rendah, Kepiting dewasa biasanya kawin dan mematangkan telumya pada perairan dengan salinitas 15 “log — 20 %oq kernudian beruaya ke laut dalam untuk memijah, Kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup (uas. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ep dan lebih besar dari 30 “ee. Hill (1978) metaporkan bahwa Scyla serrata mampu mentolerit perairan dengan salinitas sampai 60 %, sedangkan Wahyuni dan Ismail (1987) ‘mendapatkan kepiting bakau dewasa di Tanjung Pasir, Tangerang dengan kisaran salinitas 0% — 18%p, sedangkan menurut Retnowati (1991), kepiting bakau ditemukan pada hutan mangrove Muara Kamal dengan kisaran salinitas 5 %p - 30 "foo. Derajat Keasaman (pH) Dari hasit penelitian Sudiarta (1988) kisaran pH antara 7,9 — 8,3 dapat mendukung kehidupan kepi bakau yang dipetihara. Wahyuni dan Sunaryo (1981) menambahkan bahwa pada hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting bakau didapatkan pada kisaran pH 6,16 — 7,50, di pertambakan Muara Kamal, Jakarta, kepi bakau didapatkan pada kisaran pH 7,0 — 8,0 (Retnowati, 1991), Sedangkan menurut Hutasoit (1991), di Sukabumi kepiting bakau hidup pada 16 kisaran pH 6,21 — 8,50. Penelitian lain juga metaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondist perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pt rata-rata 6,16 (Walsh dalam Sara, 1994). Fraksi Substrat Tekstur substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri atas lumpur dan lat. Hal ini sangat memungkinkan sebab partikel lumpur dan liat akan cepat mengendap karena air di sekitamya elatif tenang dan terlindung, Adanya substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Moosa et al. (1985), habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar hutan ‘mangrove yang didominas| oleh kandungan lumpur banyak mengandung bahan organik, tempat serasah dari hutan mangrove akan terurai membentuk detritus dan kemudian mengendap pada substrat, Serasah sendiri merupakan makanan alami bagi kepiting bakau, ‘Substrat halus berupa jumpur dan liat yang mengandung banyak serasah dan bahan organik juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama Gastropoda, Gastropoda sendiri merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau. Dari hasil penelitian Opnai (1986) dalam Siahainenia (2000), dinyatakan bahwa 89 % isi lambung kepiting bakau adalah bivalvia, gastropoda, dan moluska lainnya. Berkaitan dengan kehidupan dan penyebaran kepiting bakau maka kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung yang penting. Selain mempengaruhi kehidupan dan penyebaran kepiting bakau juga 7 mempengaruhi kehidupan dan penyebaran moluska yang merupakan pakan alami bagi kepiting bakau. Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut Hari bulan adaleh usia bulan yang dihitung sejak bulan gelap hingga bulan gelap berikutnya, biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran | adalah sejak gelap pertama sampai dengan bulan berbentuk setengah pumama. Kuadran i! adalah sejak setengah pumama sampai bulan bulat penuh (pumama). Kuadran {il adalah sejak bulan bulat penuh (pumama) sampai berbentuk setengah pumama kedua. Kuadran IV adalah sejak bulan berbentuk setengah pumama kedua sampai bulan gelap kembali. Perbedaan tampilan tersebut disebabkan posisi relatif bulan terhadap matahari. Lama tiap periode rata-rata tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28 hari atau 29 hari (terkadang 30 hari). Kedudukan relat bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang surut atau perubahan tinggi permukaan perairan di bumi (Sijabat, 1970). Disamping naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan, kedudukan bulan dapat Pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari yang dapat berpengarun terhadap kehidupan perairan, Pada saat bulan pumama, kolom peraican lapisan atas ‘menjadi relatif tenang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh fauna yang aktif di malam hari yang mengandalkan indera penglihatan untuk mencari makan, melakukan pemijahan dan ruaya, Pada saat periode bulan gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut berbeda, Selain faktor cahaya, faktor iain yang cukup berpengaruh pada fauna Perairan dangkal adalah faktor arus. Ada tiga jenis pasang surut di Indonesia, yaitu Pasang surut harian tunggal (aiumal tide), harian ganda (semi diumal tide) dan jenis 18 campuran. Pasang surut harian tunggal hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari, seperti yang terjadi di Selat Karimata yaitu antara Kalimantan dan ‘Sumatera. Pasang surut harian ganda terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama setiap hari seperti yang terjadi di Selat Malaka dan Laut Andaman. Pasang surut campuran jenis tunggal dan atau ganda masih menonjol Pasang surut campuran yang condong ke harian ganda (mixed tide prevailing seri Giurnal), terjadi dua kali pasang dan surut dalam sehari, terdapat di perairan Indonesia Timur, Pasang surut condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal), tefjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap harinya, terjadi di Selatan Kalimantan dan Utara Jawa Barat (Nontji, 1987). Pada saat pasang naik, fauna laut dapat bergerak ke perairan yang lebih dangkal yakni yang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke Pantal mencari makan memanfatkan fauna-fauna lain di dasar perairan yang tidak terendam air secara berkala. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muara-muara sungal jauh ke pedalaman. Pada saat surut sebaliknya, fauna umumnya akan menjauhi pantai garis. Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (pumama) jarak bulan terhadap bumi minimum. Sehingga biasanya akan terjadi pasang penuh yang mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan laut ini dapat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya rajungan, Pada waktu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan, sedangkan pada periode bulan terang aktivitas rajungan meningkat. Susilo (1992) menyarankan Penangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat periode bulan sabit Pertama, periode bulan terang, dan periode bulan setengah pumama kedua. Keadaan pencahayaan bulan berpengaruh terhadap ikan hasil tangkap nelayan 19 {Atmaleksana 1981, Sutowo 1984, dan Tatuwo 1997). Untuk mengoperasikan alat tangkap ikan yang menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan ikan, periode bulan yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan periode bulan setengah pumama. Hutan Mangrove Pengertian Hutan Mangrove Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis yaitu Mangue dan bahasa Inggris yaitu Grove (Macnae, 1968). Kata Mangrove di dalam bahasa Inggris dipakai baik untuk komunitas pepohonan, rerumputan atau semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir, atau untuk individu jenis tumbuhan tain yang berasosiasi dengannya, Pengertian hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi Pasang surut air laut dengan keadaaan tanah yang anaerobik. Walau keberadaan hhutan ini tidak tergantung pada iklim, tapi umumnya hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik di daerah tropik pada daerah pesisir yang terlindung seperti delta sungai dan estuaria. Volume air tawar dan air laut yang bercampur serta frekuensi Percampurannya sangat berpengaruh pada kondisi fisika-kimia perairan hutan mangrove. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dan substrat dasar (Nybakken, 1992). Darsidi (1986) mengungkapkan ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut: (1). Dipengaruhi oleh pasang surut ; (2). Tidak dipengaruhi oleh iklim: (3), Tanah tergenang air laut, lumpur, atau pasir, (4). Hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 20 {5}. Pohon dapat mencapai ketinggian 30 meter; dan (6). Jenis-jenis pohon dari laut ke arah darat adalah bakau bandul (Rhizophora mucronata), api-api (Avicennia marina), bogem (Sonneratia alba), nyirih {Xylocarpus moluccensis), tancang (Bruguiera gymnorthiza), dan nipah (Nypa fruticans). Potensi Hutan Mangrove Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia sangat beragam. Giesen (1993) menyebutkan bahwa luas mangrove indonesia 2,5 juta hektar, Dit. Bina Program INTAG (1996) menyebutkan 3,5 juta hektar. Umumnya mangrove ditemukan menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Hutan mangrove Segara Anakan merupakan sumberdaya alam yang langka dan merupakan hutan mangrove terluas yang masih tersisa di Pulau Jawa, Luasnya saat ini tinggal 9 695 ha dengan penyusutan rate-rata dari tahun 1984 sampai tahun 1994 seluas 300,6 ha/tahun. Penyusutan ini terjadi akibat banyaknya konversi hutan ‘mangrove menjadi areal tambak, lahan pertanian, atau untuk permukiman. Darsidi (1986) mengungkapkan bahwa secara garis besamya potensi hutan mangrove terbagi dua, yaitu potensi dari segi ekologis dan potensi ekonomis. Potensi ekologis hutan mangrove terletak pada kemampuan hutan mangrove dalam Mmendukung eksistensi Gngkungan, yaitu sebagai penahan angin, gelombang, hutan ait asin, pengendali banjir, tempat mencari makan, persembunyian, dan daerah asuhan bagi berbagai biota air, yang semuanya ini sulit untuk dinilai dengan uang. Untuk potensi ekonomi, dilinat dari kemampuan hutan mangrove dalam menyediakan produk yang dapat diukur dengan wang, salah satunya adalah kayu. 21 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan dan di dalam hutan mangrove Karang Anyar, Desa Ujung Gagak, Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari selama empat bulan, mulai dari tanggal 1 September 2001 sampai dengan bulan tanggal 31 Desember 2001. Alat dan Bahan Penelitian ‘Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tangkap (wadong dan jaring), tongkat berskala, sieve sef, sieve shaker, petak pengamatan, pipa paralon, kompas, hand counter, hand refracto salinometer, pH meter, timbangan elektronik balans model ER-120A, oven, termometer air raksa, buku identifikasi kepiting bakau, makrozoobentos dan mangrove, dotol sampel, ember plastik, kantong plastik, kertas saring, meteran yang terbuat dari plastik, alat bedah, botol film, mikroskop, gelas ukur, pipet, gelas preparat, mikrometer, jangka sorong, serta alat tulis. Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, tumbuhan mangrove, makrozoobentos, contoh air dan substrat, contoh serasah, alkohol 70 %, formalin 4 %, kertas label, karet gelang, dan tissu. Metode Penelitian Lokasi Penetitian Deskripsi Lokasi Penelitian Gerumbul Karang Anyar adalah salah satu daerah pemukiman nelayan di Pinggiran perairan bagian barat Segara Anakan. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan dan petani tambak. Salah Salu_usaha penangkapan yang dilakukan nelayan tersebut adalah menangkap kepiting bakau, baik di perairan Segara Anakan maupun di dalam hutan mangrove Alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan adalah Jaring. sedangkan untuk menangkap kepiting bakau di daerah hutan mangrove digunakan wadong/ bubu (trap). Penentuan Stasiun Penelitian Penentuan stasiun penelitian dilakukan berdasarken kepada daerah Penangkapan kepiting bakau oleh nelayan di Karang Anyar dan sekitarya. Terdapat enam stasiun penelitian meliputi masing-masing tiga titik di perairan dan tiga titik di dalam hutan mangrove, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Selengkapnya stasiun- ‘stasiun ini adalah: Stasiun 1 ; Perairan Tirang Kesik Stasiun 2 : Perairan Utara Bagian Stasiun 3 : Perairan Selatan Muara Dua Stasiun 4 : Hutan Mangrove Jongor ‘Stasiun 5 ; Hutan Mangrove Muara Dua Stasiun 6 ; Hutan Mangrove Bagian 23 a oe eel lec ueniieuad jSe40| Clad EmquED Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya Pengumpulan data penelitian mencakup parameter yang diukur dan satuannya, alat atau metode pengukuran dan tempat pengukuran disajikan dalam Tabel 2. berikut: Tabel 2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan ; z ea Teens en 1. | Penyebaran ‘Wadong, jaring, buku Jumiah | in-situ kepiting bakau | idenitifikasi (diidentifika individu dinitung jumlah individu, lebar dan panjang karapas, dan jenis kelamin) 2._| Fisickimia air dan substrat + Suhuair + Termometer Hg 2°c © in-situ J» Kedalaman air {+ Tongkat berskala + om + insitu je pH air «pH meter © anit «in-situ + Salinitas air |+ Aland refrakto salinometer |« ppm * in-situ Je Fraksi substrat |* Oven, pipaparalondan + % = in-situ sieve shaker dan lab 3._| Vegetasi mangrove }> Buku identiikasi : © in-situ + Identtfikasi jenis > Bett transek (diidentifikasi, |* individ’ |» in-situ je Kerapatan diukur diameter,dan 100 m? jenis mangrove | dihitung jumlah individu per jenis). | Analisis makanan alami ee ee * Petak pengamatan, dan |e individu/ |» in-situ Kejmpanan _ | _ sieve set (didentifikasi, m dan fab pak hing uma ir int per jenis «gdm? — |e insite * Bobot serasah (, Setak pengamatan, oven, dan lab dan timbangan Ohauss (dibersinkan, dikeringkan dan ditimbang) 25 Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan alat tangkap nelayan tradisional yaitu wadong dan jaring. Untuk penangkapan kepiting bakau di hutan mangrove, digunakan wadong (bubu) berukuran 90 cm x 60 cm x 30 cm (panjang x lebar x tinggi). Pada tiap stasiun, wadong ditempatkan secara acak dalam petak pengamatan berukuran 20m x 20 m. Penempatan wadong yang telah diberi umpan dilakukan pada pukul 16.00 WIB, sedangkan pengambilan kepiting bakau dilakukan keesokan harinya pada pukul 07.00 WIB. Pemasangan wadong dan pengambilan contoh kepiting bakau diiakukan setiap hari selama empat bulan. Sedangkan untuk penangkapan kepiting di perairan digunakan jaring kepiting dengan ukuran mata jaring 3 inci, panjang jaring 30 m. Jaring ditempatkan di perairan, searah dengan arah arus. Penangkapan kepiting bakau dengan jaring ini dilakukan dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB. Selanjutnya kepiting bakau yang didapat diidentifikasi, dinitung jumiah individu perjenis dan jenis kelamin, panjang dan lebar karapas. Metode pengambilan sampel mangrove, kualitas air dan substrat, serasah dan makrozoobentos, serta kepiting bakau disajikan pada Gambar 4. 26 Gambar 4. Skema metode pengambilan sampel Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara in-situ (di fapangan), sedangkan untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil Sampe! substrat pada tiap stasiun pengamatan, dikeringanginkan dan dibawa ke Laboratorium |Imu Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor untuk dianalisa berdasarkan persentasi ukuran butiran. Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove Pengukuran kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan membuat petak Pengamatan berukuran 40 m x 40 m untuk katagori pohon (diameter > 10 cm) pada stasiun pengamatan 4, 5, dan 6. Selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah individu perjenisnya. Hal yang sama juga dilakukan untuk katagori anakan (diameter 7 2-10 cm) dengan membuat petak pengamatan berukuran 5 m x 5 m di dalam petak Pengamatan 10 m x 10 m tersebut. Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobentos Pengambilan contoh serasah dan organisme makrozoobentos dilakukan pada fiap stasiun pengamatan bersamaan dengan pengambilan contoh kepiting bakau. Contoh serasah diambil dengan menggunakan paralon berdiameter 10 cm, sedangkan untuk makrozoobentos dengan menggunakan sekop. Kedua contoh tersebut diambil di dalam petak pengamatan 1 m x 1m, sampai kedalaman 20 cm. Contoh serasah yang didapat selanjutnya dibersihkan menggunakan sieve set, di ingkan dengan oven, lalu ditimbang. Sedangkan untuk makrozoobentos disaring menggunakan sieve set berdiameter > 0,5 mm, diawetkan dengan formalin ntifikasi. 4%, lalu diic Analisis Data Kelimpahan Makrozoobentos Kelimpahan makrozoobentos dapat diukur dengan menggunakan rumus: Da yee A Keterangan: N= Kelimpahan makrozoobentos jenis i Eni = Jumiah individu jenis t A = Luas daerah pengambilan contoh 28 Pola Distribusi Kepiting Bakau Selanjutnya dilakukan analisis pola distribusi kepiting bakau dengan ‘menggunakan rumus indeks Penyebaran Morisita sebagai berikut: 2 aan tN NW-1) Keterangan: = jumlah plot N= jumlah total individu datam total plot x? = kuadrat jumlah individu perplot untuk total n plot Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut: Jika Id = 1.0 (distribusi acak) ld =0 (distribusi normal) Id =n (distribusi bergerombol) Kerapatan Jenis Mangrove Kerapatan jenis mangrove diukur dengan menggunakan rumus: hn Ke A Keterangan: Ki = Kerapatan mangrove jenis i Eni = Jumlah individu jenis i A = Luas daerah pengambilan contoh 29 Parameter Kualitas Air Antar Stasiun dan Antar Bulan Parameter kualitas air yang diukur antara lain; suhu, salinitas, pH, dan kedalaman. Data yang didapat selanjutnya dianalisis dengan Analisis Varian (Anova) atau uji F dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Dengan membandingkan F hitung dan F tabel, jika F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf nyata 0,05 menunjukkan tolak Ho (adanya perbedaan yang signfikan antara faktor yang dibandingkan). Jika F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf nyata 0,01 ‘menunjukkan tolak Ho (adanya perbedaan yang sangat signifikan antara faktor yang dibandingkan). Sebaliknya F hitung lebih besar dari F tabel menunjukkan terima Ho (tidak adanya perbedaan antara faktor yang dibandingkan). vika didapatkan adanya perbedaan antar faktor yang dibandingkan, dilakukan uji fanjut untuk mendapatkan faktor apa saja yang berbeda tersebut. Dalam hal ini digunakan uji tanjut Beda Nyata Terkecil (BNT). Ujl BNT menguji perlakuan secara berpasang-pasangan. Artinya semakin besar jumlah perlakuan yang akan dibandingkan mengakibatkan kesalahan yang akan ditanggung juga akan semakin besar. Hipotesis dari perbandingan dengan metode BNT adalah: HO: pi'vs H4: pl # pi? Nilai kritis BNT adalah: 30 Dengan kriteria pengambilan keputusannya adalah jika beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari nilai BNT maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan itu berbeda nyata pada taraf nyata a. Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan Untuk melihat kemiripan antar stasiun berdasarkan karakteristik kondisi lingkungannya maka dilakukan analisis sidik gerombol (Hierarchical Cluster Analysis) mengikuti Johnson dan Wichem (1988), dengan bantuan software SPSS versi 10.06. Penyebaran (Distribusi) Kepiting Bakau per Jenis Antar Stasiun dan Antar Bulan Untuk mengetahui distribusi kepiting bakau per jenis antar stasiun dan antar bulan dilakukan uji analisis varians (Anova) atau uji F seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dengan bantuan software SPSS versi 10.05. Data kepiting bakau per jenis yang dianalisis dengan Uji F ini adalah data febar minimum (L min), tebar maksimum (L max), lebar rata-rata (L rata-cata), Panjang minimum (P min), panjang maksimum (P max), panjang rata-rata (P rata- 31 rata) untuk ketiga jenis kepiting bakau, Scyila olivacea , S. tranquabarica , dan S. serrata. Untuk melihat jenis-jenis yang berbeda penyebarannya dilakukan uji lanjut Jika didapatkan adanya perbedaan antar faktor yang dibandingkan, dilakukan Uji lanjut untuk mendapatkan faktor apa saja yang berbeda tersebut. Dalam hal ini digunakan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) sama seperti yang telah dijelaskan di atlas. Hubungan Antar Bulan per Stasiun dengan Jenis per Kelas Ukuran Kepiting Bakau Sebaran kelas ukuran per jenis kepiting bakau antar stasiun dan antar bulan Gianalisis dengan menggunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis, CA) dengan bantuan software Exel SAAT Pro. 05. Analisis ini didasarkan pada matriks data yang terdiri dari i baris (bulan Pengamatan per stasiun dan j kolom (jenis per kelas ukuran kepiting), yang pada Perpotongan baris i dan kolom j ditemukan sebaran kepiting bakau. Dengan demikian matriks ini merupakan tabel kontigensi bulan per stasiun dan modalitas Jenis kepiting per kelas ukuran, Dalam tabel kontingensi, i dan j memiliki peran yang simetris, yaitu membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan membandingkan hukum. probabiltas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni. Pengukuran kemiripan antar dua unsur iy dan iz dari i dilakukan melalui pengukuran jarak khi-kuadrat dengan rumus sebagai berikut: (i = E (XX XiPRIP XH} dimana: 32 Xi = jumlah baris i untuk semua kolom Xj = jumlah kolom j untuk semua baris Pada pelaksanaan Analisis Faktorial Koresponden ini data kepiting bakau masing-masing jenis di bagi atas 3 kelompok kelas ukuran, yaitu: 4. © 29 N®Hewn SSA adalah jenis S. serrata ukuran < 70 mm. . SSB adalah jenis S. serrata ukuran 70 mm — 100 mm. . SSC adalah jenis S. serrata ukuran > 100 mm. . STA adalah jenis S. tranquebarica ukuran < 60 mm. STB adalah jenis S. tranquebarica_ukuran 60 mm - 80 mm. . STC adalah jenis S. tranquebarica ukuran > 80 mm. ‘SOA adalah jenis S. ofvacea_ukuran < 85 mm. . SOB adalah jenis S. ofvacea_ukuran 55 mm-65 mm. . SOC adalah jenis S. ofivacea_ukuran > 65 mm. ‘Selanjutnya data kelas ukuran masing-masing jenis kepiting bakau tersebut Gihuoungkan dengan bulan pengamatan per stasiun untuk dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan pengambilan contoh kepiting bakau waktu itu. Hasil ini disimpulkan sebagai hubungan antara keberadaan kepiting bakau per kelas ukuran masing-masing jenis dengan karakteristik habitat. 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Daerah Penelitian Kualitas Air dan Substrat Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian tersaji pada Tabel 3: ‘Tabel 3, Kisaran parameter kualitas air per stasiun selama penelitian Stasiun Suhu (°C) | Satinitas os) ( ony kedataman (em) 1 15 - 32 3-33 6-86 100 - 250 2 17-31 3-27 6-95 110 - 350 3 18-31 3-28 65-85 150-260 4 15-31 1-28 6-85 45-250 5 14-32 3-27] 6-85 82-125 6 14 - 32 3-23 6-105 75-200 Suhu Hasil pengukuran selama penelitian memperlihatkan bahwa subu air pada Stasiun 1 berkisar antara 15 °C - 32 °C, Stasiun 2 berkisar antara 17 °C - 31 °C, Stasiun 8 berkisar antara 15 °C - 31 °C, Sedangkan kisaran suhu air pada Stasiun 4 sebesar 15 °C - 31 °C, Stasiun 5 kisarannya sama dengan Stasiun 6 yaitu 14 °C - 32 °C. Kisaran suhu pada semua stasiun hampir merata. Fluktuasi suhu perairan ini ‘sangat dipengaruhi oleh penetrasi cahaya ke dalam perairan, pasang surut, serta Pengaruh ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan. Fluktuasi suhu paling besar selama pengamatan adalah pada Stasiun 5 dan 6 (berada di hutan mangrove), dengan suhu terendah 14 °C dan tertinggi 32 °C. Fluktuasi suhu ini disebabkan oleh kondisi cuaca pada saat pengamatan, adanya naungan pepohonan, dan masukan alr laut dan air sungai pada saat pasang. Kisaran suhu pada Stasiun 1, 2, dan 3 juga mempertihatkan perbedaan nilal yang cukup besar. Dengan memperhatikan posisi Stasiun 1, 2, dan 3 yang berada di Serairan terbuka maka diduga fluktusi suhu yang terjadi disebabkan oleh penetrasi cahaya matahari dan masukan air sungai dan laut pada saat pasang. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kepiting bakau (Kasry, 1991). Queensland Department of Primary Industries (1989") menyatakan bahwa kepiting bakau bertoleransi pada perairan dengan kisaran suhu 12 °C - 35 °C, dan tumbuh dengan cepat pada kisaran suhu 23°C - 32 °C. Dari pemyataan ini dapat dikatakan bahwa kisaran suhu di perairan Karang Anyar, Segara Anakan masih berada dalam batas optimal bagi pertumbuhan dan kehidupan kepiting bakau. Hal ini didukung oleh pendapat Sulistiono ef ai. (1992) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat dijumpai pada kisaran suhu 13 °C - 40 °C di perairan Segara Anakan. Selanjutnya Sara (1994) mendapatkan kepiting bakau di Segara Anakan pada suhu 28,08 °C, Mulya (2000) dari hasil penelitiannya mendapatkan Kepiting bakau pada kisaran sunu 28,00 °C ~ 29,25 °C di Suaka Margasatwa Karang Gading, Sumatera Utara. Setelah dilanjutcan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian, didapatkan hasil seperti Tabel 4. Tabel 4, Rata-rata suhu selarna pene xian hasil ujj Beda Nyata Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) stasiun } — BULAN qi Raterata| sp N i 28,20 | 2497_| 25.57 | 26538 | aaa a 2 26,70_|~ 23.81 | 25.80 | 2542 | 4.19 91 3 27,10 {24,00 |" 25,67_| 25,57 | 463 34 4 27,63 |" 24.03 | 25,80 | 25.60a_} 451 31 5 27,00 | 2426 | 25.67_|~25,63a_| 4.55 31 6 28,20 | 25,16 | 25,80_| 26,70a_| 5.03 at Rata-rata | 27,64a_| 24,37 | 25,72c | 25,89 | a'55 SD 3.64_[ 608 | 212 | 455 N 180 186 180 Ket: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan vata-rala antar stasiun dan bulan (P <0,05) 35 Tabel 4 memperlihatkan bahwa rata-rata suhu antara keenam stasiun tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini dimungkinkan karena jarak antar stasiun yang relatif dekat, sehingga diduga beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi perbedaan suhu tersebut tidak terlalu besar perbedaanya jika dilinat secara spasial dalam wilayah penelitian, tapi cukup nyata jika dilihat dari dimensi waktu Untuk pengaruh antar bulan, terjadi hal yang berbeda. Suhu antara bulan 9 {September}, 10 (Oktober), dan 11 (November) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Untuk bulan September rata-rata suhu sebesar 27,84 °C , berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober dan November (24,37 °C dan 25,72 °C), Melihat kondisi di lapangan, fenomena ini dapat terjadi karena adanya pergantian musim di ketiga bulan itu. Bulan September merupakan saat musim kemarau yang jarang turun hujan, sedangkan bulan Oktober adalah saat Puncak musim hujan, hujan turun hampir sepanjang hari. Bulan November kondisi cuaca sudah kembali normal, hujan masih turun, tetapi tidak setiap hari Pada musim kemarau di bulan September masukan air tawar dari sungai sedikit, sebaliknya saat musim hujan di bulan Oktober dan November masukan air tawar dari sungai melimpah. Akibatnya, suhu di kedua bulan ini lebih rendah. Salinitas Hasil pengukuran selama penelitian memperiihatkan bahwa salinitas air pada Stasiun 1 berkisar antara 3 %o9 - 33 Yoo, Stasiun 2 berkisar antara 3 %o9 -27 foo. Stasiun 3 berkisar antara 3 °/e9-28 “foo, Kisaran salinitas air pada Stasiun 4, 5, dan 6 sebesar 1 %y9-28 loo, 3 %oo-27 oo, dan 3 %op-23 Yop (Tabel 3). Nilai salinitas di perairan Segara Anakan berhubungan dengan banyak sedikitnya volume air laut atau air tawar yang masuk ke dalam estuaria. Saat air 36 tawar yang masuk lebih banyak, maka nilai salinitas menjadi rendah, sebaliknuya saat air laut lebih banyak maka nilai salinitas perairan cenderung tinggi. Hal ini ferlihat dari posisi masing-masing stasiun. Stasiun 1 yang terletak paling dekat dengan pintu barat tempal air laut masuk ke perairan Segara Anakan, memiliki kisaran nifai salinitas yang tinggi, Nilai kisaran salinitas ini akan terus tum di ‘Stasiun 2 dan 3 yang terletak lebih jauh dari kanal barat. Stasiun 4 yang letaknya berhadapan dengan muara sungai Citanduy memiliki kisaran salinitas lebih rendah karena adanya masukan air tawar yang cukup besar, terutama saat musim hujan. Untuk Stasiun 5 dan 6 kisarannya tidak terlalu berbeda jauh dengan Stasiun 1, 2, dan 3, Hal ini diduga karen stasiun ini tarletak agak jauh dart muara sungai, dan masih kuatnya penganuh air laut sampai ke stasiun ini. Kasry (1991) menyatakan bahwa kepiting bakau, tentama pada fase juvenil dan dewasa termasuk hewan eurihaline, yang staat hidup dan mentolerir kisaran salinitas yang luas, mutai dari O “fog — 34 Yoo. Sara (1984) menjumpai kepiting bakau hidup pada kisaran salinitas 1,86 ‘oo — 6,31 %o di perairan Segara Anakan. Sementara Miswar (2000) pada kisaran salinitas 16,70 foo — 23,95 “foo di Suaka Margasatwa Karang Gading, Sumatera Utara, Dari penjelasan di atas tergambar bahwa kondis| salinitas di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, masih layak dalam mendukung kehidupan dan perkembangan kepiting bakau. Setelah dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian, didapatkan hasil seperti Tabel 5. 37 Tabel 5. Rata-rata salinitas selama penelitian dan hasil uji beda nyata terkecil {BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) BULAN STASIUN 9 10 1 Rata-+ata sD N 1 27,00 21,10 12,57, 20,234 11.13 91 [2 17.07 [13.45 | 10,10__| 43,54ab | 6,98 91 3 23,17 18.48 11,33 17,87c 9,27 91 4 25,10 19,63 11,30, 18,70ac 10,20 91 5 22,20 17,39 10,23, 16,62 8,62 91 6 16.43, 13,52 9,43 13,13b 6,30 91 Rata-rata | 21,33a 17,27b 10,83¢ 16,65 9,24 SD 5,59 9.44 8,67 9,24 N 180 188 180 Ket: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbédaan rata-rata antar stasiun dan bulan (P <0,08). ‘Tabel § memperlihatkan adanya perbedaan salinitas balk dilihat antar stasiun maupun antar bulan. Rate-rata salinitas tertinggi didapatkan pada Stasiun 1 sebesar 20,23 “oa, signifikan lebih ting] jika dibandingkan dengan Stasiun 3, 5, dan 6. Rate- fata salinitas terendah terdapat pada Stasiun 6, signifikan lebih rendah jika dibandingkan dengan Stasiun 1, 3, 4, dan 5. Untuk pengaruh bulan, rata-rata salinitas bulan Oktober sebesar 17,27 “oo signifikan lebih rendah dibandingkan bulan September dan November, masing- masing sebesar 21,83 “ep dan 10,83 Yoo. Perbedaan salinitas antar bulan ini diduga juga berhubungan dengan pergantian musim pada saat penelitian, yaitu musim kemarau di bulan September dan musim hujan di bulan Oktober dan November. Derajad Keasaman (pH) Tabel 3 memperlihatkan bahwa pH air pada Stasiun 1 berkisar antara 6-8,6, Stasiun 2 berkisar antara 6 - 9,5, Stasiun 3 berkisar antara 6,6 - 8,5. Kisaran pH air pada Stasiun 4 dan § sama, yaitu antara 6 - 8,5 sedangkan Stasiun 6 sebesar 6 - 10,5. Fluktuasi kisaran nilai pH ini tergolong cukup tinggi. Perbedaan nilai pH ini 38 terjadi disebabkan oleh banyak sedikitnya air laut dan air tawar (air sungai) yang masuk ke masing-masing stasiun. Nilai kisaran pH tertinggi didapatkan pada Stasiun 6 sebesar 6-10,5. Hal ini menarik karona posisi Stasiun 6 terletak di hutan mangrove dan terletak agak jauh dari kanal barat, tempat masuknya air laut dari Samudera Hindia. Diduga hal ini terjadi karena posisi Stasiun 6 yang jauh dari muara sungai, dan kuatnya pengaruh air laut pada saat pasang yang jauh sampai ke timur Segara Anakan, Sindiarta dalam Siahainenia (2000) menyatakan bahwa perairan yang kisaran pHnya 6,50 — 7,50 dikatagorikan perairan yang cukup baik, sedangkan perairan dengan kisaran pH 7,50 — 8,50 dikatagorikan sangat balk, Dari pendapat di atas dapat disimputkan bahwa nilai pH pada perairan Karang Anyar Segara Anakan masih cukup layak bagi keberadaan kepiting bakau. Wahyuni dan Sunaryo (1981), Wahyuni dan Ismail (1987), Toro (1986), Hutasoit (1991), Sukarya (1991), Retnowati (1991) dan Sindiarta (1988) juga mengatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada perairan dengan kondisi agak ‘asam sampai basa, dengan pH 6,16 - 8.90. Sedangkan Siahainenia (2000) dan ‘Mulya (2000) menjumpai kepiting bakau pada pH 6,83 dan 7,00, masing-masing di Teluk Pelita Jaya Maluku dan di Suaka Margasatwa Karang Gading, Sumatera Utara, Setelah dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian, didapatkan hasil seperti Tabel 6. 39 Tabel 6. Rata-rata pH air selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) BULAN STASIUN > 10 Ha Rata-rata| SD N 1 7,53 7,32 7,05 7,308 0,48 91 2 8,46 8,01 7,37, 7,95b 0,93 91 3 7.58 7,26 7.44 7,338 0,46 34 4 7.54 7,33 7.44 7,348 0,52 ot 5 7,91 7,59 7,21 7,576 0,69 91 6 8,84 8,37 7,29 8,17d 4,30 ad Rata-rata | 7,98a 7,655 7,206 7,61 0,86 SD 0,76 0,97 0,62 0,86 N 180 186 180 Ket: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan rata-rata antar stasiun dan bulan (P <0,05). Tabel 6 memperlinatkan rata-rata pH di Stasiun 1 signifikan lebih rendah dibandingkan rata-rata pH di Stasiun 2, 5, dan 6, Rata-rata pH di Stasiun 3 dan 4 tidak menunjukkan perbedaan dengan rata-rata pH di Stasiun 1. Rata-rata pH di Stasiun 6 signifikan lebih tinggi dibandingkan jima stasiun lainnya. Untuk pengaruh antar bulan terlihat bahwa rata-rata pH pada bulan September, Oktober, dan November menunjukkan perbedaan yang signifikan. Rata- rata pH pada bulan September sebesar 7,98 signifikan lebih tinggi dibandingkan bulan Oktober dan November. Rata-rata pH di bulan November sebesar 7,20 signifikan lebih rendah dibandingkan bulan September dan Oktober. Hal ini terjadi berhubungan dengan perubahan musim dari musim kemarau di bulan September dengan permulaan musim hujan di bulan Oktober dan November, Saat kemarau, masukan air tawar lebih sedikit dari pada air laut sehingga pH cenderung lebih tinggi. Sebaliknya saat musim penghujan masuken air tawar dari sungai dan air hujan sendiri sangat besar yang mengakibatkan nilai pH cenderung turun. 