Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN STUDI FIQH

Hak Kekayaan Intelektual dan Hak Paten

Disusun Oleh:
Moh. Alamsyah Adi K. (15650068)
M. Aufa Shiddiq (15650085)

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era globalisasi hak kekayaan intelektual (HAKI) menjadi issu yang menarik untuk
dikaji karena perannya yang semakin menentukan terhadap laju percepatan pembangunan
nasional suatu negara di dunia.Dalam kaitan ini era globalisasi dapat dianalisis dari dua
karakteristik dominan.Pertama, era globalisasi ditandai dengan semakin terbukanya secara
luas hubungan antar bangsa dan antar negara yang didukung dengan transparansi dalam
informasi.Dalam kondisi tranparansi informasi yang sedemikian itu, maka kejadian atau
penemuan di suatu belahan dunia akan dengan mudah diketahui dan segera tersebar ke
belahan dunia lainnya. Hal ini membawa implikasi, bahwa pada saatnya segala bentuk upaya
penjiplakan, pembajakan, dan sejenisnya tidak lagi mendapatkan tempat dan tergusur dari
fenomena kehidupan bergagai bangsa.
Kedua, era globalisasi membuka peluang semua bangsa dan Negara di dunia untuk dapat
mengetahui potensi, kemampuan, dan kebutuhan masing-masing. Kendatipun tendensi yang
mungkin terjadi dalam hubungan antar Negara didasarkan pada upaya pemenuhan
kepentingan secara timbale balik, namun justru Negara yang memiliki kemampuan lebih
akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Bertolak pada dua hal tersebut, upaya perlindungan terhadap HAKI apapun brntuknya sudah
saatnya menjadi priorotas dan kepedulian semua pihak agar tercipta kondisi yang mendukung
bagi tumbuh kembangnya kegiatan inovatif dan kreatif yang menjadi syarat bats dalam
menumbuhkan kemampuan penerapan, pengembangan, dan penguasaan teknologi dalam
segala bidang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Hak Kekayaan Intelektual?
2. Apa saja syarat dan ketentuan Hak Keayaan Intelektual?
3. Bagaimana islam menanggapi Hak Kekayaan Intelektual?
4. Apa pengertian Hak Paten?
5. Apa saja syarat dan ketentuan Hak Paten?

6. Bagaimana islam menanggapi Hak Paten?


1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Hak Kekayaan Intelektual
2. Mengetahui syarat dan ketentuan Hak Kekayaan Intelektual
3. Mengetahui Hak Kekayaan Intelektual dalam perspektif Islam
4. Mengetahui pengertian Hak Paten
5. Mengetahui syarat dan ketentuan Hak Paten
6. Mengetahui bagaimana Hak Paten dalam perspektif Islam

PEMBAHASAN

1. Hak Kekayaan Intelektual


1.1 Pengertian
Pengertian HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) menurut Adrian Sutedi adalah hak
atau wewenang atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut
dan hak tersebut diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. Kekayaan

intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti
teknologi, pengetahuan, sastra, seni, karya tulis, karikatur, pengarang lagu dan
seterusnya.
Hak itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Hak dasar (Asasi) yang merupakan
hak mutlak yang tidak dapat digangu-gugat. Contohnya : hak untuk hidup, hak untuk
mendapatkan keadilan dan sebagainya. Kedua, Hak amanat aturan atau perundangan
yaitu hak karena diberikan atau diatur oleh masyarakat melalui peraturan atau
perundangan. HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) merupakan amanat aturan, sehingga
masyarakatlah yang menjadi penentu seberapa besar HAKI yang diberikan kepada
individu dan kelompok.1
1.2 Syarat dan Ketentuan Hak Kekayaan Intelektual
Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1.) Hak Cipta (copyright);
2) Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup: - Paten
(patent);
- Desain industri (industrial design);
- Merek (trademark);
- Penanggulangan praktek persaingan curang (repression ofunfair
competition); - Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design ofintegrated circuit);
Rahasia dagang (trade secret).
Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HKI. Seseorang
bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak
eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta,
pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya
(kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi,
sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkan
teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan
dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan
1 Adrian Sutedi, 2013. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Penerbit Sinar Grafika :
Jakarta.

maksimal untuk keperluan hidup atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan
nilai tambah yang lebih tinggi lagi.
1.3 Hukum Dalam Islam
Di dalam hukum Islam belum mengenal istilah Hak Kekayaan Intelektual, penulis
menyimpulkan untuk istilah HKI lebih mengarah kepada hak ciptanya saja dan tidak
seluas pembagian HKI dalam Hukum Positif.
Hak cipta dalam khazanah Islam Kontemporer dikenal dengan istilah (Haq al-Ibitkar).
Kata ini terdiri dua rangkaian kata yaitu ladaz Haq dan al-Ibtikar. Diantara
pengertian dari Haq adalah kekhususan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok
orang atau sesuatu karya cipta yang baru diciptakan (al-Ibtikar).
Kata (Ibtikar) secara etimologi berasal dari bahasa Arab dalam bentuk isim masdar.
Kata kerja bentuk lampau (Fiil Madhi) dari kata ini adalah (Ibtikara) yang berarti
menciptakan. Jika dikatakan (Ibtikara Asy-Syaia) berarti ia telah menciptakan sesuatu.2
Sedangkan menurut terminologi Haq al-Ibtikar adalah hak istimewa atas suatu ciptaan
yang pertama kali diciptakan. Fathi Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan gambaran
pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan atau terpelajar dan semisalnya melalui
pemikiran dan analisisnya, hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama dan belum
ada seorang ilmuan pun yang mengemukakan sebelumnya.3
Definisi ini menjadi rujukan dalam pembahasan tentang hak cipta, yaitu: Hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian juga bahwa hak cipta sangat terkait sekali dengan hak milik yang dimana
hak milik dalam bahasa Arab disebut dengan Al-Milku diartikan sebagai sifat
2 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997) h. 101.
3 Fathi Ad-Duraini, Buhust Muqaraah fi al-Fiqh al-islami wa Ushuluh. (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1414 H/1994 M). cet. I, jilid II, h. 9.

penggabungan kekayaan oleh manusia lalu menjadikannya eksklusif bagi dirinya sendiri.
Banyak sekali definisi-definisi milik yang disebutkan ulama-ulama fiqh, tetapi dari
sekian banyak definisi itu pada dasarnya memiliki substansi yang hampir sama. Salah
satunya adalah Wahbah Zuhaili (Lahir 1351 H/1932 M, Syiria) memilih satu definisi
yang paling tepat yaitu: Milik adalah keistimewaan (astishash) terhadap sesuatu yang
menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharuf secara
langsung kecuali ada halangan syari".4
Jadi pada prinsipnya atas dasar Milkiyah (pemilikan) seseorang mempunyai
keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharuf (berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu) kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara.5
1.

Sejarah Hak Cipta

Dalam hukum Islam klasik tidak ada pembahasan tentang hak cipta, terutama pada awal
pembentukan hukum Islam. Sejarah dan perkembangan hak cipta terjadi di luar dunia
Islam, yaitu pada awal abad ke-19 hal inilah yang menjadikan sebagai cendekiawan
muslim menyatakan bahwa konsep hak cipta berasal dari kapitalis yang terlalu
mementingkan materi. Dalam sejarah awal tercatat beberapa negara Islam yang telah
mengeluarkan berbagai peraturan mengenai perlindungan tentang hak cipta, diantara
negara tersebut adalah:
a.

Kekhalifahan Turki Ustmani pada tahun 1910 telah mengeluarkan Qonun Hak At-

Talif (UHC karya tulis).


b. Maroko pada tahun 1916 menetapkan Qonun Al-Maghribi (UU Maroko).
Karena tidak ada pembahasan dari ulama klasik, maka para cendekiawan muslim
kontemporer membahasnya dalam ruang lingkup Masail Fiqhiyah (Studi Fiqh
Kontemporer). Fathi Ad-Dhuraini membahas secara khusus dalam bukunya Al-Fiqh AlIslami Al-Muqaran maa Al-Mazahib pada bab Haq Al-Ibtikar Fi Al-Fiqh Al-Islami AlMuqaran. Beliau mengatakan bahwa belum ada satu cendekiawanpun yang membahas

4 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, sebagaimana dikutip oleh


Ghufran A. Masadi, M. Ag, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: Rajawali Pers,
2002), h. 54-55.
5 Ibid.

masalah ini secara terperinci pada masa-masa sebelum ini, kecuali Imam Al-Qarafi
(w.684 H/1285 M) dalam kitab Al-Furuq.6
Pembahasan yang komprehensif adalah pertemuan Majma Fiqh Al-Islamy di kuwait
tahun 1988, yang memutuskam dan menetapkan mengenai Hak Kekayaan Intelektual
termasuk didalamnya hak cipta keputusan atau ketetapan (Qoror) dari majelis Majma AlFiqh Al-Islamy tersebut menyebutkan bahwa secara umum, hak atas suatu karya ilmiah,
hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahannya
dilindungi oleh syariat Islam yang merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan
bagi pemiliknya khususnya dimasa kini merupakan urf yang diakui sebagai jenis dari
suatu kekayaan di mana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan
merupakan komoditi.7
Dalam konfrensi negara-negara Islam, pada forum Neenteenth Islamic Conference
Foreign Ministers di kairo yang berlangsung tanggal 31 Juli05 Agustus 1990
mengatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu hak asasi
manusia dalam Islam.8
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual pada musyawarah nasional VII tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H.
Bertepatan dengan 26-29 Juli 2005 M. Pada fatwa tersebut menyebutkan bahwa
pelanggaran hak atas kekayaan intelektual adalah suatu kezaliman dan hukumnya haram.
Dalam fatwa tersebut termasuk kekayaan intetelektual adalah berbagai hak atas kekayaan
intelektual termasuk perlindungan terhadap hak cipta.9
Berdasarkan sejarahnya maka konsep hak cipta adalah hasil pemikiran yang tumbuh
dan berkembang di wilayah non-Islam, pada awalnya ia hanya berupa perlindungan bagi
6 Fathi Ad-Duraini, Buhust Muqaraan fi al-Fiqh al-islami wa Ushuluh. (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1414 H/1994 M). cet. I, jilid II, h.22.
7 http://www.Ummujib.multiply.com/journal/item/65.com. Artikel di akses pada 20
November 2016 pukul 22.19
8 Handi Nugraha, Tujuan Perlindungan Hak Moral dalam UHC, Tesis Fakultas Hukum
Pasca Sarjana UI, (Jakarta: Fakultas Hukum Pasca Sarjana UI, 2005). h. 96, t.d.
9 Lihat keputusan Fatwa M.U.I nomor: 1/Munas VII/MUI/15/2005 tentang
Perlindungan HKI.

penerbit buku, namun setelah banyak didominasi oleh paham kapitalis. Konsep ini
kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia dan masuk kedalam khazanah hukum
Islam. Islam dengan sifat hukumnya yang universal memberikan jawaban-jawaban
terhadap masalah ini. Islam memiliki konsep tersendiri mengenai hak cipta yang tidak
sama dengan ideologi lainnya
2.

Jenis-Jenis Hak Cipta Yang Dilindungi

Konsep hak cipta dalam Islam berbeda dengan konsep hak cipta pada sistem lainnya.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah menusia selalu mengedepankan
kemashlahatan manusia, sehingga setiap segala sesuatu yang akan merusak fitrah
manusia maka Islam melakukan tindakan preventif dalam bentuk larangan untuk
mendekatinya atau memberikan justifikasi bahwa hal tersebut dilarang (haram atau
makruh).
Dari sini dapat dikatakan bahwa Islam hanya mengakui dan melindungi karya cipta
yang selaras dengan norma dan nilai yang ada di dalamnya. Jika karya cipta tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka ia tidak diakui sebagai karya cipta bahkan
perlindungan terhadap karya cipta pun tidak ada.
Sebagai contoh karya cipta yang membawa kepada jalan kemusyrikan, seperti berhalahala, lukisan-lukisan ytang mengumbar aurat, buku-buku yang mengandung berbagai
kesyirikan, penyembahan kepada thagut, pendewaan, mengajak kepada dosa besar,
nyanyian-nyanyian yang mengajak kepada kemaksiatan dan lainnya. Semua jenis karya
cipta tersebut tidaklah diakui sebagai sebuah karya cipta dalam Islam, lebih tegas lagi
karya cipta tersebut harus dijauhkan dan dimusnahkan dari masyarakat Islam.
Perlindungan terhadap hak cipta dalam Islam jelas berbeda dengan yang ada dalam
hukum positif, terkadang sebuah karya intelektual dalam pandangan Islam haram
hukumnya namun tetapi tidak haram menurut sebagian undang-undang positif, seperti
video yang mengambar aurat, film-film yang merusak aqidah, menghina Islam atau nabi
dan yang lainnya. Semua karya cipta tersebut tidak dianggap harta oleh Islam, 10 tetapi
tetap dianggap harta yang dilindungi menurut undang-undang dalam hukum positif.

10 Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qoyim wa al- Akhlak fi al-Iqtishadi al-Islamy, (Norma


dan Etika Ekonomi Islam), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). h. 89.

Dengan demikian perlindungan terhadap hak cipta dalam Islam memiliki syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu karya cipta dapat diakui sebagai hak kepemilikan atas
harta. Syarat-syarat tersebut terkait erat dengan karya cipta yang merupakan media
penuangan dari gagasan pencipta.
Diantara sayarat-syaratnya adalah:
a.

Tidak mengandung unsur-unsur haram didalamnya seperti khamar, riba, judi,

daging babi, darah, dan bangkai.


b.

Tidak menimbulkan kerusakan di masyarakat seperti pornografi, kekerasan,

mengajak umat untuk berbuat dosa merusak lingkungan dan lain sebagainya.
Tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum seperti pembuatan berhala yang
akan disembah manusia, gambar-gambar yang merusak akhlak, buku-buku yang
mengajarkan ajaran sesat, penyimpangan-penyimpangan manhaj, mengajak kepada
kesyirikan dan yang lainnya.
Selain dari segi materi (zat) karya cipta, maka tidak dilindunginya sebuah karya cipta
juga berhubungan cara mendapatkan karya cipta tersebut. Yusuf al-Qardhawi menyatakan
bahwa Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan yang
haram dan melindungi hak milik yang diperoleh dengan jalan yang halal. Berciri jenisjenis yang dilindungi oleh Islam, yaitu:
a.

Diambil dari sumber yang tidak ada pemiliknya, misalnya barang tambang,

menghidupkan tanah mati, berburu, mencari kayu bakar.


b. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misalnya harta
rampasan, dan pengambilan zakat.
c.

Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti misalnya dalam jual beli dan

berbagai bentuk perjanjian,


d. Diambil secara sah dari pemiliknya dan tidak ada iwadh misalnya hadiah.
e.

Diambil tanpa diminta, misalnya harta warisan.

Jenis-jenis harta tersebut dikaitkan dengan hak cipta maka setiap karya cipta yang
diperoleh dengan cara yang haram maka ia menjadi haram untuk digunakan.
Sebagaimana harta yang diperoleh dengan cara yang haram. Implikasinya bahwa karya
cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka tidak dilindungi sebagai hak dalam
Islam.

2. Hak Paten
2.1 Pengertian
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensinya tersebut kepada pihak lain untuk melaksanakannya.11
2.2 Syarat dan Ketentuan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang paten :
1. Undang-undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten (UUP);
2. Undang-undang NO.7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the Word Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
3. Keputusan persiden No. 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the
protection of Industrial Property;
4. Peraturan Pemerintah NO.34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Pemerintah Paten;
5. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1991 tentang Bentuk dan lsi Surat Paten;
6. Keputusan Menkeh No. M.01-HC.02.1O Tahun 1991 tentang Paten Sederhana;
7.Keputusan Menkeh No. M.02-HC.01.1O Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan
pengumuman paten;
8. Keputusan Menkeh No. N.04-HC.02.1O Tahun 1991 tentang Persyaratan, Jangka
Waktu, dan Tata Cara Pembayaran Biaya Paten;
9. Keputusan Menkeh No.M.06.- HC.02.1O Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Pengajuan
Permintaan Paten;
10.Keputusan Menkeh No. M.07-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Bentuk dan Syaratsyarat
Permintaan Pemeriksaan Substantif Paten;
l1.Keputusan Menkeh No. M.08-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Pencatatan dan
Permintaan Salinan Dokumen Paten;
12.Keputusan Menkeh No. M.04-PR.07.10 Tahun 1996 tentang Sekretariat Komisi
Banding Paten;
11 Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual

13.Keputusan Menkeh No. M.01-HC.02.1O Tahun 1991 tentang Tata Cara Pengajuan
Permintaan Banding Paten .12
Prosedur cara pendaftaran hak paten diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
kepada Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, dan pendaftaran paten tersebut haru memuat:
a. Tanggal, bulan dan tahun pendaftaran hak paten;
b. Alamat lengkap dan alamat jelas orang yang mendaftarkan paten;
c. Nama lengkap dan kewarganegaraan inventor;
d. Nama dan alamat lengkap kuasa dari orang yang mendaftarkan hak paten apabila
pendaftaran hak paten diajukan oleh kuasanya;
e. Surat kuasa khusus, dalam hal pendaftaran hak paten diajukan oleh kuasa;
f. Pernyataan yang mendaftarkan hak paten untuk dapat diberi hak paten;
g. Judul invensi;
h. Klaim yang terkandung dalam invensi;
i. Deskripsi tentang invensi, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara
melaksanakan invensi;
j. Gambar (gambar teknik) yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan;
k. Untuk memperjelas invensi; dan
l. Abstrak invensi atau ringkasan dari deskripsi yang menggambarkan inti invensi.13

2.3 Hak Paten dalam Islam

12 Ibid.
13 Iswi Hariyani, 2010. Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar. Penerbit Pustaka
Yustisia: Jakarta.

Permasalahan ini merupakan permasalahan kontemporer yang tidak terdapat dalam al qurn, as
sunnah, ataupun ijm, serta perkataan para sahbat dan mujtahidn. Karenanya ulama
kontemporer berbeda pendapat tentangnya. Mereka terbagi menjadi dua kelompok:
Pertama, sebagian ulama kontemporer diantaranya Amad Al haj Al Kurd menyatakan tidak
adanya hak cipta dan tidak boleh menerima kompensasi harta atas hak tersebut. 14 Mereka
menggunakan dalil sebagai berikut:
1. Adanya hak ini mencegah orang lain untuk mencetak karya ilmiahnya tersebut kecuali
dengan memberikan kompensasi finansial. Hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang
dilarang menurut tinjauan syari. sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh
semua (makhluq) yang dapat melaknati. (QS. Al Baqarah: 159)Begitu pula sabda
Raslullah saw, Barangsiapa ditanya tentang ilmu kemudian dia menyembunyikannya
maka pada hari kiamat akan diberi tali kekang dari api neraka. (HR. Abu Dawud)
2. Ilmu termasuk salah satu bentuk mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah Subhanahu
wa Taala, bukan termasuk barang dagangan dan pekerjaan. Karenanya, amalan yang
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala tidak layak untuk mengambil upah
atasnya. Bahkan selayaknya seorang alim untuk mengajarkannya dan memberikan
manfaat atas ilmunya tanpa timbal balik secara finansial. Adapun untuk pemenuhan
kebutuhan seorang alim tersebut merupakan kewajiban umat, sebagaimana keadaan
salafus shalih. Dulu, para khalfah memberikan banyak materi kepada para ulama, begitu
memuliakan, serta memenuhi seluruh kebutuhan hidup mereka.
3. Hak muallif (hak cipta) tersebut dianalogikan (diqiyaskan) dengan hak syufah. Yang
mana itu hanya sebatas hak personal tanpa boleh untuk mengambil keuntungan finansial
atas buah pikirannya.
14 Wahbah Zuhayl, Al Muamalah Al Mliyah Al Muiroh, (Dimsyaq: Drul Fikr,
2008)

Kedua, mayoritas ulama kontemporer di antaranya Syaikh Muh ammad Burhnuddn As


Sanbuhal, Doktor Muammad Fathi Adduroni, Doktor Bakr bin Abdullh Abu Zayd, dan
Doktor Wahbah Zuh ayl mengakui adanya hak cipta dan kebolehan mengambil kompensasi
finansial atasnya. Pendapat mereka disandarkan pada dalil berikut:
1. Menurut jumhr al fuqaha` selain dari madhab Hanafiyah, manfaat termasuk dalam harta
milik padahal itu merupakan perkara abstrak. Dan tidak diragukan lagi, buah pikiran
seseorang menyerupai manfaat yang dimanfaatkan oleh orang lain. Karenanya buah
pikiran- dianggap sebagai harta milik yang boleh untuk dipindahtangankan secara syari.
2. Kebiasaan umum yang terjadi bahwa hak cipta merupakan bentuk kreativitas dan hasil
karya. Mereka mengakui kompensasi atasnya dan juga upah darinya. Seandainya hak ini
tidak boleh untuk mendapatkan kompensasi dan tidak layak disebut sebagai pekerjaan
yang halal, tentulah upah tersebut merupakan hasil yang haram. Seseorang yang
membuat hasil karya telah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya. Serta hal-hal lain
yang dia upayakan. Sehingga wajar saja jika dia mengambil upah atas hasil kerjanya
tersebut.
3. Sesungguhnya syarat Islam mengharamkan seseorang menyandarkan perkataan kepada
orang lain atau kepada selain sumbernya. Akan tetapi mengharuskan untuk menisbatkan
perkataan dan pemikiran kepada pemiliknya. Tujuannya adalah agar pujian atau imbalan
atas kebaikan yang telah dilakukan tidak ditujukan kecuali kepada sang pelaku.
Telah diriwayatkan dari Imam Al Ghazali bahwa Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang
lembaran bukunya terjatuh. Di dalamnya terdapat tulisan adith dan yang lainnya, apakah yang
menemukan boleh menulisnya atau mengembalikannya? Beliau menjawab, Tidak (boleh
menulisnya), akan tetapi meminta izin kemudian baru menuliskannya.
1. Seorang penulis/penyusun bertanggung jawab atas hasil tulisannya tersebut dan dia akan
dihisab atasnya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Tiada suatu ucapan pun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS.
Qf ayat 18)

2. Sesungguhnya hal itu merupakan hak milik bagi pengarangnya karena termasuk buah
karyanya.
3. Ulama terdahulu pernah memberikan contoh tentang memanfaatkan hasil karya tersebut.
Yaitu yang dilakukan oleh Al Hfidh Abu Nuaim Al Asfahan yang menjual kitabnya
Al Hliyah dengan harga empat dinar.
4. Satu kaedah yang dipaparkan para ulama. Yaitu barangsiapa beribadah untuk mengambil
ganti atasnya, maka tidak boleh. Akan tetapi jika dia mengambil ganti untuk melakukan
ibadah, maka hal itu dibolehkan.
Begitu juga dengan hasil karya. Jika dia membuat karya sebagai bentuk ibadah untuk didapat
hasilnya, maka hal itu tidak boleh. Akan tetapi jika dia mengambil hasil dari karyanya itu untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala, maka hal itu dibolehkan.
Dari pemaparan dua pendapat tersebut yang paling rajih adalah pendapat kedua. Yakni hak cipta
diakui secara syari dan boleh menyerahkan hak tersebut kepada orang lain. Sebab, apabila hak
cipta tidak diakui tentu akan menjadikan seseorang berhenti dari berkarya.
Adapun

pendapat

pertama

yang

mengatakan

bahwa

hak

cipta

merupakan

bentuk

menyembunyikan ilmu tidak dapat dibenarkan. Pengkomersilan hak cipta bukan berarti
menghalangi untuk menyebarkannya. Itu hanyalah alasan syaithoni dari oknum-oknum untuk
menerbitkan buku tanpa memberikan kompensasi apapun kepada penulis.
Begitu juga dengan alasan bahwa menyebarkan ilmu merupakan salah satu bentuk mendekatkan
diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya yang tidak pantas untuk menerima upah juga tidak
dapat diterima. Sebab, para ulama kontemporer memfatwakan bolehnya mengambil upah atas
amalan ketaatan seperti menjadi imam, adzan, dan mengajarkan al quran.
Sedangkan menganalogikan hak cipta dengan hak syufah juga merupakan analogi yang berbeda
(qiys maa farq). Hal ini dikarenakan seorang penulis telah mencurahkan segenap pikiran dan
usahanya untuk menghasilkan penemuan. Karenanya boleh baginya untuk mengkomersilkannya.

Perkumpulan Konferensi Fiqh Islam yang kelima di Kuwait pada tanggal 10 Desember 1988 M
membahas tentang Hak-Hak Maknawiyah atau Hak Cipta dan pembahasan lainnya. Kemudian
menghasilkan beberapa poin:
1. Merek dagang, logo dagang, hak cipta, desain industri, dan hak paten merupakan hak
khusus bagi pemiliknya. Hal ini menjadi sesuatu yang maklum pada masa sekarang ini
dan memiliki nilai finansial untuk dikomersilkan. Hak ini diakui secara syar dan tidak
boleh dilanggar.
2. Boleh memperdagangkan atau memindah tangankan merek dagang, logo dagang, dan
desain industri dengan kompensasi harta apabila terbebas dari ketidakjelasan, penipuan
dan hal itu diakui sebagai hak komersial.

REFERENSI
Wahbah Zuhayl, Al Muamalah Al Mliyah Al Musiroh,
(Dimsyaq: Drul Fikr, 2008)

Al Izz bin Abdis Salm, Qowidul Ahkm F Maslihil


Anm, (Beirut: Drul Marif)

Imam As Suyt, Al Asybah Wan Nazir, (Riyadh: Maktabah Nizar Al Bass, 1997)
Ibnu Qudmah, Al Mughn, (Riyadh: Darul Alam Al Kutub, 1997)
Saduddin Muhammad Al Kibi, Al Muamalah Al Muashiroh fi Dhouil Islam, (Beirut: Al Maktab
Al Islami, 2002)
Romi Satrio Wahono, Dapat apa sih dari Universitas? (kumpulan artikel dari blog
RomiSatrioWahono.net), editor, Suherman, Msi, (Bandung: ZIP Books, 2009)
Buku Panduan Hak Kekayaan Intektual (HaKI) dari Pemerintah Indonesia
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 Tentang
PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)

LAMPIRAN
Soal 1 :
Abdul Aziz Iswahyudi (15650103)
Bagaimana apabila prosedur pendaftaran hak paten tidak lengkap, apakah masih bisa diterima?
Dan bagaimana hukum cracking?
Soal 2 :
Arinal Rifqi (1560072)
Apa perbedaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan Hak Paten dalam Islam dan lainnya
(zaman sekarang) ?
Soal 3 :
Muhammad Firyal Alfarisi (15650101)
Apa keuntungan dan kerugian dari Hak Paten?

Jawab 1 :
Kita ambil contoh bagaimana kita mendaftar ketika masuk UIN Malang, nah bagaimana jika
berkas yang kita berikan tidak lengkap missal nama dan data diri yang lain tidak ada? Nah,
begitu juga dengan pendaftaran HaKI dan Hak Paten, maka prosedur pendaftaran harus dipatuhi
semua agar bisa diterima.
Sedangkan hokum cracking sendiri kita coba mengambil contoh dari kelompok selanjutnya (Kel
14) karena mereka membahas masalah ini. Nah, di makalah mereka bilang bahwa jika tujuan kita
cracking untuk misalnya memblokir atau mendeface situs-situs terlarang maupun illegal itu bisa
kita samakan dengan menghancurkan berhala pada masa nabi Ibrahim A.S lalu.

Jawab 2 :
Hak Kekayaan Intelektual sendiri terbagi menjadi berapa bagian, seperti Hak Paten, Hak Merek
Dagang, Hak Cipta dan lain sebagainya. Nah, istilah ini muncul sebenarnya pada zaman akhirakhir ini dan tidak kita temukan pada masa Rasulullah, sahabat maupun tabiin. Ini yang
kemudian menjadi kajian para ulama-ulama kontemporer yang di Indonesia sendiri telah dibahas
pada Musyawarah Nasional MUI pada tahun 2005. Mereka menyertakan beberapa dalil tentang
haramnya mengambil hak orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Namun, ada juga
ulama-ulama lain yang berbeda pandangan mengenai hukumnya sendiri, mereka yang berbeda
beranggapan bahwa HaKI merupakan bagian dari menyembunyikan ilmu kepada sesama.
Wallahualam.
Jawab 3 :
Keuntungan dari HaKI sendiri adalah hasil pemikiran si penggagas ide/pencipta bisa dihargai
dan dirupiahkan, dan juga mendapat perlindungan agar tidak terjadi hal-hal seperti plagiat dari
pihak lain. Sedangkan kerugiannya menurut kelompok kami adalah kita tidak bebas menikmati
karya mereka (terbatas), dikarenakan harga yang kadang terlalu tinggi. Misalnya saja kita harus
membeli buku dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai