Anda di halaman 1dari 17

Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013

PENGEMBANGAN PRODUKSI SORGUM DI INDONESIA


Herman Subagio dan Muh. Aqil
Balai Penelitian Tanaman Serealia

ABSTRAK
Sorgum merupakan salah satu komoditas potensial yang dapat dikembangkan mendukung
program diversifikasi pangan dan energi di Indonesia. Sebagai sumber pangan, sorgum
mempunyai beragam zat antioksidan, mineral, protein dan serat penting. Sebagai sumber
bioenergi, sorgum mempunyai potensi untuk mensubtitusi kebutuhan bahan bakar fosil serta
industri tambang. Tingginya permintaan di tingkat global juga merupakan potensi bagi Indonesia
untuk mengisi kebutuhan bioenergi dunia. Saat ini telah tersedia 11 varietas sorgum dengan
daya hasil cukup tinggi, berumur genjah serta daya adaptasi yang luas. Calon varietas sorgum
manis juga telah tersedia dalam upaya mendukung pengembangan bioindustri di Indonesia.
Optimalisasi pengembangan produksi sorgum harus terintegrasi mulai dari hulu sampai
pengembangan industri hilir yang siap menampung hasil panen. Pengembangan sorgum dalam
skala besar akan menimbulkan terjadinya kompetisi penggunaan lahan dengan komoditas lain,
sehingga dapat diarahkan pada lahan marjinal serta lahan non produktif yang banyak tersebar
di wilayah tengah dan timur Indonesia. Selain itu, kemampuan subsistem produksi benih (balaibalai benih dan penangkar) perlu diberdayakan melalui pembuatan program yang terarah untuk
produksi dan pendistribusian benih di lapangan. Dalam hal perakitan varietas perlu
memanfaatkan sebanyak mungkin sumberdaya genetik lokal, digabungkan dan diseleksi secara
terarah untuk taret-target lingkungan tertentu.
Kata kunci: sorgum, pangan, bioetanol, potensi pengembangan

PENDAHULUAN
Dalam roadmap pengembangan dan penyediaan pangan nasional, komoditas
sorgum jarang diungkapkan secara eksplisit sebagai bagian integral dari pangan pokok
nasional. Pernyataan resmi sorgum dipakai sebagai bahan pangan pendukung hanya
dijumpai dalam jumlah terbatas di Kabupaten Rote Ndao dan Sumba, Nusa Tenggara
Timur (Diperta NTT 2012). Fakta lapangan menunjukkan bahwa walaupun tanaman
sorgum sudah lama dikenal oleh petani, namun masih diusahakan secara asalan
karena dipandang sebagai tanaman klas rendah. Perkembangan luas tanam sorgum di
Indonesia juga memperlihatkan kecenderungan (trend) penurunan dari waktu ke
waktu. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 1990 menunjukkan luas
tanam sorgum di Indonesia di atas 18.000 ha. Tahun 2011 luas tanam
menurun menjadi 7.695 ha (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2012).
199

sorgum

Sebagai komoditas tanaman pangan, pengembangan sorgum di Indonesia


masih menghadapi sejumlah kendala baik teknis maupun sosial ekonomi. Selain itu,
pemerintah juga belum menempatkan sorgum sebagai prioritas dalam program
perluasan areal tanam dengan alasan sorgum bukan kebutuhan pokok, sehingga
perluasan sorgum tidak masuk dalam rencana strategis dan belum ada anggaran
khusus (Direktorat Serealia 2013). Di Amerika Serikat, sorgum justru menjadi sumber
pemenuhan pangan nomor tiga, sementara di tingkat global menjadi tanaman penting
kelima setelah gandum, padi, jagung dan barley. Sorgum juga telah menjadi sumber
energy, protein, vitamin dan mineral utama bagi penduduk Asia dan Afrika selama lebih
dari satu abad. Negara eksportir utama sorgum adalah Amerika Serikat, Australia dan
Argentina (Wikipedia 2010). Peningkatan citra sorgum di Indonesia dapat dilakukan
melalui eksplorasi potensi sorgum baik untuk pangan, pakan ternak maupun industri
bioetanol sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi lebih beasar bagi masyarakat.
Pemanfaatan sorgum baik sebagai sumber pangan, pakan maupun industri
telah banyak dilaporkan. Sebagai bahan pangan, sorgum memiliki kandungan nutrisi
yang tinggi, bahkan kadar proteinnya lebih tinggi daripada beras. Sorgum memiliki
kadar protein 11%, lebih tinggi dibandingkan beras yang hanya mencapai 6,8%.
Kandungan nutrisi mikro lain yang dimiliki oleh sorgum adalah kalium, besi, fosfor,
serta vitamin B. Sebagai pakan ternak, biji sorgum digunakan untuk bahan campuran
ransum pakan unggas, sedangkan batang dan daun banyak digunakan untuk ternak
ruminansia (Rismunandar 1989). Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak
bersifat suplementer (subtitusi) terhadap jagung karena kandungan nutrisinya tidak
berbeda dengan jagung. Sebagai bahan baku industri, biji sorgum mempunyai potensi
untuk dijadikan bahan baku industri bir, pati, gula cair, serta etanol. Jenis sorgum yang
batangnya mengandung kadar gula yang tinggi disebut sorgum manis (sweet
sorghum).
Seiring dengan terjadinya krisis energy sebagai akibat berkurangnya cadangan
bahan bakar minyak maka peluang pemanfaatan bioenergi semakin besar. Sorgum
adalah salah satu sumber energy terbarukan yang mempunyai potensi untuk
mensubtitusi kebutuhan bahan bakar dunia. Peningkatan perhatian terhadap sorgum
manis bukan hanya terjadi di negara maju tetapi juga negara berkembang termasuk
Indonesia. Barbanti et al. (2006) mengemukakan bahwa penggunaan biofuel yang
diekstraksi dari juice dan bagas sorgum manis akan dapat membantu pemenuhan
kebutuhan energi dunia. Sorgum manis dicirikan oleh kandungan gula yang tinggi,
khususnya fraksi fruktosa, sukrosa dan glukosa yang dapat diolah menjadi etanol.

Selain itu, biomas sorgum manis juga dapat digunakan sebagai bahan baku fiber,
kertas, sirup dan makanan ternak (Steduto et al. 1997).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengembangan
produksi sorgum di Indonesia. Makalah berisi tentang kemajuan penelitian dan
pengembangan sorgum, wilayah sasaran untuk pengembangan, ketersediaan benih
sumber

untuk

mendukung

pengembangan

sorgum,

serta

optimalisasi

peran

pemerintah dan swasta dalam pengembangan sorgum.

KEMAJUAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SORGUM DI INDONESIA


(a) Perakitan Varietas Unggul
Program penelitian dan pengembangan sorgum sebelum tahun 1980 dan pada
periode

1980-1990

dikoordinir

secara

nasional

oleh

Pusat

Penelitian

dan

Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) dengan melibatkan beberapa Balai


Penelitian Tanaman Pangan (Balittan). Titik berat kegiatan pemuliaan pada periode
tersebut adalah pembentukan varietas komposit melalui uji adaptasi galur-galur
introduksi dari luar negeri. Program pemuliaan dan introduksi sorgum secara global di
koordinir oleh ICRISAT dengan melibatkan sejumlah negara seperti Amerika Serikat,
India, Filipina, Thailand, termasuk Indonesia.
Pada

era

1970-an

program

pengembangan

sorgum

diarahkan

untuk

pemenuhan sumber karbohidrat potensial untuk memenuhi kebutuhan pangan di


Indonesia. Varietas yang dilepas pada periode tersebut adalah No.6C, UPCA-S2 dan
KD4 (Puslitbangtan 2009). Pada era 1980-an, program pemuliaan sorgum masih
diarahkan untuk pemenuhan sumber karbohidrat potensial sehingga seleksi varietas
lebih banyak ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan (Mudjisihono dan
Damardjati, 1985). Kriteria seleksi meliputi umur tanaman yang genjah (70-80 hari),
penampilan tanaman tidak terlalu tinggi (100-140 cm), kandungan protein diatas 10%
serta kandungan tannin dibawah 0,2%. Pada periode 1980-1990 dilepas empat
varietas masing-masing Keris, UPCA-S1, Badik dan Hegari Genjah. Keempat varietas
tersebut mempunyai beberapa keunggulan diantaranya: berumur genjah, tinggi batang
sedang, hasil 2,5-4 t/ha, berbiji putih dengan rasa sebagai nasi cukup enak. (Subandi
et al, 1998). Ponidi et al. (1985) melaporkan bahwa varietas Hegari Genjah banyak
berkembang di wilayah dataran rendah Provinsi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Peningkatan potensi materi genetik pada era 1990-an dilakukan melalui uji
adaptasi 15 galur unggul sorgum introduksi. Setelah melalui serangkaian uji adaptasi
diperoleh dua galur dengan keragaan hasil tinggi yaitu CS110 dan No.311, yang
201

kemudian dilepas dengan nama varietas Mandau dan Sangkur (Rahardjo dan Fathan
1991). Potensi hasil mencapai 5 t/ha, genjah (umur 91 hari) dengan kisaran hasil 4-5
t//ha. Varietas Sangkur mempunyai potensi hasil agak rendah, antara 3,6-4,0 t/ha,
namun mudah di rontok dan disosoh serta tahan terhadap penyakit karat dan
Rhizoctonia (Rahardjo dan Fathan 1991).
Program penelitian dan pengembangan varietas unggul sorgum pada periode
2001-2013 dilakukan secara khusus oleh Balai Penelitian Tanaman

Serealia

(Balitsereal) di Maros. Varietas Numbu dan Kawali dilepas Tahun 2001 (Balitsereal,
2002). Varietas Numbu dihasilkan dari galur IS 23509 dari SADC (South African
Development Community). Varietas Kawali berasal dari galur ICSV 233 merupakan
galur ICRISAT. Singgih dan Hamdani (1998) serta Sholihin (1996) melaporkan kedua
varietas tersebut dapat beradaptasi baik di Probolinggo, Bontobili, Bulukumba, dan
Bojonegoro dengan kisaran hasil yang diperoleh 4,6-5,0 t/ha.
Singgih et al. (2002) menyatakan bahwa varietas Numbu dapat beradaptasi
baik pada lahan kering dan masam, hasil 5 t/ha serta tahan terhadap penyakit karat
dan bercak daun. Varietas Kawali dicirikan oleh karakter tanaman yang pendek (135
cm) serta bulir yang agak tertutup sehingga kurang disenangi oleh hama burung.
Kedua varietas ini mempunyai umur dalam, antara 100-105 hari. Karakteristik varietas
yang dirilis pada periode 1970-2012 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Varietas unggul sorgum yang dirilis selama periode 1970-2012

Varietas

Tahun
Rilis

No. 6C
UPCA-S2
KD4
KERIS
UPCA-S1
BADIK
HEGARI GENJAH
MANDAU
SANGKUR
NUMBU
KAWALI

1970
1972
1973
1983
1985
1986
1986
1991
1991
2001
2001

Potensi
Hasil
(t/ha)
4,6-6
4,0-4,9
4,0
2,5
4,0
3,0-3,5
3,0-4,0
4,0-5,0
3,6-4,0
4,0-5,0
4,0-5,0

Umur
Pane
n
(Hari)
96-106
105-110
90-100
70-80
90-100
80-85
81
91
82-96
100-105
100-110

Tinggi
tanaman
(cm)
165-238
180-210
140-180
80-125
140-160
145
145
153
150-180
187
135

Warna Biji

Rasa
Nasi

Cokla
t
Cokla
t
Putih
Putih Kotor
Putih Kapur
Putih Kapur
Putih Kapur
Coklat
Muda

Kurang
Kurang
Sedang
Sedang
Sedang
Enak
Enak
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang

(b) Pengembangan Sebagai Bioenergi


Hoeman (2010) melaporkan, dengan adanya krisis energi di sejumlah negara
dan

semakin

berkurangnya

cadangan

bahan

bakar

minyak,

maka peluang

pemanfaatan bioenergi semakin besar. Sebelum dimanfaatkan sebagai bahan

bakar,

bioenergi tanaman harus diubah terlebih dahulu menjadi biogas atau bioetanol.
Almodares dan Hadi (2009) memaparkan bahwa selain lebih adaptif terhadap
perubahan iklim (kekeringan dan genangan), sorgum juga mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol melalui fermentasi bagase, juise dan biji.
Sejumlah galur unggul baik introduksi maupun lokal Indonesia disilangkan
untuk menghasilkan varietas unggul sorgum khusus untuk produksi etanol. Eksplorasi
potensi etanol sorgum manis diperoleh dari nira batang sorgum, bagase dan biji. Nira
adalah cairan yang diperoleh dari hasil perasan batang sorgum manis, sedangkan
bagase adalah ampas hasil perasan batang sorgum dalam bentuk sellulosa yaitu
polisakarida yang dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa dan
bentuk gula lainnya yang kemudian dikonversi menjadi etanol. Sedangkan sumber
etanol dari biji adalah pati yaitu karbohidrat yang berbentuk polisakarida berupa
polimer anhidromonosakarida, dimana komponen utama

penyusun

pati

adalah

amilosa dan amilo-pektin yang masing masing tersusun atas satuan glukosa (rantai
glukosida) yang kemudian dikonversi menjadi etanol (Prasad et al. 2007; Shoemoker
and Bransby 2010). Sarath et al. (2008) dan Smith et al. (1987) lebih lanjut
menjelaskan bahwa sorgum manis untuk bahan baku bioetanol dicirikan oleh
akumulasi karbohidrat terfrmentasi (FC) dalam batang yang mencapai 15-25%.
Sorgum manis mengandung FC lebih tinggi dibandingkan jagung sehingga sebagai
tanaman biofuel akan lebih menguntungkan apabila pengembangannya dilakukan
pada daerah kering (Reddy et al. 2007).
Balai Penelitian Tanaman Serealia telah mengembangkan enam galur yang
mempunyai potensi tinggi untuk produksi bioetanol yaitu Watar Hammu Putih, 4-183A,
5-193c, 15011A, 15011B, dan 15021A dengan produksi etanol masing-masing sebesar
4315,45 l/ha, 4531,91, 3868,42, 3756,15, 4758,32 l/ha, dan galur 3905,21 l/ha, lebih
tinggi dari varietas Numbu (Balitsereal 2010). Produksi etanol tinggi per ha mempunyai
korelasi yang tinggi dengan produksi biomas batang. Galur/varietas Watar Hammu
Putih, 15011A, dan 15021A menghasilkan produksi biomas tinggi di NTT dan Enrekang
(Sulawesi Selatan), galur 4-183A dan 5-193c menghasilkan produksi biomas tinggi di
Karanganyar dan Karangsari (Yogyakarta) baik di lahan sawah maupun lahan kering,
dan galur 15011B menghasilkan produksi biomas tinggi di Jawa Barat (Pabendon,
2010). BATAN juga telah mengembangkan teknik iradiasi sinar gamma untuk
menghasilkan varietas unggul sorgum manis.
Produksi bioetanol dari sorgum manis dapat ditingkatkan lagi apabila
kemampuan ratun dari sorgum manis dimanfaatkan secara optimal (Efendi dan
Pabendon 2010). Lebih lanjut, Efendi dan Pabendon (2000) memaparkan bahwa bobot
203

biomas segar tanaman primer mencapai 43,0 t/ha, kemudian pada pertanaman ratun
masih mampu menghasilkan biomas 22,6 t/ha. Potensi ratun sangat menjanjikan
utamanya pada lahan kering dimana tanaman palawija lain sudah tidak bisa tumbuh
(Tsuchihashi dan Goto 2004).

WILAYAH PENGHASIL DAN POTENSI PERLUASAN AREAL


PENGEMBANGAN SORGUM
Tanaman sorgum sudah lama diusahakan oleh petani di Indonesia baik secara
monokultur, tumpangsari dan tumpang gilir dengan tanaman semusim yang lain.
Budidaya sorgum awalnya diproduksi untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
terutama sebelum tahun 1970 karena kondisi masih rawan kekurangan pangan.
Sejalan dengan berkembangnya program swasembada pangan yang memprioritaskan
kepada tanaman padi (beras) membawa dampak kepada penurunan luas pertanaman
sorgum. Lahan-lahan yang dulunya sebagai wilayah penghasil sorgum, lambat laun
dialihkan untuk tanaman pangan terutama padi, jagung dan kedelai.
Perkembangan luas panen tanaman sorgum mulai tahun 2005 hingga 2011
cenderung

terus

menunjukkan

penurunan,

tetapi

terjadi

peningkatan

untuk

produktivitas dan produksi (Direktorat Budidaya Serealia 2012). Selama periode 7


(tujuh) tahun, luas panen mengalami penurunan rata-rata 1,5 % per tahun.

Luas

panen yang dicapai pada tahun 2011 masih lebih rendah dibandingkan tahun 2005.
Peningkatan luas panen terjadi mulai tahun 2009 hingga 2011 yang mencapai lebih
dari 20 % per tahun. Hal ini akan terus meningkat dengan perkembangan tanaman
sorgum yang diusahakan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai pangan, pakan dan energi alternatif. Luas panen yang dilaporkan oleh salah
satu BUMN (PTPN XII) pada tahun 2013 mencapai 1.154 ha dan akan terus
dikembangkan menjadi 3.000 ha pada tahun 2014 (Anonimus 2013).
Tabel 1. Keragaan Luas Panen dan Produksi Sorgum di Indonesia Tahun 2005-2011
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Luas Panen (ha)


3.659
2.944
2.373
2.419
2.264
2.974
3.607

Produktivitas (ku/ha)
16,7
18,3
17,9
18,8
27,3
19,2
21,3

Sumber: Direktorat Budidaya Serealia, Ditjen Tanaman Pangan, 2012.

Produksi (ton)
6.114
5.399
4.241
4.553
6.172
5.723
7.695

Rata-rata produktivitas dan produksi mulai tahun 2005 hingga 2011 menunjukkan
peningkatan setiap tahun sebesar 6,5 dan 6,2 %. Peningkatan produktivitas dan
produksi sorgum tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebagai akibat dari musim kemarau
yang relatif panjang. Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas sorgum
dengan potensi hasil mencapai 6 t/ha dan dapat beradaptasi pada lahan marjinal
(Puslitbangtan, 2009). Peluang untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan
produktivitas masih sangat besar karena hingga sekarang produktivitas yang telah
dicapai baru sebesar 60 % dari potensi hasil masing-masing varietas baru. Penyebab
utama produktivitas hasil sorgum hingga sekarang adalah penggunaan benih kurang
berkualitas dan pemeliharaan tanaman yang kurang optimal. Sorgum memiliki potensi
hasil yang relatif lebih tinggi dibanding padi, gandum dan jagung. Bila kelembaban
tanah saat pertumbuhan bukan merupakan faktor pembatas, hasil produksi dapat
melebihi 7 t/ha (Hoeman 2008). Sorgum dikenal mempunyai ketahanan terhadap
kekeringan dengan kebutuhan air 300-400 mm (House 1985; FAO 2001). Selain itu,
sorgum juga memiliki sifat yang lebih tahan terhadap genangan air, kadar garam tinggi
dan keracunan aluminium (House 1985).

Potensi Perluasan Areal Pertanaman Sorgum


Seiring meningkatnya perhatian terhadap penggunaan bahan bakar nabati,
pemerintah melalui kementerian BUMN telah memetakan wilayah pengembangan
pangan khususnya sorgum. Subagio dan Syuryawati (2012) mengemukakan bahwa
wilayah penghasil sorgum pada tahun 2012 telah menunjukkan pergeseran, jika
sebelumnya wilayah penghasil sorgum berpusat di pulau Jawa, namun dalam 3 (tiga)
tahun terakhir telah bergeser kewilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara. Pergeseran
tersebut disebabkan oleh peluang pengembangan pada lahan marjinal masih tersedia
di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Hingga tahun 2012/2013, informasi dan data luas
panen sorgum yang terhimpun melalui laporan Dinas Pertanian, Media Elektonik
(Website) dan Media Surat Kabar yang telah divalidasi diperoleh data seluas 26.306
ha. Peningkatan luas panen sorgum terutama dilakukan oleh beberapa BUMN seperti
PTPN XII di Jawa Timur dan PT Berdikari untuk pengembangan sorgum integrasi
dengan ternak di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara serta pengembangan
sorgum untuk bahan baku industri dan ternak di Nusa Tenggara Timur (Subagio dan
Syuryawati, 2013). Dari total luas panen 26.306 ha tersebut berada pada 9 (sembilan)
provinsi dan yang terluas berada di provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 58,3
persen, diikuti Sulawesi Tenggara sebesar 15,2 persen, Sulawesi Selatan sebesar 12,9
persen, Jawa Timur sebesar 8,4 persen sedangkan provinsi yang lain kurang dari 4

persen. Pergeseran wilayah utama penghasil sorgum dari pulau Jawa kepada wilayah
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara dan Selatan disebabkan persaingan antar
komoditas terutama tanaman semusim, kesesuaian agroekologi lahan kering, sistem
irigasi terbatas/tadah hujan dan peluang integrasi dengan sektor peternakan dan
bahan baku industri.
Sebaran luas panen tanaman sorgum di Indonesia hingga bulan April 2013
dapat dibagi kedalam dua wilayah yaitu wilayah timur yang meliputi Nusa Tenggara
dan Sulawesi, serta wilayah barat yang meliputi Pulau Jawa dan Sumatra. Luas panen
di wilayah Nusa Tenggara mencapai 15.414 ha yang tersebar pada 3 (tiga) kabupaten
di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 14 kabupaten di Wilayah Nusa Tenggara Timur
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan NTT). Wilayah penghasil sorgum yang berada di
Nusa Tenggara Barat terletak pada kabupaten Dompu, Bima dan Sumbawa dengan
total luas 68 ha. Tanaman sorgum di wilayah ini relatif tidak begitu luas hanya sebagai
tanaman pelengkap agar lahan tidak bero. Status sorgum belum dimanfaatkan di luar
pangan. Sebagian besar petani yang menanam sorgum digunakan untuk pangan.

Tabel 3. Luas penyebaran tanaman sorgum di Sulawesi dan Nusa Tenggara


Tahun 2011-2013
Propinsi
Sulawesi Selatan

Sulawesi Tenggara
Jumlah
Nusa Tenggara Timur

Kabupaten
Bone
Luwu Timur
Sidenreng Rappang
Jumlah
Konawe Selatan
Lembata
Flores Timur
Ngada
Alor
Ende
Nagekeo
Rote Ndao
Sikka
TTS
Manggarai
TTU
Belu
Sumba Barat Daya
Kupang
Sumba Timur
Jumlah

Nusa Tenggara Barat

Dompu
Bima
Sumbawa
Jumlah

Luas lahan (ha)


5
200
3200
3.405
4.000
4.000
3
14
29
39
43
61
108
152
157
301
492
6443
866
2344
4304
11.416
14
23
31
68

Sumber: Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten, Media Elektronik (Website),


Media Cetak serta Hasil investigasi lapangan

Bagi petani di Nusa Tenggara Timur, tanaman sorgum merupakan tanaman


prioritas kedua setelah jagung untuk lahan-lahan marjinal seperti curah hujan sangat
singkat, sistem irigasi terbatas dan kondisi lahan kurang subur. Selain itu tanaman
sorgum difungsikan sebagai pakan ternak sehingga luas pertanaman sorgum di Nusa
Tenggara Timur menyebar pada 14 kabupaten terutama wilayah kabupaten yang
memiliki usaha ternak yang semi intensif (relatif maju). Kabupaten Kupang, Sumba
timur dan Belu merupakan wilayah penghasil sorgum utama di Nusa Tenggara Timur.
Sementara itu luas panen sorgum di Pulau Jawa hingga tahun 2012 mencapai
3.462 ha. Wilayah penghasil sorgum di pulau Jawa telah bergeser dari Provinsi Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Peningkatan luas panen di Jawa Timur terutama
pengembangan sorgum pada lahan produktif oleh PTPN XII, sedangkan keberadaan
tanaman sorgum di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogjakarta untuk bahan baku
industri tepung sebagai substitusi tepung terigu dan pakan. Pengembangan sorgum di
Jawa Timur akan terus meningkat sejalan dengan peluang pasar yang tersedia untu
bahan baku industri (tepung) oleh PT Indofood Tbk. Pengembangan sorgum oleh
PTPN XII selain memenuhi produksi kebutuhan PT Indofood Tbk, juga akan
dintegrasikan dengan Ternak dan bahan industri gula.

Tabel 4. Luas penyebaran tanaman sorgum di Sumatera dan Jawa


Tahun 2011-2013
Propinsi
Lampung
Lampung Selatan
Jumlah
Jawa Barat
Garut
Ciamis
Subang
Bandung
Jumlah
Jawa Tengah
Demak
Grobogan
Wonogiri
Jumlah
DI Yogyakarta
Sleman
Kulon Progo
Bantul
Gunung Kidul
Jumlah
Jawa Timur
Pamekasan
Probolinggo
Bondowoso
Bangkalan
Pacitan
Pasuruan
Bojonegoro
Sampang
Sumenep
Lamongan
Banyuwangi
Jumlah

Luas tanam (ha)


25
25
5
15
25
213
258
10
10
25
45
6
10
52
870
938
5
8
13
15
26
41
60
78
165
665
1145
2.211

Sumber: Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten, Media Elektronik (Website),


Media Cetak serta Hasil investigasi lapangan

KETERSEDIAAN BENIH SUMBER UNTUK MENDUKUNG


EKSTENSIFIKASI SORGUM
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman sorgum adalah
dengan penggunaan benih bermutu atau berkualitas. Saenong et al. (2007)
mengemukakan tiga aspek penting yang berkaitan dengan mutu dan kualitas benih
yaitu; 1. Teknik produksi benih yang berkualitas, 2. Teknik mempertahankan kualitas
benih yang telah didistribusikan, dan 3. Teknik deteksi atau mengukur kualitas benih.
Penggunaan benih unggul berkontribusi nyata terhadap penampilan fenotifik serta

komponen hasil tanaman (Arief dan Zubachtirodin 2012). Penyediaan benih sorgum di
tingkat petani secara berkelanjutan dengan mutu terjamin bukanlah hal yang mudah.
Hasil studi di Nusa Tenggara Timur, faktor kemampuan petani dalam memproduksi
benih, ketersediaan fasilitas penyimpanan serta pasar yang tidak jelas mempengaruhi
kemampuan petani atau penangkar untuk menyediakan benih sorgum (Subagyo dan
Syuryawati 2013).
Monyo et al. (2003) menganalisis system produksi benih di Afrika Selatan dan
membaginya kedalam dua aspek, yaitu (1) formal, terdiri atas badan penelitian
pemerintah, badan usaha milik swasta yang memproduksi dan memasarkan benih,
dan badan yang bertanggungjawab terhadap sertifikasi dan pengawasan mutu

benih,

(2) informal, terdiri atas sejumlah petani yang memproduksi benih local atau varietas
introduksi, memasarkan sendiri hasilnya, dan melakukan ujicoba terhadap varietas
yang diproduksinya. Monyo et al (2003) lebih lanjut membagi system

perbenihan

formal menjadi dua yaitu (1) model state/parastatal dimana peneliti menyediakan benih
penjenis untuk diperbanyak di kebun milik petani atau penangkar dengan system
kontrak, serta (2) model swasta dimana peneliti menyiapkan benih untuk diperbanyak
oleh pihak swasta dan petani yang bekerjasama dengan swasta.
Dalam sistem perbenihan di Indonesia, Balai Penelitian Komoditas/ Balai
Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) diberikan kewenangan untuk melakukan
program pemuliaan/pembentukan varietas unggul sorgum termasuk menyediakan
benih sumbernya. Balitsereal diberikan mandat untuk menyediakan benih sumber
khususnya benih kelas BS (breeder seed) dan Foundation Seed (FS). Selanjutnya
benih di kirim ke Dinas Pertanian Provinsi dibawah koordinasi Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan untuk diperbanyak menjadi benih klas SS (Stock seed) di BBI/BBU.
Benih yang diproduksi oleh BBI/BBU disebar ke penangkar yang telah terlatih untuk
memproduksi benih klas ES (Extension seed) yang siap dipasarkan ke pengguna
(Bahtiar et al. 2007). Model produksi benih yang relatif panjang menyulitkan untuk
kontrol kualitas benih. Saenong et al. (2005) menyatakan bahwa penangkar yang
dibina dengan baik mampu menghasilkan benih kelas SS sementara BBU dapat
menghasilkan benih kelas FS.
Namun saat ini, peran BBI, khususnya dalam penyediaan benih sorgum sangat
terbatas. Pemerintah juga belum menempatkan sorgum sebagai prioritas dalam
program perluasan areal tanam dengan alasan sorgum bukan kebutuhan pokok,
sehingga perluasan sorgum tidak masuk dalam rencana strategis dan belum ada
anggaran khusus (Direktorat Serealia, 2013). Mengingat peran BBI sangat strategis,
maka sangat besar pengaruhnya terhadap laju pengembangan komoditas sorgum di

Indonesia. Data distribusi benih sumber sorgum kelas BS selama periode 2008-2013
disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah benih kelas BS yang telah didistribusikan UPBS Balitsereal selama
periode 2008-2013
Varietas
2008
234
213
85
532
Jabar,
Kaltim,
SUlsel,
NTT,
NTB

2009
13
Numbu
18
Kawali
3
UPCAJumlah
34
S1
DIY,
Wilayah
Kaltim
penyebaran
, NTT,
Sulsel,
Jabar,
Papua
selata
Sumber: UPBS Balitsereal 2013
n

Selama

peiode

Jumlah benih yang terdistribusi (kg)


2010
2011
2012
2013
10
36
178
3.272
20
37
2.814
10
56
215
6.086
NTT,
Riau,
Sulsel,
NTT, Sultra,
Sulsel,
Jateng,
Lampung, Sulsel, Jatim
Lampung, Sulsel
Kalteng,
Jabar
NTT

2008-2012,

minat

stakeholder

untuk

mengembangkan

komoditas sorgum masih minim. Hal ini terlihat dari kecilnya permintaan benih sumber
oleh BBI, BPTP dan mitra lainnya, meski Balitsereal telah menyiapkan benih sumber
dalam jumlah besar setiap tahunnya. Data penyebaran/distribusi benih selama periode
2008-2012 hanya mencapai 847 kg atau 169 kg setiap tahun. Selain itu, benih kelas
BS yang disebarkan hanya sebagian kecil yang diperbanyak menjadi benih kelas
dibawahnya, itupun tidak sampai SS atau ES. Bahkan tidak menutup kemungkinan dari
benih kelas BS langsung ditanam sekali saja dan menjadi konsumsi atau pakan ternak.
Hasil pengamatan di sejumlah provinsi di kawasan timur Indonesia menunjukkan
hampir semua BBI tidak mempunyai program perbanyakan benih dan pengembangan
komoditas sorgum. Hal ini diduga karena berkurang atau tidak adanya permintaan
akan sorgum oleh pengguna khususnya petani.
Seiring maraknya kajian pengembangan industri bioetanol dari sorgum yang
diprakarsai oleh Menteri BUMN pada akhir Tahun 2012, permintaan benih sumber pun
kembali meningkat pesat. Kementerian BUMN berencana untuk mengembangkan pilot
project pengembangan sorgum di NTT, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, DIY dan
Sulawesi Selatan Data UPBS 2013 menunjukkan permintaan benih kelas BS mencapai
61.000 kg dari Kementerian BUMN. Benih kelas BS selanjutnya diperbanyak menjadi
kelas dibawahnya sebelum ditanam untuk produksi biji, biomas maupun bioetanol pada
areal >10.000 ha pada Tahun 2014. Balitsereal juga tengah menyiapkan calon varietas

sorgum manis untuk mendukung kegiatan eksplorasi potensi energi terbarukan yang
tengah dicanangkan pemerintah. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara
kementerian terkait, baik itu Kementerian Pertanian, BUMN dan Perguruan Tinggi agar
pengembangan sorgum lebih focus, bukan hanya untuk pangan semata tetapi dalam
bentuk diversifikasi usaha, diantaranya pakan ternak, sirup, bioetanol dan lain-lain
sehingga nilai ekonomi sorgum akan meningkat dan pada akhirnya mampu bersaing
dengan komoditas unggulan lainnya.

OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM


PENGEMBANGAN SORGUM
Potensi permintaan sorgum untuk memenuhi kebutuhan pakan, bioetanol dan
pangan secara berkelanjutan sangat besar. Oleh karena itu upaya peningkatan
produksi sorgum nasional sudah merupakan keharusan sehingga industri berbasis
sorgum dapat berkembang. Sejumlah varietas unggul sorgum dengan potensi hasil
dan kandungan gula brix yang tinggi telah tersedia dan siap mendukung program
pengembangan sorgum nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah
yang perlu diambil untuk meningkatkan minat masyarakat untuk menanam sorgum
dijabarkan sebagai berikut:
1. Sinergi program Badan Litbang Pertanian dengan Direktorat Jenderal lingkup
Departemen Pertanian dalam penelitian dan pengembangan komoditas sorgum.
Perakitan varietas dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian, dalam hal ini Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Sementara itu pengembangan komoditas sorgum
merupakan mandat Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Direktorat Serealia. Kerjasama diarahkan pada pengembangan demfarm di
sejumlah wilayah potensial untuk pengembangan sorgum. Pada saat panen
demfarm/gelar teknologi, dilaksanakan kegiatan temu lapang bekerjasama dengan
direktorat terkait serta pemerintah daerah. Kegiatan ini lebih bersifat promosi
kepada pengambil kebijakan di daerah serta petani di sekitar lokasi demplot.
Sehingga diharapkan peran aktif pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan
untuk dapat mendukung program tersebut, terutama terkait dengan penyediaan
benih maupun sarana produksi lainnya.
2. Mengingat keberadaan sorgum di Indonesia masih diusahakan secara asalan
karena dipandang sebagai tanaman klas rendah maka arah pengembangan
kedepan adalah menyediakan varietas dan teknologi budidaya sorgum manis untuk
mendukung

industri

berbasis

bahan

bakar

nabati.

Industri/pabrik

menggunakan hampir 100% sumber energinya dari batubara. Kedepan,


211

semen
sorgum

diharapkan dapat mensubtitusi batubara sebagai sumber energi di Pabrik Semen.


Hal itu tentu saja mungkin dilakukan melihat potensi energi yang dimiliki oleh
sorgum, khususnya sorgum manis. Sebagai perbandingan, kandungan kalori
batubara sekitar 5000 kkal sementara sekam padi hanya sekitar 3000 kkal saja.
Adapun sorgum dapat menghasilkan energi sebesar 3516 kkal sehingga sangat
potensial untuk mensubtitusi batubara sebagai bahan baku ramah lingkungan di
masa mendatang. Kerjasama pengembangan sorgum manis telah dirintis oleh
Balitsereal dengan PT. Semen Tonasa sejak Tahun 2012 dengan memanfaatkan
lahan bekas galian pabrik untuk budidaya sorgum.
3. Usahatani sorgum akan memberikan manfaat yang optimal apabila dikelola secara
terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Petani umumnya memiliki skala usaha kecil
sehingga tidak efisien dalam pemasaran. Oleh karena itu peran swasta sangat vital
khususnya dalam pengembangan industri hilir yang dapat menampung hasil petani.
Adapun industri potensial yang dapat dikembangkan oleh swasta diantaranya
industri bioetanol, gula cair (sirup), industri pakan ternak ruminansia dan lain-lain.
Untuk

menghindari

terjadinya

kompetisi

dalam

penggunaan

lahan

maka

pengembangan sorgum dapat diarahkan pada lahan marjinal dan lahan non
produktif lainnya. Wilayah timur Indonesia seperti NTB, NTT, Sulsel, Sultra dan
Papua mempunyai prospek yang sangat baik untuk pengembangan sorgum
terintegrasi mengingat ketersediaan lahan yang masih luas.

KESIMPULAN
1.

Dengan pesatnya perkembangan industri berbasis sorgum di tingkat global secara


tidak langsung akan meningkatkan permintaan. Hal ini tentu saja menjadi peluang
bagi Indonesia mengingat kondisi agroklimat Indonesia yang sangat sesuai untuk
pengembangan sorgum. Optimalisasi pengembangan produksi sorgum di
Indonesia akan dapat meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan ekspor. Dukungan pemerintah dibutuhkan dengan menempatkan
sorgum sebagai prioritas dalam program perluasan tanam.

2.

Pada periode 1980-2013 telah dilepas 11 varietas unggul sorgum dengan daya
hasil cukup tinggi, berumur genjah serta daya adaptasi yang luas telah
berkontribusi dalam peningkatan produksi nasional. Selain itu terdapat sejumlah
calon varietas sorgum manis yang akan rilis Tahun 2013 diharapkan dapat
berperan dalam pengembangan industri etanol berbasis sorgum di Indonesia.

3.

Pengembangan sorgum dalam skala besar akan menimbulkan terjadinya


kompetisi penggunaan lahan dengan komoditas lain. Untuk itu, pengembangan

sorgum dapat diarahkan pada lahan marjinal serta lahan non produktif lainnya
yang banyak tersebar di wilayah timur Indonesia.
4.

Kemampuan subsistem produksi benih (balai-balai benih dan penangkar) cukup


memadai dalam penyediaan benih sorgum di tingkat petani. Optimalisasi peran
subsistem produksi benih dapat dilakukan melalui pembuatan program yang
terarah untuk produksi dan pendistribusian benih di lapangan. Dalam hal perakitan
varietas perlu memanfaatkan sebanyak mungkin sumberdaya genetic lokal,
digabungkan dan diseleksi secara terarah untuk taret-target lingkungan tanah
masam.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2013. Harga BBM Naik, Sorgum Alternatifnya. http//www.yahoo.id.berita.
yahoo.com. Diakses tanggal 18 Jun 2013. Maros
Aqil, M., Zubachtirodin dan C. Rapar, 2013. Deskripsi Varietas Unggul Jagung, Sorgum
dan Gandum Edisi Tahun 2012. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Departemen Pertanian, 1970. Perkembangan Produksi Palawija Tahun
Departemen Pertanian, Jakarta

1970.

Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2012. Keadaan Areal
Tanam, Panen, Produktivitas dan Produksi Padi dan Palawija Tahun 2011.
Diperta Provinsi NTT. Kupang.
Direktorat Budidaya Serealia. 2013. Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
dalam Pengembangan Komoditas Jagung, Sorgum dan Gandum. Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan. Kementan RI. Jakarta.
Direktorat Serealia, 2013. Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam
Pengembangan Komoditas Serealia untuk Mendukung Pertanian Bioindustri.
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Serealia, Maros Sulawesi
Selatan
Efendi, R dan M.B. Pabendon, 2010. Seleksi Genotipe sorgum manis produksi biomas
dan daya ratun tinggi. Dalam* Laporan Akhir Tahun Balai Penelitian Tanaman
Serealia: Perakitan Varietas Sorgum untuk Bahan Bioetanol dan Bahan
Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
House, L. R. 1985. A Guide to Sorghum Breeding. International Crops Research
Institute for Semi-Arid Tropics. Andhra Pradesh, India.
Mudjisihono, R dan D. S. Damardjati., 1985. Masalah dan Hasil Penelitian Pascapanen
Sorgum. Risalah Rapat Teknis Puslitbangtan, Bogor 1985.

Pabendon, M.B., M. Aqil dan S. Masud., 2012. Kajian Sumber Bahan Bakar Nabati
Berbasis Sorgum Manis Iptek Tanaman Pangan Vol 7, No. 2.

Prasad, S., A. Singh, N. Jain and H. C. Hoshi., 2007. Ethanol Production from sweet
sorghum syrup for utilization as automotive fuel in India. Energy Fuel 21:24152420
Reddy BVS, Rao Prakasha, Deb UK, Stenhouse JW, Ramaiah B and Ortiz R. 2004.
Global sorghum genetik enhancement processes at ICRISAT. Pages 65-102 in
Sorghum genetik enhancement: research process, dissemination and impacts
(Bantilan MCS, Deb UK,Gowda CLL, Reddy BVS, Obilana AB and Evenson
RE, eds.). Patancheru 502 324, Andhra Pradesh, India: International Crops
Research Institute for the Semi-Arid Tropics
Roesmarkan, S., Subandi dan E. Muchlis., 1985. Hasil Penelitian Pemuliaan Sorgum.
Risalah Rapat Teknis Puslitbangtan, Bogor 1985.
Shoemaker, C.E., and D.I. Bransby. 2010. The role of sorghum as a bioenergy
feedstock. In: R. Braun, D. Karlen, and D. Johnson, editors, Sustainable
alternative fuel feedstock opportunities, challenges and roadmaps for six U.S.
regions, Proceeedings of the Sustainable Feedstocks for Advance Biofuels
Workshop, Atlanta, GA. 2830 September. Soil and Water Conserv. Soc.,
Ankeny, IA. p. 149159.
Sholihin, 1996. Evaluasi galur-galur harapan sorgum di Jawa Timur. Hasil Penelitian
Balitjas, 1995/1996. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Sirappa, M. P., 2003. Prospek Pengembangan sorgum di Indonesia
sebagai
alternative komoditas untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang
Pertanian 22 (4)
Sumarni Singgih., Muslimah Hamdani., 1998. Evaluasi Daya Hasil Galur Sorgum.
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Balai Penelitian Tanaman Jagung
dan Serealia Lain, Maros Sulawesi Selatan.
Unit Pengelola Benih Sumber Balitsereal, 2013. Laporan Produksi dan Distribusi Benih
Jagung, Sorgum dan Gandum Tahun 2013. Balai Penelitian Tanaman Serealia,
Maros Sulawesi Selatan

Anda mungkin juga menyukai