Anda di halaman 1dari 16

WAJAH AGAMA DAHULU DI MATARAH

(Eksistensi dan Dinamika Agama Lokal Dayak Maanyan di Desa Matarah)

PROPOSAL TESIS

Diajukan Kepada
Program Pasca Sarjana Magister Teologi

OLEH :
METUSALAKH RIZKY NAYAR
NIM: 15. 06. 027

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER TEOLOGI


SEKOLAH TINGGI TEOLOGI
GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
BANJARMASIN
2016

WAJAH AGAMA DAHULU DI MATARAH


(Eksistensi dan Dinamika Agama Lokal Dayak Maanyan di Desa Matarah)

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matarah, merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dusun Timur,
Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Luas desa Matarah adalah 50 km 2
(5,19 % dari luas Kecamatan Dusun Timur, yakni 867,70 km 2). Secara orbitas, jarak tempuh
ke Ibukota Kabupaten dan sekaligus Kecamatan, Tamiang Layang, adalah sejauh 15 km. 1
Desa Matarah juga berbatasan langsung dengan desa-desa dari Kecamatan lainnya, meskipun
masih satu Kabupaten. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tangkan, Kec. Awang Lapai,
sebelah Selatan, berbatasan dengan Desa Gumpa, Kec. Dusun Timur, sebelah Timur,
berbatasan dengan Desa Betang Nalong, Kec. Patangkep Tutui dan sebelah Barat, berbatasan
dengan Desa Didi, Kec. Dusun Timur. Menurut Data Profil Desa Matarah per-Februari
2016, jumlah penduduk Desa Matarah adalah sebanyak 865 Jiwa, dengan 240 Kepala
Keluarga (KK).2 Penduduk asli Desa Matarah adalah suku Dayak Maanyan kelompok
Kampung Sapuluh, yang pada mulanya menurut penuturan penduduk setempat berasal dari
desa Jaar, pada tahun 1966-an.3 Saat ini penduduk Desa Matarah tidak hanya didominasi oleh
suku Dayak Maanyan, namun juga penduduk dari suku lainnya, yakni suku Dayak Ngaju,
Dayak Lawangan, Dayak Dusun, Batak, Sunda, Jawa dan Banjar.4 Data penduduk menurut
agama, didominasi oleh agama Kristen. Penduduk Matarah merupakan pemeluk 4 agama

1 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Barito Timur, Statistik Daerah Kecamatan Dusun Timur
2016, 1, 9
2 Profil Desa Matarah Per-Pebruari 2016, (Profil dan Kelurahan, Direktorat Jendral Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, 2016), 3, 19
3 Wawancara dengan Itak Adau (61) dan Amah Adau (42) pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 14.30
WIB.
4 Profil Desa Matarah Per -Pebruari 2016, (Profil dan Kelurahan, Direktorat Jendral Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, 2016), 21-22

resmi, yang diakui pemerintah. Adapun data penduduk menurut agama diperlihatkan dalam
tabel berikut: 5
No

Agama

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

.
1.
Kristen (GKE, GBI, GSJA)
295
305
600
2.
Katholik
87
82
169
3.
Islam
31
28
51
4.
Hindu (Kaharingan)
14
20
35
Dari berbagai agama tersebut, yang menarik untuk diperhatikan adalah Agama Hindu
Kaharingan, atau dalam istilah lokal disebut Agama Dahulu. Dr. Rama Tulus P, dalam
Disertasinya, menyebut agama lokal yang dianut orang Maanyan dengan istilah Agama
Maanyan, atau dalam konteks Maanyan, menurutnya disebut Nanyuisme.6 Memang, tulisan
beliau mengacu kepada komunitas Maanyan yang bernaung dalam lembaga DUSMA (Dusun
Maanyan), khususnya yang beragama Kristen (GKE) di Kompleks DPR Gg 4, Banjarmasin,
yang ternyata tetap mempraktekkan ritual-ritual nenek moyang. Namun sedikit-banyak dapat
pula dijadikan rujukan kepada orang Maanyan pemeluk Agama Hindu Kaharingan di
Matarah. Sementara Dr. Keloso S. Ugak, dalam Disertasinya, menyebut agama suku yang
khas ini juga dengan istilah Agama Dahulu. Istilah Agama Dahulu menurut beliau digunakan
terkait penggunaaan orang Maanyan sendiri ketika menyebut agama sukunya. Secara
sematik, kata Dahulu, berarti yang sudah ada sebelumnya, yang mendahului atau yang sudah
tua. Orang Maanyan pemeluk agama suku tidak pernah memberi istilah tertentu untuk
memberi nama agama sukunya. Istilah Agama Dahulu adalah penyebutan bersama oleh orang
Maanyan penganut Agama Dahulu dan penganut Agama Kristen yang disebut Ungkup, (kata
Ungkup, berasal dari orang Dayak Ngaju).7
Istilah Kaharingan sebenarnya memang tidak berasal dari kepercayaan orang
Dayak Maanyan, tetapi dari kepercayaan orang Dayak Ngaju. Kata Kaharingan berasal dari
bahasa Dayak Ngaju yang muncul dan dipakai dalam upacara ritual keagamaan, yaitu basa
5 Profil Desa Matarah Per -Pebruari 2016, 20; 66; Bdk.Wawancara dengan Kakah Debora, Ketua
Kelompok Majelis Agama Hindu Kaharingan Matarah pada 6 September 2016, pukul 17.30 WIB
6 Rama Tulus P, Agama Sebagai Identitas Sosial - Studi Sosiologis Agama Terhadap Komunitas
Maanyan, Salatiga: Disertasi Doktoral Universitas Kristen Satya Wancana, 2010, iv-v
7 Keloso S. Ugak, Developing Grace Concept in order to Built a Reconciliative Theology in the
Dayakness Community (an effort to integrate and develop grace concept on perspective of chruchs
fathers with ipulaksanai concept on prespective of Dayak Maanyan culture), Jakarta: Disertasi
Doktoral The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), 2005, 32

sangiang (bahasa ritual para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci). Kata Kaharingan
berarti hidup atau kehidupan. Kata Kaharingan berhubungan dengan kata Danum
Kaharingan (Air Kehidupan) yang merupakan satu elemen maha penting dalam agama
Dayak Ngaju. Bagi masyarakat Dayak Kaharingan, Danum Kaharingan merupakan substansi
yang maha berharga di alam semesta ini karena berdaya untuk mendatangkan kehidupan
abadi dan dipergunakan oleh Ranying Mahatalla Langit untuk menghidupkan kembali jiwa
orang telah meninggal dunia agar dapat hidup kekal di surga.8
Terminologi Kaharingan dalam artian sebagai nama agama, pertama kali muncul
pada 17 April 1944, dalam tulisan Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan (Riwut, 1944).
Selanjutnya pada 1945, saat Jepang berkuasa, dalam tulisannya Beberapa Keterangan
Tentang Bangsa Dajak, ia dengan jelas memakai istilah Agama Dajak Kaharingan (Riwut,
1945). Sekitar pertengahan tahun 1945, pemerintah militer Jepang di Banjarmasin meminta
kejelasan nama agama yang dianut oleh orang Dayak. Maka dipanggil menghadap dua orang
Dayak Ngaju, Yohanes Salilah dan W. A. Samat. Salilah spontan menjelaskan bahwa nama
agama orang Dayak adalah Kaharingan. Sejak saat itu, istilah Kaharingan diadopsi oleh
pemerintah militer Jepang di Banjarmasin sebagai nama tersendiri untuk menyebut nama
agama yang dianut oleh orang Dayak. Pada 1950, dalam Kongres Sarikat Kaharingan Dayak
Indonesia, kata Kaharingan perse secara resmi dipakai sebagai nama generik untuk agama
Dayak. Kemudian pada 1980, mereka berintegrasi dengan Hindu, sehingga menjadi agama
Hindu Kaharingan. Jadi sejak itu pula, semua orang Dayak yang tidak beragama Islam atau
Kristen disebut beragama Kaharingan.9
Perkembangan agama Kaharingan tidak hanya terbatas di kalangan orang Dayak
Ngaju saja. Joseph Weinstock, dalam Disertasi Doktoralnya Kaharingan and The Luangan
Dayaks: Religion and Identity in Central East Borneo (1983), menginformasikan bahwa
Kaharingan sebagai agama meluas ke suku Dayak Luangan (Lawangan). Informasi yang
senada juga didapati dalam tulisan Alfred Bacon Hudson,The Barito Isolect of Borneo: A
Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics dan Disertasi
Doktoralnya Padju Epat: The Ethnography and Social Structure of A Maanjan Dajak Group
in Southeastern Borneo (1967), serta tulisannya yang lain Padju Epat: The Maanyan of
Indonesia Borneo (1972), melaporkan bahwa suku Dayak Maanyan di wilayah sungai Barito
8Marko Mahin, Kaharingan-Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, Depok: Disertasi Doktoral
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, 2009, 182-183

9 Marko Mahin, Kaharingan, 3, 183

menyebut sistem agama mereka juga sebagai Kaharingan. Dayak Tumon di daerah wilayah
Barat, dan Dayak Siang di wilayah Timur, juga menyebut agama mereka sebagai
Kaharingan. Kaharingan juga meluas ke luar wilayah Kalimantan Tengah. Anna Lowenhaupt
Tsing dalam bukunya In the realm of diamond queen: Marginality in an out-of-the way place
(1993) diterjemahkan Achmad Fedyani Saifuddin: Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan:
Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat Terasing (1998), melaporkan bahwa Dayak Meratus
di Kalimantan Selatan menyebut agama mereka sebagai Kaharingan. Begitu juga
dengan orang Dayak Tunjung dan Benuaq di Kalimantan Timur, seperti yang dilaporkan
Martin Baier dalam tulisannya The Development of A New Religion in Central Kalimantan,
dan The Development of the Hindu Kaharingan Religion - A New Dayak Religion in Central
Kalimantan (2007), serta orang Dayak Uud Danum (Ot Danum) yang berada di Kecamatan
Embalau dan Serawai Kalimantan Barat.10
Kata Kaharingan saat ini umum digunakan untuk menunjuk agama suku Dayak,
merupakan istilah yang pada mulanya digunakan oleh orang Dayak Ngaju untuk menunjuk
agama suku mereka. Dalam perkembangan kemudian, istilah Kaharingan menjadi sebutan
umum oleh pihak luar untuk menyebut agama suku Dayak, walaupun masing-masing sub
suku Dayak pada dirinya tetap menggunakan istilah sendiri-sendiri disamping juga
menggunakan istilah Kaharingan.11 Nama agama baru itu (Kaharingan) tersebar ke seluruh
Kalimantan setelah tahun 1945. Sekarang ini nama Kaharingan diperkirakan menjadi nama
umum agama orang Dayak yang ada di wilayah Indonesia, lebih tepatnya supaya
penganutnya bisa bertahan. Kebutuhan untuk bertahan hidup ini tampaknya menjadi alasan
yang sangat penting terutama ketika Kaharingan menjadi agama resmi di Indonesia melalui
cara berintegrasi dengan Hindu sehingga menjadi Hindu-Kaharingan pada tahun 1980.12
Salah satu faktor penyebab integrasi tersebut adalah karena kebijakan Negara hanya
mengakui 6 agama resmi (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu), maka agama
Kaharingan dilihat bukan sebagai agama, melainkan sebagai adat, kebudayaan, atau aliran
kepercayaan. Dengan demikian, para penganut agama Kaharingan secara tidak langsung
diklasifikasikan sebagai orang-orang yang belum beragama, atau tidak beragama. Kalaupun
10 Ibid, 3
11 Anna Lowenhaupt Tsing, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada
Masyarakat Terasing, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: Yayasan Obor, 1998), 400-401
12 Rama Tulus P, Agama Sebagai Identitas Sosial, 172-173

dilihat atau dibicarakan beragama dan memiliki religi agama yang mereka anut disebut
sebagai agama nenek moyang, agama adat, agama bumi atau agama kebudayaan. Agama
mereka dilihat sebagai agama yang belum atau tidak sempurna, karena mereka menyembah
banyak sosok ilahi (politeisme), tidak mempunyai Kitab Suci, tidak mempunyai Nabi, tidak
mempunyai sistem hukum yang jelas bagi para penganutnya, dan tidak berskala internasional
atau hanya dianut oleh satu kelompok suku saja di wilayah yang terbatas. Karena mereka
dipandang tanpa agama, maka dalam iklim politik Indonesia yang khas mereka bisa saja
dituding komunis, pemberontak dan musuh negara.13
Orang-orang Dayak secara umum, meskipun mempunyai sistem kepercayaan yang
berbeda dari sistem kepercayaan orang Dayak Ngaju, namun untuk mendapat payung
politik mereka rela disebut dan menyebut diri Kaharingan, yang pada mulanya adalah istilah
untuk sistem kepercayaan orang Dayak Ngaju saja. 14 Demikian juga dengan agama suku
Dayak Maanyan. Tampaknya orang Maanyan pemeluk Agama Dahulu (berlabel Agama
Hindu Kaharingan) di Matarah tidak mempermasalahkan penyebutan Agama Kaharingan
atau Agama Dahulu.
Tidak dapat dipastikan kapan istilah Kaharingan dipakai untuk menyebut agama suku
Dayak Maanyan. Dr. Fridolin Ukur, menyatakan bahwa setelah GDE berubah menjadi GKE
pada tahun 1950 telah terjadi perkembangan jemaat yang menggembirakan di tanah
Maanyan, namun salah satu tantangan terberat adalah adanya upaya untuk mengorganisir
dan menghidupkan kepercayaan Kaharingan oleh Persatuan Adat Dayak Maanyan
(PADMA). Demikian juga A.B. Hudson, yang melakukan penelitian di Maanyan Paju Epat
pada tahun 1963 1964 menyatakan bahwa Kaharingan adalah istilah umum yang dikenakan
pada kepercayaan animis di wilayah Barito.15 Sampai sekarang, penyebutan Kaharingan
untuk menunjuk agama suku orang Dayak Maanyan (Agama Dahulu) tetap berlaku.
Pengurus Majelis Agama Hindu Kaharingan menjadi lembaga yang menjadi penghubung
antara dengan pemerintah.16 Secara khusus dalam konteks Matarah, yang menjadi
penghubung adalah Pengurus Kelompok Majelis Agama Hindu Kaharingan.
13 Bdk. Marko Mahin, Kaharingan, 175
14 Bdk. Marko Mahin, Kaharingan, 171
15 Ibid, Rama Tulus, 172-173
16 Rama Tulus P, Agama Sebagai Identitas Sosial, 172-173

Agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung
kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, orang-orang Maanyan pemeluk
Agama Dahulu di Matarah dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial tertentu. Beberapa
strategi dibangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan, salah satunya adalah dengan bergabung di dalam Agama
Hindu Kaharingan. Meskipun dalam prakteknya, Agama Hindu Kaharingan di Matarah
mempunyai wajah yang berbeda dengan Agama Hindu Kaharingan secara umum.
Perbedaan itu diperlihatkan ketika pemeluk Agama Hindu Kaharingan di Matarah
tidak serta-merta mempraktekkan dan melaksanakan ritual serta mempergunakan saranaprasarana keagamaan Agama Hindu Kaharingan, melainkan ritual-ritual dan sarana-prasarana
Agama Dahulu. Tindakan tersebut pertama-tama diindikasikan dari kenyataan tidak
difungsikannya fungsi Balai Basarah sebagai tempat ibadah rutin mingguan atau tempat
berkumpul terkait kegiatan keagamaan Agama Hindu Kaharingan. Sehubungan dengan hal
itu, kedua, tidak diselenggarakannya ibadah (upacara ritual keagamaan) mingguan Agama
Hindu Kaharingan secara rutin yang umumnya disebut dengan Basarah. Ketiga, tidak
diterapkannya penggunaan Kitab Suci Agama Hindu Kaharingan, yakni Kitab Suci
Panaturan (atau buku-buku keagamaan lainnya) pada kegiatan keagamaan Agama Hindu
Kaharingan. Keempat, tidak dirayakannya perayaan hari-hari besar keagamaan Agama Hindu
Kaharingan.
Berangkat dari hal-hal tersebut, penting untuk mengungkapkan agama seperti apa
yang sesungguhnya dimiliki oleh orang Maanyan pemeluk Agama Hindu Kaharingan di
Matarah. Atau dengan kata lain, apa agama yang sesungguhnya secara sosiologis bagi
mereka. Bila saat ini orang Maanyan di Matarah memeluk Agama Hindu Kaharingan, maka
sebagai rekomendasi pemikiran penting untuk mengkritisi lebih lanjut apakah status
keberagamaan yang mereka miliki (Agama Hindu Kaharingan) hanya berfungsi sebagai
legalitas dan legitimasi politik kultural dan keagamaan? Berdasarkan latar belakang dari
permasalahan yang dipaparkan diatas, maka judul yang diajukan dalam tulisan ini adalah:
Wajah Agama Dahulu di Matarah (Eksistensi dan Dinamika Agama Lokal Dayak Maanyan
di Desa Matarah)..
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan persoalan di atas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah:
1. Bagaimana gambaran umum orang Maanyan, khususnya orang Maanyan pemeluk
Agama Dahulu di Matarah?

2. Bagaimana bentuk agama yang diyakini oleh pemeluk Agama Dahulu di Matarah?
3. Bagaimana bentuk praktek-praktek politik kultural dan keagamaan oleh pemeluk
Agama Dahulu di Matarah?
C. Tujuan Penulisan
Seturut dengan situasi problematik atau persoalan diatas, maka tujuan tulisan ini
adalah untuk mengungkapkan proses eksistensi pemeluk Agama Dahulu di Matarah sehingga
mampu bertahan. Selain itu juga menjelaskan peran agama dan para pemeluknya dalam
proses tersebut, atau mengidentifikasi agama yang diyakini secara sosiologis dan agama
secara fungsional. Secara terperinci, penulisan tulisan ini juga bertujuan untuk:
1. Memaparkan gambaran umum orang Maanyan, khususnya orang Maanyan pemeluk
Agama Dahulu di Matarah.
2. Memaparkan bentuk agama yang diyakini oleh pemeluk Agama Dahulu di Matarah.
3. Memaparkan bentuk praktek-praktek politik kultural dan keagamaan oleh pemeluk
Agama Dahulu di Matarah.
4. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata dua (S2) di Sekolah Tinggi
Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE) Banjarmasin.
D. Batasan Masalah
Locus penelitian juga memiliki keterkaitan sehubungan perlunya pembatasan masalah dalam
tulisan ini, yakni Agama Dahulu dalam konteks desa Matarah. Orang Maanyan pemeluk
Agama Dahulu di Matarah juga masuk ke dalam kelompok Maanyan Kampung Sapuluh, oleh
karena itu dalam tulisan ini juga akan dilakukan pembatasan masalah menyangkut agamabudaya Kampung Sapuluh saja.
E. Asumsi dan Hipotesa
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan asumsi sebagai hal yang dapat
diterima sebagai dasar, merupakan landasan berpikir; anggapan; dugaan; pikiran.17 Asumsi
penulis dalam tulisan ini adalah bahwa Agama Dahulu sebagai agama lokal tidak sejalan
dengan konsep agama resmi yang diakui pemerintah, oleh sebab itu Agama Dahulu
melakukkan praktek-praktek politik kultural dan keagamaan agar dapat tetap eksis.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan hipotesa sebagai sesuatu yang
dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat, meskipun kebenarannya masih perlu

17Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 53

dibuktikan; anggapan dasar, dugaan sementara.18 Hipotesa yang penulis tarik atas masalah di
atas adalah bahwa dari praktek-praktek politik kultural dan keagamaan Agama Dahulu di
Matarah menyediakan banyak pesan dalam menjalani dan memaknai eksistensi kehidupan
keagamaan di Indonesia.
F. Signifikansi Penulisan
Penulisan tulisan ini berupaya untuk memberikan manfaat praktis dan teoritis, yaitu:
1. Secara teoritis, mendorong masyarakat untuk lebih menyadari eksistensi agama yang
dianutnya.
2. Memperkaya eksplorasi dan teori tentang peranan atau fungsi agama bagi masyarakat,
dan juga demikian sebaliknya.
3. Memberikan informasi tentang bentuk lain dari wajah Agama Hindu Kaharingan dan
Agama Dahulu di Kalimantan Tengah.
4. Secara praksis, menjadi acuan bagi gereja untuk mengevaluasi perannya dalam
pengembangan eksistensi masyarakat.
5. Secara akademik tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi strata dua (S2) di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT
GKE) Banjarmasin.
G. Tinjauan Pustaka
Salah satu sumber pustaka yang terkait dengan substansi tulisan ini, khususnya terkait datadata Agama (Hindu) Kaharingan, adalah Disertasi karya Marko Mahin (2009), Kaharingan:
Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, yang berisi kajian eksistensi dan dinamika
agama Kaharingan di Kalimantan Tengah.
Selanjutnya Disertasi karya Keloso S. Ugak (2005), Mengembangkan Konsep
Anugerah untuk Membangun Teologi yang Rekonsiliatif di Dalam Masyarakat Dayak
(sebuah upaya memadukan dan mengembangkan konsep anugerah menurut perspektif bapabapa Gereja dengan konsep ipulaksanai menurut konsep budaya Dayak Maanyan), juga
merupakan salah satu sumber pustaka terkait data-data mengenai orang Maanyan dan Agama
Dahulu-nya.
Disertasi Rama Tulus Pilakoano (2010), Agama Sebagai Identitas Sosial: Studi
Sosiologis Agama Terhadap Komunitas Maanyan, juga merupakan salah satu sumber
pustaka dalam tulisan ini. Tulisan tersebut mengacu komunitas Maanyan Kristen (GKE)
18 Ibid,301

yang bernaung dalam lembaga DUSMA (Dusun Maanyan) di Kompleks DPR Gg 4


Banjarmasin, yang tetap mempraktekkan ritual-ritual nenek moyang, sekalipun beragama
Kristen. Tulisan tersebut memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan dalam tulisan ini,
sekaligus perbedaan mendasar. Persamaan tersebut terletak pada upaya pemaparan bentuk
agama yang mendasar secara sosiologis bagi orang Maanyan sekaligus bentuk lain wajah
agama resmi di Kalimantan. Sementara perbedaaan itu terletak pada konteks locus
penelitian dan konteks agama resmi yang menjadi pokok bahasan.
H. Kerangka Teoritis
Dengan menggunakan beberapa teori, khususnya teori Emile Durkheim, tentang agama dan
ritual, sehubungan Agama Dahulu (berlabel Agama Hindu Kaharingan) di Matarah. Namun
tulisan ini bukan serta-merta hendak bermaksud membandingkan dan mempertentangkan dua
(bahkan tiga) agama yang berbeda, Agama Hindu Kaharingan dan Agama Dahulu (dan atau
Agama Hindu). Namun hendak bermaksud menggali, menemukan serta memperlihatkan
dinamika dan eksistensi Agama Dahulu di Matarah dengan segala sesuatu yang
melingkupinya. Tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana politik kultural dan
keagamaan dibangun oleh para penganut Agama Dahulu (berlabel Agama Hindu Kaharingan)
ketika berhadapan dengan struktur-struktur objektif. Oleh sebab itu, selain teori tentang
agama dan ritual, dalam tulisan ini juga akan dikemukakan teori praktik yang dikembangkan
oleh Piere Bourdieu.
Teori yang digunakan adalah teori praktik sosial dari Pierre Bourdieu guna membedah
agen, arena, maupun modal. Teori ini juga membantu untuk membedah negosiasi dan
kontestasi yang dilakukan agama resmi dan agama lokal. Piere Bourdieu, secara teoritis tidak
mengabaikan agen namun juga tidak memuliakan struktur. Konsep praktik yang
dikembangkan Bourdieu menyediakan tidak hanya kerangka teori tetapi juga metode untuk
memahami kompleksitas realitas sosial. Selain itu, menyediakan penjelasan yang
komprehensif bagaimana terjadinya praktik sosial, yaitu dengan cara memberikan kerangka
teori tentang praktik sosial dan memberikan kerangka analisis tentang praktik sosial. Teori
praktik Bourdieu dipakai untuk membangun pertanyaan-pertanyaan penelitian dan mencari
kembali (re-search) makna dari tindakan, ucapan, tulisan, tafsiran dan pengetahuan para
informan mengenai Agama Dahulu.
I. Metode Penelitian

Penulisan tulisan ini tidak lepas dari upaya penelitian lapangan. Metodologi penelitian yang
digunakan dalam penulisan ini adalah metodologi kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati.19 Berbagai alat pengumpulan data dan tahapan penelitian yang
dilakukan berupaya untuk memperoleh informasi yang memadai demi menjawab persoalan
dan rincian persoalan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam konteks tulisan ini, maka
penelitian kualitatif yang dilakukan terhadap pemeluk Agama Dahulu itu berusaha untuk
mendeskripsikan berbagai aspek kehidupan orang Maanyan, khususnya yang berkenaan
dengan agama dan politik keagamaan, serta aspek-aspek lainnya yang relevan dengan tujuan
penulisan.
a. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang akan dilakukan ialah deskriptif yakni menggambarkan/melukiskan
keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.20 Dalam hal ini
bukan hanya terbatas pada pemaparan fakta dan gejala yang ditangkap dari lapangan saja,
melainkan juga menghubungkan satu dengan yang lain di dalam aspek-aspek yang diselidiki.
Dengan kata lain metode ini juga berupaya untuk menganalisa dan menginterpretasi data.21
Karena dalam penelitian ini akan berkenaan dengan pemaknaan objek dan subjek yang
berkaitan dengan masa lalu, maka dianggap perlu untuk mendeskripsikan peristiwa yang
bersifat historis. Demi pengungkapan data yang baik maka dalam hal mendeskripsikan
diupayakan untuk memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak
orang-orang itu sendiri.22 Dalam beberapa literatur penelitian, hal ini juga dikenal sebagai
pendekatan emik yang pada intinya sebuah cara untuk mendapatkan informasi menurut
pemahaman dan perspektif subyek penelitian. Dengan penentuan metode penelitian di atas
maka diharapkan akan dapat memenuhi tuntutan tugas eksplanatif dari sebuah penelitian
19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 3.
20 H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1983), 63.
21 Ibid
22 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 9, 31.

sehingga mampu untuk menghasilkan jawab atas pertanyaanapa sebabnya gejala-gejala


tersebut harus demikian.23
b. Tempat dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di desa Matarah, Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito
Timur, Kalimantan Tengah. Adapun rentang waktu penelitian lapangan dilaksanakan selama 2
bulan (Januari Februari 2017).
c. Subyek Penelitian
Mengutip Spradley, Sugiyono mengemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak
menggunakan istilah populasi, melainkan sosial situation atau situasi sosial yang terdiri atas
tiga elemen yaitu: Tempat (place), Pelaku (actors), dan Aktivitas (activity) yang berinteraksi
secara sinergis.24 Senada dengan itu, Moleong juga menekankan arti penting dari keberadaan
konteks dalam penelitian kualitatif, sehingga maksud sampling adalah untuk menjaring
sebanyaknya

informasi

dari

pelbagai

macam

sumber

dan

bangunannya

(construstions).25Penentuan informan menggunakan teknik purposive yaitu pemilihan


informan yang bertitik tolak pada penilaian pribadi peneliti yang menyatakan bahwa
informan yang dipilih benar-benar representatif atau memiliki kapasitas tertentu. 26 Selain itu
juga akan digunakan teknik snowball, yaitu sebuah teknik penentuan informan yang berawal
dari satu orang kemudian informan tersebut menunjuk beberapa informan lain, dan
seterusnya secara berantai.27
d. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka

23 Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, 34.


24 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2005), 49.
25 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 165.
26 Sugiarto dkk, Teknik Sampling, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 40.
27 Djaman Satori & Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010),
47-48.

Dengan mempelajari dan menggali informasi dari berbagai buku, jurnal-jurnal, dan juga
media massa, maka diharapkanakan menjadi titik berangkat dan memperkaya eksplorasi
tentang orang Maanyan pemeluk Agama Dahulu di Matarah, dan juga tentang dialektika
antara agama dan masyarakat. Selain itu juga akan digunakan penelitian dokumen, baik
dokumen pribadi (buku harian, surat pribadi, autobiografi) maupun dokumen resmi (risalah
rapat, memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tertentu yang
digunakan dalam kalangan sendiri).28
2. Observasi.
Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi, namun
dalam hal ini peneliti hanya melakukan satu fungsi yaitu pengamatan. 29 Dengan demikian,
observasi yang dilakukan ini mengandung pengertian bahwa si peneliti berada dalam situasi
yang dialami oleh subjek penelitian, namun si peneliti tidak ikut serta dalam kegiatan dan
peranan yang dilakukan oleh subjek penelitian.
3. Wawancara.
Untuk menunjang teknik pengumpulan data di atas (studi pustaka dan observasi/
pengamatan) pada penelitian ini juga digunakan teknik pengumpulan data melalui
wawancara. Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang bertujuan untuk
mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta
pendirian-pendirian mereka.30 Informan yang dipilih dalam wawancara ini ditentukan
kemudian berdasarkan teknik purposive. Sedangkan jenis wawancara yang akan dilakukan
dalam penelitian ini ialah wawancara mendalam dengan menggunakan teknik focused
interview, artinya tidak terpaku pada suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan dengan
tata urut tetap yang harus dipatuhi secara ketat namun berpusat pada suatu pokok tertentu. 31
Dengan demikian maka proses wawancara dapat berlangsung wajar, akrab, dan tidak kaku.

28 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 162 - 163.


29 Ibid., 126.
30 Koentjaraningrat (ed), Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1993), 129.
31Ibid., 139.

J.

Kerangka Penulisan

PENDAHULUAN
Merupakan bagian tulisan yang memaparkan Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah;
Tujuan Penulisan; Signifikansi Penulisan; dan Metode Penelitian.
BAB I : AGAMA DAHULU DALAM TEORI
Merupakan bagian Landasan Teori yang di dalamnya berisi pemaparan mengenai teori-teori
yang berhubungan dengan penelitian, khususnya teori Emile Durkheim, tentang agama dan
teori Victor Turner tentang ritual. Selain itu juga akan dipaparkan teori dalam praktek:teori
praktik yang dikembangkan oleh Piere Bourdieu, dan teori fungsional oleh Max Weber.
BAB II. AGAMA DAHULU AGAMA ORANG MAANYAN
Merupakan bagian Deskripsi Subjek Penelitian dan Hasil Penelitian yang didalamnya
memaparkan data-data hasil penelitian yang akan dikaji, yakni gambaran umum orang
Maanyan, khususnya orang Maanyan pemeluk Agama Dahulu di Matarah dan memaparkan
bentuk agama yang diyakini, oleh pemeluk Agama Dahulu di Matarah.
BAB III. AGAMA DAHULU BERWAJAH AGAMA HINDU KAHARINGAN - PRAKTEK
POLITIK KEAGAMAAN
Merupakan bagian Analisa Data pada bagian ini data-data penelitian akan dianalisis dengan
teori-teori yang telah dipaparkan, yaitu bentuk praktek-praktek politik keagamaan yang oleh
pemeluk Agama Dahulu di Matarah agar tetap eksis.
BAB IV: KESIMPULAN DAN REFLEKSI TEOLOGIS
Memaparkan kesimpulan dari hasil-hasil berbagai dinamika analisis, sehingga menjadi
beberapa tesis guna menjawab persoalan penulisan. Selain itu juga akan dikemukakan
refleksi teologis dalam kehidupan beragama, khususnya sumbangsing refleksi bagi Gereja
(GKE).
PENUTUP

Daftar Pustaka
Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, Profil
dan Kelurahan: Profil Desa Matarah Per-Pebruari 2016.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Nawawi, H. Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1983.
Koentjaraningrat (ed), Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1993.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Barito Timur, Statistik Daerah Kecamatan Dusun
Timur 2016.

Satori, Djaman, & Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta,
2010.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Tsing, Anna Lowenhaupt, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada
Masyarakat Terasing, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Jakarta: Yayasan Obor, 1998.
Disertasi:
Mahin, Marko, Kaharingan-Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, Depok:
Disertasi Doktoral Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Indonesia, 2009.
Pilakoano, Rama Tulus, Agama Sebagai Identitas Sosial: Studi Sosiologis Agama Terhadap
Komunitas Maanyan, Salatiga: Disertasi Doktoral Universitas Kristen Satya
Wancana, 2010.
Ugak, Keloso S., Developing Grace Concept in order to Built a Reconciliative Theology in
the Dayakness Community: an effort to integrate and develop grace concept on
perspective of chruchs fathers with ipulaksanai concept on prespective of Dayak
Maanyan culture) - Mengembangkan Konsep Anugerah Untuk Membangun Teologi
yang Rekonsiliatif di dalam masyarakat Dayak: Sebuah Upaya Memadukan dan
Mengembangkan Konsep Anugerah Menurut Perspektif Bapa-bapa Gereja dengan
Konsep Ipulaksanai Menurut Perspektif Budaya Dayak Maanyan. Jakarta: Disertasi
Doktoral The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), 2005.
Narasumber:
1. Nama : Rusmayati (Itak Adau)
Umur
: 61
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Desa Matarah RT.1
2. Nama
: Suntung (Amah Adau)
Umur
: 42
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Desa Matarah RT. 2
3. Nama
Umur
Agama
Pekerjaan
Alamat

: Rinto (Kakah Debora)


: 65
: Hindu Kaharingan
: Ketua Kelompok Majelis Agama Hindu Kaharingan Matarah
: Desa Matarah RT. 1

Anda mungkin juga menyukai