40 Kedalaman Air Tabel 3 memperlihatkan bahwa kedalaman air Stasiun 1 berkisar antara 100 cm - 250 cm, Stasiun 2 berkisar antara 110 cm - 350 cm, Stasiun 3 berkisar antara 150 om - 260 om. Kisaran kedalaman air pada Stasiun 4, 5, dan 6 terdapat yaitu antara 45 cm - 50 cm, 32 em - 125 em, dan 75 cm - 200 cm. Nilai kisaran kedalaman air yang cukup tinggi terdapat di Stasiun 1, 2, dan 3 Hal ini wajar mengingat lokasi ketiga stasiun tersebut berada di perairan. Untuk Stasiun 4, 6, dan 6 terdapat kisaran kedalaman yang cukup luas, mulai dari 32 om sampai dengan 250 cm. Kisaran kedalaman ini tergantung kepada pasang surut perairan. Saat surut biasanya kedalaman air di hutan mangrove sangat rendah, sebaliknya pada saat pasang, air laut dominan sehingga kedalaman air menjadi cukup tinggi. Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa sebaran kepiting bakau dilihat dari kedalaman, terbatas pada paparan benua dengan kisaran 0 m - 32 m. Dari hasil penelitian Wahyuni dan Ismail (1987) kepiting bakau didapatkan pada kedalaman 30 cm - 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan 30 cm - 125 om di muara Sungai. Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa kedalaman air di perairan Karang Anyar Segara Anakan, masin berada dalam kisaran optimal yang dapat mendukung kehidupan kepiting bakau. Setelah dilanjutkan dengan uji beda rata-rata (LSD) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian, didapatkan hasil seperti Tabel 7. a1 Tabel7. Ratavata kedalaman air selama penelitian dan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) STASIUN |—— Sue —[raterata} sp N 1 128,70 154,74 165,67 148,73a 43,36 31 2 224.57 193,63 202,07. 206,63b 28,61 91 3 179,63 178,65 185,83, 181,346 17,90 91 4 161,27 154.42 134,50 150,414 35.61 91 5 51,50 56,65 70,50 59,524 26,13 91 6 432,30 119,52, 117,33 123,01e 23,45, 91 Rata-rata { 146,33a | 142,440 145,988 144,89 55,44 sD 60,43 53,19 52,66 55.44 N 180. 186 180 Ket: Huruf yang berbeda pada Kolom dan baris menunjukkan perbedaan ralaiata antar stasiun dan bulan (P <0,05), Rata-rata kedalaman air di Stasiun 5 signifikan (P < 0,05) lebih rendah dibandingkan rata-rata kedalaman air di Stasiun 1, 2, 3, 4 dan 6, Hal ini isa saja Saja terjadi mefihat lokasi Stasiun § di hutan mangrove yang jauh dari muara sungai dan kanal barat. Rata-rata kedalaman air di Stasiun 1 tidak berbeda dengan rata- rata kedalaman air di Stasiun 4. Rata-rata kedalaman air di Stasiun 2 signifikan (P< 0.05) lebih tinggi dibandingkan rata-rata kedalaman air di lima stasiun tainnya. Untuk pengaruh antar bulan terlihat bahwa rata-rata kedalaman air pada bulan ‘September, Oktober, dan November tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Fenomena ini bisa terjadi karena tidak dibedakannya umur bulan pada saat pengambilan data. Jadi dengan kondisi sepe: ini dianggap umur bulannya sama Setiap bulannya. Sedangkan umur bulan sangat besar pengaruhnya terhadap kedalaman (tinggi) air. 42 Tekstur Substrat Dari pengelompokan fraksi substrat berdasarkan skala Wentworth (Tabel 8) terlihat bahwa kandungan substral perairan Karang Anyar didominasi oleh iumpur dan fiat. Tabel 8, Rata-rata fraksi substrat per stasiun Stasiun Fraksi Substrat (%) J Pasir Lumpur Liat pH i 13,02 50,18 36,80 5,70 2 2,37 67,63 30,06, 6,20 3 6,40 57,29 36,31 650 4 22,81 42,23 29,96 6,50 5 0,87 65,09 34,04 5,20 6 Ali 46,11 52,75, 5,80 Stasiun 1 didominasi oleh lumpur (50.18 %), liat (36,80 %), dan terendah pasir (13,02 %). Stasiun 2 didominasi oleh tumpur (67,63 %), liat (30,06 %), dan terendah pasir (2,37 %). Stasiun 3 kandungan dominan substratnya adalah lumpur (67,29 %), liat (36,31%), dan pasir (6,40 %). Untuk Stasiun 4 kandungan substratnya terdiri dari iumpur (47,23 %), iat (29,96 %) dan pasir (22,81%). Stasiun 5 terdiri dari lumpur (65.09%), liat (34,04%) dan pasir (0,87 %). Stasiun 6 terdiri dari liat (82,75%), lumpur (48,11%), dan pasir (1,11%). Dari hasil analisis substrat di semua stasiun penelitian didapatkan gambaran bahwa kandungan dominan substrat hampir di semua stasiun penelitian adalah lumpur dan liat. Dasar perairan berlumpur, liat, dan berpasir merupakan salah satu habitat yang disukai oleh kepiting bakau (Amiola dalam Toro (1986). Hal ini didukung oleh ‘Sneaker dan Getter (1985) serta Moosa (1985) bahwa habitat dari kepiting bakau adalah daerah-daerah intertidal yang bersubstral lumpur. 43 Hal ini diperkuat oleh Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berilumpur yang seringkali sangat lunak. Substrat berumpur ini berasal dari sedimen yang dibawa ke estuaria baik oleh air laut maupun air tawar. Sungai yang merupakan sumber air tawar mengikat partikel lumpur dalam bentuk suspensi. Ketika partikel tersuspensi ini mencapai dan bercampur dengan air laut di estuaria, adanya ion yang berasal dari air laut menyebabkan partikel jumpur menggumpal, membentuk partikel yang lebih besar dan berat serta mengendap membentuk dasar lumpur yang khas. Air laut juga mengangkut cukup banyak materi yang tersuspensi. Ketike air laut ini masuk ke estuari, kondisi yang terlindung akan mengurangi gerakan air yang selama ini berperan mempertahankan berbagai parlikel dalam bentuk suspensi. Akibatnya, artikel akan mengendap dan berperan dalam pembentukan substrat lumpur atau pasir. Vegetasi Mangrove Hutan mangrove Segara Anakan termasuk salah satu sumberdaya alam yang penting dan merupakan hutan mangrove terluas yang saat ini masih tersisa di Pulau Jawa. Luasnya saat ini tinggal 9 695 ha dengan rata-rata penyusutan dari tahun 1984 sampai tahun 1994 seluas 300,5 ha tiap tahun (Muri, 2000). Penyusutan ini terjadi akibat banyaknya konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan atau berubah menjadi lahan pertanian (sawah, ladang) dan pemukiman. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat serla belum adanya Persepsi yang sama tentang pentingnya arti hutan mengrove, mendorong masyarakat sekitar untuk merambah hutan mangrove dengan melakukan penebangan liar, Kondisi dan lokasi penyebaran hutan mangrove di daerah Segara Anakan disaiikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kondisi dan Lokasi Penyebaran Hutan Mangrove di Daerah Segara Anakan, No Lokasi Luas (Ha) Takat Kerusakan 7 _[ Perum Parhutani 6392 116i 18 2__[ Nusakambangan 708 226 33 3__| Desa Ujung Alang | 1017 397 39 ‘4 | Desa Ujung Gagak 948 446 47 3 | Desa Panikel 632 462 73 Jumiah 9695 2682 ‘Sumber: Citra Lansat-TM Tahun 1997, diolah oleh Mumi (2000). Berdasarkan Tabel 9 hutan mangrove di Segara Anakan dibedakan menjadi tiga katagori yaitu kalagori | kondisi baik (lingkat kerusakan < 20% dari luas kawasan), katagori I kondisi sedang (20% < tk < 50% dari luas kawasan, seria katagori Ill kondisi rusak (tingkat kerusakan > 50% dari luas kawasan). Hutan mangrove yang berada di dekat permukiman penduduk cenderung mengalami kerusakan, seperti didesa Ujung Alang, Ujung Gagak, dan di desa Panikel. Mumi (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa di Gerumbul Motean Desa Ujung Alang tidak ada lagi vegetasi mangrove, yang tinggal hanya tumbuhan bawah seperti warakas (Aerosticum aureum), jerujon (Acanthus inicifolius), bleketir (Widelia biflora) dan pelir kambing (Sarcofabus globsus). Di Gerumbul Klaces, penduduk telah mengkonversi hutan mangrove ini menjadi kebun kelapa dan lahan pertanian lainnya. Di desa Ujung Gagak ditemukan bekas areal hutan mangrove yang telah berubah menjadi tambak, lahan pertanian, dan pemukiman penduduk seluas lebih kurang 446 ha. Sedangkan di desa Panikel, konversi hutan mangrove menjadi areal pertanian serta pemukiman penduduk mencapai 462 ha. 45 Hutan mangrove yang berada di kawasan Perum Perhutani cenderung lebih baik dibandingkan dengan kondisi hutan mangrove yang berada di luar lokasi Perum Perhutani. Hal ini terjadi karena Perum Perhutani memiliki sistem pengelolaan dan Penanggung jawab yang jelas, adanya batas-batas fisik di lapangan, berlangsungnya reboisasi, dan pengamanan kawasan. Komposisi dan Penyebaran Jenis Dari hasit penelitian dan pengamatan di lapangan (Stasiun 4, 5, dan 6) ditemukan 9 jenis mangrove yang terdiri atas 6 famili, seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Daftar jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di daerah penetitian No Jenis Famili 4 _| Gedangan (Aagiceras corniculatum), Myrsinaceae 2__| Buta-buta (Excoecaria agallocha) Euphorbiaceae 3_| Ting (Ceriops decandra) Rhizophoraceae 4” | Bakau kacang (Rhizophora apiculate) Rhizophoraceae 5 _| Tancang (Bruguiera gymnorrhize)_ Rhizophoraceae 6 __[Tingi (C. taga) Rhizophoraceae 7_[Api-api (Avicennia alba) ‘Avicenniaceae } 8 _| Bogem (Sonneratia alba) ‘Sonneratiaceae ‘9 [Dungun (Henitiera globosa) Sterculiaceae Hal ini tidak terlalu berbeda dengan hasil peneiitian Mumi (2000) di Segara Anakan, yang menemukan 11 jenis vagetasi mangrove yang terditi atas 5 fami, yaitu Rhizophoraceae, Mellaceae, Sterculiaceae,Sonneratiaceae, dan Avicenniaceae, Selain itu ditemukan juga vegetasi lain seperti aipah (Nypa fruticans), waru (Hibiscus tilaceus) dan berbagai tumbuhan bawah antara lain wrakas (Aerosticum aureum), jerujon (Acanthus iricifolius), bleketir (Widetia biffora) dan pelir kambing (Sarcolabus globsus). Berdasarkan survei LPP Mangrove (1983) tercatat 26 jenis tumbuhan mangrove dengan tiga jenis vegetasi yang paling dominan. Sedangkan menurut 46 Pudjorianto (1982) ditemukan 23 jenis dari 14 famili mangrove. Keliga jenis mangrove yang dominan adalah R. apiculate, R. mucronata, dan B. gymnonhiza yang membentuk tegakan muri, berasosiasi dengan satu jenis vegetasi lain dan asosiasi dengan banyak jenis. Hutan tegakan mumi terbatas pada kondisi lingkungan tertentu dan terdii atas A. marina dan A, aba yang dapat ditemukan di sepanjang pinggiran air laut yang dipengaruhi langsung oleh air asin; R. mucronata terdapat di dalam dan sepanjang aliran anak sungai yang dipengaruhi pasang surut; . tagal, ditemukan di lokasi yang lebih dalam di tepi anak sungai yang banyak dipengaruhi aliran air tawar, dan A. comiculatum ditemukan di pinggiran laut, muara sungai, dan di sepanjang aliran sungai kecl Pramudji ef af. (1994) melaporkan bahwa di Teluk Kotania Maluku ditemukan 32 jenis mangrove yang dikatagorikan ke dalam 17 famili, Hutan mangrove ini terbagi menjadi 3 zonasi, yaitu zonasi i menempati garis pantai dengan ketebalan kurang lebih 30 m — 50 m ke arah darat, selalu tergenang oleh pasang surut dengan habitat substrat lumpur. Zona ini ditumbuhi oleh mangrove dari genus Rhizophora sp. yang dikenal sebagai pionir mangrove, yaitu jenis R. apiculeta dan R. mucronata. Zona selanjutnya yaitu tengah hutan mangrove (Zona Il), sekitar 50 meter dari garis pantai sampai lebih kurang 190 meter ke arah darat, ditumbuhi oleh jenis 8. gymnoriza, dan C. tagal yang memiliki tipe perakaran yang khas yang menciptakan gundukan-gundukan tanah, Zona ill menempati daerah belakang hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan darat. Daerah ini ditumbuhi mangrove antara lain dari jenis C. tagal, Xylocarpus sp, B. sexangula, dan N. fruticans. 47 Kerapatan Jenis Berdasarkan hasil penghitungan jumlah individu per jenis mangrove di Stasiun 4, 5, dan 6, maka kerapatan mangrove baik untuk katagori pohon ataupun anakan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut: Tabel 11. Kerapatan mangrove per jenis dan per stasiun Stasiun 4 5 6 [Pohon [Anakan |Pohon |Anakan |Pohon [Anakan| lAegiceras comicufatum | 14 = : |Excoecaria agalfocha - 5 = No,| Jenis |Ceriops decandra 4 1 2 3 4 [Rhizophora apiculata = 5 [Bruguiera gymnormhiza | _- 6 7 8 9 [Ceriops tagal = VAvicennia alba 5 : [Sonneratia alba 5 5 lHenifiera globosa = = + [aloes] 70 = = 5 6 ‘Tabel 11 memperiihatkan bahwa terdapat 9 jenis mangrove yang tersebar hampir di semua stasiun. Jenis A. comiculatum hanya ditemukan di Stasiun 4, dengan total kerapatan sebesar 11 ind/100 m? (pohon). Mangrove jenis A. comiculatum ini memiliki sitat mempunyai toleransi tinggi terhadap salinitas, tanah, dan cahaya yang beragam. Biasanya jenis ini tumbuh di tepi daratan hutan mangrove yang tergenang oleh pasang naik yang normal, serta di di bagian tepi dari Jalur air yang bersifat payau secara musiman. E. agaliocha dijumpai pada Stasiun 4 dan 6 dengan total kerapatan masing- masingnya sebesar 5 dan 10 ind/100 m? (anakan). Noor ef al, (1999) mengungkapkan bahwa jenis £. agallocha ini sepanjang tahun memertukan masukan air tawar dalam jumlah besar. Umumnya ditemukan pada bagian pinggir mangrove di bagian daratan atau kadang-kadang di atas batas air pasang. 48 Umumnya tumbuh di bagian hutan yang telah ditebang, contohnya di Suaka Margasatwa Karang Gading, Sumatera Utara. C. decandre ditemuken hanya pada Stasiun 4, dengan kerapatan jenis 1 ind/100 m? (pohon). Jenis ini biasa tumbuh subur di sepanjang hutan pasang surut, tapi biasanya lebih banyak ditemukan di bagian daratan dari perairan pasang surut dan berbatasan dengan tambak pantai. Jenis C. decandra ini biasanya menyukai habitat yang berpasir/ berlumpur. Untuk jenis R. apiculate didapatkan di Stasiun 5, dengan kerapatan jenis 3 ind/100 m? (pohon). Noor (1999) mengungkapkan bahwa jenis R. apiculate biasanye dijumpai pada daerah bersubstrat Jumpur halus dan dalam, tergenang pada saat pasang normal, tidak menyukai substrat (ebih keras yang bercampur pasir. Biasanya tingkat dominansi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh i suatu lokasi, menyukai juga perairan surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar secara permanen. B. gymnornhiza dijumpai pada Stasiun 5 dengan kerapatan jenis 5 ind/100 m? (pohon). Di Teluk Pelita Jaya Maluku, jenis ini tumbuh di sepanjang pantai yang berhadapan langsung dengan laut dan bersubstrat dasar pasir (Siahainenia, 2000). Noor (1999) menambahkan bahwa B. gymnomhiza dominan pada hutan mangrove yang tinggi, dan merupakan ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta tahap awal dalam transisi menjadi tipe vegetasi daratan. Biasanya tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan kering, dengan tanah yang memiliki aerasi yang baik. Toleran terhadap daerah terlindung ataupun yang mendapat sinar matahari langsung. Tumbuh pada daerah pinggir hutan mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan payau. Substrat terdici dari lumpur, pasir, dan gambut berwama hitam. Terkadang ditemukan juga pada daerah pinggir sungai 4g yang kurang terpengaruh air laut. Hal ini bisa terjadi karena buahnya terbawa arus air atau gelombang pasang. Jenis C. fagal dan A. alba ditemukan pada Stasiun § dengan kerapatan jenis 1 ind/100 m? (pohon), dan 10 ind/100 m? (anakan). Siahainenia (2000) menemukan jenis C. tagal pada bagian tengah hutan mangrove yang bersubstrat pasir dan lumpur yang membentuk gundukan-gundukan akibat sistem perakaran vegetasi yang khas. S. alba terdapat pada Stasiun § dan 6, masing-masing dengan kerapatan jenis 5 ind/100 m? (anakan), dan 3 ind/100 m? (pohon). S.alba merupakan jenis pionir, tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama, menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, kadang-kadang ditemukan juga pada batuan dan daerah berkarang. Jenis ini sering ditemukan di daerah pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, di muara sungai, dan di sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana tumbuhan tain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat. Jenis terakhir, H. globosa ditemukan hanya pada Stasiun 5, dengan kerapatan jenis 6 ind/100 m? (anakan). H. globosa dijumpai di zona belakang jalur mangrove, tetapi biasanya juga dapat hidup di daerah sejauh 70 km dari laut, dan pada sistem sungai air tawar yang dipengaruhi oleh pasang surut. Ketersediaan Makanan Alami Kepiting Bakau Kelimpahan Makrozoobentos Dari hasil pengamatan dijumpai 11 genus makrozoobentos, yang tersebar hampir di semua stasiun, seperti tersaji dalam Tabel 12: Tabel 12. Kelimpahan makrozoobentos per stasiun Genus ‘Jumlah [Stasiun 7[Stasiun 2[Stasiun 3/Stasiun 4] Stasiun 5|Stasiun 6 Terebralia sp, 6 = : = = - |Syncera sp. 1 5 = = 5 - (Melanoides sp. 40 q i = - - \Brotia sp. 2 3 13, = = 46 [Digoriostoma sp. 4 - - = - : |Centhidea sp. = 2 6 = = : Teliina sp. = : : i = = |Donax sp. : 5 = 1 = = Ctenoides sp. z = = 4 lBetiamya sp. = : : = 3 lOstrea sp. = : - - Jumtah 20 23 30 67 6 18 Stasiun 4 memiliki kelimpahan makrozeobentos terbesar yaitu 67 individu/m’. Di stasiun ini ditemukan Tellina sp. sebanyak 1 individu, Donax sp. 1 individu, dan yang terbanyak Ostrea sp. 65 individu. Kemudian disusul oleh Stasiun 3 dengan kelimpahan 30 individwm?. Di Stasiun 3 ini dijumpai jenis Melanoides sp. sebanyak 11 individu, Brotia sp, sebanyak 13 individu, dan Cenithidea sp. sebanyak 6 individu. Selanjutnya Stasiun 2 dengan kelimpahan makrozoobentos sebanyak 23 individuim?, Di stasiun ini ditemukan Melanoides sp. sebanyak 18 individu, Brotia sp. 3 individu dan Cerithidea sp. sebanyak 2 individu. ‘Stasiun 1 dengan kelimpahan makrozoobentos sebanyak 20 individwim?, ditemukan Melanoides sp. sebanyak 10 individu, Brotia sp, 2 individu, Terebralia sp. 6 individu, Syncera sp. dan Digoriostoma sp. masing-masing 4 individu Berikutnya adalah Stasiun 6 dengan kelimpahan makrozoobentos sebanyak 19 individwm? . Di stasiun ir ditemukan hanya dua genus yaitu Brotia sp. sebanyak 16 individu dan Bellamya sp. sebanyak 3 individu. 51 Stasiun 5 menempati urutan keenam dari segi kelimpahan makrozoobentos, yaitu 6 individu’? . Di stasiun ini ditemukan hanya dua genus yaitu Syncera sp. 5 individu dan Ctenoides sp. 1 individu, Ariola (1940) dalam Moosa et al, (1985) menyatakan bahwa_seiain pemakan bangkai (scavenger), kepiting bakau dewasa juga merupakan hewan pemakan bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, gastropoda dan crustacea. Wibowo (1997) dari hasil penelitiannya di Pulau Tirang Malang, Segara Anakan menemukan 12 jenis makrozoobentos, yaitu Littorina scabra, Cenithium bifasciatum, Telescopium telescopium, Cantharus elegan, Nerita antiquata, Barbatia sp., Anadara sp., Teflina tenuis, S. serrata, Penaeus merquensis, Platynereis sp. dan Cirratulus sp. Jenis ini terbagi ke dalam 4 kelas yaitu Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polycheta. Persentase terbesar adalah dari kelas Gastropoda sebesar 76,28%, sedangkan Crustacea, Bivalvia, dan Polycheta masing-masing 28%, 14%, dan 2,75%. Penyebaran jenis dan besamya populasi makrozoobentos di perairan sangat ditentukan oleh kecepatan arus, temperatur, tipe substrat, kekeruhan, zat makanan, dan kompetisi antar spesies (Hynes, 1972). Namun ada juga diantara spesies yang ‘memiliki daya tahan tinggi terhadap kondisi lingkungan yang jelek. ‘Tabel 12 memperiihatkan bahwa terdapat perbedaan jumlah spesies antara stasiun yang satu dengan yang lain. Hal ini diduga berhubungan dengan perbedaan kualitas air dan jenis subsirat pada stasiun tersebut. Selain itu karena faktor kelimpahan dan distribusi makrozoobentos yang memang tidak merata di setiap stasiun, dan adanya respon makrozoobentos yang berbeda terhadap perubahan kondisi perairan dan substrat pada saat pengamatan. 52 Faisal (2001) dari hasil penelitiannya di Muara Angke Jakarta Utara, Menemukan bahwa untuk periode bulan Januari dan Juni, bivalvia lebih banyak daripada gastropoda. Sedangkan pada periode pasang dan surut kedua jenis ini tidak terlalu berbeda dari segi jumiah, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa bentos di daerah ini bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan yang ada. Dari hasil penelitian di Muara Sungai Cimanditi, Sukabumi ditemukan empat jenis gastropoda yaitu Melanoides sp., Thiare sp., Neritina sp., dan Clithon sp. ‘Melanoides sp. merupakan jenis yang dominan ditemukan. Pada waktu posisi bulan mati, Melanoides sp. biasanya melakukan spawning. Sedangkan pada posisi bulan seperempat, setenaah, dan_bulan oumama.. Melanoidessn._melakukaa, aktivitas Dari hasil penelitian di lapangan hal ini tidak selalu berlaku. Pada beberapa stasiun akan ditemui kenyataan bahwa walaupun kerapatan mangrove di daerah itu tinggi, tetapi hal ini tidak selalu diikuti oleh tingginya bobot serasah. Hal ini ada hubungannya dengan jenis mangrove yang ada di daerah tersebut, kondisi habitat masing-masing stasiun, dan adanya sistem perakaran mangrove yang khas, yang berbeda pada setiap jenisnya. Tabel 13 memperlihatkan bobot serasah tertinggi djumpai pada Stasiun 6 sebesar 41,41 gram/m*, diikuti oleh Stasiun 5 sebesar 19,58 gram/m?, dan yang terendah adalah stasiun 4 sebesar 13,27 gramv/m*. Stasiun 6 yang memiliki bobot serasah terlinggi, justru memiliki kerapatan mangrove yang paling rendah yaitu 13 individu/100 m? (Tabel 11), Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa hal ini ada hubungannya dengan jenis mangrove yang ada di Stasiun 6, kondisi habitat, dan adanya sistem perakaran mangrove yang khas, yang berbeda pada setiap jenisnya. Di Stasiun 6 dijumpai mangrove jenis E. ageliocha (anakan) sebanyak 10 individu, dan S. alba (pohon) sebanyak 3 individu. Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan Berdasarkan karakteristik lingkungan sesuai parameter fisika, kimia dan biologi yang dilihat dari suhu, salinitas, pH, kedalaman, tekstur substrat, kepadatan mangrove, jumiah dan kelimpahan makrozoobenthos, maka keenam stasiun penelitian dapat dikelompokkan berdasarkan kedekatannya. Hasit analisis sidik gerombol (Hirearchical Cluster Analysis) terhadap keenam stasiun adalah seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. wees se HTERARCHICAL CLUSTER ANALYSIS*++re* Dendrogram using Average Linkage (Between Groups) Rescaled Distance Cluster Combine case Label Num sre 2 st3 3 oth 2 sT6 6 ste 4 sts 5 Gambar 5. Hasil analisis sidik gerombo! semua stasiun pada tiap bulan pengamatan berdasarkan karakteristik lingkungannya Dalam Gambar 5 terlihat bahwa karakteristik Stasiun 2 lebih mirip dengan Stasiun 3, sama kedekatannya antara stasiun 1 dengan stasiun 4. Sementara karakter yang cukup berbeda dengan semua stasiun lainnya. Perbedaan utama antara stasiun 5 dengan yang lainnya terutama disebabkan oleh kedalaman rata-rata yang sangat dangkal (kurang dari 1 meter) dan kerapatan mangrove yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. ‘Stasiun 4 memiliki karakteristik makrozoobentos, jumlah tegakan mangrove dan proporsi pasir yang tinggi tebih mirip dengan stasiun 1 dan 6 yang suhunya felatif tinggi. Ketiga stasiun ini lebin mirip dengan karakter stasiun 2 dan 3 dibandingkan dengan stasiun 5, Jumlah dan Sebaran Ukuran Kepiting Bakau per Jenis Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan tiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla olivacea, S. tranquebarica , dan S. serrata seperti ditampilkan dalam Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Gigi Depan Duri Sendi Jari Karapas Landai ‘Satu yang Jelas, | Gambar 6. Kepiting bakau jenis S. allvacea Kepiting bakau jenis S. ofivacea mempunyai cir-ciri morfologi sebagai berikut wama hijau coklat merah seperti karat, gigi depan karapas berbentuk landai, duri pada sendi jari satu yang jelas satu lagi tidak jelas, rambut hanya terdapat pada daerah hepatik. Sedangkan citi yang lain umumnya sama dengan kepiting bakau secara unum. Keplting bakau jenis S. tranquebarica mempunyai cir-ciri morfologi sebagai berikut wama hijau buah zaitun, gigi depan Karapas berbentuk tajam, kedua duri pada sendi jarijelas dan runcing, rambut tidak ada. to Gambar 7. Kepiting bakau jenis S. tranquebarica Gigi Depan Karapas. Berbentuk Dalam | Gambar 8. Kepiting bakau jenis S, serrata 87 Kepiting bakau jenis S. serrata mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut wama hijau menuju hijau abu-abu, gigi depan karapas berbentuk dalam, kedua duri pada sendi jari tumpul, rambut melimpah pada karapas. dumlah total tangkapan kepiting bakau dari semua stasiun selama penelitian adalah 12 928 ekor, terdiri dari Scylla serrata 4001 ekor, S. tranquebarica 4 609 ekor, dan S. ofivacea 4 318 ekor. Hasil analisis varians jumlah tangkapan berdasarkan stasiun dan bulan dari ketiga jenis kepiting bakau menunjukkan bahwa jumlah S. olivacea , S. franquebarica dan S. serrata yang tertangkap dengan jaring maupun wadong tidak berbeda antar stasiun, tetapi jumlah tangkapan. S. serrata dan S. olivacea berbeda antar waktu (bulan) penangkapan. Jenis S. tranquebarica yang tertangkap dengan jaring di Stasiun 1, 2 dan 3 tidak berbeda jumlahnya antar bulan, tetapi yang tertangkap dengan wadong pada Stasiun 4, § dan 6 jumlahnya berbeda berdasarkan bulan penangkapan (Lampiran 6 ). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran populasi kepiting bakau S. serrata, S. tranquebarica dan S. olivacea pada setiap stasiun yang dipasangi alat tangkap yang sama adalah hampir merata dan nampak adanya waktu atau bulan tertentu jumlah kepiting bakau S. serrata dan S. olivacea_iebih melimpah populasinya. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan kelimpahan ketiga jenis kepiting bakau lebih seragam pada semua stasiun adalah jarak stasiun yang relatit berdekatan sehingga beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi sebaran kepiting bakau tersebut tidak terlalu besar perbedaannya secara spasial dalam wilayah penelitian, namun cukup nyata jika dilihat dari dimensi waktu. Setelah dilanjutkan dengan uji beda rata-rata antar bulan dengan uji Beda Nyala Terkecil (BNT) maka didapatkan bahwa rata-rata jumlah kepiting S. serrata yang tertangkap dengan jaring pada bulan November signifikan (P < 0,05) berbeda 58 lebih tinggi dibandingkan dengan bulan September dan Oktober. Rata-rata jumlah kepiting S. franquebarice yang tertangkap dengan wadong pada Stasiun 4, 5 dan 6 pada bulan November signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan September, namun pada butan Oktober tidak menunjukkan perbedaan dengan bulan September maupun November, Agak berbeda dengan dua jenis lainnya, jenis S. olvacea yang fertangkap dengan wadong pada bulan September signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan dua bulan sesudahnya yakni Oktober dan November (Tabel 14). Tabel 14. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rala-rata jumlah kepiting S. serrata , S. tranquebarica dan S. olivacea Jenis Kepiting Bulan Ratavata + SD N ‘September 10,40" £° 0,42 89 S, serrata* Oktober 9,75" + 0,41 93 November 14,44° + 0,42 89 ‘September 59,67" + 0,84 90 S. tranquebarica | Oktober 59,43 4 0,84 93 November 61,21" + 0,84 88 ‘September 1612" + 052 86 Oktober 11,45° + 0,50 92 November 12,00" + 0,51 87 Huruf superskrip berbeda dalam Kolom yang sama pada setiap jenis kepiting menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Tanda“ adalah S. serrata yang tertangkap dengan jaring di Stasiun 1, 2dan3. Tabel 14 memperlinatkan bahwa rata-rata jumlah kepiting jenis S. tranquebarica yang tertangkap dengan wadong di Stasiun 4, 5 dan 6 jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepiting jenis S. olivacea selama tiga bulan penelitian. Berdasarkan pada bulan penangkapan maka jelas terlihat pola yang agak berbeda antara jenis S. serrata dengan S. ofivacea maupun S. tranquebarica. S. olivacea cenderung lebih banyak tertangkap pada awal penelitian di bulan 59 September, sebaliknya S. serrata dan S. tranquebarica lebih banyak di akhir penelitian pada bulan November. Selain melihat jumlah tangkapan, maka hal menarik yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah distribusi ukuran ketiga jenis kepiting bakau berdasarkan stasiun dan waktu (butan) penangkapan, Setelah dilakukan analisis varians dari ukuran jebar karapas (lebar minimum, lebar maksimum, lebar rata-rata) dan panjang karapas (panjang minimum, panjang maksimum, panjang rata-rata) maka didapatkan bahwa jenis S. serrata memiliki lebar dan panjang karapas yang tidak berbeda antar stasiun penefitian tetapi berbeda menurut bulan penangkapan, kecuali lebar maksimum, Lebar dan panjang karapas jenis S. tranquebarica yang tertangkap dengan jaring di Stasiun 1, 2 dan 3 berbeda antar bulan kecuali lebar minimum yang hanya berbeda antar stasiun. Panjang minimum dan panjang rata- rata karapas jenis S. tranquebarica berbeda, baik menurut stasiun maupun bulan penangkapan. Kepiting S. tranquebarica yang tertangkap dengan wadong di ‘Stasiun 4, 5 dan 6 memiliki hanya lebar minimum karapas yang berbeda menunut bulan, sedangkan lebar maksimum, lebar rata-rata dan panjang rata-rata karapas hanya berbeda menurut stasiun penelitian. Lebar dan panjang rata-rata karapas kepiting S. olivacea yang tertangkap dengan wadong di Stasiun 4, 5 dan 6 berbeda antar stasiun maupun bulan, sedangkan lebar dan panjang minimum hanya berbeda antar bulan penangkapen (Lampiran 5), Hasil uji beda rata-rata dari beberapa parameter ukuran karapas ketiga jenis kepiting bakau yang signifikan menunjukkan perbedaan antar stasiun maupun antar bulan (Lampiran §) menunjukkan bahwa lebar minimum, lebar rata-rata, panjang maksimum dan panjang rata-rata kepiling jenis S. serrata pada bulan Oktober signifikan berbeda lebih tinggi dibandingkan pada bulan September maupun 60 November. Panjang minimum terendah kepiting jenis S. serrata terukur pada bulan November. Hasil seperti ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa populasi kepiting bakau jenis S. serrata yang tertangkap pada bulan Oktober berbeda dalam kelompok umur dengan yang tertangkap pada bulan November. Diduga kepiting yang tertangkap pada bulan yang berbeda ini berasal dari masa penetasan yang berbeda pula, Ukuran lebar minimum, panjang minimum dan panjang rata-rata_kepiting jenis S. tranquebarica yang tertangkap dengan jaring pada Stasiun 2 signifikan berbeda lebih kecil dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 3. Diduga Stasiun 2 ini ‘merupakan perairan yang cocok bagi kepiting S. tranquebarica yang lebih muda atau berukuran lebih kecil, Lebar maksimum, lebar rata-rata, dan panjang karapas kepiting S. tranquebarica pada bulan November signifikan lebih rendah dibandingkan dengan yang tertangkap pada bulan September dan Oktober. Jika dibandingkan dengan S. serrata, maka populasi kepiting S. tranquebarica di Stasiun 1, 2 dan 3 ini cenderung memiliki pergeseran sebulan lebih lambat, namun masin memiliki kesamaan yang menunjukkan kemungkinan populasi yang testangkap pada bulan sebelumnya terdiri atas kelompok umur yang berbeda. Yang jelas bahwa fenomena tersebut memberi petunjuk adanya kemungkinan perbedaan masa pemijahan antara kepiting jenis S. serrata dengan S. tranquebarica. Hasil yang menarik dari distribusi ukuran kepiting S. tranquebarica ini adalah terbentuknya pola yang cukup berbeda antara kepiting yang tertangkap dengan jaring pada stasiun-stasiun yang terletak di perairan (Stasiun 1, 2 dan 3) dengan yang tertangkap memakai wadong pada stasiun-stasiun di hutan mangrove {Stasiun 4, 5 dan 6). Lebar minimum karapas yang berbeda antar stasiun tetapi tidak berbeda menurut buian, terjadi sebaliknya di stasiun-stasiun yang berada di hutan 61 mangrove yakni berbeda menurut bulan tetapi tidak berbeda menurut stasiun, dengan lebar karapas terbesar pada bulan November. Demikian pula lebar maksimum dan lebar rata-rata yang berbeda menurut bulan tetapi tidak berbeda menurut stasiun pada stasiun-stasiun di perairan, sebaliknya pada stasiun-stasiun yang berada di hutan mangrove berbeda menurut stasiun tetapi tidak berbeda menurut bulan. Berdasarkan pada ukuran panjang rata-rata pada kedua kelompok stasiun tersebut, terjadi perbedaan yang signifikan menurut stasiun dengan panjang rata- rata tertinggi >58 mm pada Stasiun 6 yang berada di hutan mangrove, dan >67 mm di Stasiun 1 yang berada di perairan, Panjang rata-rata terpendek di Stasiun 2 yang berada di perairan >60 mm, masih lebih tinggi dibandingkan dengan panjang rata- rata terbesar >58 mm pada Stasiun 6 yang berada di hutan mangrove. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa secara umum kepiting yang berukuran kecil cenderung berada di sekitar hutan mangrove sedangkan yang berukuran besas lebih banyak berada pada stasiun-stasiun di perairan. Dengan demikian maka sangat besar kemungkinan kepiting jenis S. tranquebarica memilih mangrove sebagai wilayah pembesaran segera setelah menetas di laut. Untuk memastikan bahwa apakah kepiting S. tranqueberica ini setelah besar lebih cenderung menghuni wilayah perairan yang berdekatan dengan laut dibandingkan hidup di hutan mangrove sangat sulit dan memeriukan penelifian yang lebih detail dan lebih lama untuk melihat migrasi territorial S. tranquebarica berdasarkan umur dan ukuran. Hal ini terfihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ukuran lebar maksimum dengan kisaran 94.40 mm - 98,56 mm yang didapatkan dalam stasiun yang berada di hutan mangrove relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran 61,78 mm - 95,86 mm yang didapatkan selama bulan 62 September - Oktober di stasiun yang berada di perairan. Hal ini berarti bahwa kepiting yang terbesar justru didapatkan dalam wilayah mangrove. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan ditemukannya ukuran kepiting dengan lebar maksimum terbesar di stasiun mangrove. Diantaranya adalah bahwa kemungkinan dengan kemampuannya sebagai nekton dapat bergerak lebih jauh dalam radius yang lebih besar dengan toleransi lebih tinggi sehingga-dapat mencari makan di wilayah mangrove meskipun sebenamya lebih lama hidupnya di perairan. Kemungkinan lainnya adalah bahwa pada masa penelitian mungkin kepiting yang berukuran relatif besar yang didapatkan di perairan sedang dalam migrasi untuk memijah dan setelah itu akan kembali ke mangrove. Hal ini tentu dapat dengan mudah dijelaskan jika penelitian ini dilanjutkan hingga beberapa bulan kemudian dengan mengamati kecenderungan pergerakan populasi kepiting bakau jenis S. tranquebarica. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siahainenia (2000) bahwa kepiting bakau jenis S. trenquebarica untuk semua kelas ukuran {besar maupun kecil) terlihat menyebar dengan balk pada semua stasiun penelitian. Artinya jenis ini mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan sehingga dapat hidup di wilayah yang uas. Ditambahkan bahwa kepiting bakau jenis S. tranquebarica ukuran sedang dan besar terlinat mendominasi daerah depan hutan mnagrove yang berbatasan langsung dengan laut. Sedangkan kepiting bakau jenis S. tranquebarica ukuran kecil terihat mendominasi bagian tengah hutan mangrove. Kepiting jenis S. ofvacea_memiliki distribusi ukuran yang cenderung lebih berbeda berdasarkan bulan penangkapan. Lebar minimum, lebar rata-rata, panjang minimum dan panjang rata-rata signifikan berbeda menurut bulan. Kedua parameter 63 ukuran karapas yang disebut terakhir juga berbeda berdasarkan stasiun penelitian. ‘Semua parameter yang berbeda menurut bulan tersebut menunjukkan bahwa rata- rata ukuran karapas pada bulan November lebih tinggi dibandingkan pada bulan September dan Oktober. Pola sebaran ukuran berdasarkan bulan ini sangat berlawanan dengan kedua jenis kepiting lainnya yakni S. serrata dan S. tranqueberica. Lebar rata-rata terbesar yang didapatkan pada Stasiun 6 signifikan berbeda dengan Stasiun 4 dan 5, sementara panjang rata-rata_ pada Stasiun 6 berbeda lebih tinggi dibanding dengan Stasiun 4 dan keduanya tidak berbeda dengan yang didapatkan pada Stasiun 5. Siahainenia (2000) menambahkan bahwa S. oceanica dan S. serrata yang berukuran besar (> 15 cm) tidak memperiihatkan dominansinya pada salah satu bagian dari hutan mangrove, sedangkan S. oceanica dan S. serrata yang berukuran kecil dan sedang (lebar karapas < 10 cm dan 10 -16 cm) dominan pada bagian tengah dan belakang hutan mangrove. Kecenderungan perbedaan ukuran kepiting S. olivacea antar stasiun di hutan mangrove menunjukkan kemungkinan terjadinya selektivitas kepiting jenis ini terhadap beberapa kondi kungan tertentu atau pemilihan pada relung-relung yang sesuai untuk kebutuhan fisiologisnya. Preferensi terhadap habitat atau relung i wilayah mangrove untuk kepiting jenis S. olivacea dapat berkaitan dengan aktivitas makan, reproduksi, perlindungan dan adaptasi bicekologi lainnya. ‘Sementara perbedaan ukuran menurut bulan sangat erat kaitannya dengan adaptasi lingkungan berdasarkan kelompok umur dan waktu pemijahan populasinya. Dengan melihat distribusi ukuran pada ketiga jenis kepiting bakau tersebut dapat dikatakan bahwa terlihat kecenderungan perbedaan baik terhadap preferensi habitat berdasarkan stasiun maupun perbedaan dalam sebaran ukuran menurut 64 bulan pengamatan. Salah satu hal yang pasti menyebabkan perbedaan diantara ketiga jenis kepiting bakau tersebut adalah faktor hereditas secara genetis yang berbeda pada ketiga spesies tersebut. Faktor lain yang sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan hanya dapat diduga dan dapat dijelaskan lebih ilmiah apabila dilakukan penelitian yang lebih detail mengenai beberapa aspek bicekologi pada masing-masing spesies. Distribusi Kepiting Bakau Berdasarkan Umur Bulan Berdasarkan hasil sebelumnya yang menunjukkan pengaruh bulan nampak signifikan terhadap jumiah tangkapan dan beberapa parameter ukuran pada ketiga, jenis kepiting. Hal ini berarti bahwa ada kecenderungan perbedaan jumiah dan sebaran ukuran yang tertangkap dari ketiga jenis kepiting tersebut berdasarkan waktu. Untuk melihat Jebih jauh bagaimana perbedaan tersebut terjadi maka dilanjutkan dengan menganalisis jumlah dan sebaran ukuran ketiga jenis kepiting yang tertangkap berdasarkan perbedaan umur bulan. Umur bulan digolongkan kedalam empat kategori yaitu seperempat bulan (1 hijiyah - 7 hijriyah), dua per empat bulan (8 hiriyah - 14 hijiyah), tiga per empat bulan (15 hijriyah - 21 hijriyah) dan bulan gelap (22 hiriyah - 28 hijriyah).. Hasil analisis varians (ANOVA) antar keempat umur bulan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa jumiah tangkapan ketiga jenis kepiting tidak berbeda {P > 0,05) antar keempat umur bulan. Panjang karapas maksimum dan panjang karapas rata-rata kepiting jenis S. serrata signifikan (P < 0,05) berbeda antar keempat umur bulan. Panjang dan lebar karapas maksimum dan rata-rata dari kepiting jenis S. tranquebarica_ yang tertangkap signifikan berbeda menurut umur bulan, Lebar karapas maksimum, lebar karapas rata-rata, panjang karapas 65 minimum, panjang karapas maksimum, dan panjang karapas rata-rata jenis S. olivacea yang tertangkap juga signifikan berbeda menurut umur bulan. Hasil ini menunjukkan adanya beberapa perbedaan respon yang ditunjukkan dari ketiga jenis kepiting terhadap umur bulan. Diduga hal ini berkaitan dengan sifat fototaksis yang berbeda antar jenis dan variasi ukuran masing-masing. ‘Selanjutnya dari hasil analisis uji beda rata-rata dengan uji BNT dari respon yang memperlihatkan perbedaan dalam analisis varians di alas, maka didapatkan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 15, 16, dan 17 berikut, Masing-masing untuk kepiting S. serrata, S. tranquebarica , dan S. ofivacea. Tabel 15. Hasil uji BNT ukuran karapas kepiting jenis S. serrata antar umur bulan yah Ukuran Karapas ‘Umur bulan Rata-rata + S. Deviasi Seperempat 02.83" + 10,10 ; ; Dua per empat 82,30* + 11,69 Panjang maksimum | Tiga per empat 79,23" + 14,09 Gelap 85,40° + 9,90 Seperempat 65,06" + 8,42 Dua per empat 65,13" + 9.18 Panjang rata-rata Tiga per empat 61,98" 4 8.91 Gelap 65.57" 4 7.72 Keterangan : Huruf superskrip berbeda daiam kolom yang sama pada setlap jenis kepiting menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pada umur tiga per empat bulan, Panjang karapas rata-rata kepiting jenis S. serrata adalah 61,98 mm berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan umur bulan lainnya. Sedangkan pada umur bulan seperempat, dua per empat, dan bulan gelap, panjang karapas rata-rata kepiting Jenis S. serrata cenderung lebih tinggi (65,06 mm, 65,13, mm dan 65,57 mm). Hasil ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa pada umur tiga per ‘empat butan yang merupakan saat-saat purnama dengan kelimpahan cahaya yang 66 tinggi, kepiting jenis S. serrata ditemukan berukuran lebih kecil. Hal ini diduga berhubungan dengan sikius reproduksi kepiting bakau secara umum yang melakukan pemijahan pada saat bulan purnama. Tabel 16, Hasil uji BNT ukuran karapas kepiting jenis S. tranquebarica antar umur bulan hijriyah Ukuran Karapas Umur bulan Rata-rata + S, Deviasi ‘Seperempal 30,94" 14,08 a Dua per empat 98,54" + 15,95 Lebar maksimum Tiga per empat 95,01 + 13,13 Gelap 93,38 4 12,40 Seperempat 77,38" 4 14,03 Dua per empat 82,53" + 12,66 Lebar rate-rata Tiga per empat 80,779 4 11,24 Gelap 80,75" 4 11,91 ‘Seperempal 70,29" 4 11,75 - Dua per empat 76,73" + 13,94 Panjang maksimum | Tiga per empat 73,36" 4 11,87 Gelap 72,54° + 41,74 Seperempai 56,56" + 12,15 Dua per empat 61,95° + 11,18 Panjang rata-rata | Tiga per empat 59,97" 4 10,55 Gelap 60,28" + 11,25 Keterangan : Huruf superskrip berbeda dalam kolom yang sama pada setiap jenis kepiting menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), ‘Tabel 16 memperlihatkan pada umur dua per empat bulan lebar karapas rata-rata kepiting jenis S. franquebarica adalah 82,53 mm, berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan umur bulan lainnya. Pada umur bulan seperempat, tiga perempat. dan gelap, lebar karapas rata-rata kepiting jenis inl cenderung lebih rendah (77,38 mm, 80,77 mm, dan 80,75 mm). Begitu juga dengan panjang karapas tata-rata, pada umur seperempat bulan sebesar 56,56 mm, berbeda nyata lebih rendah dari umur butan lainnya (dua per empat, tiga per empat, dan gelap) sebesar 61,95 mm, 59,97 mm, dan 60,28 mm. 67 ‘Tabel 17. Hasil uji BNT ukuran karapas kepiting jenis S. olivacea_antar umur bulan hijriyan ‘Ukuran Karapas Umur bulan Rata-rata + S. Deviasi Seperempai 9358" f 12.97 ‘ Dua per empat 100,19 + 13.80 Lebar maksimum Tiga per empat 97,26" 4 11,60 Gelap 99,31" + 13,69 Seperempat 73,78" 4 7,28 Dua per empat 79,02" + 851 Lebar ratarata Tiga per empat 76,80” + 527° Gelap 79,15" + 7,71" ‘Seperempat 38,68" + 6,56 Panjang minimum Dua per empat 41,33? + 8,77 ‘anjang Tiga per empat 39,73 + 6,72 Gelap 42,24° + 8.13 Seperempat 72,01" + 12,36 is Dua per empat 78,53" + 12,15 Panjang maksimum | Ti8 per empat 75,39" + 950 Gelap 76,90" + 11,62 ‘Seperempat 53,30" + 655 . Dua per empat 58,87" + 8,43 Panjang ratarata | Tiga per empat 56,55" 4 5.35 Gelap $867" + 7,49 Keterangan : Huruf superskrip berbeda dalam kolom yang sama pada seliap jenis kepiting menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa pada umur seperempat buian lebar rata-rata_ kepiting jenis S. oivacea adalah 73,79, berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan pada umur bulan lainnya, dua perempal, tiga per empat, dan bulan gelap sebesar 79,02 mm, 76,80 mm, dan 79,15 mm, Sama halnya dengan lebar rata-rata dialas, pada umur seperempat bulan Panjang karapas rata-rata kepiting jenis S. ofivacea adalah 53,30 mm berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan umur bulan lainnya, dua perempat, tiga per empat, dan bulan gelap masing-masing sebesar $8,87mm, 56,55 mm, dan 58,67 mm. 68 Wamer (1967) dalam peneliiannya mengungkapkan bahwa kepiting Pemanjat mangrove Aratus pisonii menyesuaikan pembiakan dan migrasinya ke laut dengan siklus bulan, Telur berkembang dan melekat pada pleopod betina, dan penetasannya disesuaikan dengan bulan baru atau bulan purnama dan pasang pada musim semi. Bila telur menetas, kepiting betina beruaya ke laut menjauhi pantai untuk memijah. Setelah telur menetas,muncul larva tingkat 1 (zoea 1) yang akan terus berganti kulit dan terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat kepiting muda. Proses dari zoea 1 ke kepiting muda ini membutuhkan waktu lebih kurang satu bulan. Hal ini mungkin dapat menjelaskan fenomena kenapa pada ‘saat bulan purnama panjang karapas kepiting yang ditemukan lebih rendah daripada i bulan tainnya. Pendapat ini didukung oleh Reid (1986) bahwa Litttorina scabra dan beberapa jenis moluska fainnya juga bertelur pada saat bulan pumama, dan menghasikan larva yang berenang bebas. Hal ini membuktikan bahwa pelepasan larva juga bertepatan dengan saat tinggi pasang maksimum (bulan pumama) untuk masing-masing siklus buian. Peranan arus pasang surut (umur bulan) dan hubungannya dengan aktivitas perikanan diungkapkan juga oleh Wasilun (1988), yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang berarti antara aktivitas perikanan di sekitar bulan baru dan bulan pumama dengan bulan peraiihan antar keduanya di Segara Anakan. Aktivitas Perikanan cenderung meningkat di sekitar bulan baru dan bulan pumama, periode ini dikenal sebagai periode ngangkat, pada saat ini tunggang air maksimum. Sebaliknya pada periode peralihan (bulan gelap), dengan tunggang air minimum dan arus lemah, aktivitas perikanan menurun, dikenal dengan periode ngember. 69 Di perairan Pallime, Sulawesi Selatan, pada saat bulan pumama panjang karapas kepiting bakau (Scylla spp.) yang didapatkan lebih kecil, Hal ini berbeda dengan saat bulan gelap, pada periode ini panjang karapas kepiting yang didapatkan lebih besar-besar (Gunarto ef ai. 1997). Hal ini diduga berhubungan dengan siklus reproduksi kepiting bakau itu sendiri di alam, yang memijah pada saat bulan pumanta. Kemungkinan yang dapat dijelaskan adalah bahwa kepiting ukuran kecil yang tertangkap pada saat bulan pumama diduga berasal dari proses pemijahan satu bulan sebelumnya (bulan pumama). rama turun naiknya air laut Karena pengaruh bulan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola kebiasaan kepiting. Hal ini karena pada saat pasang, arus menuju pantai, sebaliknya saat surut biasanya menuju ke laut lepas pantai. Saat pasang ini biasanya kepiting akan mencari makan, dan pada saat surut biasanya berdiam diri atau bersembunyi, Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sara (1994) yang mengungkapkan bahwa jumlah kepiting yang tertangkap pada saat pasang lebih banyak karena pada saat pasang makanan terbawa oleh aliran air, diduga kepiting mengikuti sebaran makanan tersebut. Sebaliknya saat surut, kedalaman air dangkal sehingga Persebaran makanan juga tidak merata. Jadi pada saat surut jumiah kepiting yang tertangkap juga lebih sedikit, Dari hasil penelitian Tanihatu (1997), didapatkan informasi bahwa ikan yang tertangkap saat surut lebih banyak jumlahnya daripada ikan yang tertangkap saat pasang, Hal ini diduga karena ikan lebih banyak berlindung dan beristirahat pada habitatnya pada saat surut. Pada saat ini juga ikan-ikan biasanya sedang beraktivitas ke arah gerak arus yang meninggalkan pantai menuju ke laut dalam. Ikan yang tertangkap di pagi hari merupakan ikan yang aktif bergerak pada malam 70 hari (nokturna), Sebaliknya ikan yang tertangkap di sore hari adalah ikan yang aktit bergerak ai siang hari (ciurna). Aksi pasang surut juga berpengaruh terhadap penyebaran fitoplankton dan zooplankton. Saat surut, jumiah fitoplankton lebih banyak daripada zooptankton. Hal inj berhubungan dengan volume air pada saat surut lebih sedikit sehingga intensitas sinar matahari pada waktu-surut juga lebih optimum (Dadan,1996). Sudiarta (1988) mendapatkan kelimpahan burayak kepiling bakau di Teluk Hurun, Lampung sebanyak 32,6 individu/m?, dengan dominansi tertinggi pada fase zoea 1 (79,4%). Puncak kelimpahan burayak yaitu pada saat bulan purnama dan bulan baru, Puncak kelimpahan megalopa adalah 17 hari setelah puncak kelimpahan zoea 1. Kelimpahan, persentase, dan frekuensizoea 1 tertinggi terdapat di mulut teiuk, dan akan semakin turun arah ke muara sungai. Untuk zoea 2 sebaliknya, terendah di mulut teluk dan semakin tinggi arah ke muara sungai. Untuk Zoea 3 sebarannya merata di dalam teluk. Dari hasil peneitian ini diperoleh dugaan bahwa induk kepiting betina yang siap memijah akan bermigrasi ke laut dalam pada bulan Januari - Februari. . Nelayan-nelayan di Jakarta mendapatkan kepiting bakau dalam jumiah besar pada musim barat dan musim timur, tetapi saat musim peralihan hasil tangkap kepiting bakau cenderung turun (Jali, 1985). Sedangkan Soedarmi (1965) mengungkapkan bahwa di daerah Jawa Timur kepiting bakau banyak dijumpal pada ‘musim hujan (musim barat). Indeks Penyebaran Morisita Dari hasil analisis pola distribusi kepiting bakau menurut Indeks Distribusi Morisita berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 18 berikut: 7 ‘Tabel 18. Indeks Morisita masing-masing jenis kepiting bakau Jenis Indeks Distribusi Soylla serrata 2,80 ‘Soyila tranquabarica 2.61 Soylla olvacea 2,98 Tabe! 18 memperlihatkan bahwa pola distribusi kepiting bakau pada daerah Penolitian adalah pola distribusi bergerombol, Hal ini didasarkan pada kriteria bahwa bila nitai indeks distribusi (Id) = 1,0 maka tergolong pola distribusi acak; bila nilai distribusi (Id) = 0 maka tergolong pola distribusi normal, dan bila nilai indeks distribusi (Id) = n, maka tergolong kedalam pola distribusi bergerombol (Bengen, 1998). Odum (1996) berpendapat bahwa pola distribusi bergerombol merupakan Pola yang paling umum dijumpai di alam. Dikatakannya bahwa dalam pola distribusi bergerombol, kelompok-kelompok dapat sama atau berubah-ubah besarya dan mereka dapat tersebar secara acak, seragam, atau bergerombol sendiri dengan Tuang luas yang tidak terisi. Menurut Odum (1996) ada lima pola distribus! yaitu; (1) ‘seragam, (2) acak, (3) bergerombol secara acak, (4) bergerombot seragam, dan (6), bergerombol berkumpul. Berdasarkan pola di atas dapat disimpulkan bahwa kelimpahan kepiting bakau pada lokasi penelitian termasuk kedalam pola distribusi bergerombo! secara acak, Hal ini disebabkan karena kepiting bakau cenderung untuk mencari habitat yang cocok dan dapat mendukung kehidupannya. Daerah terlindung yang bersubstrat lumpur dengan tingkal penggenangan yang baik serta ketersediaan makanan alami yang cukup merupakan habitat yang disenangi kepiting bakau (Sara, 1994). Habitat seperti ini tidak menyebar merata pada seluruh stasiun, tapi terdapat pada areal tertentu. Dengan demikian kepiting bakau cenderung akan mengikuti pola penyebaran habitat tersebut. 72 Hubungan Keberadaan Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat Dari penjelasan sebelumnya telah diketahui keberadaan keliga jenis kepiting bakau pada keenam stasiun. Dari Tabel 19 berikut terlihat prosentase kepiling bakau S. olivacea , S. tranquebarica , dan S. serrata pada masing-masing stasiun berdasarkan karakteristik habitat yang mempengaruhinya. Tabel 19. Prosentase kepiting bakau S. olivacea , S. tranquebarica , dan S. serrata pada masing-masing stasiun berdasarkan karakteristik habitat yang mempengaruhinya. = Kualitas Air dan Makro Bobot | s. s. st ‘Substrat Mangrove | zoobentos | Serasah | oflvacea fanaue | serrate 115-32 Terebrala sp. 2.333 ‘Syncera sp. 3.686 Melenoides sp, 1. | 4 100-250 Brotia sp, . - 3.2% | 33.39% §. Lumpur dan - Digorostoma sp fiat 7 A7ST Melaiakdes sp 2.327 Brotia sp, 3.695 Conthidea sp. 2 eee oo - - : 3.2% | 31.7% 5. Lumpur dan fiat Tia ‘Melanotdes sp 2.327 Brotia sp, 3.69.5 Certhidea sp. > | 4110-350 - - . 40% | 33.6% 5. Lumpur dan Hat TAT lA. come Telina sp 2.327 ‘wlatum E. | Donax sp, 3.695 jaocha, C. | Ostrea sp. 4S Te as0 mene 13,27 | 32.0% | 296% | 0.3% , Lumpur dan lat T1731 iKapteulata,B | Syncera sp 2.327 gymnor- | Ctenoides sp 3.695 hiza, C. S| 4110-360 gal, A. aba, 19,58 | 34.7% | 90.8% | 0.6% 5. Lumpur dan |S. alba, H. fiat tobosa TAA “agalocha, | Brotia sp. 2.327 salba Belemya sp. 6 | 3895 aiat | 333% | 291% | 0.5% 4.110.360 5 . . 5. Lumpur dan fiat Ket: Kualitas air dan substrat: 1. suhu CC) 2. salinitas (*/ec) 3. pH (unit) 4. kedalaman (cm) Dari hasil analisis data (Lampiran 4) dengan menggunakan “Analisis Faktorial Korensponden (CA)" untuk melihat distribusi dari ke-tiga jenis kepiting bakau berdasarkan kelas ukuran antar stasiun dan antar bulan, terlhat bahwa informasi mengenai penyebaran kepiting bakau ini terpusat pada 2 sumbu utama {F1 dan F2) , dengan masing-masing sumbu menjetaskan 89% dan 5% dari ragam total. 1 Points-rows and points-columns (axis Fl and F2: 94%) i os o4 oz ao Ba: Bn ‘ 05 08 4 , axis F1 (89 99 --> Gambar 9. Grafik analisis faktorial koresponden antara jenis kepiting per kelas ukuran dengan stasiun dan bulan pengamatan 14 Keterangan: SSA = Jenis Soyila serrata ukuran <70 mm SSB = Jenis S. serrata ukuran 70-100 mm SSC = Jenis S. serrata ukuran >100 mm STA = Jenis S. tranquebarica ukuran <60 mm ‘STB = Jenis S. franquebarica ukuran 60-80 mm STC = Jenis S. fanquebarica ukuran >80 mm SOA = Jenis S. olivacea ukuran <55 mm ‘SOB = Jenis S. ofivacea ukuran 55-65 mm SOC = Jenis S. olivacea ukuran >65 mm S = September © = Oktober N =November D = Desember 1,2, 3, 4, 5, 6 adalah stasiun pengamatan Cari Grafik hasil Analisis Faktorial Koresponden pada sumbu Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) seperti ditampikan pada Gambar § terlihat bahwa terdapat 2 kelompok dengan asosiasi antara jenis, kelas ukuran, dan bulan saat pengambilan data, Masing-masing kelompok menggambarkan keterkaitan yang erat antara ketiganya. Jenis Scylla serrata ukuran kecil berasosiasi dengan butan November pada Stasiun 1, 2, dan 3. Kepiting jenis S. serrata ukuran sedang berasosiasi dengan bulan September pada Stasiun 1, sedangkan S. serrata ukuran besar berasosiasi dengan bulan Desember pada Stasiun 1, 2, dan 3. Kepiting bakau jenis S. tranquabarica ukuran kecil berasosiasi dengan bulan Oktober pada Stasiun 4 dan 5. S. tranquabarica ukuran sedang berasosiasi dengan 75 bulan September pada Stasiun 4, 5 dan 6. S. tranquaberica ukuran besar berasosiasi dengan bulan Desember pada Stasiun 5 dan 6. Kepiting bakau jenis ke tiga yaitu S. olivacea yang berukuran kecil dan sedang berasosiasi dengan bulan Oktober pada Stasiun 4 dan 5, sedangkan S. olivacea_ukuran besar berasosiasi dengan bulan November pada Stasiun 5 dan 6. ~ denis S. serrata ukuran kecil dominan pada bulan November di Stasiun 1, 2, dan 3 yang berada di perairan yang berhubungan dengan air laut dan air tawar dari Muara sungai dengan kedalaman air yang tinggi berkisar antara 100 cm — 350 cm. Karena banyaknya sedimen yang dibawa oleh air sungai, maka Stasiun 1, 2, dan 3 ini memiliki substrat dasar lumpur yang tinggi dengan persentase antara 50,18% — 67,63%, dilkuti oleh kandungan liat dengan persentase antara 30,06% — 36,80%, kemudian pasir dengan persentase antara 2,37% — 6,40%. Fluktuasi salinitas di stasiun ini cukup tinggi (kisaran salinitas 3°, - 33%). Suhu air pada stasiun ini bervariasi berkisar antara 15°C - 32°C ; pH juga bervariasi antara 6 — 9,5. Bentos yang merupakan makanan alami kepiting bakau tersedia dalam kisaran 20 individu/m? - 30 individu/m?. Jenis S. serrata ukuran sedang dominan pada bulan September di Stasiun 1 yang berada dekat muara sungai dengan kedalaman air berkisar antara 100 cm- 250 om. Stasiun 1 memiliki substrat dasar lumpur sebesar 50.18%, diikuti oleh kandungan liat sebesar 36,80% dan pasir sebesar 13,02%. Karena iokasinya berdekatan dengan kanal barat tempat masuknya air laut dari Samudera Indonesia, salinitas air pada Stasiun 1 ini cukup tinggi, berkisar antara 3°%q — 33%, Suhu air pada Stasiun 1 bervariasi berkisar antara 15°C - 32°C ; pH antara 6 — 86. Kelimpahan bentos yang merupakan makanan alami kepiting bakau sebesar 20 individu/m?. Jenis S. serrata ukuran besar dominan pada bulan Desember di 76 Stasiun 4, 2, dan 3 dengan karakteristik habitat yang sama dengan yang telah dijelaskan di atas. Jenis S. tranquebarica ukuran kecil dominan pada bulan Oktober di Stasiun 4 dan 5 yang berada di hutan mangrove, Kedalaman air berkisar antara 32 cm — 250 cm. Kerapatan vegetasi mangrove pada dua stasiun ini berkisar antara 17 individu/100m? - 30 individu/100m? , didominasi jenis Aegiceras corniculatum dan Avicennia alba. Karena berada pada daerah yang berdekatan dengan muara sungai sera ditumbuhi vegetasi mangrove dengan vegetasi yang khas yang bersifat memerangkap sedimen, maka Stasiun 4 dan § dengan persentase antara 47,23%- 65,09%, dikuti oleh kandungan liat dengan persentase antara 29,96% — 34,04%, pasir dengan persentase antara 0,87% - 22,81%. Sekalipun berada di hutan mangrove, kisaran salinitas di stasiun ini cukup luas antara 1°%o0 - 28°%eo . Suhu air pada stasiun ini bervariasi berkisar antara 14°C - 32°C ; pH antara 6 — 8,5. Serasah dan bentos merupakan makanan alami kepiting bakau di stasiun ini, Serasah terdapat dalam kisaran 13,27 gramvin? - 19,59 granvm? ; kelimpahan bentos berkisar antara 6 individu/m? — 67 individu/m?. Jenis S. tranquebarica ukuran sedang dominan pada bulan September di Stasiun 4, 5, dan 6 yang berada di hutan mangrove, Kedalaman air berkisar antara 32 cm — 250 cm. Kerapatan vegetasi mangrove pada ketiga stasiun ini berkisar antara 13 individu/100m? - 30 individu/100m?, didominasi jenis Aegiceras corniculatum, Exoscaria agailocha dan Avicennia alba, Stasiun 4, 5, dan 6 ini memiliki substrat dasar lumpur dengan persentase antara 46,11%- 65,09%, diikuti oleh kandungan fiat dengan persentase antara 29.96% — 52,75%, pasir dengan persentase antara 0,87% - 22.81%. Kisaran salinitas di stasiun ini cukup luas antara 1°loo - 28%oo ; Subu air berkisar antara 14°C - 32°C ; pH antara 6 — 10,5. Serasah 7 dan bentos merupakan makanan alami kepiting bakau di Stasiun 4, 5, dan 6. Serasah terdapat dalam kisaran 13,27 gram/m* — 41,41 gram/m? ; kelimpahan. bentos berkisar antara 6 individu/m? - 67 individu/m?, S. tranquebarica ukuran besar dominan pada bulan Desember di Stasiun 5 dan 6 yang berada di hutan mangrove. Kedalaman air berkisar antara 32 cm — 200 ‘cm. Kerapatan vegetasi mangrove pada kedua stasiun ini berkisar antara 13 individu/100m? - 30 individu/100m?, didominasi jenis Exoecaria agallocha dan Avicennia alba. Stasiun § dan 6 memiliki substrat dasar lumpur dengan persentase antara 46,11%- 65,09%, diikuti oleh kandungan liat dengan persentase antara 34,04% — §2,75%, pasir dengan persentase antara 0,87% - 1.11%. Kisaran salinitas di stasiun ini cukup iuas antara 3% - 27%o ; suhu air berkisar antara 14°C - 32°C ; pH antara 6 — 10,5. Serasah terdapat dalam kisaran 19,59 granvm? — 41,41 ‘gram/m?, kelimpahan bentos berkisar antara 6 individu/m? — 19 individu/m?. Kepiting bakau jenis S. tranquebarica memiliki penyebaran yang luas pada areal hutan mangrove dan melimpah pada bagian depan dan tengah hutan. Hal ini diakui oleh Yusniar (1977) berdasarkan hasil penelitiannya pada Kawasan Hutan Mangrove Cibuaya Karawang. Jenis S. tranquebarica berukuran besar mendominasi daerah depan hutan mangrove yang berhadapan langsung dengan laut. Ada dua kemungkinan yang dapat dijadikan alasan, yaitu bahwa kepiting bakau dengan ukuran besar umumnya memiliki daya tahan yang kuat terhadap perubahan lingkungan yang besar akibat pasang surut air laut dan ada kemungkinan kepiting yang berukuran besar ini adalah kepiting bakau dewasa yang telah kawin, bertelur, dan siap bermigrasi ke laut untuk memijah. Jenis S.olivacea_ukuran kecil dan sedang dominan pada bulan Oktober di Stasiun 4 dan 5 yang berada di hutan mangrove. Kedalaman air berkisar antara 32 78 cm — 250 cm. Kerapatan vegetasi mangrove pada stasiun ini berkisar antara 17 individu/1 00m? - 30 individu/100m* dan didominasi jenis Aegiceras corniculatum dan Avicennia alba, Stasiun 4 dan 5 memiliki substrat dasar lumpur dengan persentase antara 47.23% — 65,09%, diikuti oleh kandungan liat dengan persentase antara 29,96% — 34,04%, pasir dengan persentase antara 0,87%- 22,81%. Salinitas air pada stasiun ini berkisar antara 1°/p ~ 28 “fe ; Suhu air bervarias+ berkisar antara 14°C - 32°C ; pH berkisar antara 6 — 8,5. Bobot serasah berkisar antara 13,27 gram/m? — 19,59 granvm*, kelimpahan bentos berkisar antara 6 individu/m? — 67 individu? Jenis S. ofivacea ukuran besar dominan pada bulan November di Stasiun 5 dan 6 yang berada di hutan mangrove. Kedalaman air berkisar antara 32 cm — 200 cm. Kerapatan vegetasi mangrove pada stasiun ini berkésar antara 13 individu/100n7* = 30 individw/100m?, didominasi jenis Excoecaria agallocha dan Avicennia alba. Stasiun ini memilki substrat dasar lumpur dengan persentase antara 46,11% — 65,09%, diikuti oleh kandungan liat dengan persentase antara 34,04% — 52,75%, dan pasir dengan persentase antara 0,87% — 1,11%. Salinitas air pada stasiun ini berkisar antara 3% -27%o ; suhu bervariasi berkisar antara 14°C - 32°C ; pH berada pada kisaran 6 ~ 10,5. Bobol serasah berada dalam kisaran 19,59 gramim? — 41,41 gramim?, kelimpahan bentos berkisar antara 6 individu/m? — 19 individu/m?. 79 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kepiting jenis S. olivacea dan S. tranquebarica_ukuran kecil, sedang dan besar cenderung menyebar bersama-sama. Kedua jeni menempati Stasiun 4, 5, dan 6 yang merupakan stasiun yang berada di dalam hutan mangrove. S. olivacea dan S. tranqueberica berasosiasi dengan bulan September, Oktober, November, dan Desember. Untuk kepiting jenis S. serrata keberadaannya cenderung terpisah dari dua jenis tainnya. S. serrata menempati Stasiun 1, 2, dan 3 yang merupakan stasiun yang berada di perairan. S. serrata ukuran kecil berasosiasi dengan bulan November, S. serrata ukuran sedang berasosiasi dengan bulan September, ‘sedangkan untuk S. serrata ukuran besar berasosiasi dengan bulan Desember. Saran 1. Proses sedimentasi di Segara Anakan menyebabkan luasan mangrove sebagai habitat S. tranquabarica dan S. olivacea akan bertambah. Kedua jenis ini masih dapat terus dimanfaatkan oleh masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Walaupun demikian luasan Perairan juga akan mempengaruhi daur hidup kedua jenis kepiting bakau ini, karena habitat untuk memijah induk-induknya ada di perairan. Untuk jenis S. serrata dengan berkurangnya iuasan perairan akibat sedimentasi, Pemanfaatannya harus mendapatkan perhatian mengingat habitatnya terancam oleh proses sedimentasi di Segara Anakan. 2. Perlu upaya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, yang akan memperbaiki mutu sumber daya manusia di Segara Anakan. Dengan makin meningkatnya pendidikan diharapkan kesadaran mereka akan pentingnya menjaga kelestarian fingkungan juga makin tinggi. 3. Adanya pelatihan tentang altematif mata pencaharian lain seperti budi daya kepiting bakau, kegiatan pertanian dan peternakan. 8 DAFTAR PUSTAKA Adiwilaga, |. G. W. 1992. Pemanfaatan Citra Satelit Landsat-MSS untuk Molihat Perubahan Luasan Daratan dan Mangrove Akibat Sedimentasi di Laguna Segara Anakan, Cilacap. Skripsi. Fakullas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Afrianto, E., E. Liviawaty. 1992, Pemelihar Yogyakarta, ‘Almada, D.P. 2001. Studi Tentang Waktu Makan dan Jenis Umpan yang Disukai Kepiting Bakau (Scylla serrata). Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Andriana, R. 2000. Distribusi Spasio Temporal Gastropoda Berdasarkan Siklus Bulan di Muara Sungai Cimandiri, Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Asean Wetland Bureau, 1988. The fmportance of Segara Anakan for Conservation, with Special Reference to Its Avifauna, AWB. Bogor. Aimaleksana, D.T. 1984. Studi Tentang Hubungan Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Cakalang dan Jenis Tuna dengan Drift Gill Net di Pelabuhan Ratu. Karya fimiah. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bengen, D. G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL Institut Pertanian Bogor. 84 him. Kepiting. Penerbit Kanisius. Dianthani, D. 2002. Evaluasi Kondisi Lingkungan Perairan Muara Badak, Kalimantan Timur Kaitannya Dengan Larva Kepiting Bakau (Scyila sp). Tesis. Program Pascasarjana institut Pertanian Bogor. 91 him. Dennison, W.C., E. G. Abal. 1999. Moreton Bay Study. A Scientific Basis for the Healthy Waterways Campaign, South East Queensland Regional Water Quality Management Strategy. 245 him. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. 1994. Uraian Singkat Segara Anakan. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Engineering Consuttans Inc. 1875. The Citanduy River Basin Development Project, Segara Anakan, Supplementary Report. Denver Banjar. Engineering Consuttans Inc. 1994. The Citanduy River Basin Development Project, Master Plan annex H: land use management. Ministary of Public works and Electric Power. Directorate General of Water Resource Development. Jakarta. Engineering Consuttans Inc - Asean Development Bank. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project : Environmental Impact Assessment. Jakarta. Indonesia, Estampador, E. P. 1949. Studies on Scyila (Crustacea: Portunidae) Revision of Genus. Philippines Journat Science 78 (1): 95-109, Faisal, B. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobentos (kelas Bivalvia dan Gastropoda) Pada Saat Pasang dan Surut di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke, Kapuk, Jakarta Utara. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Gunarto, R. Daud, Usman. 1999. Kecenderungan Penurunan Populasi Kepiting Bakau di Perairan Muara Sungai Cenranae, Sulawesi Selatan Ditinjau Dari Analisis Parameter Sumber Daya. Jumat Penelitian Perikanan Indonesia 5(3):30-37. Hill, B. J. 1978. Activity Track and Speed of Movement of The Mud Crab, Scyila serrata in an Estuary, Mar, Biol 47:135-141. Hutching, P., P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press. St. Lucia, London. New York. him 217-255. Hutabarat, S., S. M. Evans. 1984. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 159 hal. Kasry, A. 1986. Pengaruh Antibiotik dan Makanan pada Tingkat Salinitas yang Berbeda Terhadap Kelulusan Hidup dan Perkembangan Larva Kepiting Scytla serrata (Forskal). Jurna! Penelitian Perikanan Laut 37:11-12. Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhatara. Jakarta. 93 him. Keenan, C. 1999. Mud Crabs. Bribie Island Aquaculture Research Centre. Australia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 1998, Rancangan Sistem Pengelolaan Hutan Bakau di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten Dati Il Cilacap ~ Jawa Tengah. Kerjasama Pemda Tingkat Il Cilacap dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Jakarta, Lovett, D. L. 1981. A Guide to the Shrimps, Prawns, Lobster, and Crabs of Malaysia and Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science. University Pertanian Malaysia. 156 him. Magnae, W. 1968. A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove ‘Swamps and Forests in the indovest - Pacific Region. Mar. Biol 6. Eds. S.F.S. Russel, S. M. Yonge. Academic Press London dan New York. him 73- 270. Manan, S. 1976. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor. ‘Mattjik, A. A,. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. him 59-207. Moosa, M. K., |. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau, Scyila serrata (Forskal) di Perairan Indonesia. LON-LIPI. Jakarta. 18 him. Motoh, H. Biological Synopsis of Alimango. Genus Scytla. SEAFDEC Aquaculture Department: 136-153. Mulya, M. B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scyffa spp) Serta Keterkaitannya Dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana institut Pertanian Bogor . 76 him. Mumi, H. N. C. 1995. Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Segara Anakan. Program Pascasarjana PPSML-LP Universitas Indonesia. ‘Mumi, H. N. C. 2000. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservast Estuaria Dengan Pendekatan Tata Ruang dan Zonasi. Studi Kasus Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Disertasi, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Napitupulu, M., K. Ramu. 1982. Development of Segara Anakan in Central Java. Citanduy Project Office. Banjar, Nawawi, H.. Mariini, M. 1993. Penelitian Terapan. Gadjah Mada University Press. Nonfji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. him 189 - 199. Noor, Y. S. Khazali, M., dan Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Ekosistem Mangrove di Indonesia. Wetland Indonesia. Bogor. Nybakken, J., W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Alin Bahasa Eidman, M., Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 459 him. Odum, E., P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Alin Bahasa Cahyono, S. FMIPA Institut Pertanian Bogor. Gadjah Mada University Press, 625 him. PKSPL ~ institut Pertanian Bogor. 1998. Buku I: Kondisi dan Potensi Biofisik Kawasan. Kerjasama PKSPL IPB dengan Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Bogor. PKSPL — Institut Pertanian Bogor. 1999a. Penyempurnaan Penyusunan “Magement Plan” Kawasan Segara Anakan” . Buku |. Kerjasama PKSPL IPB dengan Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Bogor. PKSPL — Institut Pertanian Bogor. 1999b. Penyempurnaan Penyusunan “Magement Plan” Kawasan Segara Anakan” . Buku Il. . Kerjasama PKSPL IPB dengan Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Bogor. 88 him. Radiyah. 2001, Pengaruh Umur Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Alat Belie {Trap) di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Ramil, 2000. Struktur Komunitas Gastropoda Secara Spasial pada Daerah Pasang Surut di Sepanjang Pantai antara Sungai Cipangumbahan dan Sungai Ciburial Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Fakullas Perikanan institut Pertanian Bogor. Sara, L. 1994, Hubungan Kelimpahan Kepiting Bakau, Scylla spp. Dengan Kualitas Habitat di Perairan Segara Anakan, Cilacap. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 80 him. Seminar Nasional Crustacea, 2001. Biologi Sumberdaya, Teknologi, dan Manajemen. Kumpulan Abstrak. Pusat Studi jlmu Hayati- Fakultas Perikanan dan limu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan PKSPL IPB. 67 him. Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata, S. oceanica dan S. franquebarica) dan Hubungannya dengan Karakteristik Habitat pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat- Maluku. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 106 him. Sirait, J. M. 1997. Kualitas Habitat Kepiting Bakau (Scyl/a serrata, S. oseanica, S. tranquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya, Karawang. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 104 him. Soemodihardjo, S., |. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in indonesia. Symposium on Mangrove Management. Bictrop Special Publication. Bogor. Soim, A. 1999. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya. Jakarta. 21 him. Sulistiono, S. Watanabe, S. Tsuchida. 1994. Biology and Fisheries of Crabs in Segara Anakan Lagoon in Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java (eds. F. Takashima and K. Soewardi). NODA! Center for International Program, Tokyo University of Agriculture, JSPS-DGHE Program. DOHM Press. Tokyo, Japan. him 65-76, ‘Sumama, K., A. Abdullah, 1993. Tinjauan Pelaksanaan Konservasi Kawasan Hutan Mangrove. Instiper. Yogyakarta. 85 Susilo, 1992. Pengaruh Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Rajungan Desa Tanjung Tikar Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 51 him. Sutowo, 1984, Studi Tentang Pengaruh Hari Bulan Terhadap Penangkapan Ikan Dengan Payang Lampara di Eretan Wetan, Indramayu. Karya Iimiah. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 85 him. Tanihatu, Z. Z. 1997. Pengaruh Pasang Surut Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Hlias Dengan Menggunakan Alat Tangkap Bubu di Porairan Pulau Sekepal, Lampung Selatan. Skripsi, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Tanod, A. L. 2000. Studi Pertumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scyila ‘serrata, S, tranquebarica, S. oceanica di Segara Anakan, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 50 him. Tatuwo, C. S. T. 1997. Pengaruh Umur Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Udang di Perairan Selatan Irian Jaya, Skripsi, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 65 him. Tim Penelitian dan Pengembangan Lembaga Pengembangan Komputer Wahana. ‘Semarang. 1996. Dasar-Dasar Analisis Statistik dengan SPSS 10.05 for Windows. Penerbit Andi Yogyakarta. 234 him. Toro, A. V. 1986, Ekologi Kepiting Bakau Niaga, Scyila serrata (Forskal) di Perairan Mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. dalanr. Soemodihardjo, S. dkk (eds). Prosiding Seminar I Ekosistem Mangrove. MAB-LIPI. Jakarta. him 147-155. Tumer, RE. 1975. The Segara Anakan Reclamation Project : The Impact on ‘Commercial Fisheries. Dep. Of Marine Science, Lousiana State University. Lousiana. Umar, N. A. 2002. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton dan Hubungannya dengan Kelimpahan Zooplankton (Kopepoda) dan Larva Kepiting Bakau (Soytia spp). Thesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, 1.S. 1985. Percobaan Penetasan dan Pembesaran Larva Kepiting Bakau, Scyila serrata (Forskal). Lap. Pen. Perikanan Laut 32:89-92. Wahyuni, |, S.,_ Ismail. 1987. Beberapa Kondi Bakau (Scylla serrata, Forskal) di Perain Lap. Pen, Perikanan Laut 38:59-68. gkungan Perairan Kepiting in Tanjung Pasir, Tangerang. Warner, G.F. 1977. The Biology of Crabs. Elek Science London. 202 him. Wasilun. 1989. Kegiatan Perikanan Hubungannya Dengan Pola Pasang Surut di Segara Anakan, Cilacap, Dengan Kegiatan Nelayan Apong Sebagai Bahan Studinya. Seminar Ekologi Laut dan Pesisir |. Jakarta. him 96-99. 86 White, A. T., P. Marlosubroto, M. S. M. Sadosra (eds). 1989. The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan Cilacap, South Java Indonesia. ICLARM. Yukasano, D. 1991. Hubungan Jenis ikan Sebagai Pakan dan Tingkat Pemberiannya dengan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scyifa serrata {Forskal). Ringkasan Skripsi Fakuttas Perikanan Institut Pertanian Bogor 1:18-16, 87 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan anova untuk jenis Scytia serrata Botween-Subjects Factors JSO ‘Tests of Botween-Subjects Effects dent Variable: JSO. Intercept 2211,363, STASIUN 4111 BLN 1159615 y 36.582 Error 4334441 Total 41404.000 Corrected Total 8529.742, 4. R Squared = 216 (Adjusted R Squared = .204) Muttiple Comparisons, Dependent Variable: JSO LsD 7 a 40337 40 4.6855" Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level LMin Tests of Between-Subjects Effects stim ee = aso a quares Sig 685.297 4247700727 1247700.727 test er STASIUN 362.279 181.140 2.396 BLN 232.510 1196-255 | 15.821 Error 20112.270 75.810 Total 1273021.580 22653.458 4. R Squared = .120 (Adjusted R Squared = Muttipte Comparisons ‘Dependent Variable: LMIN Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 Max 3223004.915 | 24133, at 'STASIUN 4.058 030 BLN ¥ 65.072 a7 Error 95504.811 133.590 Total 3261901.970 35673.115 L Rata-rata Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: LRATAAN. er Sie = pes of Sq Sig 000 000 Corecied od 2148.95" 1995407.757 223.308 1933.525 44680.279 2015369.440 18828.474 4. R Squared = 128 (Adjusted R Squared = .115) Multiple Comparisons Dependent Variable: LRATAAN tsb pI BLN oo 95% Confidence interval __| Lower Bound 2 coor 4.1076 | 024 4.6637 +3258 4.1136 | .000 1.7736 6.1590 1.1016 | 024 3258 4.8637 1.1016 | 900 4.2921 8.6300 4 1.1136 | .000 6.1590 ATT36 _ 40 -6.4s10'| 1.1016 | 000 8.6300 4.2924 Based on observed means, *. The mean difference is significant at the .05 level P Min ‘Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: PMIN 19047.514 646789.130 22625.910 @. R Squared = .118 (Adjusted R Squared = .105) Multiple Comparisons. Dependent Veriabie: PMIN usd ‘95% Confidence interval 1) BLN. 9 Based on observed means. "The mean difference is significant at the .05 level. P Max STASIUN BLN Error Total 1939716.790 24311.785, ‘8. R Squared = .078 (Adjusted R Squared = .064) ‘Muttiple Comparisons Dependent Variable: PMAX LsD BLN marae 3.1024" eo oe 3.1026 i 6.3586" iT 9 ~3.256F 190 6.3586"; ‘Based on observed moans. *. The mean difference is significant at the 05 level. P Rata-rata 1144765.937 +144766.937 | 21671.865 STASIUN 214.890 107.445 2.034 BLN 287.021 1143510 | 21.648 Error 14050,645 52.823 Total 1163768.970 Corrected Total_| _ 16543.886, @. R Squared = .181 (Adjusted R Squared = .138) Multiple Comparisons Dependent Variable: PRATAAN Based on observed means, *. The mean differance is significant at the .05 level Lampiran 2. Perhitungan anova untuk jenis Scyita tranquebarica (1) Stasiun 4, 2,dan3 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: JST Type Wi Sum Teats of Between-Subjects Effects Dependent Variable: LMIN 776811.126 STASIUN 1811.284 BLN 1503.385 Error 34533.344 Total 1015097.730 Comrected Total | _ 37732.716 .085 (Adjusted R Squared = .057) Muitiple Comparisons Dependent Variable: LMIN ‘95% Confidence intervat “74837 7233 ‘Based on observed means, *. The mean difference is significant at the .05 level. Tests of Betwaen-Subjects Effects STASIUN BLN Error 4 R Squared = 113 (Adjusted R Squared = 086) 16.3337 215.8514 Dependent Variable: LRATAAN LsD 1) BLN__(J) BLN. ‘Based on observed means. Exv 034 (002 034 *. The mean difference is significant at the .05 level, Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: PMIN eel See ele corte 1715.319 26478.245 584452.980 30084.084 8. R Squared = .120 (Adjusted R Squared = 093) Multiple Comparisons Dependent Variable: PMIN Based on observed means. *.The mean difference is significant at the .05 level Multiple Comparisons Dependent Variable: PMIN LSD Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. ‘Tests of Between-Subjects Effects Be) bagel el of Squares 980.193 4.835, 510574.707 §10574.707 | 2518.712 1092.470 546.235 2.695 3014.678 1507.339 7.436 26352.638 202.713 691787.410 30273.410 ‘. R Squared = .130 (Adjusted R Squared = .103) Multiple Comparisons Dependent Variable: PMAX 1100 8.00 Based on observed means, *. The mean difference is significant at the .05 level, Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: PRATAAN Type i Sum quares. Mean Square 468419.982 STASIUN 4370.779 BLN 209.046, Error 22927.170 Total 627063.620 26263.353 . R Squared = .127 (Adjusted R Squared = .100) ‘Multiple Comparisons Dependent Variable: PRATAAN WSTASIUN (J) STASIUN | (hv) ‘Based on observed means. *. The mean difference is significant atthe .0S level. Muttiple Comparisons Dependent Variable: PRATAAN Based on observed means. *. The mean difference is significant at the 05 level. {2} Stasiun 4, 5, dan 6 ‘Between-Subjects Factors ‘Tests of Betwean-Subjects Effects 4. R Squared = .038 (Adjusted R Squared = 024) Muttiple Comparisons *. The mean difference is significant at the .05 level Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: LMIN [sane —_| ae, of Squares Garecied ‘Model 568.526" 142.132 978478.761 978478,781 168.534 84.267 402.312 201.156 17195.689 64.645 Total 1996042.050 Corrected Total_| 17764215 @. R Squared = .032 (Adjusted R Squared = .017) STASION BLN Error Multiple Comparisons Dependent Variable: LMIN Based on observed means. *‘The mean difference is significant at the .05 level ‘Teots of Botween-Subjects Effects 2491135.448 soit e48 STASIUN 962.849 481.424 BLN 156.561 78.281 Error 29572.604 Total 2582086.260 49890.481 @. R Squared > .027 (Adjusted R Squared = .013) Dependent Variable: LMAX Multiple Comparisons. 4.00 5.00 6.00 A 5.00 4.00 ~3410 | 1.8132 | 851 “Batt ‘32281 6.00 assrer| 1.8132 | 023 2.7278 5875 6.00 400 3eier| 1.8182 | .037 2367 7.3966, 5.00 41szer| 1.8132 | 023 S875 7.7278 Based on observed means. "The mean difference is significant at the .05 level ‘Tests of Between-Subjects Effects 'STASIUN BLN @. R Squared = .038 (Adjusted R Squared = .023) 3.823 1.409 Muttipte Comparisons Dependent Variable: LRATAAN Lso T1516 11514 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. Tests of Between-Subjecta Effects Dependent Variable: PMIN STASIUN BLN Error Total Corrected Total @. R Squared = 019 (Adjusted R Squared = .004) 1.1545 | 015 5.1054 5590 1.1514 | 898 “21198 24a 4.1514 | 020 4.9521 4181 14545 | 015 ‘5590 5.1084 13377.016 2519 086 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: PRATAAN Type ill Sum ‘of Squares 514.350" 959424.407 250424.407 499.281 249.640 15.548 7776 15715.650 59.081 875846.670 16230.004 4. R Squared = .032 (Adjusted R Squared = 017) Muttiple Comparisons Dependent Variable: PRATAAN Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level. Lampiran 3, Perhitungan anova untuk jenis Scyila olivacea ‘Based on observed means, “The mean difference is significant at the .05 level ‘Tests of Betwaon-Subjects Effects Dependent Variable: LMIN Type i Sum @. R Squared = 083 (Adjusted R Squared = 069) Multiple Comparisons Dependent Variable: LMIN 16124533 855 10.978 95% Confidence interval Based on observed means. 2523416.344 STASIUN 194.146 BLN 265.881 Error 45342.755 Total Corrected Total Tests of Betweon-Subjects Effects Dependent Variable: LRATAAN etemn| Me = ee Source of Sq Corrected Modal 915.266" 228.817 4241 Intercept 4187700.808 1577700.808 | 29240-738 STASIUN 421.281 210.640 3.904 BLN 498.163 249.082 4616 Enor 14028448 53.956 Totai 1995706.670 \ 14943.718 &. R Squared = .061 (Adjusted R Squared = .047) ‘Multiple Comparisons Dependent Variable: LRATAAN isd Based on observed means. “The mean difference is significant at the .05 level. Multiple Comparisons 95% Confidence interval BLN) BLN L Dependent Variable: LRATAAN, LsD Based on observed means. “The mean difference is significant at the .05 level. Tests of Betweon-Subjects Effects Dependent Variable: PMIN Type tii Sum of Squares_|_ af 9 4. R Squared = .097 (Adjusted R Squared = .083) Muttiple Comparisons Dependent Variable: PMIN Mean Dione () BLN (J) BLN 9.00 10.00 “aa TH 11.00 4.1190 Based on observed means, *. The mean difference is significant at the 05 level, ssteser, ‘8 | 1518567.155 224.470 192.085 104.904 35225.318 4857235.100 35549.964 13341.233 872086.020 414204.545 4. R Squared = 061 (Adjusted R Squared = 046) Multipte Comparisons Dependent Variable: PRATAAN Ls0, {95% Confidence Interval Upper Bound. 1.2936 ~7907 72.9835 5.417602 5.0207 4.1759 DSTASIUN (J) STASIUN “is -8.4168E-02 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. Multiple Comparisons Based on observed means. “. The mean difference is significant at the .0S level. Lampiran 4, Hasil analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis) Contribu. of the point-ro. (%) Ft F2 FS Fa St 4718 0.000 1482 ~—~O.01T s2 4825 0.989 1.889 0.083 83 4678 1586 0.554 0.118 Sa 2673 2.093 0.280 5.815 ss 3134-2617 0,005 9.323, S68 3.180 4.144 0.438 17.533 or 6078 0319 1.8685 0,098 02 4707 9.273 2.368 0,000 03 5.375 1.008 7.888 = 0.028 4 3.411 8.027 1.892 5.795 05 3.020 9889 1.905 0.585, 06 2707 1.074 «0.110 0.333, NI 7193 2.714 15.016 0.063 N2 7.934 3.925 7.718 0.000 NB 8.033 3.765 23.891 0.820 Na 3.056 0.075 0.369 14.738 NS 3.028 0.960 0.001 25.688 NE 2903 2475 = 0.170 10.500 o1 4874 0.289 © «3.370 0.050 b2 4663 0734 «= 7.348 0.222 D3 4553 1406 10.452 O.144 Da 1.781 13.652 2596 0.542 Ds 1.935 15.033 2.049.713 06 1.840 23.185 5.466 7.024 8 AS70284 Coordinates of the point-rows Fi F2 FS Fa >= SS st 4282 “0.001 «OO T47 0.008 $2 1.255 0.130 0.154 = 0.018 83 1.217 0.162 -0.082-0.024 84 0.643 0.130 0.038) -0.116 8s 0.632 0.122 0.005 -0.135, sé 70.645 0.168 0.047 0.188 ot 1421 0.075 -0.154 —-0.022 02 1386 0.076 = -0.193 0.001 03 1336 0.133 1317 0.011 4 0.666 -0.245 102 0.113 05 0.664 ©0273 0.103 -0.036 08 0.657 -0.095 -0.029 Nt 1358 0.191 0.385 (0.016 N2 1.420 -0.229 0.274 = -0.001 NB 1431 0.224 0.483 (0.057 Na 0.668 0.024 0.046 0.182 NS 0.663 0.086. 0.002 0.240 NG 0.664 0.141 0.031 0.157 ot 1452 0.077 0.237 -0.018 D2 1451 0.132 0.357 0.039 03 1393 0.177 0.414 -0.031 D4 0653 6.414 0.154 0.045, os 0.654 0.417 0.158 -0,049 6 0.652 0.530 220 158 ante F216 I> oa 02 & e 2 & “ Points-rows and points-columns (axis F1 and F2: 94%) #06 1 oo | este 38 “EE +5 ps0s— i. vo ore eon e508 ons om os os. 1 18 2 marin FA (69%) > a | Lo, 8 e508 os : o 2 oa om 7 : sreesene 92° 7 w8TA Be ee ss a 0 DOT pe ose ; Oe enc a8 4th ae tsk we maar Squares cosines of the point FI FD FS Fa SOA 0.662 0.055 0.258 0.001 SOB 0.996 0.000 0.001 0.000 soc 0.899 0.013 0.077 0,000 STA 0.112 0.485 0,001 0.079 STB 0.822 0.062 0.017, 0.097 stc 0.772 0.195 0.014 0.000 SSA 0.303 0.404 0.056 0.143 SSB 0.641 0.214 0.031 0.018 ssc 0.964 0.010 0.005 0.014 Contribu of the point-ro (%) Fi F2 F3 Fa SOA 4.785 521 48.624 0.441 sOB 48.519 0.287, 1.212 0.019 soc 15.883 4.528 35.369 0.518 STA oe 13.99 0.038 7.630 sre 7525 108s? 4.098 Sr-sis sTc 5.965 28.693 2.849 0.002 SSA OS15 13.081 2.458 = 15,788 SSB 2.887 18.334 3.579 5.298 ssc 413.755 2.706 1.837, 12.789 Coordinates of the poini-colu FA F2 Fs zy SOA 1.364 -0.302 0.852 «0.051 SOB 1.427 0.025 0,044 0.003 soc 1.434 0.175 0.419 STA 0.393 -0.827-0.036—-0.331 STB 0.637 0.175 0.091 0.219 sTc 0.833 0,268 = 0.072 SSA 0.690 0.797 -0.265 sse 687 0.387 0.150 -0.116 SSC 20.681 0.069 0.049 __-0.082 060 0.040 -0.082, Eigen values Fi F2 FS, Fa, FS FS Fo Eigenvalu "0.896 0.047034 «0.014 0.010 0.004 0.007 0.001 Variance = =§ 88.916 4.667 3.414 1.373 1.001041 0.132—0.056 cumulated _88.916__ 93.583 96.998 98.370 99.372 _ 99.813 99.944 100.000 Eigenvalues Cotangency table SOA. S08 SOC STA STB. StG SSA” SSB SSC SI 3 136 o7 2 ry 28 o 0 0 $2 7 208 34 0 9 32 0 0 1 83 13 228 nm 0 2 “4 ° 0 7 s4 3 4 3 10 159 161 14 92 296 ss 6 10 ° “ 186 7 7 104 386 86 1 10 0 16 177 182 23 107 360 a 22 216 93 0 1 3 0 ° 0 02 18 168 79 0 5 cr) 0 0 0 03 “1 212 94 0 10 18 ° 0 0 6 0 ° 0 a 260 160 18 69 276 05 0 o 0 24 223 167 29 70 2n 08 0 0 0 23 183 191 7 48 257 NI 53 300 64 4 6 10 0 1 9 NZ 49 309 75 9 8 1 0 0 ° NB 55 330 50 2 6 7 0 0 0 Na ° ° 0 0 232 192 4 18 273 NS ° ° ° 0 237 215 Q 53 284 Ne ° oO ° Q 202 207 1 43 301 ot 8 166 84 ° 2 6 0 0 0 D2 6 470 " ° 1 6 ° 0 9 03 ° 184 70 ° 3 12 o 0 ° D4 ° ° 0 0 15, 182 ° 7 205 0s 0 0 0 ° 82 194 1 14 228 6 0 0 0 1 53. 196 0 5 241 Report Xistat version 5.0 (b7) - Correspondence Analysis (CA) - 5/27/02 al 1:51:29 AM Contingency table: workbook = Book2 / sheet = Sheet / range = $B$2:$JS25 / 24 rows and 9 columns Number of factors retained for the analysis: 4 Test of independence of active rows and active columns in the contingency table: Chi-square observed value (af = 184): 12892.319 P-value: 0.000 One-tailed test: the p-value is compared with the significance /evel alpha= 0.050 Chi-square critical value (df = 184): 216.655 Decision: At the level of significance alpha= 0.050 the decision is to reject the null hypothesis of independence between the rows and the columns In other words, the dependence between the rows and the columns is significant Lampiran 5. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rata-rata ukuran karapas kepiting S. serrata, S. tranquebarica, dan S. ofivacea Ukuran Karapas Ratarata + SD errata ~ 68.5368 + 0.9217" 89 Lebar Minimum 71.1226 + 0.9017° 93 63.9469 + 0.9217° 89 86.3251 2 0.7875" 89 Lebar Rata-rata 88.8172 + 0.7703" 93 82.3426 4 0.7875¢ a9 48.6729 + 0.91607 88 Panjang Minimum §1.1344 + 0.8980" 93 44.0153 + 0.9180" 89 83.9422 = 0.9730" 89 Panjang Maksimum 87.0462 + 0.9518" 93, _[ November 80.6821 + 0.9730° 89 ‘September 65.0733 + 0.7704" 89 Panjang Rata-rata | Oktober 68.5226 + 0.7536° 93 November 61.4310 + 0.7704° 89 ‘S. tranquebarica® | 1 87.3522 + 2.5678" 43 Lebar Minimum 2 78.4625 + 2.6031" 43 3 84.8632 4 2.3933* 49 ‘Sepiember 95.8633 + 7.9363" 70 Lebar Maksimum — | Oktober 90.7420 4 2.5472" 4 November 81.7778 + 3.3074° 24 ‘September 97.5870 + 1.81007 70 Lebar Rata-rata Oktober 88.2161. + 2.3811" 41 November, 79.9849 + 3.0917” 24 4 66.4578 + 2.24857 43 2 87.1115 + 2.2794" 43 ie 3 63.8808 + 2.0957" 49 Panjang Minimum rember 68.0806 + 1.70717 | 70] Oktober 64.9474 + 2.2457" 41 November 56.4221 + 2.9159° 24 September 73.2465 + 1.7030" 70 Panjang Maksimum | Oktober 69.7403 1 2.2404° at November 60.2413 + 2.9089 24 1 67.5556 + 2.09237 43 2 60.3182 + 2.1211° 43 ‘ 3 66.7858 = 1.9501" 49 Panjang Ratarata eo ember 69,1562 = 1.5885" | 70 Oktober 67.1521 * 2.0897" 4 November, 58.3514 + 2.7133" 24 Lampiran. (Lanjutan) Ukuran Karapas Stasiun/Bulan Rata-rata + SD N ‘S. tranquebarica ~ September 59.0444 + 0.8475" 90 Lebar Minimum Oktober 59.4444 + 0.8337" 93 November 61.8258 + 0.8571" 88 4 94.7463 + 1.2868" 90 Lebar Maksimum | 5 94.3996 4 1.2787* 1 6 98.5630 + 1.2858" 90 4 75.4246 + 0.8165" 90 Lebar Rata-rata 5 75.5696 + 0.8119" 1 6 78.2568_+ 0.8165" 90 4 55.3947 + 0.8103" 90 Panjang Ratexata | 5 56.3442 + 0.6058" 1 6 58.2507 + 0.8103 90 ‘September 58.0300 + 0.6341" 86 Lebar Minimum Oktober 59.6615 4 0.8063" 92 November 63,3052 + 0.8292" 87 4 75.0693 + 0.7679" a7 5 76.7365 + 0.7876" 87 6 78.9265 1 0.7700 91 Lebar Rata-rata ‘September 75.7616 + 0.7923" 8 Oktober 76.7970 + 0.7658" 92 November 79.0737 + 0.7876" 37 ‘September 38.2100 + 0.7938" 86 Panjang Minimum — | Oktober 39.6727 + 0.7673° 92 November 43.5821 + 0.7691" 87, 4 55.5696 + 0.7684" 87 S 56.4874 + 0.7651" 87 6 58.5284 + 0.7509 91 Panjang Ratavata September 35.2312 + 0.7727" | 66 ‘Oktober 56.6850 + 0.74697" 92 November 58.5892 7681" 87 art Kolom yong $2 ‘Sela ukuran Karapae per jenis Kepiing ‘menunjukkan perbedaan yang nyala (P<0.05) berdasarkan uj BNT. * adalah kepting yang tertangkap dengan jaring di Stasion 1.2 dan 3 Lamy in 6. Hasil analisis varians jumlah dan ukuran karapas kepiting S. serrata yang tertangkap pada empat umur bulan berbeda Descritives ‘95% Contdence interval for N_|_ Mean] sta. Devation | Std, eror [Lower Bound | Upper Bound | Minimum } Maximum 10768 42565] S280 arias] tease} 100) — 2400 2 nm rere ssse| sez] toast) 12.9007] 1.00) 3300 3 27 | 102065 saese| 774 9s 114466] 1.00] 25.00 4 65 | 15.1667 40s72| sous] toasoa} © 27399 5.00 23.00 toi | 209] ro9e12 asea| 2007 | tos710} _isiia|__1.00| _ 33.00 oan 5 | 68 7818 esi7e | 1007 | 65.7205] 78a | 50.60 | 8060 2 71 | eaeso7 | —10.44er | 12997} © 65.47e2| 1.232] 50.10 | 90.60 3 a7 | 65.5269 eases | 10672! 64.4083) —es.esis| 40.70| 100.20 4 68 | 68.1833 seas | 10952 | es.as61 70.3706 | 60.10 | 90.50 otal_| 700 | 68.0067 sos | sssz | es.9000| _ea.t0s3| «0.70 | 100.20 THAR 5 | 107.3685 ¥234e3 [15316 | 1043087 | __110.4882 | 60.60 | 12090 2 71 | 108.2569 | 148200] 1.7580] so47ae3 | 21.7644} 60.70] 13080 3 a7 | soso7is | ve.0se5| 1.7218 | 00.885 | 107.3540] 60.40 12090 ‘ 66 | ro.9s70| 108342 | 13659] s07 2409) © r1z6258| 9030] 12040 Yatat_| 209 | 107.1574 s4orso | azda | 1055048 | 108.7001 | 60.40 | _ 13090 [TAVER “T 65] as 5108 72s? |~ 9831 | 83.8469 | a7 a7a7 | 0.60 | 10080 2 71 | 05.0807 ssres| 11360] — ane21s| —sa.iss9 | 60.70} 106.80 3 27 | 63,0954 y4a08 | 10100] —sroa7s| —as.soa3. | so.60| 110.20 4 66 | 06.5208 7740 | 9538 | sters0| 80.487] ©7390] 104.80 Yora_| 280 | 85.1090 esas | sor | saowsz| _as.1sz7| _s0.60| 110.20 Bani 65 | «6.8562 ‘82456 | 10226 | 46.6230 somee] 30.80] 60.90 2 | asoi27| — ro4s7r| s2at0| —ae.as7s| —st.sere] 2020] 7050 3 ez | aeates ease | 1.0152] 44.2969] 83920] 20.40] 70.60 4 66 | 4s.s405 essa] 11001 | aeasia| sess} 40.10} 70.40 Tota | 209} 48.0370 sso | sor | aeese2| eazte| 2040] 70.60 PHAK 1 es | eoeze2 | v0.1623{ 12605} i081} es seed | «0.40 | 100,70 2 71 | e228} 146933 12877) 785200] —es.0695| an.40| 10090 3 or} rez67) 140013] rsi0r| 75.2055 az.zsz0| 40.10 | 10080 4 55 | as.4oes, sso | 12169] s2e72| —erasaa! 60.60) 110.50 toi | 209 | ezz0r7| 11.9465 | 7027 | soaras | esseas | 40.10 | 11050 PAVER 7 63" 65.0600 are | 104s | 62.9737 | a7.4463] 40.40] — 91.40 2 m1 | 85.1310 x7es | 10881] — e29ses| 67.3031 | 40.40 | 83:00 3 87 | 61.9759 asia! sss7| coarse} esr] 3030] 64.00 4 66 | sssraz znm| sae | eaer7s | ezarta| 51.00] e480 Tor_| a0 | 64 2664 e700 | swe] eazse1 | ssz7s8| 3030 | 91.40 ANOVA, ‘Sum of wares _| of | Mean Square] F | si a Within Groups | 6904.484 | 286 24.226 Total 6984.000 | 288 MIN” “Between Groups [294,099 3 98.033 | 7.086 | 355 Within Groups | 25733929 | 285 90,294 Totat 26028.028 | 288 TMAX Between Groups | 1482.949 3 494.346 [2.557 | .055 Within Groups | 8S086.038 | 265 199.284 Total 56568.987 | 288 TAVER Between Groups | $39,450 3 79.87 | 2392 | 074 Within Groups | 21978.367 | 285 AT Total 22517.837 | _ 268 PMIN Between Groups | 374,394 3 124-798 | 4.426 | 235 Within Groups | 2a908.540 | 285 87.308 Total 25282.934 | 288 PMAX Between Groups | 1471,968 3 490.656 Within Groups | 39630.981 | 285 139.056 Total 41102.949 | 288 PAVER Between Groups | 663.357 3 Zatti? [2.981 | 032 Within Groups| 21137.433 | 285 74.165 Total 21800.784 | 288 Lampiran 7. Hasil anafisis varians jumlah dan ukuran karapas kepiting S. tranquebarica yang tertangkap pada empat umur bulan berbeda Descriptves 55% Conkaanca Taal | aan_| ia Orion | si. os | tes Sand | Upper and aim | iru RTT ear aene St pase Taree Tes | Me Men 2 | 6] ssom] sans] ears] aaser| tora) ole] oe 3 | me} aoe | raz] esto] sonst | forme] tae] ee 4.4, | 101 | esse] exsr7| ‘sous | aor | ‘Srven| too] an hawt 441 asses | razs0| 500 | asseo | woz | tee] 22 ran TY easo00 [ra ari | —tana7 | — antes t— raanar | ie tae 2 | eefeors| ssese] ise | esemr| pa2er| oa | ed 3 | ef esarrs | ssauzr | rasta] esseoo] ruses] cove) naa 4 | 101) 80272) seas} sera] esouo | jaan | cove) Ne aa | 6 | eaavee | teerre serss| room| ow] toro wax 16 Psaseas | te 78 esr | #5309 | e010] —taoe 2 | sefeosia! tesa esses] soiz002] ent | to090 3 | ste] sonar} asas0 seeise | srs | e050) 13020 4 {aor | ssaree | j23era sosei7 | ssazer| goao | 12070 ain | 105 | sasoea | tasoor sso | esse | eo10| 100 rr 744265 | —203575 | — 5890 | aoa 2 | st) azseos | sasese/ 1272! © osvor| scones | | 3 | me) sora! i268] to@| nme] sem] om) ee fag [| i [eezss| —sss0a2 | ras) teams | sone | gee | Hoe Toit | 408 | souro| szaes0| srse | _rezes0| orem | sre | ne PUR ea [asore | te 707 | iar | apse te 30.10 | 106.40 2 | se ]asoors | rear | taaea} — Seases | ctr | ae | me 3 | rie] aeaces | staasor | 360 | sss000} —soarer| aoe) 2k 4, | i] ssaon | sesooe] tess) deers | soees| cose) 22 Yeu | wos }aases| sso re] sem | soars) soe] ee Pn [89 | 702000 [an 7519) 1208 | evans | sates | 2 | se] rere | sae} ras] raeaer| fase] oa) ee 3 | merase] snare] oor) cristo] geazt| cea] Me 4, | tat] resse | sn7976] ter] foznis| taeeia | Seg] 127 femve | ame | razese | tase} oros | reoree | rustes | aoe | 1008 PAR S| essen | va sir | anor | —savoes } aa ri] case 2 sisete} —ins003| st254| so7ase| times | aso | oo 3 seoe | sso] aria] seome| rams | anya] con fam | 201 {027% | 1.286) cw] seosre! Gas | aoe] tas! | oof sorse| sv25s5| ses | sasore | coamss | ssa send Within Groups | 20283.229 Total 20641.017 | 405 TMIN Between Groups | 445,974 3 Fas458 | 536 | 658 Within Groups} 111390.561 | 402 277.091 Total 111839,935 | 405 TMAX Between Groups | 2862613 3 960.671 | 4975 | 002 Within Groups| 77636635 | 402 193.126 Total 80519.248 | 405 TAVER Between Groups | 1282717 3 427.572 [2779 | 087 Within Groups | 61847,054 | 402 153.848 Total 63129.771 | 405. PMIN Between Groups | 732019 3 244.006 | 1.003 | .397 Within Groups | 978t6.908 | 402 243 326 Totat 98548.927 | 405 BAX” Between Groups | 2019.390 3 673.130 | 4.415 | 005) Within Groups| 61286.402 | 402 182.454 Total 63305792 | 405 PAVER Between Groups | 413.680 3 471.193 [3.728 | 017 ‘Within Groups | 50808268 | 402 126.389 Total 2221.849 | 405 Lampiran 8. Hasil anal is varians jumlah dan ukuran karapas kepiting S. olivacea yang tertangkap pada empat umur bulan berbeda Descriptives "GEM Confidence Interval fo" n_| wean | 614, Deviation ‘ower Bound | Upper Gourd | Minimum | Maximum 7 eE] 138770 "65288 van] iss] 300] 92.00 2 ee | 126377 s.4069 tvase8 | 139366 | 400] 27.00 3 7 138310 4.9843 sz7ez| tasse7 | 400] 24.00 4 63] 122063 40726 avseor| 132320 500] 27.00 to | 265 | 13.1496 5.2558 vesorr| 1377 | 300 | _ 32.00 wai 7 ez | seaser 7.2202 ‘7020s | __eosstr | 50.10] €070 2 | 612275 e271 see | 633468 | 4030] 8050 3 7 | 9.7380 6.5065 satsss| 61.3228 | s0.10| 70.90 4 ea | eres 9.0060 so3ceo | —6soss | 40.10 | 8040 sot | 265 | 60.3700 2.0182 soane| sia | 4010] 2070 waKT @ | 835700 | 12.8108 ‘903003 | ~~e6e578 | 7080] #3050 2 68 | 100.1890 | 13.7080 960752} torsos | 60.10] 190.10 3 rn | s72se2 11.8002 gasis | 100008 | 7070) 120.80 « | sa 13.6888 sseeu | toz7s7a| soso] 140.10 touat_| 265 | 07.5401 sa.719 seosse | ovzazs | 7050 | 140.10 TER 1 @ | F019 72316 719655 | 786284 | S630] 96.70 2 eo | 780046 85052 yeses | 81.0878 | 6.20 | 40 3 71} 76.8002 82718 753865 | 780520 | 6s70| 91.90 4 63 | 79.1460 77148 772031} 1.0880 | 6050) 95.90 otat_| 265 | 77.2343 7.5236 7es23 | 7asaea | 56.301 96.70, eu @ | 38600 e531 ‘aroi72 | 403506 | 30.10] 60.20 2 9 | 413275 392213 | aaasss | 2010) 60.20 3 a | s.7206 seis | atzz0¢ | s0.40 | 080 4 42.2444 wore: | aa2e18 | 3020 6020 otat_| 265 |_ 40.4939 seseo | a142e6 | 2010 | 60:30 Pua 2 | 720113 eerie | 75.1813 | S080 | 190.50 2 eo | 7es303 yseiss | stasia | 0.10 | 100.80 3 7 | 75.3901 mara] 77.6380| $090] 100.90 4 | 7e9016 vas739| 738293| 00.10 | 100.80 Youu |_265 | 75.7774 vasre | 77x00 | sosa| 130.50 PAVER 1 @ | 63.2016 ‘staves | sa0690 | 3610) 71.50 2 69 | 50.2606 sees | — coass7 | ato | 74.80 3 71 | seses 352003) s7ei27 | 4350 | 70:50 4 ea | se.66si saz | oss) 41.70) 74.10 taai_|_ 265} 56.2058 seooss | _s77esi | 3610 | 74.80 ANOVA ‘Sum of Squares_| dt_|MeanSquare| F | Sig JOT Between Groups | 139.352 3 46.451 | 1.695 | 169 Within Groups | 7153199 | 261 27.407 Total 7292551 | 264 TMIN Between Groups | 371.627 3 07-209 | 1.687 + 171 ‘Within Groups} 16647.599 | 261 63.761 Total 16963226 | 264 MAX” Between Groups | 1657.303 3 562.434 | 3.266 | 022 Within Groups | 44148559 | 261 169.144 Total 45803.862 | 264 TAVER” Between Groups | 199.238 3 399.746 [7-691 | 000 Within Groups| 13744.479 | 261 52.661 Total 14943710 | 264 PMIN Between Groups | 486.605 | 3 767.668 | 2795 | 041 Within Groups | 16114.065 | 261 57.908 Total 18599.670 | 264 PMAX —Belween Groups | 1493,716 3 487.905 [3.616 | 011 Within Groups | 34056.248 | 261 130.484 Total 35849.964 | 264 PAVER Belween Groups | 1275610 | __ 2 428.208 | 6.584 | 000 Within Groups | 12928.936 | 261 49.536 Total 14204545 |_264 Lampiran 9. Lokasi stasiun penelitian Foto Stasiun 1. (Perairan Tirang Kesik) Foto Stasiun 2. (Perairan Utara Bagian) Foto Stasiun 3. (Perairan Selatan Muara Dua) Foto Stasiun 4. (Hutan Mangrove Jongor) Foto Stasiun 5. (Hutan Mangrove Muara Dua) Foto Stasiun 6. (Hutan Mangrove Bagian)

Anda mungkin juga menyukai