I.
PENDAHULUAN
Istilah racun (poison) pertama kali diperkenalkan dalam literatur berbahasa Inggris
sekitar tahun 1230 Masehi. Pada saat itu racun mulai dikenal ketika minuman dicampurkan
zat tertentu yang bersifat mematikan. (1)
The American Association of Poison Control Centers (AAPCC) melaporkan 2 juta
kasus keracunan setiap tahunnya terjadi di Amerika Serikat. Beberapa korban meninggal di
rumah atau di ruang gawat darurat yang tidak terdata dalam pusat keracunan, sehingga
kemungkinan angka kasus keracunan sangat tinggi karena banyak yang tidak dilaporkan.
Keracunan menempati urutan ketiga penyebab kematian di Amerika Serikat. (1)
II.
DEFINISI
Racun (poison) adalah setiap bahan yang mempunyai kemampuan untuk
menimbulkan efek yang mahluk hidupIPD. Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan
suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ serta dapat menimbulkan
kerusakan atau kematian. (3)
Istilah overdosis menyiratkan paparan racun yang disengaja dan sering dikaitkan
dengan usaha bunuh diri, kejahatan penyalahgunaan obat (misalnya campuran alkohol
dengan heroin, obat tidur/ penenang). Sedangkan istilah efek samping obat adalah suatu
reaksi yang tidak diharapkan dan berbahaya yang diakibatkan oleh pengobatan. (1)
Insidens puncak keracunan terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun, dan
kebanyakan kasus terjadi pada anak kurang dari 5-6 tahun. Menurut American Association of
Poison Control Centers, sekitar 85% - 90% kasus keracunan pada anak terjadi pada usia
kurang dari 5 tahun, dan sisanya terjadi pada anak usia lebih dari 5 tahun. Keracunan pada
anak kurang dari 5 tahun umumnya terjadi karena kecelakaan (tidak sengaja), sedangkan
keracunan pada anak lebih dari 5 tahun terjadi akibat kesengajaan. (3)
Keracunan dapat terjadi melalui saluran cerna (tertelan), mata, topikal/ dermal, gigitan
binatang berbisa (envenomasi), inhalasi, dan transplasenta. Keracunan dapat bersifat akut
1
atau kronis. Keracunan terbanyak yang ditangani di unit gawat darurat adalah keracunan akut.
(4)
III.
PATOGENESIS
Mekanisme pasti terjadinya keracunan masih belum dimengerti seluruhnya. Racun
atau obat-obatan yang menyebabkan keracunan dapat masuk melalui tubuh dengan berbagai
jalur. Setelah tubuh terpapar zat toksik, maka zat toksis tersebut akan diabsorpsi dengan baik
sesuai jalur masuknya, dapat melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan. Jika melalui kulit,
bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung
terutama bahan yang larut minyak (polar). Racun akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahanbahan racun yang larut air dan dapat menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun
terserap ke dalam tubuh manusia. (9)
Secara umum mekanisme toksisitas banyak melibatkan peranan aksi kolinergik
neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh). Reseptor muskarinik dan nikotinik-asetilkolin dapat
ditemukan pada sistem saraf pusat dan perifer. Pada sistem saraf perifer, asetilkolin
dilepaskan di ganglion otonomik melalui sinaps preganglion simpatis dan parasimpatis,
sinaps postganglion simpatis, dan neuromuscular junction pada otot rangka. Pada sistem saraf
pusat, reseptor asetilkolin berperan pada terjadinya toksisitas insektisida organofosfat yang
menyebabkan terjadinya gangguan pada sistem pernapasan dan pusat vasomotor. Ketika
asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter untuk memperbanyak
konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri
melalui hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). (9)
IV.
gambar 1. (1)
V.
DIAGNOSIS KERACUNAN
2
Diagnosis dan terapi korban keracunan harus secepatnya dilakukan tanpa harus
menunggu pemeriksaan screening racun. Diagnosis kasus keracunan dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. (12)
Kecurigaan keracunan pada anak: awitan penyakit akut, usia antara 1-5 tahun atau
remaja, riwayat pica atau pernah terpapar dengan zat toksik, stres lingkungan baik
3
akut atau kronis, kelainan multi organ, perubahan tingkat kesadaran yang signifikan,
-
sosial)
Kecurigaan child abuse apabila anamnesis yang diperoleh dari orang tua tidak
konsisten
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis meliputi: (13)
Fungsi vital dan tanda vital (pernapasan, kardiovaskular), termasuk suhu tubuh
Sistem saraf pusat dan otonom, mata (pupil)
Perubahan pada kulit dan/atau mukosa mulut dan saluran cerna, serta bau napas atau
pakaian korban
Tanda dan gejala yang dapat mengarah pada golongan racun spesifik disebut sebagai
toxidromes. Toxidromes klasik dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu: sindrom
simpatomimetik, kolinergik, antikolinergik, dan opiat-sedatif-etanol. (lihat tabel 1)
Sindroma
Antikolinergik
Kolinergik
Opioid
Sedatif/
hipnotik
Gejala/Tanda
Agitasi,takipnea, takikardia,
hipertermi, penglihatan kabur, pupil
dilatasi, retensi urin, bising usus
menurun, kulit merah dan kering
Perubahan status mental, takipnea,
bronkospasme, bradikardi atau
takikardia, salivasi, miosis, poliuri,
defekasi, emesis, lakrimasi, kejang,
diaphoresis
Perubahan status mental, bradikardia
atau apnea, bradikardia, hipotensi,
pupil pintpoint, hipotermi
Bicara cadel, bingung, hipotensi,
takikardia, pupil dilatasi/konstriksi,
mulut kering, depresi pernapasan,
hipotermi, delirium, halusinasi,
koma, parestesia, penglihatan kabur,
ataksia, nistagmus
Etiologi
Atropin, difenhidramin,
skopolamin
Kodein, fentanil,
heroin,metadon,
dekstrometorfan
Etanol, antikonvulsan,
barbiturat, benzodiazepine
Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran dengan GCS
(Glasgow Coma Scale). Apabila korban tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun maka
diagnosis keracunan dapat dilakukan pereksklusionam. Untuk keracunan secara umum dapat
digunakan skor yaitu Poisoning System Score (PSS). Dengan nilai beratnya gejala: NONE
(0): tidak ada gejala yang dikaitkan dengan keracunan, MINOR (1): ringan, gejala sementara
dan sembuh spontan, MODERATE (2): gejala menetap dan memburuk, SEVERE (3): gejala
berat dan mengancam nyawa, FATAL (4): kematian. (13)
(i)
Pemeriksaan mata. Perubahan ukuran pupil, serta posisi pupil (nistagmus) dapat terjadi
tergantung pada jenis obat/racunnya. Miosis: Kolinergik, klonidin, Opiates,
organofosfates, Phenotiazines, pilokarpin, pontinebleed, Sedatif hipnotik (COPS).
Midriasis: Antihistamin, Antikolinergik, Atropin, Simpatomimetik. (12)
(ii)
Pemeriksaan neuropati. Berbagai obat dan racun dapat menyebabkan neuropati sensoris
dan motoris setelah paparan berulangkali. Beberapa zat dapat menyebabkan neuropati
tanpa paparan berulang, namun sekali terpapar dalam jumlah yang besar misalnya
arsenik dan talium. (12)
(iii)
Pemeriksaan abdomen. Yang harus diperiksa antara lain peristaltik, distensi abdomen,
dan muntah (hematemesis). Muntah terutama bila terjadi hematemesis dapat menjadi
(iv)
ergot
atau
amfetamin.
Sianosis
merupakan
indikasi
terjadinya,
(v)
Pemeriksaan bau atau aroma racun. Sejumlah racun dapat dikenali lewat baunya (tabel
2). Namun demikian kadang bau racun akan tertutupi dengan bau muntah sehingga akan
menyulitkan deteksi bau racun. (1)
Jenis bau
mioglobinuria
Darah yang berwarna coklat menandakan methemoglobinuria
Kristal oksalat pada urin merupakan petunjuk khas keracunan etilenglikol
Ketonuria disertai perubahan metabolik terjadi pada keracunan alkohol dan aseton
Ketonuria tanpa disertai perubahan metabolik dapat merupakan gejala keracunan
salisilat
VI.
TATA LAKSANA
Tata laksana keracunan didasarkan pada empat prinsip umum berikut ini: (9) (13)
4) Pemberian antidotum
Penilaian Awal
Penilaian dengan cepat apakah anak mengalami gagal napas atau syok. Tentukan
apakah dibutuhkan langkah resusitasi ABC. Mengingat bahaya utama keracunan adalah
aspirasi, hipoventilasi, hipoksia, hipotensi, dan aritmia jantung, maka aspek terpenting adalah
mempertahankan jalan napas, ventilasi dan sirkulasi. Apabila didapatkan gangguan, beri
oksigen, dukungan ventilasi, terapi spesifik dan resusitasi cairan. (lihat lampiran 1,2,3)
Mencegah/ Mengurangi Absorbsi (Dekontaminasi)
Tindakan dekontaminasi dilakukan secara individual, tergantung pada jenis dan rute
paparan serta lamanya zat racun tertelan.
(i) Dekontaminasi kulit
- Pakailah alat proteksi diri (sarung tangan, baju khusus, kacamata) sebelum
(ii)
Dekontaminasi mata
- Terutama kornea sangat sensitif terhadap agen korosif dan laruutan hidrokarbon yang
-
cepat merusak permukaan kornea dan menimbulkan kerusakan permanen pada kornea
Terlebih dahulu lepaskan semua lensa kontak yang dipakai, dan tempatkan korban
(iii)
(iv)
dipertimbangkan adalah tingkat toksisitas, sifat fisik, dan lokasi zat toksik di dalam tubuh,
serta kontraindikasi atau alternatif tindakan. Mengingat kemungkinan risiko gangguan
pencernaan, penggunaan katartik saat ini tidak dianjurkan lagi.
Dekontaminasi saluran cerna dapat dilakukan dengan metode berikut:
Pengosongan lambung: paling efektif apabila dikerjakan sedini mungkin (30 menit sampai
1 jam pertama):
- Induksi muntah:
o Stimulasi faring
o Sirup ipekak
Sirup ipekak untuk merangsang muntah digunakan pada awal terjadinya
keracunan dalam beberapa menit, jarang digunakan jika keracunan sudah
Arang aktif:
- Arang aktif memiliki kemampuan serap yang tinggi, meminimalkan absorpsi obat
-
dengan penyerapan
Efektif dalam jam pertama setelah racun tertelan
8
Dosis 1-2 g/kg (maksimum 100g) per dosis, diberikan setelah bilas lambung
Satu atau dua dosis arang aktif dapat diberikan dalam interval 1-2 jam untuk
memastikan dekontaminasi usus yang adekuat terutama jika menelan racun dalam
jumlah yang banyak
gycol-balanced electrolyte solution/ PEG-ES) dalam jumlah besar dan aliran cepat
Dosis: 500 ml/jam (usia 9 bulan- 6 tahun), 1000 ml/jam (usia 6-12 tahun), 1500-2000
efektivitasnya
Direkomendasikan pada kasus keracunan logam berat, zat besi, tablet lepas lambat
Dialisis; indikasi:
Keracunan berat
Gagal ginjal
Keracunan mengancam kehidupan dan disebabkan oleh obat yang bisa didialisis serta
tidak dapat diterapi secara konservatif, seperti teofilin, litium, dan alkohol
Hipotensi yang mengancam fungsi ginjal atau hati
Gangguan asam basa, elektrolit, atau hiperosmolalitas berat yang tidak berespons
terhadap terapi
- Hipotermia atau hipertermia berat yang tidak berespons terhadap terapi.
Hemoperfusi; indikasi sama dengan hemodialisis
Arang aktif dosis multipel (Multiple-Dose Activated Charcoal /GastroIntestinal
Dialysis)
9
diperlukan terapi spesifik atau antidotum. Apabila antidotum spesifik tersedia, maka harus
diberikan sesegera mungkin dengan dosis yang sesuai.
Jenis Racun
Asetaminofen
Antidotum
N-Asetil-L-Sistein
Antikolinergik
Physostigmine
Antikolinesterase (insektisida)
Atropin, pralidoksim
Arsen
Amfetamin
Lorazepam
Amanita phaloides
Salibinin, Benzilpenisilin
Benzodiazepin
Flumazenil
-blocker
Glukagon
Botulinum
Antitoksin tipe A, B, E
Karbon monoksida
Oksigen
Sianida
Antidepresan trisiklik
Natrium bikarbonat
Digoksin
Etilen glikol
Ethanol
Zat besi
Desferoksamin
Isoniazid
Piridoksin
Timah hitam
Merkuri
BAL, DMSA
Metanol
Etanol, 4-MP
Methemoglobinemia
Methylene blue
Opioid
Nalokson
Timbal
pensilamin, BAL
Na hipoklorit
Natrium tiosulfat
Talium
Organofosfat
Sulfas atropin
Pralidoksim
Fe (besi)
Desferioksamin
Warfarin
Datura/ kecubung
Fisostigmin salisilat
Oleander
Kolestiramin
Kalajengking
Antibisa (polivalen)
Ubur-ubur
Antivenom
Ular berbisa
SABU
Jengkol
Tabel 3. Antidotum. (9)
Na bikarbonat
Pemantauan
Setelah semua tahap tata laksana terhadap kasus keracunan dilakukan, sebaiknya
pasien dirawat atau diobservasi di ruang perawatan intensif. Pemantauan pasien dapat
dilakukan secara multidisiplin tergantung kerusakan organ
Pencegahan
- Obat-obatan dan zat pembersih rumah tangga harus disimpan dalam lemari terkunci,
penyimpanan dalam tempat yang seharusnya
- Tidak membuang etiket atau label pada botol obat dan baca petunjuk sebelum
-
menggunakan
Tempat penyimpanan yang tidak dapat dibuka oleh anak
Nyalakan lampu saat akan memberikan obat
Tidak mengkonsumsi obat di depan anak karena mereka akan menirunya
Tidak menyebut obat dengan sebutan permen
Setiap 6 bulan bersihkan lemari dari obat-obatan yang sudah kadaluwarsa
Jauhkan anak-anak dari tanaman beracun
VII.
Keracunan ringan (150-300 mg/kg): gangguan saluran cerna, tinitus dan takipnea.
Keracunan berat (>500 mg/kg): disartria, koma, kejang, edema paru, kematian
Pemeriksaan penunjang:
Urinalisis, EKG
Tata laksana
Perawatan suportif: ventilasi, pemantauan jantung, dan akses vaskular, koreksi gangguan
cairan dan elektrolit
Dekomintasi saluran cerna pada pasien yang datang 4-6 jam setelah tertelan salisilat.
Apabila pasien datang setelah 6 jam, berikan arang aktif untuk meningkatkan ekskresi
Alkalinisasi urin untuk meningkatkan eliminasi salisilat. - Hemodialisis pada kasus berat
salivasi, iritabilitas saluran cerna, nyeri perut, muntah, diare, depresi SSP, dan
kejang
12
Tata laksana
-
Organofosfat (2)
Manifestasi klinis
-
Gejala tergantung pada rute, lama paparan, dan jumlah zat yang diabsorbsi
Gejala klinik yang berhubungan dengan SSP: pusing, nyeri kepala, ataksia, kejang
dan koma;
Tata laksana
-
Berikan antidotum sulfasatropin intravena, dosis 0,05-0,1 mg/kg (anak) atau 2-5
mg (remaja), diulang setiap 10-30 menit sampai tercapai atropinisasi, yang
ditandai terutama dengan menghilangnya hipersekresi.
13
Setelah pemberian atropin, pada kasus berat (kelemahan otot berat dan fasikulasi)
diberikan pralidoksim (dosis 25-50 mg/kg dalam 100 mL NaCl fisiologis,
diinfuskan selama 30 menit). Dalam keadaan mengancam jiwa, 50% dosis inisial
pralidoksim diberikan dalam 2 menit, dan sisanya dalam 30 menit. Setelah dosis
inisial, diberikan infus kontinyu larutan 1% 10 mg/kg per jam pada anak atau 500
mg per jam pada remaja sampai efek yang diinginkan tercapai. Pralidoksim sangat
berguna dalam 48 jam setelah terpapar, namun masih berefek 2-6 hari kemudian.
(iii)
Hidrokarbon adalah senyawa karbon yang pada suhu kamar berbentuk cairan.
Hidrokarbon dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: hidrokarbon alifatik (minyak lampu,
minyak tanah, cairan pemantik), aromatik (pelarut, lem cat, cat kuku), dan toksik.
Manifestasi klinis
-
Tata laksana
-
Pengosongan lambung hanya dilakukan pada zat yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan efek toksik sistemik, seperti halogenated hydrocarbon (trichloroethane,
carbon terachloride), hidrokarbon aromatik (toluene, xylene, benzene), dan apabila
mengandung zat aditif seperti logam berat dan insektisida.
Apabila pasien datang dengan batuk atau gejala respirasi, lakukan segera foto toraks.
Ulang foto toraks 4-6 jam kemudian apabila foto toraks awal normal. Bila normal,
pasien dapat dipulangkan.
Semua pasien dengan kelainan foto toraks atau gejala respirasi menetap setelah
observasi 4-6 jam, memerlukan pemantauan lebih lanjut.
14
(iv)
Gejala awal: kelemahan, malaise, kebingungan, nyeri kepala, pusing, dan napas
pendek.
Keadaan lanjut: mual dan muntah, hipotensi kejang, koma, apnea, aritmia, dan
kematian akibat henti jantung paru.
Pemeriksaan fisis: bisa didapatkan warna merah cherry pada kulit dan merah pada
arteri serta vena retina.
Kadang-kadang dapat tercium bau seperti almond pahit pada napas pasien.
Pada keracunan berat, kematian biasanya terjadi dalam waktu 1-15 menit.
Tata laksana
Berikan antidotum (amil nitrit, Na-nitrit dan Na- tiosulfat). Sambil menunggu akses
vena, berikan amil nitrit per inhalasi. Setelah akses vena terpasang, berikan Na-nitrit
10 mg/kg atau 0,33 mL/kg Na-nitrit 3%, untuk menghasilkan 20% methemoglobin.
15
Selanjutnya berikan Na- tiosulfat 25% sebanyak 1,6 mL/kg (400 mg/kg) sampai 50
mL (12,5 g), intravena dalam 10 menit. Pemberian nitrit harus hati-hati karena dapat
menyebabkan hipotensi.
(v) Keracunan Jengkol (Pithecolobium Lobatum) (8)
Manifestasi klinis
-
Manifestasi klinis disebabkan oleh hablur (kristal) asam jengkol yang menyumbat
traktus urinarius.
Keluhan pada umumnya timbul dalam waktu 5-12 jam setelah memakan jengkol
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop dapat ditemukan hablur asam jengkol
berupa jarum runcing yang kadang-kadang bergumpal menjadi ikatan atau berupa
roset.
Tata laksana
-
Gejala penyakit ringan (muntah, sakit perut pinggang saja): banyak minum,
berikan natrium bikarbonat.
Gejala penyakit berat (oliguria, hematuria, anuria dan tidak dapat minum):
penderita perlu dirawat dan diberi infus natrium bikarbonat dalam larutan glukosa
5%.
16
(vi)
Manifestasi serupa dengan gejala akibat kurare, yaitu pusing, diplopia, anorexia,
lemah, ptosis, strabismus, kesukaran bernapas, menelan atau berbicara.
Kematian bisa timbul dalam 1-8 hari, biasanya beberapa anggota suatu keluarga
sekaligus terkena.
Tata laksana
-
17
LAMPIRAN
18
Lampiran 1
19
Lampiran 1
20
Lampiran 2. Pediatric Cardiac Arrest Algorithm for the Single Rescuer (17)
Victim is unresponsive.
Shout for nearby help.
Activate emergency response system
via mobile device (if appropriate).
Witnessed sudden
collapse?
Yes
No
CPR
1 r escuer: Begin cycles of
30
compressions and 2 breaths.
Use 15:2 ratio if second rescuer arrives.)
Use AED as soon as it is available.
No,
nonshockable
Resume CPR immediately for
about 2 minutes (until prompted
by AED to allow rhythm check).
Continue until ALS providers take
over or victim starts to move.
21
Victim is unresponsive.
Shout for nearby help.
First rescuer remains with victim.
Second rescuer activates emergency
response system and retrieves AED
and emergency equipment.
Monitor until
emergency
responders arrive.
Normal
breathing,
has pulse
No normal
breathing,
has pulse
No breathing
or only gasping,
no pulse
30:2
15:2
CPR
First rescuer begins CPR with
ratio (compressions to breaths
).
When second rescuer returns, use
ratio (compressions to breaths
).
Use AED as soon as it is available.
No,
nonshockable
Resume CPR immediately for
about 2 minutes (until prompted
by AED to allow rhythm check).
Continue until ALS providers take
over or victim starts to move.
22