Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari
elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari
proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau
keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di
zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran
prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap
sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada
hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria
menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat
menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Benigna
Prostat Hiperplasia di Ruang Bedah kecelakaan RSUD Blambangan
Banyuangi
2. Tujuan khusus
a) Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. A dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
b) Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
c) Mampu membuat perencanaan keperawatan pada Tn. A dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
d) Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
e) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. A dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.

C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai
penanganan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
2. Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan laporan ini ditempuh dengan metode-metode tertentu
untuk mengumpulkan data dan mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan data
dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai sumber
yang memuat materi yang terkait dengan Benigna Prostat Hiperplasia. Sumber
tersebut diperoleh melalui beberapa buku keperawatan, nicnoc ,internet, pasien
serta keluarga pasien.

BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Konsep Dasar
1.

Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum

pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral
dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Benigne prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (yuliana elin ,
2011)

2.

Etiologi
Dengan bertambahnya usia ,akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron

estrogen karena produksi testoteron menjadi estrogen pada jaringan asdiposa di


perifer .karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan lahan ,efek
perubahanya juga terjadi perlahan lahan (wim de jong )
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnyahiperplasi prostat adalah :

1.

Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen


pada usia lanjut

2.

Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu


pertumbuhan

3.

stroma kelenjar prostat.

Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang


mati.

4.

Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

3.

Patofisiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron
estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini
terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal
setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat
meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila kedaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena
detrusor gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau
pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika
sering

berkontraksi

meskipun

belum

penuh.

Apabila

vesika

menjadi

dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow

incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi.


ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus

mengejan

pada

miksi

yang

menyebabkan

peningkatan

tekanan

intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluksmenyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
4.

Manisfestasi klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu
lama

(hesitancy), harus

mengejan

(straining),

kencing

terputus-putus

(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena overflow. (Mansjoer,2000)
Berbagai tanda dan gejala dapat di bagi dalam dua kategori :obstuktif
(terjadi ketika faktor dinamika atau faktor static

mengurangi pengosongan

kandung kemih ).(yuliana elin ,2011 )


Kategori keparahan BPH berdasarkan gejala dan tanda
Keparahan penyakit Kekhasan gejala dan tanda Ringan Asimsomatik
Kecepatan urinary puncak <10 ml /s
Volume urine residual setelah pengosongan >25-50 ml Sedang Semua
tanda di atas di tambahi obstuktif penghilangan gejala dan iritatif penghilanga
gejala (tanda dari detrusor yang tidak stabil) Parah Semua yang di atas di tambah
satu atau dua lebih komplikasi BPH (SUMBER :ISO MARFAKOTERAPI 2 HAL :146 )
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
1.

Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine


sampai habis.
2.

Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine


walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3.

Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.


4.

Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin kontinen).
(Menurut wim de jong )
Derajat Colok dubur Sisa volume urine 1Penonjolan prostat ,atas atas mudah di
raba <50 l llPenonjolan prostat jelas ,batas atas mudah di capai 50-100ml lllBatas
atas prostat tidak dapat di raba >100 ml lv Batas atas prostat tidak dapat di raba
Retensi urine total
Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun
pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1.

Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

2.

a.

Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.

b.

Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.

c.

Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.

d.

Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.

e.

Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,

disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.


a.

Normal : Tidak ada sisa

b.

Grade I : sisa 0-50 cc

c.

Grade II : sisa 50-150 cc

d.

Grade III : sisa > 150 cc

e.

Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

5.

Pemeriksaan Penunjang
1.

laboratorium :meliputi ureum (bun )kreatin ,eletrololit ,tes sentivitas

2. radiologis :intravena pylografi ,BNO ,sistogram ,retograd ,usg ,ct


scaning ,cytoscopy ,foto polos abdomen .indikasi sistogram retrogras
dilakukan apabila fungsi ginjal buruk ,ultra sonografi dapat pula
menentukan volume buli buli mengukur sisa urine dan keadaan patologi
lain seperti :tumor (syamsu hidayat dan wim de jong,1997 )
3. protastektomi retro pubis .pembuatan insisi pada abdomen bawah , tetapi
kandung kemih tidak di buka .hanya di tarik dan jaringan adematos prostat
di angkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat
4. prostatektomi parineal :yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat di uang
melalui perinium
6.

Penatalaksanaan Medis
1.

Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang

diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau
Madsen Iversen 9), dilakukan watchful waiting atau observasi

yang

mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup.


Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan
gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan
watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b.
c.

Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).


Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi
frekuensi miksi).

d.

Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.

2.

Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan

adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :


a. Sisa kencing yang banyak
b.

Infeksi saluran kemih berulang

c. Batu vesika
d.

Hematuria makroskopil

e. Retensi urin berulang


f.

Penurunan fungsi ginjal


Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral

Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi
toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan,
infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila
volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu
besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan
apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor /
divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari
100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
7.

Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan


1.

Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :

a. Penghambat adrenergik alfa


Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di
uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala
timbul dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin,
atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan
tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung
tersumbat, dan lemah.
b.

Penghambat enzim 5 reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak


diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga
sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan
efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.
c. Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum
Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula,
Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum
jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja
Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu antiestrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat
proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi,
dan menurunkan tonus leher vesika.(Sjamsuhidajat, 2004)

Asuhan Keperawatan BPH


( Benigna Prostat Hiperplasia )
A. pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :

a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat.
Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki laki berusia lebih dari 50 tahun dan
biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b.

Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri
yang berhubungan dengan spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama
perlu diperhatikan faktor yang

mempergawat atau meringankan

nyeri

( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan /


intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
c.

Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari
Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi,
terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan
disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama
kali atau berulang.
d.

Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan


penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM,
Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat
memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12,
29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan
terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti :
Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
f.

Riwayat psikososial

Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan
interaksi pasca tindakan TURP.
g.

Pola pola fungsi kesehatan

1)

Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24


jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli buli memerlukan
penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2)

Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus .
3)

Pola eliminasi

Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat
terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat
terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
4)

Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
5)

Pola tidur dan istirahat


Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi
pola tidur dan istirahat.

6)

Pola kognitif perseptual


Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan pasca TURP.

7)

Pola persepsi dan konsep diri


Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan
dan komplikasi pasca TURP.

8)

Pola hubungan dan peran


Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat
kerja dan masyarakat.

9)

Pola reproduksi seksual


Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd
( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).

10) Pola penanggulangan stress


Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan
dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan
mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan
ibadahnya .
h.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan didasarkan pada sistem sistem tubuh antara lain :


1)

Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila
terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi
harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval
monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20

2)

Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal
atau servikal (Oswari, 1989 : 40).

3)

Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek
Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus,
irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.

4)

Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati
rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).

5)

Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 :
40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .

6)

Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .
Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi
urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika

dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual
urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan
selama 6 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7)

Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan
kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

i.

Pemeriksaan penunjang
1) laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu
diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila
terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum
kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi
kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa
bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa
kultur urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 :
21 ).

B.

Diagnosa keperawatan
1.

Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli : reflek

spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2.

Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah

berlebihan .
3.

Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan

irigasi (TURP).
4.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli buli.

5.

Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan

anastesi .( Marilynn, E.D, 2000 : 683 )

BAB III
Tinjauan Kasus
A. Tinjauan Kasus
Tanggal Pengkajian

: 12.30 WIB
Nama Mahasiswa

iqlimatus jannah

A. PENGKAJIAN
1.

Identitas
a. Klien
Inisial Klien : Tn. A
Umur

: 60Tahun

Suku/Bangsa : jawa timur /Indonesia


Agama

: Islam

01 agustus 2016

Pukul

Pekerjaan :

pegawai Swasta

Pendidikan : Smp
Alamat

: serang kalipuro banyuangi

Dalam keadaan darurat ,dapat menghubungi


nama

: Tn. S

Umur

: 37Tahun

Suku/Bangsa : jawa timur /Indonesia


Agama

: Islam

Pekerjaan : buruh
Pendidikan : Smp
Alamat

: serang kalipuro banyuangi

Tanggal Masuk RS

: 01 agustus 2016

Diagnosa Medis

: Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )

No. MR
2.

: 145220

Riwayat Perawatan
a.

Keluhan Utama MRS:


keluarga pasien mengatakan ,pasien mengalami kesulitan untuk BAK
sejak 1 mingu, dan mengalami ambeyen serta demam sebelum masuk
Rumah Sakit.

b. keluhan saat pengkajian :


keluarga pasien mengatakan pasien masih mengalami kesulitan untuk
BAK dan pasien sering muntah muntah
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien memiliki riwayat penyakit ginjal dan hipertensi sejak 1tahun
yang lalu. Pasien pernah berobat ke rumah sakit islami
3.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan tidak mampu BAK sejak 1 minggu sebelum
masuk Rumah Sakit. Pada awalnya pasien mengeluh susah BAK, disertai
nyeri pada perut dan tidak mampu duduk serta ambeyen . Pasien juga
terkadang demam. Pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dipasang selang
kateter agar BAK lancar.

4.

Riwayat Kesehatan Keluarga


Pasien menyatakan orang tua

perempuan dan istrinya

memilki penyakit

hipertensi
Genogram Keluarga

5. Riwayat psikososial
a)

Aspek psikologis
Keluarganya mengatakan semenjak sakit ,pasien sering tersedu .khal ini
membuat keluarganya khawatir dan cemas dengan kondisi pasien yang
selalu mengejan ingin miksi tapi tidak tuntas

b) Aspek social
keluarganya mengatakan pasien selalu berbaur dengan lingkungan sekitar
c) Aspek spiritual
keluarganya mengatakan pasien beragama islam dan saat sakit pasien
tidak bias mengerjakan sholat dan hanya bias berdoa dan berdzikir
6. Riwayat pola kehidupan sehari hari
1) Pola nutrisi
Sebelum sakit
Keluarganya mengatakan ,pasien makan 3-4x sehari
Saat sakit

Makananya pasien berkurang menjadi 2x xsehari ,walaupun


di kasi nasi gizi dari rumah sakit tapi pasien tidak mau makan
karena mual dan muntah
2) Pola eliminasi
Sebelum sakit
Pasien mengatakan BAK dalam sehari 5-6x perhari
Pasien mengatakan BAB dalam sehari maksimal 3x perhari
Saat sakit
Pasien mengatakan BAK 1-2 x/hari dan Pasien selamadi rawat di
rumah sakit tidak BAB sama sekali
3) Pola kebersihan diri
Sebelum sakit
Pasien mengatakan kebiasaan mandi 3-4x /hari
Saat sakit
Pasien mengatakan Selama sakit dan di rawat di rumah sakit
hanya di seka pada pagi hari
4) Pola aktivitas
Sebelum sakit
Keluarga mengatakan pasien Sebelum sakit, bekerja di toko dan di
sawah
Saat sakit
Keluarga mengatakan pasien lebih sering tidur / berbaring selama
sakit dan sekali duduk ketika mau makan dan tidur
5) Pola istirahat
Sebelum sakit
Tidur siang :3 jam dari pukul 13.00-16.00 wib
Tidur malam :8 jam dari pukul21.00-05.00 wib
Saat sakit
pasien tidak menentu tidurnya kadang siang 2 jam kalau malam sering
terbangun
8.

Observasi dan Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum
Pasien tampak lemah. ,komunikasi baik, terpasang infus di lengan kanan.
Terpasang selang kateter.
kesadaran :komposmentis
.

Tanda Tanda Vital


S

:36,3 C

:100 x/menit

TD : 130/100mmHg
RR
b.

: 24x/menit

Pemeriksaan khusus
1)

kepala
inspeksi
bentuk simetris ,warna rambut putih ,penyebaran rambut tidak merata
palpasi
tidak ada benjolan ,tidak ada lesi ,tidak ada nyeri tekan

2) mata
inspeksi
kedua mata simetris ,palpebra tidak edema .pubil normal

palpasi

fungsi penglihatan cukup baik ,terdapat nyeri tekan


3)

hidung

inspeksi

tidak ada secret ,lubang hidung simetris ,tidak ada pernapasan cuping
hidung ,

palpasi

tidak ada edema ,tidak ada nyeri tekan


4)

telinga

inspeksi :
tidak ada serumen ,tidaka ada lesi

palpasi

tidak ada nyeri tekan .tidak ada benjolan ,tidak ada lesi ,fungsi
pendengaran kurang jelas
5)

mulut

inspeksi

mukosa bibir kering ,tidak ada lesi ,tidak ada stomatis

palpasi

tidak ada benjolan tidak ada nyeri tekan


6)

lidah

inspeksi

lidah sedikit kotor , tidak stomatis ,fungsi pengecap kurang baik


7)

leher dn tenggorokan

inspeksi
tidak tampak pembesaran tyroid ,tidak ada lesi

palpasi
tidak ada nyeri tekan

8)

pemeriksaan dada Thorax

Inspeksi

: Simetris, tidak ada benjolan dan luka

Palpasi

: Tidak ada nyeri tekan pada dada

Perkusi

: Suara paru sonor,

Auskultasi : terdapat suara whezing

9)

Abdomen
Inspeksi

: Bentuk perut datar

Auskultasi : Bising usus 19x / menit


Perkusi

: Suara hipertimpani

Palpasi

: Tidak ada pembesaran hepar

10) .

Ekstermitas

- Atas

: Jari lengkap, terpasang infus RL pada tangan kanan, tidak

odem
- Bawah
9

: Jari lengkap, tidak odem

Pemeriksaan penunjang
-

HB

: 11,56

10

Leukosit

Trombosit : 154.000

golongan darah

Terapi
Infus RL 300cc
A5 600 cc
Volly catheter

: 6100
:B

Anda mungkin juga menyukai