Anda di halaman 1dari 22

Skenario......................................................................................................................................

2
Kata Sulit....................................................................................................................................3
Pertanyaan dan Jawaban.............................................................................................................4
Hipotesis.....................................................................................................................................5
Sasaran Belajar...........................................................................................................................6
Daftar Pustaka..........................................................................................................................22

SKENARIO
LEKAS LELAH DAN PUCAT
Seorang perempuan berusia 19 tahun, datang ke praktek dokter umum dengan keluhan lekas
lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah melakukan aktivivtas ringan maupun
berat. Keluhan disertai dengan wajah yang tampak pucat.
Pada Anamnesis didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak pasien jarang makan
ikan, daging, maupun sayur. Untuk mengatasi keluhannya tersebut, pasien belum pernah
berobat. Tidak ada riwayat penyakit yang diderita pasien sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit,
temperature 36,80C, TB= 160 cm, BB= 60 Kg, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik.
Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil :


Pemeriksaan
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Leukosit
Trombosit

Kadar
10 g/dL
38%
5 x 106 l

Nilai Normal
12-14 g/dL
37-42 %
3,9 - 5,3 x 106 l

70 fL
20 pg
22%
6500/ l

82 92 fL
27 31 pg
32 36 %
5000 10.000 / l

300.000/ l

150.000 400.000/ l

KATA SULIT
1. Ikterik

:Perubahan warna kunig kulit, selaput lendir, dan bagian putih mata
yang disebabkan oleh peningkatan bilirubin.

2. Konjungtiva anemis:Kondisi dimana konjungtiva bewana putih, dan terlihat pucat.


3. Sklera
4. Hemoglobin

:Lapisan luar bola mata yang putih dan keras.


: Pigmen darah pembawa oksigen pada eritrosit

5. Hematokrit

:Jumlah sel darah merah didalam darah. Dengan melakukan


pemeriksaan hematokrit dapat diketahui hasil perbandingan eritrosit
terhadap volume dara dalam satuan persentase.

6. MCV

:Volume eritrosit rata-rata

7. MCH

:Hemoglobin eritrosit rata-rata

8. MCHC

:Konsentrasi hemoglobin rata-rata

PERTANYAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa yang menyebabkan Hb, MCH, MCHC, dan MCV menurun?


Mengapa keluhan tetap dirasakan meskipun hanya melakukan aktivitas ringan?
Apa pengaruh jarang mengkonsumsi ikan, daging dengan keluhan pasiean?
Apakah diagnosis sementara pada skenario tersebut?
Apakah ada pengaruh faktor usia dan jenis kelamin pada skenario tersebut?
Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
tersebut?
7. Apa terapi yang harus diberikan kepada pasien tersebut?
8. Apa yang menyebabkan konjungtiva menjadi anemis ?
9. Adakah faktor lain selain diet dari pasien yang dapat menyebabkan keluhan tersebut?
10. Apa saja kandungan dari sel darah merah?
11. Bagaimana proses pembentukan hemoglobin?
12. Bagaimana cara pencegahan penyakit tersebut?

JAWABAN
1. Karena kekurangan zat besi yang merupakan salah satu penyusun hemoglobin,
sehingga pasien memiliki kadar hemoglobin yang rendah.
2. Dikarenakan Hb yang rendah maka penyebaran oksigen dalam tubuh juga rendah
sehingga tubuh mudah lelah.
3. Makanan tersebut kaya akan zat besi yang dibutuhkan untuk pembentukan
hemoglobin, sehingga Hb yang rendah akan mengakibatkan mudah lelah.
4. Anemia Defisiensi Besi
5. Usia dikatakan tidak berpengaruh sedangkan jenis kelamin berpengaruh dikarenakan
pada wanita terjadi masa menstruasi.
6. - Pemeriksaan darah lengkap meliputi Hb, Ht, Eritrosit, MCV, MCH, MCHC
- Pemeriksaan Serum Feritin
- Pemeriksaan Bilirubin, Urin, Tinja.
7. Terapi suplemen Zat besi, diet tinggi zat besi.
8. Karena Hb yang rendah menyebabkan darah tidak semerah darah normal sehingga
konjungtiva yang dialiri oleh darah (Hb rendah) terlihat pucat.
9. Tidak ada, tetepai pada anemia jenis lain terdapat beberapa faktor antara lain;
Kelainan genetik, pendarahan hebat, penyakit kronik, keganasan.
10. Hemoglobin
11. Protoporfirin + fe = Heme
Heme + globin = Hemoglobin
Menatur pola makan terutama makanan yang mengandung zat besi seperti ikan,
daging, sayur.

HIPOTESA
Kekurangan asupan sat besi menyebabkan gangguan eritropoeisis yang
mengakibatkam penurunan produksi hemoglobin. Kadar hemoglobin dalam sel darah
merah yang rendah mengakibatkan anemia, degan gejala klinis yaitu ; konjungtiva
anemis, mudah lelah, serta tubuh pucat. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan uji ferritin. Pada kasus ini didapatkan pasien diet
rendah besi sehingga terjadi penurunan kadar ferritin dan di diagnosa menderita
anemia defisiensi besi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian
suplemen besi.

SASARAN BELAJAR
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoeisis
LI.1.1 Definisme
LI.1.2 Mekanisme
LI.1.3 Morfologi, sifat fisik dan kimia
LI.1.4 Kelainan Morfologi
LI. 1.5 Faktor yang mempengaruhi

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin


LI.2.1 Definisi
LI.2.2 Biosintesis
LI.2.3 Struktur
LI.2.4 Fungsi (Reaksi dengan Oksigen)
LO.3. Memahami dan Menjelaskan Anemia
LI.3.1 Definisi
LI.3.2 Klasifikasi
LO.4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi
LI.4.1 Definisi
LI.4.2 Epidemiologi
LI.4.3 Etiologi
LI.4.4 Patofisiologi
LI.4.5 Manifestasi Klinis
LI.3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
LI.3.7 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
LI.3.8 Tatalaksana (Farmako dan Nonfarmako)
LI.3.9 Pencegahan
LI.3.10 Prognosis

LO 1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoeisis


LI.1.1 Definisme
Eritropoesis adalah proses pembentukan eritrosit (sel darah merah). Pada janin dan bayi
proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
pada sumsum tulang.
LI.1.2 Mekanisme

1. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran lebih kecil dari
rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.
2. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih
kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena
asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini
dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
3. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini kecil
padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih
banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari
RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%.
4. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel,
masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini
berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan
dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Dalam darah
normal terdapat 0,5 2,5% retikulosit.
5. Eritrosit

Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter 7-8
mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi.
Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung
hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai
umurnya oleh limpa.
LI.1.3 Morfologi, sifat fisik dan kimia
1.
2.
3.
4.
5.

Sel berbentuk cakram bikonkaf


Sel yg telah melepaskan inti ( dewasa : tdk ada inti, mitokondria, RE, Golgi, ribosom)
Bersifat elastis mampu merubah bentuk
Pria : 5-5,5 juta /mm3
Wanita : 4,5-5 juta/mm3

LI.1.4 Kelainan Morfologi


A. Poikilositosis
Disebut poikilositosis apabila pada suatu sediaan apus ditemukan
bermacam-macam variasi bentuk eritrosit. Ditemukan pada:
1. Anemia yang berat disertai regenerasi aktif eritrosit atau
hemopoesis ekstrameduler
2. Eritropoesis
abnormal
(anemia
megaloblastik,
leukemia,
mielosklerosis,dll)
3. Dekstruksi eritrosit di dalam pembuluh darah (anemia hemolitik)

B. Elliptosis (Ovalosit)
Bentuk sangat bervariasi seperti oval, pensil dan cerutu dengan konsentrasi Hb umumnya
tidak menunjukkan hipokromik. Hb berkumpil pada kedua kutub sel. Ditemukan pada:

1. Elliptositosis herediter ( 90 95% eritrosit berbentuk ellips.


2. Anemia megaloblastik dan anemia hipokromik (gambaran elliptosit tidak > 10 %)
3. Elliptositosis dapat menyolok pada mielosklerosis
C. Sel Target (Mexican Het cell, bulls eye cell)
Eritrosit berbentuk tipis atau ketebalan kurang dari normal dengan bentuk
target di tengah (target like appearance). Ratio permukaan/volume sel
akan meningkat, ditemukan pada:
1. Talasemia
2. Penyakit hati kronik
3. Hb-pati
4. Pasca splenektomi
5. Anemia
LI. 1.5 Faktor yang mempengaruhi
Dalam keadaan normal eritropoiesis memerlukan 3 faktor yaitu
(1) stem sel hematopoetik,
(2) sitokin spesifik, growth factor dan hormonal regulator,
(3) hematopoietik yang mempengaruhi microenvirontment yang merupakan stroma
pendukung dan interaksi sel dengan sel yang diikuti proliferasi dan diferensiasi hematopoetik
sel stem dan mempengaruhi erythroid progenitor yang akhirnya menghasilkan sel darah
merah yang matur.
Faktor yang Berperan dalam Regulasi Eritropoesis.
Produksi eritrosit (eritropoesis) diatur oleh beberapa sitokin. Faktor pertumbuhan yang
dikenal terlibat dalam eritropoesis yaitu granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF),
interleukin (IL)-6, stem cell factor (SCF), IL-1, IL-3, IL-4, IL-9, IL-11, granulocytemacrophage (GM)-CSF, insulin growth factor-1 (IGF-1) dan EPO. EPO berperan pada tahap
lanjut perkembangan sel progenitor eritroid. EPO terutama merangsang colony forming unit
eritroid (CFU-E) untuk berproliferasi menjadi normoblas, retikulosit, dan eritrosit matur.
Target primer EPO dalam sumsum tulang adalah CFU-E. EPO bersama dengan SCF, GMCSF, IL-3, IL-4, IL-9, dan IGF-1 menyebabkan maturasi dan proliferasi dari tahap burst
forming unit eritroid (BFU-E) dan CFU-E menuju tahap normoblas dari perkembangan sel
eritroid. Selanjutnya EPO berperan pada proses apoptosis yaitu menurunkan laju kematian sel
progenitor eritroid dalam sumsum tulang. SCF, IL-1, IL-3, IL-6, dan IL-11 memberikan
rangsang yang menyebabkan diferensiasi sel induk pluripoten menjadi sel induk mieloid dan
CFU granulosit, eritroid, monosit, dan megakariosit (GEMM). Kemudian CFU-GEMM
berkembang menjadi CFU yang spesifik untuk granulosit, eritroid, monosit, megakariosit,
makrofag, dan eosinofil.

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin


LI.2.1 Definisi

10

Hemoglobin adalah pigmen pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh eritrosit yang
sedang berkembang didalam sumsum tulang; sebuah hemoprotein tersusun atas empat rantai
polipeptida globin yang berbedadan mengandung sekitar 141 hinga 146 asam amino.
(Kamus saku Dorlan)

LI.2.2 Biosintesis
Hemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah, suatu
protein yang mempunyai berat molekul 64.450. Sintesis haemoglobin dimulai dalam pro
eritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika
retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit
tetap membentuk sedikit mungkin haemoglobin selama beberapa hari berikutnya. Tahap dasar
kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang dibentuk dalam siklus
krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol
bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang kemudian bergabung dengan besi untuk
membentuk molekul heme.
Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut
globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit hemoglobulin yang disebut
rantai hemoglobin. Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang
berbeda, bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu
disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang
paling umum pada orang dewasa, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai
alfa dan dua rantai beta
I. 2 Suksinil-KoA + 2 glisin
II. 4 pirol protoporfirin IX
III. protoporfirin IX + Fe++ Heme
IV. Heme + Polipeptida Rantai hemoglobin ( atau )
V. 2 rantai + 2 rantai hemoglobin A
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera difagosit
oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel kupffer), limpa
dan sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag
akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, yang masuk kembali ke dalam
darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentu sel darah
merah baru, atau menuju hati dari jaringan lain untuk disimpan dalam bentuk faritin.
Bagian porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin
yang disekresikan hati ke dalam empedu.

11

(Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi


Kedokteran)

LI.2.3 Struktur
Sebuah hemoglobin terdiri atas empat rantai polipeptida (dua rantai
polipeptida , dan dua rantai polipeptida ) dan empat gugus hem yang
mengandung besi (Fe), yang mana dalam satu rantai polipeptida
mengikat satu gugus hem.

LI.2.4 Fungsi (Reaksi dengan Oksigen)

12

1. Mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan. Setiap satu gugus hem


dapat

mengikat

satu

molekul

O 2,

jadi

satu

hemoglobin

dapat

mengikat/mengangkut empat molekul O2.


Hb+4 O2 Hb ( O2 ) 4
Hemoglobintereduksi Oksihemoglobin
Karena

kandungan

besinya

hemoglobin

tampak

kemerahan jika

berikatan dengan O2 (oksihemoglobin) dan kebiruan jika mengalami


deoksidasi (hemoglobin tereduksi).
2. Mengangkut CO2 dari sel jaringan kembali ke paru-paru
CO2 diangkut oleh darah dengan tiga cara:
1. 10% kandungan CO2 total darah yang terangkut larut secara fisik
dalam plasma pada tingkat PCO2 vena sistemik normal.
2. 30% CO2 berikatan dengan bagian globin Hb membentuk (HbCO 2).
Hb tereduksi memiliki afinitas lebih besar terhadap CO 2 dibanding
HbO2. Karena itu, dibebaskannya O2 dari Hb di kapiler jaringan
mempermudah penyerapan CO2 oleh Hb.
3. 60% CO2 diangkut dalam darah sebagai bikarbonat(HCO3-). CO2
diubah menjadi HCO3- oleh reaksi kimia berikut:

++ H CO 3
C O2 +H 2 O H 2 C O3 H
Reaksi ini dapat terjadi sangat lambat di plasma, tetapi berlangsung
sangat cepat di dalam sel darah merah karena adanya enzim eritrosit
karbonat anhidrase yang mengatalisis (mempercepat) reaksi.

++ H CO 3
C O2 + H 2 O Karbonat anhidrase H

Selain mengangkut O2 dan CO2, hemoglobin juga dapat berikatan


dengan:
1. Bagian ion-hidrogen asam (H+) dari ion karbonat terionisasi yang
dihasilkan dari tingkat jaringan dari CO2
Hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak
mengubah pH darah.
2. Karbon monoksida (CO)

13

Gas ini dalam keadaaan normal tidak terdapat dalam darah, tetapi
jika terhirup gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang
berikatan dengan O2, menyebabkan keracunan CO.
3. Nitrat oksida (NO)
Nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin
di paru. Nitrat oksida ini dilepaskan di jaringan, tempat zat ini
melemaskan dan melebarkan arteri lokal. Vasodilatasi menjamin
darah yang kaya O2 dapat mengalir dengan lancar dan juga
membantu menstabilkan tekanan darah.

LO.3. Memahami dan Menjelaskan Anemia


LI.3.1 Definisi
Anemiasecara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massaeritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawaoksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer.
Pada anemia terjadi penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Anemia
dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan eritropoiesis, kehilangan eritrosit berlebihan,
atau defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit.
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah dari
harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41 % pada pria atau Hb <
12 g/dl dan Ht <37 % pada wanita. (Arif Mansjoer,dkk. 2001)
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1mm 3 darah
atau berkurangnya volume sel yang dipadatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml
darah. (Ngastiyah, 1997)
LI.3.2 Klasifikasi
Secara morfologi, pengklasifikasian anemia terdiri atas:
a. Anemia normositik normokrom
Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah ataudestruksi darah yang berlebih
sehingga menyebabkan Sumsum tulangharus bekerja lebih keras lagi dalam eritropoiesis.
Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran darah tepi.
Padakelas ini, ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal sertamengandung hemoglobin
dalam jumlah yang normal tetapi individumenderita anemia. Anemia ini dapat terjadi karena
hemolitik, pasca pendarahan akut, anemia aplastik, sindrom mielodisplasia, alkoholism,dan
anemia pada penyakit hati kronik.
b. Anemia makrositik normokrom

14

Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normaltetapi normokrom
karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal inidiakibatkan oleh gangguan atau
terhentinya sintesis asam nukleat DNAseperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau
asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab terjadi gangguan pada
metabolisme sel
c. Anemia mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobindalam jumlah yang
kurang dari normal. Hal ini umumnyamenggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti
pada anemiadefisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, ataugangguan
sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobinabnormal kongenital)
Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesisnya
1. Karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
1. Anemia defisiensi besi
2. Anemia defisiensi asam folat
3. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
1. Anemia aplastic
2. Anemia mieloplastic
3. Anemia pada keganasan hematologi
4. Anemia diseritropoietik
5. Anemia pada sindrom mielodisplastik
6. Anemia akibat kekurangan eritropoietin : Anemia pada gagal ginjal kronik.
2.Anemia akibat Hemoragia.
A. Anemia pasca perdarahan akut
B. Anemia akibat perdarahan kronik
3.Anemia Hemolitik
A. Intrakorpuskular
a) Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : akibat defisiensi G6PDiii.
c) Gangguan Hemoglobin (Hemoglobinopati)
Thalasemia
Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll.
B. Ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimuni
b) Anemia hemolitik mikroangiopatik,dll
4.Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks.
5.Anemia berdasarkan derajatnya:
1. Ringan sekali : Hb 10 g/dL

15

2. Ringan : Hb 8-9,9 g/dL


3. Sedang : Hb 6-7,9 g/dL
4. Berat : Hb <6 g/dL
LO.4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi
LI.4.1 Definisi
Anemia adalah menurunnya kadar hemoglobin (Hb) dibawah normal yang disebabkan faktor
seperti defisiensi besi, asam folat, B12, hemolitik, aplastik, atau penyakit sistemik kronik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalm jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah eritrosit, kuantitas
hemoglobin dan hematokrit. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan
suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesa
seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium (Price, 2002)
LI.4.2 Epidemiologi
Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi dan juga dijumpai pada anak usia sekolah
dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar
5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja 26%.
Di Jakarta selama kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia
gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia.
LI.4.3 Etiologi
1.

Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, pada saat anak-anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.

2.

Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas), besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vit.C).

3.

Kehilangan besi akibat perdarahan menahun: akibat tukak peptik, pemakaian


salisilat/NSAID, kanker lambung, kanker kolon, infeksi cacing tambang, menorrhagia
atau metrorhargia menstruasi yang berlebihan dan hematuria.

4.

Gangguan absorbs besi: gastrektomi, kolitis kronik atau tropical sprue.

LI.4.4 Patofisiologi
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini di sebut iron deplete state atau negative
iron balance. Keadaan ini di tandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi
besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila kekurangan
besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk

16

eritropoiesis berkurang hingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia
secara klinis belum terjadi, keadaan ini di sebut sebagai :iron defeifient erythropoiesis. Pada
fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau
zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding
capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan
reseptor trasferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi
pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel
mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
Cadang besi

Kadar feritin , absorbsi Fe di usus


,pengecatan Fe di SSTL (-)

iron deplete state

Cadangan Fe (-) eritropoesis


terganggu
1. Kadar zinc protophorphyrin

2. Saturasi transferin dan TIBC

3. Reseptor trasferin

iron defeifient erythropoiesis

Hb timbul anemia

hipokromik mikrositer
iron deficiency anemia
Menimbulkan Manifestasi Klinis

LI.4.5 Manifestasi Klinis


Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa pucat terutama pada
konjunctiva dan jaringan bawah kuku, badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma
anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan
kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.

17

2. Gejala khas akibat defisiensi besi


a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail) kuku
menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung
sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis, adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring.
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
f. Pica yaitu keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah
liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly: kumpulan gejala
yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3. Gejala penyakit dasar
Dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi
tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia,
parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning, seperti jerami. Pada
anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan
kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
LI.3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis
1. Anamnesis
Penting pada anamnesis untuk menanyakan hal- hal yang mengindikasikan adanya
kausa dari anemia defisiensi besi. Hal penting untuk ditanyakan misalnya:
a. Riwayat gizi
b. Anamnesis lingkungan
c. Pemakaian obat
d. Riwayat penyakit
e. Pada remaja khususnya wanita bisa ditanyakan perdarahan bulananya atau
siklus menstruasi
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang
mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek
anemia terhadap kondisi umum pasien. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk
menemukan berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma
anemic.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: didapatkan anemia hipokromik
mikroster dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai
berat. MCV , MCH, MCHC menurun. Red cell distribution width (RDW)
meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah
dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia
yang mencolok karena anemia timbul perlahan-lahan.

18

b.
c.
d.
e.

Pada apusan darah menunjukan anemia hipokromik mikrositer,


anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, dan kadang-kadang sel
target.
Kadar besi serum < 50 mg/dl, TIBC > 350 mg/dl, dan atau saturasi
transferin < 15%.
Kadar feritin serum < 20 g/dl.
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif.
Dengan pemberian ferrous sulphate 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi
lain yang setara selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin > 2
g/dl.

Diagnosis Banding
a. Anemia penyakit kronik
Anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh
gangguan metabolism besi, yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan
berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi
cadangan besi sumsum tulang masih cukup.
b. Thalasemia
Penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah
rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah merah normal.
c. Anemia sideroblastik
Anemia dengan sideroblas cincin dalam sumsum tulang.
Anemia
defisiensi besi
MCV
MCH
Besi serum
TIBC

Menurun
Menurun
Menurun
Meningkat

Anemia akibat
panyakit
kronik
Menurun / N
Menurun / N
Menurun
Menurun

Thalassemia

Anemia
sideroblastik

Saturasi transferin
Besi sumsum tulang

Menurun
Negatif

Menurun/N
Positif

Menurun
Menurun
Normal
Normal /
Meningkat
Meningkat
Positif kuat

Menurun / N
Menurun / N
Normal
Normal /
Meningkat
Meningkat
Positif dengan
ring
sideroblastik
Normal

Protoporfirin

Meningkat

Meningkat

Normal

19

eritrosit
Feritin Serum
Elektroforesis Hb

Menurun
Normal

Normal
Normal

Meningkat
Hb. A2
meningkat

Meningkat
Normal

LI.3.8 Tatalaksana (Farmako dan Nonfarmako)


A. BESI PERORAL
Sediaan yang terbaik adalah sulfas ferosus yang murah, mengandung 67 mg besi dalam tiap
tablet 200 mg dan terbaik diberikan pada keadaan perut kosong dalam dosis yang berjarak
sedikitnya 6 jam. Jika timbul efek samping misalnya mual, nyeri perut, konstipasi atau diare,
ini dapat dikurangi dengan memberikan zat besi bersama makanan atau sediaan dengan
kandungan besi yang lebih rendah seperti ferro glukonas yang mengandung besi 37 mg
pertablet 300 mg. untuk anak-anak tersedia bentuk eliksir.
Terapi besi oral harus diberikan cukup lama untuk mengoreksi anemia dan memulihkan
cadangan besi tubuh, yang biasanya berarti sedikitnya 6 bulan. Kegagalan untuk berespon
terhadap besi oral mempunyai beberapa penyebab yang mungkin , yang semuanya harus
dipertimbangkan sebelum menggunakan besi parenteral.
Kegagalan respon terhadap terapi besi peroral:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pendarahan yang berlanjut


Kegagalan makan tablet
Salah diagnosis khususnya pembawa sifat thalassemia, anemia siderolastik
Defisiensi campuran - defisiesi folat atau vitamin B12 yang menyertai
Penyebab anemia lainnya ( misalnya keganasan, peradangan)
Malabsorpsi penyakit seliak, gastritis atrofik, infeksi Helicobacter
Penggunaan sediaan lepas lambat
B. BESI PARENTERAL

Tersedia empat sediaan besi parental di Inggris. Dosis dihitung berdasarkan berat badan dan
derajat anemia.
a. Ferri hidroksida-sukrosa (Venofer ) diberikan melalui injeksi intravena atau
infus, biasanya 200 mg besi dalam tiap infusan.
b. Besi dekstran (CosmoFer) dapat diberikan sebagai injeksi intravena lambat atau
infus baik dalam dosis-dosis tunggal kecil atau sebagai infus dosis total yang
diberikan dalam satu hari.
c. Ferri karbomaltosa (Ferinject) juga diberikan melalui injeksi intravena lambat
atau infus.
d. Di negara Amerika Serikat, Ferumiksitol (Feraheme) juga dilisensikan untuk
gagal ginjal kronik.
Mungkin terdapat hipersensitivitas atau reaksi anafilaktoid sehingga besi parenteral hanya
diberikan jika terdapat kebutuhan besi yang tinggi seperti pada pendarahan sakuran cerna,
menorrhagia berat, hemodialysis kronik, dengan terapi eritropoietin, atau bile besi oral tidak

20

efektif misalnya malabsrpsi besi yang diakibatkan oleh enteropati yang diinduksi gluten atau
gastritis atrofik, atau tidak praktis seperti pada penyakit Crohn aktif.
C. Pengobatan lain
1. Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani.
2. Vitamin c: diberikan 3 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi
3. Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
a. Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman gagal jantung
b. Anemia yang sangat simptomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat mencolok.
c. Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (Packed Red Cell) untuk mengurangi bahaya
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemide
intravena.
Respon terapi
Memberi respon baik jika:
o Retikulosit naik pada minggu pertama mencapai pncak di hari ke 10 dan
normal lagi di hari ke 14
o Kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 g/dL setelah 3-4 minggu
o Hemoglobin normal setelah 4-10 minggu
Jika respon tidak baik dipikirkan:
o
o
o
o

Pasien tidak patuh, sehingga obat tidak diminum


Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit kronik lain, peradangan menahun atau pada saat yang sama ada
defisiensi asam folat

Diagnosis ADB salah jika dijumpai keadaan diatas, lakukan evaluasi kembali dan ambil
tindakan yang tepat.
LI.3.9 Pencegahan
1. Meningkatkan konsumsi Fe dari sumber alami terutama sumber hewani yang
mudah diserap. Juga perlu peningkatan konsumsi makanan yang mengandung vitamin
C dan A.
2. Pendidikan kesehatan, yaitu:
a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki.
b. Penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi
besi.

21

c. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling


sering di daerah tropis.
3. Suplementasi besi terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil
dan anak balita cara paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah yang
prevalensinya tinggi.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan cara menambah masukan besi dengan
mencampurkan senyawa besi kedalam makanan sehari-hari.
LI.3.10 Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemia hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut :
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe tidak kuat atau kadaluarsa.
d. Kausa anemia besi yang belum teratasi.
( Harper, James. L. 2014. Accessed : www.medscape.com )

DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Dorland, W.A. Newman. (2011). KAMUS SAKU KEDOKTERAN DORLAN, Ed. 31.
Jakarta : EGC.

22

Ganong, W. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22. Jakarta : EGC
Hoffbrand, AV dan Moss, PAH. 2013. Kapita Selekta Hematologi. Ed. 6. Jakarta: EGC
Murray, R. et al. 2009. Biokimia Harper., Ed. 27. Jakarta : EGC
Setiati, Siti dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. IV jilid II. Jakarta: Interna
Publishing
Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Ed. 8. Jakarta: EGC
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2439521/

Anda mungkin juga menyukai