Anda di halaman 1dari 11

KEBIJAKAN SOSIAL

KEBIJAKAN TERHADAP KAUM DISABILITAS DI


INDONESIA

Disusun Oleh :
KUSWATI LESTARI
07021181419027
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Alfitri

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Disabilitas memiliki arti cacat atau terdapat kelainan pada seseorang yang tidak dimiliki
oleh orang pada umunya. Jenis-jenis disabilitas yaitu disabilitas fisik, disabilitas mental,
sensorik, disabilitas intelektual dan disabilitas perkembangan. Disabilitas bisa terjadi pada
semua orang selama hidup atau sejak seseorang dilahirkan. Disabilitas atau biasa disebut
penyandang cacat sering dikucilkan dan dianggap rendah oleh sebagian masyarakat. Keberadaan
disabilitas sering dianggap sebagai sebuah aib, sumber permasalahan hingga sebuah kutukan
dari suatu dosa yang telah dilakukan. Hal ini yang menyebabkan kaum difabel dijauhkan dan
tidak diperdulikan oleh masyarakat pada umunya.
Diskriminasi terhadap penyandang cacat pun sering terjadi yang berakibat akan
memperburuk keadaan suatu kaum difabel. Seiring perkembangan zaman, kepedulian kepada
kaum difabel mulai bermunculan. Masyarakat mulai sadar bahwa kaum difabel merupakan
orang yang tidak mampu dan perlu mendapatkan bantuan baik secara fisik maupun psikis. Kaum
difabel merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban sama halnya
seperti masyarakat pada umunya. Secara jelas pemerintah sudah mengatur UU tentang
perlindungan terhadap kaum difabel yang tertuang dalam UUD 1945, No.4 Tahun 1997 Tentang
penyandang cacat, UU No.28Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, dan lainnya. Dengan
adanya payung hukum tersebut kaum difabel dapat turut berpartisipasi dan mengembangkan
potensi dalam bidang pendidikan, pekerjaan, kesahatan, kesejahteraan social dan bidang lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, terdapat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Dasar hukum apa yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas?
2. Bagaimana kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak-hak para
penyandang disabilitas?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui dasar hukum yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas.
2. Menganalisis kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak-hak
para penyandang disabilitas.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Disabilitas
Menurut WHO, disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu
aktifitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi
kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau
fungsi anatomis. Disabilitas adalah ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan
tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment
(kehilangan atau ketidakmampuan) yang berhubungan dengan usia dan masyarakat (Glosarium
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial 2009). Dahulu istilah disabilitas dikenal dengan sebutan
penyandang cacat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai HakHak Penyandang Disabilitas) tidak lagi menggunakan istilah penyandang cacat, diganti dengan
penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, dimana ketika ia berhadapan dengan
berbagai hambatan, hal ini dapat menyulitkannya untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam
masyarakat berdasarkan kesamaan hak.
Istilah difabel pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh beberapa aktivis di Yogyakarta, salah
satunya adalah almarhum Dr. Mansour fakih (Ambulangsih, 2007; Priyadi 2006; Annisa 2005).
Penggunaan kata difabel merupakan pengindonesiaan dari difabled people yang merupakan
kependekan dari different ability people atau yang dapat diartikan dengan seseorang dengan
kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan dengan istilah disable, disable sendiri bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kecacatan, dan penggunaan istilah
kecacatan memiliki transisi perubahan yang cukup signifikan sesuai dengan persepsi dan
penerimaan masyarakat secara luas.
Di dunia internasional, istilah disability mengalami perubahan, antara lain:cripple,
handicapped, impairement, yang kemudian lebih sering digunakan istilah people with disability
atau disabled people. People with disability kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi penyandang cacat yang pada awalnya menggunakan istilah penderita cacat. Istilah
penderita cacat sangat berkesan diskriminatif karena memandang seseorang memiliki salah satu
jenis penyakit atau lebih yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang.
Perubahan penggunaan istilah penderita cacat menjadi penyandang cacat mulai dikenalkan
pada penetapan UU No. 4 tahun 1997, yang menempatkan posisi penyandang cacat dengan
cenderung menghaluskan istilah tersebut. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis
dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak

adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka
(Priyadi 2006 ; Annisa 2005).
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, pengertian penyandang cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatanbaginya untuk melakukan secara selayaknya. ( Pasal 1 ).
Penyandang cacat dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 ini dikategorikan menjadi 3 ( tiga ) jenis
penyandang cacat, antara lain penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang
cacat fisik dan mental. Demikian pula pengertian penyandang cacat yang dijelaskan dalam Pasal
1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998. Ada beberapa penggolongan pada orang cacat
berikut merupakan jenis atau klasifikasi dari cacat yaitu :
1. Cacat Fisik, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami anggota fisik yang
kurang lengkap seperti amputasi, cacat tulang, cacat sendi otot, lungkai, lengan, dan
lumpuh.
2. Cacat Mata, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami keterbatasan dalam
penglihan atau kurang awas.
3. Cacat Rungu Wicara, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami
keterbatasan dalam mendengar atau memahami apa yang dikatakan oleh orang lain
dengan jarak lebih dari 1 meter tanpa alat bantu, lainnya tidak dapatberbicara sama
sekali atau bicara kurang jelas, dan mengalami hambatan atau kesulitan untuk
berkomunikasi dengan orang lain
4. Cacat Mental Eks-psilotik, yang didefinisikan seperti ekspenderita penyakit gila,
kadang-kadang masih memiliki kelainan tingkah laku, sering mengganggu orang lain
biasanya orang orang yang menderita cacat jenis ini mengalami kesusahan dalam
bersosial dan ada juga yang mengalami kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga
biasanya orang orang yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawsan yang lebih
dibandingkan dengan orang orangyang mengalami cacat fisik.
5. Cacat Mental Retardasi yang didefinisikan seperti idiot/ kemampuan mental dan
tingkah lakunya sama seperti dengan anak normal berusia 2 tahun dan biasanya
wajahnya dungu, embisil/kemampuan mental dan tingkah lakunyaseperti anak usia 3
7 tahun , debil/kemampuan mental dan tingkah lakunya sama seperti anak usia 8
12 tahun. Selain itu biasanya pada cacat jenis ini, orang orang yang menderita cacat
jenis ini mengalami kesusahan dalam bersosial dan ada juga yang mengalami
kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga biasanya orang orang yang
mengalami cacat jenis ini perlu pengawasan yang lebih dibandingkan dengan orang
orang yang mengalami cacat fisik.
2.2 Hak-Hak Penyandang Cacat dan Hak-Hak Pekerja Penyandang Cacat
Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi meningkatkan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan (Pasal 2 UUNo.39 tahun 1999 tentang HAM). Hak
dihubungkan dengan perlindungan hukum tidak terlepas dari apa yang dimaksud dengan legal

right, dimana hak yang berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan
dilindungi oleh hukum. Sebagai akibat adanya kaitan bahwa hak yang berdasarkan hukum
merupakan suatu hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum, di Indonesia hal itu berkaitan
dengan sistem hukum civil law, seperti yang diungkapkan oleh Worthington bahwa di Negara
dengan sistem hukum civil law, hak dalam hukum ini ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan hukum bagi hak-hak yang
dimilikinya tanpa diskriminasi.
Indonesia saat ini sedang memproses ratifikasi konvensi dimaksud dan sekarang draf
sudah berada di Kementarian Luar Negeri untuk diajukan ke DPR utuk proses penetapannya.
Konvensi internasional berdasarkan resolusi PBB Nomor. 61/1061 tanggal 13 Desember
2006 ini mempunyai beberapa prinsip, prinsip-prinsip dari Convention on the Rights of
Persons with Disabilities adalah:
1. Menghormati martabat yang melekat pada setiap individu termasuk kebebasan untuk
menentukan pilihannya sendiri.
2. Non-Diskriminasi
3. Secara penuh dan efektif berpartisipasi dan ikut serta dalam masyarakat
4. Menghargai perbedaan dan penerimaan para penyandang cacat sebagai bagian dari
keragaman manusia dan kemanusiaan
5. Persamaan kesempatan
6. Aksesibilitas
7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
8. Penghormatan terhadap kapasitas berkembang anak-anak penyandang cacat dan
menghormati hak anak-anak penyandang cacat untuk mempertahankan identitas
mereka.
Guna tercapainya aksesibilitas yang telah diatur dalam konvensi ini, negara-negara
peserta mengambil langkah berupa:
1. Mengembangkan, menyebarluaskan dan memantau pelaksanaan standar minimum
dan panduan untuk aksesibilitas fasilitas dan layanan yang terbuka atau yang
disediakan untuk umum
2. Memastikan bahwa fasilitas dan layanan yang terbuka atau yang disediakan untuk
umum yang ditawarkan oleh pihak swasta telah memperhitungkan semua aspek bagi
aksesibilitas bagi para difabel
3. Memberikan pelatihan kepada pemegang kepentingan pada isu aksesibilitas yang
dihadapi oleh difabel
4. Menyediakan huruf braile dan braile signage pada bangunan dan fasilitas lain yang
terbuka untuk umum
5. Memberikan bantuan hidup dan perantara, termasuk panduan, pembaca dan juru
bahasa isyarat professional, untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan dan
fasilitas lain yang terbuka untuk umum
6. Mempromosikan bentuk-bentuk lain yang sesuai bantuan dan dukungan bagi para
difabel untuk menjamin akses mereka terhadap informasi

7. Mempromosikan akses bagi para difabel terhadap informasi baru dan sistem teknologi
komunikasi termasuk internet
8. Menggalakkan desain, pengembangan, produksi dan distribusi informasi dan
komunikasi dapat diakses dengan teknologi dan system pada tahap awal, sehingga
teknologi dan system ini dapat dicapai dengan biaya minimum.
2.3 Fasilitas umum bagi penyandang disabilitas
1. Pelayanan pendidikan
A. Pendidikan Inklusi
Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para difabel dan
masyarakat pada umumnya. Sekolah Inklusi memberikan peluang bagi siswa dengan
setiap perbedaannya untuk dapat berhasil dalam belajar di sekolah reguler (umum).
Sehingga sekolah inklusi mensyaratkan adanya keterbukaan, keadilan, tanpa diskriminasi,
ramah dan terbuka dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul
perbedaan yang ada pada siswa / anak berkebutuhan khusus (ABK).
B. Sekolah Luar Biasa (SLB)
Beberapa hal yang ditekankan dalam penyelenggaraan SLB sebagai lembaga
pendidikan Indonesia adalah: (a) Tunanetra: membaca dan menulis braille, orientasi
mobilitas, (b) Tunarungu: Bina Bicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama, (c) Tunagrahita:
Binadiri, Sensomotor, (d) Tunadaksa : Bina gerak, sensomotor, Behaviour Terapi, (e)
Umum: Play terapi, Music Terapi, Physioterapi, Hidroterapi, dan Occupational terapi.
2. Pelayanan Sosial dan Ketenagakerjaan
A. Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial
Ada beberapa kegiatan rehabilitasi dan pelayanan sosial yang dilakukan. Pertama,
kursus sulam. Kedua, Program Pemberdayaan Keluarga Difabel. Ketiga, Program
bantuan pemberian alat bantu bagi kaum difabel. Keempat, Program santunan jaminan
hidup dari Kementerian Sosial. Kelima, Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca
(Difabel).
B. Pengembangan dan Penyaluran Kerja
Dalam bidang pengembangan tenaga kerja ini, Dinas Sosial membantu dalam
menyalurkan kaum difabel dalam mencari kerja. Dalam Undang undang dan Peraturan
Pemerintah, termasuk Perda No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan HakHak Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa perusahaan yang mempunyai 100 pekerja,
maka harus memasukkan 1 ( satu ) kaum difabel untuk dipekerjakan pada perusahaan

tersebut. Namun perusahaan juga mempunyai kriteria dalam memasukkan kaum difabel
tersebut dan ini bersifat tidak memaksa.
Dinas Sosial memberikan penghargaan kepada perusahaan yang menempatkan kaum
difabel di perusahaannya dalam bentuk pemberian gaji sebesar 25% dari gaji yang
diberikan oleh perusahaan tersebut selama 1 (satu) tahun dan memberikan jaminan
Jamsostek.
2.4 Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia
Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar
2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar
di bawah ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009
yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah
memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003
dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.
Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012. Sumber: BPS

Berdasarkan data Susenas tahun 2012 penyandang disabilitas terbanyak adalah


penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,97%, diikuti
keterbatasan melihat, dan berjalan atau naik tangga seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 6. Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia>15 Tahun Menurut Tipe Daerah
Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2007 dan 2013

Gambar 7. Persentase Penyandang Disabilitas Menurut Provinsi


Berdasarkan Data Susenas Tahun 2012

Prevalensi penyandang disabilitas di Indonesia:


a. Susenas tahun 2012:
o Penyandang disabilitas sebesar 2,45%.
o Sebesar 39,97% penyandang disabilitas mengalami lebih dari satu jenis
keterbatasan, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan/naik tangga.
b. Sensus Penduduk tahun 2010: pada penduduk usia >10 tahun

2
3

o Mengalami kesulitan sebesar 4,74%.


o Jenis kesulitan tertinggi adalah kesulitan melihat, yaitu 3,05% sedangkan yang
lain di kisaran 1-2%.
o Kesulitan yang parah banyak terjadi pada kemampuan berjalan atau naik tangga
dan diikuti mengingat atau konsentrasi.
c. Riskesdas: pada penduduk usia 15 tahun, dalam kondisi 1 bulan terakhir. Riskesdas
tahun 2007:
o Disabilitas dengan kriteria sangat bermasalah sebesar 1,8%.
o Disabilitas dengan kriteria bermasalah sebesar 19,5%.
o Persentase tertinggi adalah bermasalah dalam melihat jarak jauh, kesulitan
berjalan jauh dan melihat jarak dekat.
Riskesdas tahun 2013:
o Disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 11%.
o Persentase tertinggi adalah bermasalah dalam berjalan jauh dan berdiri lama.
Kemampuan melihat yang merupakan masalah yang tertinggi dalam Riskesdas
tahun 2007 tidak dinilai khusus sehingga tidak bisa dibandingkan.
Provinsi dengan persentase penyandang disabilitas tertinggi dan terendah:
a. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 tertinggi adalah Bengkulu sebesar 3,96% dan
terendah Papua sebesar 1,05%.
b. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 tertinggi adalah di Sulawesi Tengah sebesar
23,8% dan terendah Papua Barat sebesar 4,6%.
Rerata skor disabilitas (mencerminkan derajat disabilitas) tertinggi di Provinsi Gorontalo
dan tertinggi di DI Yogyakarta.
Prevalensi dan rerata skor disabilitas cenderung lebih tinggi pada penduduk yang
bertempat tinggal di perdesaan, pada kelompok usia yang lebih tinggi, perempuan, tingkat
pendidikan rendah, tidak bekerja, atau bekerja sebagai petani/buruh nelayan, dan indeks
kepemilikan terbawah. Hanya 37,85% penyandang disabilitas yang bekerja, dan di antara
penyandang disabilitas yang bekerja tersebut, sebesar 51% bekerja di bidang pertanian.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil analisis dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Disabilitas
psikososial lebih banyak terjadi di perdesaan dari pada perkotaan, lebih banyak pada wanita
dibanding laki-laki, lebih banyak terjadi pada responden yang tidak bekerja, ada kecenderungan
meningkatnya kejadian disabilitas psikososial seiring dengan meningkatnya umur, ada
kecenderungan menurun kejadiannya seiring dengan meningkatnya kuintil tingkat pengeluaran
per kapita per bulan dan pendidikan.
3.2 Saran
Dari hasil analisis di atas, maka ada beberapa saran yang yang perlu diperhatikan dan
ditindaklanjuti, antara lain adalah:
1. Tingginya disabilitas psikologis maupun sosial di perdesaan, maka pelayanan
kesehatan perlu memikirkan cara untuk memberikan edukasi dan mensosialisasikan
pada masyarakat perdesaan dalam meminimalkan disabilitas yang terjadi.
2. Dikembangkan bentuk promosi kesehatan ke masyarakat tentang akibat gangguan
kesehatan berjangka panjang serta faktor risikonya dari sudut pandang
psikososioekonomi agar pola pikir masyarakat berubah dalam memandang suatu
penyakit berdampak jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Harrisons (2005).Principal of Internal Medicine, sixteenth edition: Manual of Medicine.


McGraw-Hill Companies. Inc North America
Global Initiative for Asthma, Global Strategy for Asthmja management and prevention, National
Institutes of Healt, national Heart, Lung Blood and Institute, revised 2002
Martanti M (2001). Hubungan Antara Kematangan Emosi dan Persepsi Terhadap Dukungan
Anak dengan Penyesuaian Diri dari Penderita Pasca Stroke.Skripsi.Universitas
Airlangga Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai