Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir dan
anak

telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum

Millenium Development Goal's 2015 ditetapkan. Angka kematian ibu


(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator
utama derajat kesehatan suatu negara. AKI dan
mengindikasikan

kemampuan

dan

kualitas

AKB

pelayanan

juga

kesehatan,

kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan pengetahuan


masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatan
dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan (Kemenkes,
2013).
Angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia masih
sangat tinggi. Berdasarkan perhitungan oleh Biro Pusat Statistik diperoleh
AKI tahun 2010 sebesar 248/100.000 KH. Jika dibandingkan dengan AKI
tahun 2002 sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, AKI tersebut sudah jauh
menurun, namun masih jauh dari target MDGs 2015 yaitu 102/100.000
kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2012).
Di Provinsi Banten pada tahun pada tahun 2014 tercatat jumlah
kematian ibu sebesar 230 orang, yang banyak disebabkan oleh pendarahan
61 orang (26,5%), hipertensi dalam kehamilan 63 orang (27,4%), infeksi 13

orang (5,7%), abortus 1 orang (0,4%), dan penyebab lain sebanyak 92 orang
(40%) (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2013).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang pada
tahun 2014 jumlah kematian ibu sebesar 48 orang, yang banyak disebabkan
oleh perdarahan 12 orang (25%), retensio plasenta 1 orang (2,1%),
hipertensi dalam kehamilan 10 orang (20,8%), infeksi 5 orang (10,4%), dan
penyebab lain sebanyak 20 orang (41,7%) (Dinas Kesehatan Kabupaten
Pandeglang, 2014).
Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan
42%, hipertensi dalam kehamilan atau preeklampsia/eklamsia 13%,
abortus 11%, infeksi 10%, partus lama/macet 9% dan penyebab lain
(15%) (SDKI, 2012). Kejadian preeklamsia/eklamsia paling banyak terjadi
pada ibu yang berusia 20-35 tahun (63%), dan 50% terjadi pada multipara
(Wendy, 2012). Preeklamsi merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham
dkk, 2005). Preeklampsia terjadi

pada umur

kehamilan diatas

20

minggu dan bisa berlanjut menjadi eklamsia.


Kejadian Preeklampsia di RSU Berkah Pandeglang tahun 2014 yaitu
sebesar 245 orang (18,4%) dari 1335 ibu bersalin. Jumlah kematian ibu di
RSU Berkah Pandeglang pada tahun 2014 sebanyak 35 orang, diantaranya
disebabkan

oleh

perdarahan

14

orang

(40%),

hipertensi

dalam

kehamilan/PEB/Eklmapsia 8 orang (22,9%), sepsis 4 orang (11,4%), dll


9 orang (25,7%) (Medrek RSU Berkah Pandeglang, 2014).
Kejadian Preeklamsi dipengaruhi oleh paritas, ras, faktor

genetik

dan lingkungan. Kehamilan dengan preklamsi lebih sering terjadi pada


primigravida, sedangkan pada multigravida berhubungan dengan penyakit
hipertensi kronis,

diabetes

melitus

dan

penyakit ginjal. Preeklamsi

merusak plasenta sehingga menyebabkan bayi lahir dalam keadaan tidak


bernyawa, atau lahir prematur, penyakit ini juga membahayakan ginjal
ibu

hamil.

Pada beberapa

kasus,

bisa

menyebabkan

ibu hamil

mengalami koma hingga menyebabkan kematian (Mochtar, 2008).


Proses penurunan AKI di Indonesia lambat, antara lain disebabkan
karena kasus rujukan terlambat masih tinggi. Secara rinci di Indonesia
penyebab

kematian

obstetri,

umumnya

berkaitan

dengan

kegawatdaruratan obstetri yang mengalami empat hal keterlambatan


(terlambat mengenali tanda bahaya dan risiko, terlambat mengambil
keputusan untuk

mencari

pertolongan,

terlambat mendapatkan

transportasi untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan yang lebih


mampu dan terlambat untuk mendapatkan pertolongan di fasilitas
rujukan). Salah satu strategi pencapaian penurunan AKI di Indonesia
adalah memantapkan,

rujukan

khususnya rujukan

obstetri,

sehingga

dibutuhkan tenaga kesehatan yang kompeten, termasuk bidan sebagai


ujung tombak pelayanan obstetri agar mampu merujuk dengan tepat
(Prawihardjo, 2002)

Sistem rujukan yang adekuat memerlukan tenaga kesehatan yang


kompeten, termasuk di dalamnya adalah bidan sebagai ujung tombak
pelayanan obstetri.

Kompetensi

merupakan keseluruhan

pengetahuan,

keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan


berpikir dan bertindak. Kompetensi profesional didefinisikan sebagai
kemampuan

yang

diperlukan untuk mewujudkan tenaga profesional.

Seorang bidan seharusnya mampu merujuk secara terencana dan tepat


waktu. Bidan harus bisa mengenali faktor risiko, pengambilan keputusan
klinis secara tepat, juga mampu memberikan pertolongan pertama pada
kegawatdaruratan

sehingga

dapat menyimpulkan dengan tepat jenis

rujukan yang diperlukan. Agar bidan mampu melakukan hal tersebut,


diperlukan kompetensi yang baik dari segi pengetahuan, sikap maupun
keterampilannya.
SDKI menggambarkan data 5 tahun yang lalu masih terbatasnya
pelayanan kesehatan ibu meliputi tenaga dan sarana, belum optimalnya
keterlibatan swasta, terbatasnya
pelaksanaan

kegiatan

kualitas

tenaga

kesehatan

untuk

responsif gender meliputi: antenatal yang

terintegrasi, pertolongan persalinan, penanganan komplikasi

kebidanan,

dan keluarga berencana, belum adanya sistem pelayanan kesehatan yang


sesuai untuk daerah terpencil. Selain itu

belum

ada regulasi untuk

memberikan kewenangan yang lebih untuk tindakan medis khusus,


terbatasnya insentif untuk tenaga kesehatan, dan terbatasnya sarana/dana
untuk transportasi (kunjungan dan rujukan), serta kurangnya dana

operasional

untuk

pelayanan kesehatan ibu, terutama untuk daerah

terpencil.
Menyikapi tingginya kematian ibu di Indonesia, maka tantangan bagi
pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan yang berada di
lini paling depan, meningkatkan sarana dan prasarana di pusat layanan
kesehatan terutama Puskesmas maupun rumah sakit rujukan sehingga
kemunduran 50 tahun ke belakang di bidang kesehatan tidak terjadi lagi.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka penulis tertarik
untuk

melakukan

penelitian

yang

berjudul

Faktor-faktor

yang

berhubungan dengan ketepatan dalam merujuk pasien PEB di RSUD


Berkah Pandeglang Tahun 2015.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data yang diungkapkan dalam latar belakang diatas,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Faktor-faktor yang
berhubungan dengan ketepatan dalam merujuk pasien PEB di RSUD Berkah
Pandeglang Tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan ketepatan
dalam merujuk pasien PEB di RSUD Berkah Pandeglang Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi ketepatan rujukan pasien
PEB, usia bidan, pengalaman kerja, pendidikan, pengetahuan

dan sikap bidan di ruang bersalin RSUD Berkah Pandeglang


tahun 2015
b. Untuk mengetahui hubungan usia bidan, pengalaman kerja,
pendidikan, pengetahuan dan sikap bidan dengan ketepatan
dalam merujuk pasien PEB di ruang bersalin RSUD Berkah
Pandeglang Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberi masukan dan
informasi guna menjadi dasar SOP (Standar Operasional Perosedur)
di ruang bersalin RSUD Berkah Pandeglang agar dapat meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan serta diharapkan kasus PEB dapat
dicegah dan ditangani segera sehingga tidak jatuh dalam kondisi yang
lebih buruk, sehingga dapat memperkecil kematian ibu dan bayi.
2.

Institusi Pendidikan
Sebagai masukan bagi institusi pendidikan dalam proses belajar
mengajar yang berhubungan dengan partus lama sehingga dapat
bermanfaat sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya, serta dapat
menjadi bahan informasi tambahan bagi para mahasiswa tentang PEB.

3.

Peneliti
Sebagai bahan referensi atau sumber data dasar dalam
pengembangan

penelitian

selanjutnya

dengan

mengembangkan

variabel dan metode penelitian yang berbeda yang lebih kompleks.

Anda mungkin juga menyukai