Anda di halaman 1dari 23

Presentasi Kasus Bedah Plastik

SEORANG LAKI-LAKI 47 TAHUN


DENGAN FRAKTUR MAXILOFACIAL

Oleh :
Johanness Ephan Bagus Kurnia

G99152087

Rindy Saputri

G99151044

Periode : 5 - 10 Desember 2016


Pembimbing:
dr. Amru Sungkar Sp.B, Sp.BP-RE.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. T

Umur

: 46 tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Pekerjaan

: Buruh

Agama

: Islam

Alamat

: Sarawangan, Depok

Tanggal masuk

: 3 Desember 2016

Tanggal pemeriksaan : 5 Desember 2016


No. RM

: 013459xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri pada wajah setelah KLL
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri pada wajah setelah KLL 27 jam SMRS.
Awalnya pasien sedang naik motor dengan menggunakan helm namun
akibat jalan licin, motor pasien terpeleset sehingga pasien jatuh dengan
muka membentur aspal. Pingsan setelah kejadian disangkal. Pasien juga
mengeluhkan muntah satu jam setelah kejadian. Muntah berisi darah
bercampur dengan air namun pasien tidak dapat mengira berapa banyak
jumlah muntahan. Pasien kemudian dibawa ke RSUD tangerang dan
diberi obat-obatan, namun oleh keluarga diminta rujukan ke RSDM
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat HT

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat ASMA

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Mondok

:disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat HT

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat ASMA

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat penyakit bawaan : disangkal


5. Riwayat Kebiasaan
Merokok

: 12 batang sehari selama 21 tahun.

Minum alcohol

: disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum

Compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang, kesan gizi cukup


2. Vital Sign
TD

: 110/80 mmHg

Temperature

: 36,6 C

Heart Rate

:91x/ menit

Respiration Rate

: 22x/mnt

Saturasi O2

: 99 %

3. General Survey
a. Kepala

: mesocephal

b. Mata

: hematom periorbita(+/+), mata kemerahan (+/-), sklera

ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+),


c. Telinga

: secret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid(-), nyeri Tragus

(-)
d. Hidung

: darah (+/+), nafas cuping hidung (-), secret (-),

e. Mulut

: gusi berdarah (+), gigi tanggal (+) lidah kotor (-), jejas

(+), mukosa basah (+), maxilla goyang (+), mandibula goyang (+),
pelo (+)
f. Leher

: pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri

tekan (-), JVP tidak meningkat


g. Thoraks

: bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris

h. Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak.

Palpasi

: ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi

:batas jantung kesan tidak melebar.

Auskultasi

:bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising(-)

i. Pulmo
Inspeksi

: pengembangan dada kanan sama dengan kiri.

Palpasi

: fremitus raba sulit dievaluasi

Perkusi

: sonor/sonor.

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan


(-/-)

j. Abdomen
Inspeksi

: distended (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)

k. Ekstremitas

:
akral dingin
-

oedem
-

D. STATUS LOKALIS REGIO FACIAL


1. Inspeksi
Tampak multiple vulnus terhecting, edema pada rima orbita dextra, edema
pada maksila dextra

2. Palpasi
Nyeri tekan (+), teraba diskontinuitas pada os mandibula dextra, dan os
maxilla dextra
E. ASSEESSMENT I
F. PLAN I
Diagnosis
1. Cek Darah lengkap
2. Foto rontgen thorax
3. Foto rontgen thoraco lumbal
4. Msct Brain
Terapi
1. Head up 30
2. Oksigenasi 3 lpm
3. Infus Nacl 0,9 % 20 tpm
4. Inj Ranitidine 50mg/12jam
5. Inj metamizole 1 gr/ 8 jam
Monitoring
1. Keadaan umum dan vital sign
Edukasi
1. Oral hygine
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah (03/12/2016)

Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Hemostasis
PT
APTT
INR
Kimia Klinik
GDS
Creatinin
Albumin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Serologi Hepatitis
HbsAg

Hasil

Satuan

Rujukan

13.6
40
18.2
194
4.53

g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l

13,5 17.5
33 45
4.5 11
150 450
4.50 5.90

13.7
25.8
1.110

mg/dl
mg/dl

10 15
20 40
-

143
0,7
34

mg/dl
mg/dl
mg/dl

60-140
0,9-1,3
<50

134
3,6
98

mmol/dl
mmol/dl
mmol/dl

136-145
5,3-5,1
98-106

Nonreaktif

Nonreaktif

Pemeriksaan Radiologi (Thorak PA/Lat) 03/12/2016

Kesimpulan : Cor dan pulmo tidak tampak kelainan


Foto Thoraco lumbal

Kesimpulan: Spondilosis lumbalis

MSCT Brain

Kesimpulan: SAH regio parietotemporal kiri, multiple fraktur pada corpus


mandibula kanan dan kiri serta maxilla kanan, Hematosinus maxilaris,
ethmoidalis,spenoidalis bilateral
H. ASSESMENT II
1. Fraktur Rima orbita inferior (D) extend to maxilla (D)
2. Fraktur zygoma (D)
3. Fraktur proc. Alveolaris (D)
4. Fraktur angulus mandibula (D)
5. Fraktur parasimpisis mandibula (S)
I. PLANNING II
1. Repair vulnus elektif
2. ORIF dan Arch Barr

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras


tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
wajah yaitu tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal,
maksila, dan juga mandibula (Muchlis, 2011). Trauma maksilofasial adalah
suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.Trauma pada
jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras.
Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan
keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari :
1. Tulang hidung
2. Tulang arkus zigomatikus
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
7. Tulang alveolus
Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang
tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan
terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah
maksilofasial

berhubungan

dengan

sejumlah

fungsi

penting

seperti

penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsifungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup
yang buruk (Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan
tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial.

B. Epidemiologi
Cedera meliputi 9% dari kematian di dunia dan 12% dari beban
penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat
cedera terjadi di negara berkembang (Devadiga, 2007).
Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering
yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di
Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria.
Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial
(Guruprasad, 2014; Yoffe, 2008; dan Zargar, 2004). Di Indonesia, pasien
fraktur maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% (Muchlis,
2011).
C. Etiologi
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus
meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan
kekerasan.

Hubungan

alkohol,

obat-obatan,

mengemudi

mobil,

dan

peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur


maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1% fraktur maksilofasial
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lain yaitu terjatuh
dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Singh, 2012). Penelitian
lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas (Guruprasad, 2011).
D. Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
1. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)
Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur
NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks
NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa,
orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal
tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari
maksila. sulit untuk direkonstruksi.

10

Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior


cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013).
Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal
process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa
lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di
posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang frontal di
kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di
lateral (Nguyen, 2010).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz-Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu
(Aktop, 2013):
a. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
b. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun
dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
c. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya
osteosynthesis atau telah terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada
orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe
III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh
kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).

11

2. Fraktur Zygomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting
pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC
memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa
temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter,
dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson,
2013).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding
penopang

yaitu

zygomaticomaxillary,

frontozygomatic

(FZ),

zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan


fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal
(Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah
klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang
penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi
enam yaitu (Dadas, 2007)
a. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan
secara klinis dan radiologi
b. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan
oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
c. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
d. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
e. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
f. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan
sepanjang fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan
5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur
kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat
(Meslemani, 2012).

12

3. Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan
lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah
meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan
trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal
mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik,
2009):
a. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis
tengah
b. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
c. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok
dengan penopang septal yang utuh
d. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau
rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat
atau dislokasi septum
e. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan

13

4. Fraktur Maksila dan LeFort


Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan
lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga
mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di
dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting
baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini
memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene
Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi
tiga yaitu (Aktop, 2013):
a. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari
maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior
dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah.
Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma
pada vestibulum atas (Guerins sign) dan epistaksis dapat timbul.
b. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang
melalui

tulang

nasal

dan sepanjang

maksila

menuju

sutura

zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita.


Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary
melalui lempeng pterygoid.
c. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal
tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur
berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura
orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian 11 memanjang melalui sutura
zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan
pterygomaxillary.

14

Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang
pertama adalah trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang
menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah
palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding
anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang
umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari submental yang
diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur
vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar
ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches (Moe, 2013).
5. Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang
kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah
dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua
buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).
Mandibula

terhubung

dengan

kranium

pada

persendian

temporomandibular (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan


gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan
berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri
TMJ,

gangguan

mengatupkan

gigi,

ketidakmampuan

mengunyah,

gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan

15

sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle, ramus,
kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).

E. Diagnosis
Diagnosis fraktur fasial ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan awal terhadap pasien fraktur
maksilofasial sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera
diarahkan terhadapat saluran pernapasan, adekuatnya ventilasi, dan kontrol
perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksan vital signs, gangguan
saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus
ditangani terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan vital signs
dan status neurologis pasien setidaknya mengenai tingkat kesadaran, yaitu
orientasi terhadap waktu dan tempat (Sharabi et al, 2011).
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan setelah pasien stabil, dapat dilakukan
autoanamnesia bila pasien sadar dan tidak terdapat gangguan berbicara
atau alloanamnesis kepada keluarga/orang yang mengantarkan pasien.
Selain menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, dahulu,
keluarga dan alergi, juga ditanyakan etiologi dan mekanisme terjadinya
trauma agar dapat diperkirakan jenis fraktur dan keparahannya. Aspek
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut : Bagaimana
mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami
perubahan status mental? Jika demikian berapa lama? Apakah pasien
memiliki kesulitan bernafas melalui hidung ? Apakah pasien memiliki
16

manifestasi berdarah seperti keluar darah dari hidung atau telinga? Apakah
pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah
pasien ada merasakan seperti kedudukan gigi tidak normal ?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya cukup sulit dievaluasi akibat adanya
pembengkakan pada bagian wajah yang menutupi temuan dari
pemeriksaan fisik. Poin-poin pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
antara lain:
a. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
b. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi.
c. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran
supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic,
dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan
rahang atas.
d. Periksa

mata

untuk

memastikan

adanya

exophthalmos

atau

enophthalmos, ketajaman visual, kelainan gerakan okular dan ukuran


pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual
e. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
f. Periksa hidung meraba fraktur dan krepitasi, periksa septum hidung
untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau dislokasi
g. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.
Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda
krepitasi atau mobilitas.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling berguna bagi kasus fraktur
maksilofacial adalah pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan dengan foto
polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan adanya fraktur

17

pada kasus trauma fasial (proses skrining). Apabila ditemukan fraktur


maka disarankan dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan untuk
membantu memberi infomasi mengenai letak fraktur dan tatalaksana apa
yang

harus

dilakukan,

serta

menyingkirkan

adanya

perdarahan

intrakranial.
Untuk cedera pada mandibula dapat dilakukan pemeriksaan dengan
pantogram/

panorex.

Pantogram

memberikan

gambaran

secara

menyeluruh dari condylus ke simfisis mandibula serta gigi yang ada


sehinga dapat memberikan informasi yang cukup mengenai cedera yang
terjadi pada mandibular. Dapat ditambahkan pemeriksaan foto polos secara
PA view. CT scan tetap merupakan pilihan pemeriksaan yang paling
sensitif untuk mengetahui fraktur mandibular, namun CT scan kurang
dapat memberikan informasi mengenai susunan dari gigi apabila
dibandingkan dengan pantogram.
F. Tatalaksana
Fraktur pada maksilofasial mempunyai cara penanganan pertama
dengan primary survey, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi
definitif. Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien,
dengan pemberian analgetik, antibiotik, ATS, dan antiemetik. Prinsip
penanganan fraktur maksila sama dengan penanganan fraktur yang lain yaitu
reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Tindakan penanganan fraktur
secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur
dan imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak
bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai. Pada
teknik tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur dilakukan dengan jalan
menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular misalnya dengan arch bar
atau interdental wiring. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka
dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung
dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini plat dan skrup (mini plate)
(Hollier et al, 2010).

18

Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan koreksi


deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:
1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang patah dengan jalan menggantungkan ke
arkus zigomatikus dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan
untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II.
2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan jalan
menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang frontalis, bisa dilakukan
untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III.
3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua fragmen
tulang yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen menggunakan
kawat kecil.
Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang
bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat
baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi
sempurna.
Pada kebanyakan fraktur zigoma, intervensi tidak selalu diperlukan
karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau hanya
mengalami pergeseran minimal. Indikasi operasi pada patah tulang zigoma
adalah fraktur dengan deformitas disertai diplopia, menyebabkan hiperaestesi,
atau juga menyebabkan trismus. Reduksi fraktur zigoma dilakukan melalui
insisi kombinasi, sebagai prinsip umum kesegarisan (aligment) os zigoma
harus ditetapkan pada setidaknya 3 area dan difiksasi di setidaknya 2 area
dengan miniplate dan sekrup.
Penanggulangan fraktur mandibula dilakukan dengan menggunakan
mini atau mikroplate yang dipasang dengan skrup. Pada fraktur tulang hidung
yang mengakibatkan terjadinya deviasi septum akibat dislokasi tulang hidung,
digunakan cunam Asch dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade)
ke dalam kedua rongga sambil menekan septum dengan kedua sisi. Sesudah
fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan

19

tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah


dengan antibiotika (Stacey et al, 2006; Marrow et al, 2014).
G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi baik sebelum dilakukan penanganan maupun
setelah dilakukan penanganan/ operasi. Kommplikasi yang mungkin terjadi
adalah aspirasi; gangguan jalan nafas; sikatrik/bekas luka; deformitas fasial
permanen sekunder akibat tatalaksana yang tidak tepat; kerusakan saraf yang
berakibat hilangnya sensasi, pergerakan wajah, penghidu, perasa dan
penglihatan; sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan berat badan;
fraktur mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan pendarahan
(Morris et al, 2013).

20

DAFTAR PUSTAKA
Akhiwu Benjamin, Kolo Emmanuel Sara, Amole Ibiyinka Olushola. 2016.
Analysis of complication of mandibular fracture. Departments of
Dental and Maxillofacial Surgery, and Otorhinolaryngology, Aminu
Kano Teaching Hospital/Bayero University, Kano,Nigeria
Engin D Arslan, Alper G Solakoglu, Erdal Komut, Cemil Kavalci, Fevzi Yilmaz,
Evvah Karakili, Tamer Durdu, Muge Sonmez. 2014. Assessment of
maxillofacial trauma in emergency department. World Journal of
Emergency Surgery
Erdmann D, Follmar KE, Debruijn M, et al. 2008. A retrospective analysis of
facial fracture etiologies. Ann Plast Surg. 2008;60: 398403.
Furr AM, Schweinfurth JM, May WL. 2006. Factors associated with long-term
complications after repair of mandibular fractures. Laryngoscope
2006;116:427430.
H. Latif. 2014. Prevalence of Different Kinds of Maxillofacial Fractures and
Their Associated Factors Are Surveyed in Patients. Global Journal of
Health Science; Vol. 6, No. 7; 2014
Heike Huempfner-Hierl, Andreas Schaller and Thomas Hierl. 2015. Maxillofacial
fractures and craniocerebral injuries stress propagation from face
to neurocranium in a finite element analysis. Scandinavian Journal of
Trauma, Resuscitation
Hollier LH, Sharabi SE, Koshy JC, Stal S. 2010. Facial trauma general principles
of management. J Craniofac Surg. 2010 Jul;21(4):1051-3.
John W. Werning, MD, DMD; Nathan M. Downey, DDS, MS; Ray A. Brinker,
MD; Sadik A. Khuder, PhD; William J. Davis, DDS, MS; Allan M.
Rubin, MD, PhD; Haitham M. Elsamaloty, MD. 1995. The Impact of
Osteoporosis on Patients With Maxillofacial Trauma. American
Medical Association
Jos Carlos Garcia de Mendona, Ellen Cristina Gaetti Jardim, Gustavo Rodrigues
Manrique, