Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Sejarah majalah ilmiah ini dimulai sejak talum 19741ahir sebagai Oseanologi
di Indonesia. Pada tahun 1993 bergabung menjadi Oseanoiogi dan Limn%gi di
In donesia (Nomor 26). Kemudian pada tanggal I November 2006, Oseanolog i
dan Lillll1%gi di Indonesia ditetapkan sebagai MajaJah Berkala IImiah
TERAKREDITASI C dengan nomor 28/AKRED LIPUP2MBU9/2006. Untuk
mengikuti aturan majalah ilmiah berkala maka penomQran volume dan halaman
disesuaikan dengan aturan tersebut. Oleh karena itu, Oseanologi dan Linm%gi
di Indonesia, Nomor 42, Apri l 2007 menjadi Oseallo[ogi dan Limn%gi di
Indonesia, Volume 33, Nomor I, April 2007. Tiga tahun setelah itu, pada tanggal
28 Agustus 2009, Osean%gi dan Limn%gi di Indonesia ditetapkan sebagai
Majalah Berkala Ilmiah TERAKREDITASI B dengan nomor I 89/AU I l1P2MBII
08/2009. Oseanologi dan Limnologi dj Indonesia atau telah dikenal dengan
OLDI tetap berusaha mengikuti perkembangan jaman dan menyesuaikan terbitan
dengan terbitan ilmiah nasional maupun intemasional. Seiring dengan terbitnya
Oseanologi dall Limnologi di Indonesia Volume 36, Nomor 3, Desember 20 10
ada 2 (dua) hal yang ingin disampaikan oleh redaksi OLDI, yaitu :
(1) OLDI terbit online di http://www: limnologi.lipi.go.id sejak terbitan Volume
36, Nomor I, April 2010.
(2) Untuk menyesuaikan terbitan selanjutnya denganjumal ilmiah nasional maupun
intemasionai, maka OLDI melampirkan PETUNJUK. PENUllSAN NASKAH
dalam BERITA REDAKSI.
Petunjuk tersebut mulai berlaku untuk terbitan Volume 37, Nomor 1, Apri1201l.
Pemimpin Redaksi
DAFfAR lSI
Halaman
I. SRl JUWANA,RUYITNO, YUSTlAN ROVI ALFlANZAH
259-279
281-292
293-307
309-327
329-342
343-360
36 1-376
377-392
393- 400
401-425
ISSN 0 I 25 - 9830
DAFTARISI
Halaman
II. SASANTI RETNO SUHARTI : Diversity and abundance of
reef fish in the coastal of Kia bat Bay, Bangka Island, Indonesia..
12. NlRMALASARl IDHA WUAYA, FREDINANYULIANDA,
MENNOFATRlA BOER dan SRI JUWANA: Bio1ogi popu1asi
kepiting bakau (Scylla serrala F.) di habitat mangrove Taman
Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur .................................... .
427- 442
443-461
ABSTRAK
443
frekuensi tertinggi pada interval 89.S -121.S mrn. Kelirnpahan individu betina matanggonad
rnencapai puncak pad:! bulan lanuari. Februari dan Maret. Diduga terjadi puncak kelimpahan
)'lmg kedua pada bulan Agustus dan September.
Kata kun ci: Kepitlng bakau, S cylia serrata , Taman Nasional Kutal, sebaran ukuran,
par a meter pertumbuha n, laju peoangkapan.
ABSTRA CT
Key words: Mangrove c ra bs. Scylla serrato, Kutai Nationa l Park , siu distribution,
growth parameters, fishing rai l'.
444
PENDAHULUAN
1999).
Tujuan penelitian ini un tuk memperoieh parameter pertumbuhan, distribusi
ukuran, laju mortalitas dan laju eksploitasi penangkapan Scylla serrata di habitat
mangrove I NK. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai suatu bahan
pertimbangan dalam pengelolaan Scylla serrata di INK agar dapat dimanfaatkan
seeara optimal dan berkelanjutan.
445
&
JUWANA
METODE PENELITIAN
Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan pohon
ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar tambak tidak
produktiflagi dan menjadi lahan kritis. Ada 3 jenis pahon bakau yang dijumpai di Teluk
Peraneis. Jenis pohon yang dominan adalah Rhizophora apiculala (bakau minyak).
Rhizophora mucronala (bakau hitam) dan Brnguiera gymnorrhiza (bakau daun
besar) kurang domiman. KeJompok substasiun BI zona tengah hutan dan B3 zona
perairan Tcluk Perancis, dicirikan oleh parameter kelimpahan makrozoobcnthos dan
salinitas air yang tinggi.
Mangrove di Muara Sangkima mempunyai 6jenis pahon, yang didominasi
oleh Rhizophora apiculala (bakau minyak), kemudian Brnguiera gymnorrhiza (bakau
daun besar) dan Ceriops decandra (bido-bido). Tigajenis pohon waru tidak dominan,
yaitu Osbornia oclodonla, Hibiscus tiliaceus dan Lumnil;:era liltorea. Kelompok
substasiun Cl zona tengah hutan mangrove Muara Sangkima,juga dieirikan dengan
adanya kerapatan vegetasi, tckstur substrat, BOD dan kelimpahan S. serrala yang
tinggi.
446
"
,"
447
Duri di a nl a ra d ua mala
&
J UWANA
Karapas
Analisis Data
Berdasarkan data tersebut dilakukan beberapa analisis yaitu: hubungan panjangbobot, yang digambarkan dalam dua bcntuk yaitu isometrik dan a llometrik berdasarkan
HI LE yang diacu oleh EFFENDIE ( 1979). Pendugaan kelornpok ukuran dilakukan
dengan menganalisis data frekuensi lehar karapas yang dianalisis mcnggu nakan program
Bhattacharya Method yang dikemas dalam paket program FlSAT II (FAO-ICLA RM
Stock Assesment Toof). Analisis pertumbuhan, Plot Ford-Walford un tuk menduga
parameter pertumbuhan L" dan K dari persamaan von Bertalanfly. Pendugaan laju
eksploit3si S. serrma dilakukan dcngan pendugaan laju mortalilas alami (Z) berdasarkan
persamaan Beverton dan Holt. Nilai Z dan pendugaan laju mortalitas alami (M)
448
digunakan untuk menduga kematian kepiting bakau akibat penangkapan (F) = Z-M.
Selanjutnya laju eksploitasi kepiting bakau (E) dapat diduga dengan mengguna kan
persamaan: E '" F: Z, nilai Yield per Rekrut (YIR) untuk menentu kan laju eksploitasi
maksimal yang diijinkan,
Tabel I. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alai pengait, rakkang dan
rengge, No vember 2008 ~ J u ni 2009.
Table 1. Tile number of S. serrata captured by the fis hing gear hook, t r a p and
gilln et, November 2008 to J une 2009 .
Fishing gear
Hook (pen gait)
Trnp (rnkkang)
Gillnet (rengge)
Total Individu
Male
Female
669
311
526
449
59
141
Sum or Tola l
Size Max-Min (mm)
(ind.)
Male
Fema le
980
68 154
65-17 \
50-143
45-155
975
70- 142
73-135
200
449
& JlIWANA
450
>
0
""
.... .
,"
.....
....
"
,
..... . .
, . "" ,..
-0_
_
_
~ -
...
./
'.
,.:/
..
.,.,
\.
"
..
CARA P AS W I DT H (mm)
45 \
WUAYA, YUUANDA,
Sou &
JUWANA
diduga terjadi karena adanya persaingan makanan dan sifat yang agresi f dari S. serrata
jan tan, sehingga individu jantan leblh sering masuk ke dalam rakkang.
Scylla serrata has il tangkapan pad a zona perairan pantai dengan
menggunakan alat rengge, menunjukkan sebesar 42% merupakan kepiting yang
berukuran kurang dan 100 nun, dan sisanya (58%) merupakan kepiting yang berukuran
lebih dari 100 nun dan diduga sudah dewasa kelamin. Sebaran lebar karapas S. serrata
lebih bervariasi dibandingkan kedua alaI sebelumnya, dengan frekuensi tangkapan
teninggi pada interval 89,5-121,5 nun.
Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rengge lebih didominaslJeniS kelamin
betina dengan nisbah jantan:betina adalah 1:2,5 (P<0,05). Lebih banyaJmya kepiting
betina yang tenangkap karena pola migrasi reproduksi kepiting betina yang memijah di
laut, sehingga merelai berenang ke laut dan tertangkap oleh alaI rengge. Rengge (gil/net)
digunakan di perairan dangka J di pesisir. Nelayan umumnya tidak seeara khusus
mengguna kan rengge untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil
sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama cangkapan. Waktu penggunaan rengge
dapal siang alau malam han . Kepiling belina yang tertangkap sebagian adalah kepiting
yang malang gonad dan akan memijah, alau sebagian lagi adalah kepiting betina yang
salin (selesai memijah). Vanasi pada ukuran lebar karapas kepiting yang tertangkap
oleh alat rengge terjadi karena sebagian adalah kepiting betina matang go nad yang
bennigrasi ke laut untuk memijah dan sebagian lagi adalah kepiting muda (crable/s)
yang bennigrasi ke mangrove untuk meneari makan dan kawin.
Sebaran Tempo ral Induk Detina Matang Gonade (TKG IV)
Pengamalan terhadap induk betina matang gonad dilakukan seeara morfologi
pada semua sampel kepiting. Tingkat Kematangan gonad (TKG) yang diamati adalah
TKO N, yang seeara morfologi dapal diamali denganjelas seeara visual. Grafik sebaran
frekuensi induk betina TKO IV pada masil).g-maSing stasiun disajikan pada Gambar 4.
Induk hetina matang gonad TKG IV yang tenangkap di habitat mangrove
TNK mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara 91 -171 nun, sedangkan ukuran
berat tubuhnya berkisar antara 170-870 gram. Kelimpahan mdividu belina matang gonad
terbanyak di Muara Sangatta dibanding di lokasi lain. Hal ini terjadi karena Sungai
Sangatta merupakan sungai terbesar di kawasan hulan mangro ve TNK, sehingga
menjadi pintu masuk utama kepiting bakau yang beruaya kembah ke hulan mangrove.
Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG N pada lokasi
Muara Sangatta mempcrlihatkan bahwajumlah individu mulai mengalami peningkatan
pada bulan lanuari dan meneapai puneak pada bulan Maret, kemudian eenderung
mcnurun bulan April dan ada indikasi mulai meningkat kembali pada bulan luni. Diduga
di lokasi Muara Sangatta puneak frekuensi betina matang gonad yang ked ua terjadi
pada bulan Agustus, berdasarkan perkiraan adanya rekruilmen yang terjadi pada bulan
Oktober.
452
30
25
.- . -<>....-. .
MASGT
T PERANCIS
MASANGKIMA
20
-t
c
15
Z
::>
@ 10
Ir
U-
<>
o
1'_08
12_08
,_09
2_09
3_09
4_09
5_09
6_09
MONTH
Gambar 4. Sebaran induk betina malang gonade TKG IV tertangkap di Taman
Nasiona1 Kutai.
Figure 4. Disribution of mature female on GM] IV caught in Kulai Natio nal Park.
Grafik distrihusi jumlah ind ividu kcpiting bakau belina TKG IV pada lokasi
Muara Sangkima memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai meningkat pada hulan
Desember dan mencapai puncak pada bulan Febman, kemudian cenderung menurun
bulan April dan tidak menunjukkan indikasi adanya peningkatan kembali. Kclimpahan
individu betina malang gonad Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember
dan mencapai puncak pada bulan Januari, kemudian menunm pada bulanAprii . Diduga
puncak belina malang gonad TKO rv di Teluk Perancis terjadi dua kati , karena ada
indikasi peningkatan pada bulan Juni . Bila d ibandingkan dengan infonnasi rekruitmen.
dimana tetjadi rekruitmen pada bulan November, Pebruari, dan Mei, mab diduga puncak
pemijahan kedua teljad i pada bulan September.
Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laul. ARRIOLA & BRICK,
ya ng diacu olch SlAHAINENIA (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur
akan bermigrasi dari perairan payau ke peraira n laut untuk memijah. Migrasi kepiting
bakau belina matang gonad ke peraira n la ut, merupakan upaya mencari perai ran yang
453
kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur. Dengan
demikian merupakanjuga upaya penjamin kelangsungan hidup embrio serta bagi larva
yang dihasilkan. Kecocokan te rsebut menurut KASRY (1996), !erutama terhadap
parameter suhu dan salinitas lingkungan. intensitas pemijahan tertinggi atau puncak
musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut
berarti puncak musim pemijahan kepiting bakau terJadi pada akhir musim hujan sampai
menjelang awal musim panas. SIAHAlNENlA (2008) menduga hal ini dimaksudkan
untuk menjamin keterscdiaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya. Pada
musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui aliran
sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan menjadi lebih
tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intcnsitas cahaya matahari yang ti nggi pada musim
panas, yang menyebab"kan terjadinya fotosintesa fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton
selanjutnya akan berdampak terhadap kehadiran zooplankton yang merupakan makanan
alami larva kepiting bakau. HASTUTI (1998), menyatakan bahwa telur tingkat akhir,
emhrio, dan larva kepiting bakau merupakan penghuni laut dengan media bersa1initas
tinggi (polihaline). Pada stadia ini kepi ting bakau bcrada dalam lingkungan media
dengan osmolaritas yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal
tubuhnya. Hal tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel lelur, kepiting bakau
sudah membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatiftinggi.
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa menggunakan metode regresi dengan
melihat hubungan antara -lebar karapas kepiting bakau dengan bobot tubuhnya.
Hubungan panjang dan bobot S. serrata (a dan b) disajikan pada Tabel 2. Hasil uji t
m!ai b untukkepitingjantan maupun betina menunjukkan bahwa t.,;, lebih besar dibanding
t"",,1. sehingga dapa! dikatakan hubungan lebar karapas dcngan bobot S. serrata di
habitat mangrove TNK tidak isometrik. Perbedaan ini cukup signifikan dengan nilai
P<0,05.
Nilai b akan menjadi indikator yang mendeslaipsikan pola pertumbuhan kepiting
bakau, sedangkan dari nilai koefisien korelasi (rl) dapat diketahui keeratan hubungan
antara lebar karapas kepiting bakau dan hobot tubuhnya, sehingga dapat ditentukan
apakah individu dalam suatu populasi dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui
ukuran tubuhnya alau lidak. Nilai koefisien korelasi (r) 0,886-0,924 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang cukup era! antara ukuran lebar karapas dengan hobol tubuhnya,
sehingga biomass populasi kepiting bakau dapat diduga dengan mengetahui ukuran
lebar karapasnya. Penelitian ALI et al. (2004) menunjukkan hubungan lebar karapashobot untuk S. serrata jan Ian di ekosistem mangrove di Khulna Bangladesh adalah W
= 0,0078 CWll>6. sedangkan pada S. serrala betina W "" 0,0078 CW! .l02!. Hubungan
lebar karapas dengan bobot pada induk betina S. serrata matang gonade di Estuari
Umlalazy Afrika Se!atan adalah Y = 0,0014 Xl.S6 (DAVIS et at. 2004).
454
50.
"
' - L...
L.
t tC5t carapas width-weight of female crabs: t.... - 6.02056; t ...... - 3.1824; P - 0.009
t lest carapas widtb-weight of male crabs:
"" ., 3.3692; t...... - 3.1824; P .w:O.0434
455
karapas inlernal (Internal Carapace Width/IC W) to,2 cm. Ukuran capil yang besar
pada kepiling bakau janlan dewasa kelamin sangal berfungsi kelika mendekap alau
mengepil kepiling bakau heli na selama masa percumbuan yakn i kelika kedua individu
kepiting bakau ini he rada dalam posisi berpasangan (doublers), serta unluk membalik
tubuh kepiting bakau helina ketika proses kopulasi akan herlangsung (SlAHAINENlA
2008). Capit yang hesar juga dibutuhkan kepiling bakau jantan dewasa kelamin untuk
hertarung denganjantan lainnya dalam upaya mempcrtahankan wilayah kawin (matting
territory), mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina
yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau hetina
melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan
terhada p serangan alau bahkan pcmangsaan dari kepiting bakau lainnya, karena sifat
kanibalisme yang dimilikinya (KASRY 1996).
Dengan menggunakan bantuan program Elefan dari FlSAT]J dipcro[eh nilai
dugaan kurva pcrtumbuhan von BertalanfTy ya ng meliputi panjang infiniti (l...c.o) dan
kecepalan pertumbuhan ( K). Paramete r pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove
TNK dapat dilihat pada Tabel2. Hasi! analisis program Elefan memperlihalkan lebar
karapas maksimum yang dapa! dicapai berkisar an!ara 143155 mm dengan kecepatan
pertumbuhan (K) berkisar an tara 0,451,50. Kecepatan pertumbuhan kepiting he tina
lebih hesar dibandingkan kepitingjantan, karena kepiting helina lebih scring me!akukan
moulting dibanding kepitingjantan, sehingga cenderung lebih cepat mencapai r..,.,.LE
VAY el al. (2007) menemukan nilai K dari 170 ekor kepiting S paramamosai" yang
tertangkap kembali sebesar 2.39 (rt - 0,63) dengan ~ pada usia 0,0095 lahun.
Kecepatan pertumbuhan S. serrala di Muara Sangatta lebih linggi dibanding
lokasi lainnya. UmulTUlya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran helum
dewasa ke lamin (lebar karapas kurang dari 110 mm). WIJAYA (2010) menduga,
perbedaan nilai K S. serrata di tiga lokasi pengamatan tersebut disebabkan oleh
perbedaan ekologi dan ciri habitat mangrovcnya.
Menurut SIAHAlNENlA (2008) kepiting yang herukuran keeil memberikan
garis regresi ke arah slope yang lebih tajam, karena modus tertinggi yang dilalui garis
pertumbuhan lebih banyak pada kelompok kepiting kecil, sehingga nilai K menjadi hesar.
Kecepatan pcrtumbuhan S. serrala di Muara Sangkima menunj ukkan keeenderungan
yang relatiflebih kecil dibanding pada kedua lokasi lainnya. Hal ini berkaitan dengan
kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrala ya ng ditemukan di wilayah tersebut
umumnya berukuran lebih dari dewasa keJamin, sehingga kecepatan pertumbuhannya
menjadi lebih lambat. Kepiting betina dewasa lebih banyak menggunakan energinya
untuk pe rt um buhan dan pe r kembangan gonad ( LAVINA yang d iae u oleh
S lAHAINENIA 2008). ONYANGO (2002) menyatakan S. serrata betina yang lebih
besar tertangkap selama aktif makan, sehingga memungkinkan mereka menyimpan
energi yang eukup untuk migrasi dan berte!ur.
Pola pertumbuhan S. serrala jantan di habitat mangrove TNK bersifat
a1!ometrik poslti f, sedangkan S. serrala betina bersifat al10metrik negatif. Kepiting S.
serrala mempunyai koefisien pertumbuhan (K) herkisar antara 0,45- 1,50. Koefisien
456
pertumbuhan S. serrato di Muara Sangatta lebih linggi dibanding lokasi lainnya. Tekanan
penangkapan kcpiting bakau S. serrata sudah berada di alas laju eksploitasi maksimal,
hanya d i lokasi Muara Sangkima tekanan penangkapan masih sedikil di bawaheksploitasi
maksimal. Distribusi lebar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang
dipcroleh dari hasil tangkapan alat pengait, umumnya bcrukuran lebih dari 100 mm,
dengan frekuensi langkapan tcrtinggi pada interval 109,5-129,5 mm. Ukurnn lebar ini
relatif lebih besar dibandingkan ukuran lebar karapas S. serrata di zona depan hulan
mangrove, dimana frekuensi langkapan lertinggi pada interval 78-89 mm, dan d i zona
perairan panlai, dimana frekuensi tangkapan leninggi pada interval 89,5-121,5 mm.
Kelimpahan individu betina matanggonad mencapai puncakpada bulan Januari, Februari,
dan Maret. Puncak kelimpahan yang kedua diduga lerjadi pada bulan Agustus dan
September.
Laju Morta litas
Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas adalah laju
kemalian, yangdidefinisikan sebagai jum[ah individu yang mati dalam saru saruan waktu.
Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau
laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan
karena kepiting bakau tidak pemah tcnangkap sehingga mati alami karena umur lua,
atau karena daya dukung lingkungan yang rendah, misalnya alObat perubahan lingkungan
yang ekslrim atau tidak tercukupinya makanan alamilkelaparnn (SPARRE & VENEMA
\999).
Analisis laju mortalitas kepiting bakau di lakukan dengan menggunakan eSlimasi
mortalitas dari FISAT-JI, yang didasarkan pada data lebar karapas kepiting bakau yang
tcrtangkap. Laju mortalitas lotal (Z) digambarkan sebagai nilai numerik dari kemiringan
(slope) garis regresi antara logaritma NIdI terhadap umur relatif kepiting yang
tertangkap, dan dihitung dan persamaan pertumbuhan VON BERTALANFFY yang
dikenal dcngan metooc kurva hasil langkapan. Nilai laju monalitas 101al, mortalitas
alami, dan mortalitas penangkapan disajikan pada Tabel3.
Tabel 3. Laju mo rta litas da n laju eksploitasi S. serrato.
Table 3. T he r ate of morta lity a nd t he rate of exploitation of S. serrata.
STATION
Muara Sangana
Teluk Pcraneis
Muara Sangkima
SEX
Male
Female
Male
Female
Male
Female
2.89
2.41
2.87
3.40
1.36
1.79
1.2584
1.0744
0.9430
1.1774
0.64177
0.85202
1.6316
1.3356
1.9270
2.2226
0.71823
0.93798
E
fa ktua l
0.5645
0.554
0.671
0.654
0.5281
0.5240
E max
0.457
0.407
0.606
0.555
0.555
0.516
457
KESIMPULAN
Pota pertumbllhan Scylla serrata jantan di habitat mangrove TNK bersifat
allomctrik positif, sedangkan S. serrata betina bersifat allometrik negatif. Koefisien
pertumbuhan (K) S. serrma berkisar an tara 0,45-1,50. Koefisien pertumbuhan S.
458
serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Tekanan penangkapan
kepiting bakau S. serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksirnal, hanya di
lokasi Muara Sangkima tekanan penangkapan masih sedikit di bawah eksploitasi
maksimal. Distribusi Icbar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang
dipcroleh dari hasiltangkapan alat pcngait, umumnya bcrukuran lebih dari 100 mm,
dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109,5- 129,5 nun. Ukuran lcbar ini
relatiflebih besar dibandingkan ukuran lebar karapas S. serrata di zona depan hulan
mangrove, dimana frekucnsi langkapan tertinggi pada interval 78-89 nun; dan di zona
perairan panlai, dimana frekuensi langkapan tcrtinggi pada interval 89,5- 121 ,5 mm.
Kelimpahan individu helina matang gonad mcncapai puncak pada bulan-bulan Januari,
Februari dan Maret. Puncak kelimpahan yang kedua diduga terjadi pada bulan Agustus
dan September.
DAFTAR PUSTAKA
459
EFFEl\T()lE, M.J. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor: 112
"'I.
EWEL, K.C. 2008. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be
best managed locally. Journal of Sea Research 59: 114 - 120.
HALL, N.G , K.D. SMITH, S. de LESTANG and I.e. POTTER 2006. Does the
largest chela of the males of three crab species undergo an allometric change
that can be used to determine morphometric maturity ? ICES J. Mar. Sci. 63
(I): 140-150.
HASTUTI, S. 1998. Pertumbuhan embrio kep iting bakau, Scylla serrato, pada
beberapa tingkat salinitas media. (Thesis). Program Pascasarjana WB. Bogor.
HI LL B. J. 1975 . Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrato in two
South African estuaries. Marine Biology 32: 119-126.
KASRY, A. 1996. Budidoya kepiting bakau dan biologi ringkas. Pencrbit Bharata.
Jakarta. 93 haL
KEENAN, C.P., PIE DAVIE, and D. L. MANN. 1998. A Revision of the genus
Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The
Raffles Bulletin of Zoology 46 (I): 217-245.
LE VAY, L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian Fisheries
Science 14: 101-111.
LE VAY L., V. N. UT and M.E. WALTON 2007. Population ecology of the mud crab
Scylla paramamosain (Estampador) in an estuarine mangrove system; a markrecapture study. Marine Biology 151: 1127- 1135.
ONYANGO, S. D. 2002. The breeding cycle of Scylla serrata (ForskAl, 1755) at
Ramisi River estuary, Kenya. Wetlands Ecology and Management 10: 257263.
SPARRE, P. and S.C. VENEMA 1999. Introdu/csi pengkajian stok ikon trapis
buku-I manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 435 ha L
SIAHAfNENIA, L. 2008. Bioekologi kcpiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem
mangrove Kabupaten Subang Jawa Bara!. Disertasj S3 . Sckolah Pascasarjana
IPo. Bogor.
TAMAN NASIONAL KUTAI [TNK]. 2005, Data dasar Taman Nasional Kulai.
Balai Taman NaslOnal Kutai. Bontang, Kalimantan Timur.
WATfERS, G andA.J. HOBDAY 1998. Anew method forestimating the morphometric
size at maturity of crabs. Can. 1. Fish. Aquat, Sci. 55(3): 704714.
WALTON, MARK E. , L. LE YAY, L.M. TRUONG, and V.N. UT 2006. Significance
of mangrove- mudflat boundaries as nursery grounds for the mud crab, Scylla
paramamosain. Marine Biology 149: 11991207.
WEBLEY, l .A.C., R.M. CONNOLLY and R.A. YOUNG 2009, Habitat selectivity of
megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for
recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891 899.
WIJAYA, NJ . 2010. Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui
optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata) di Taman
Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Diserlasi S3. Mayor Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogar. Manuscript.
461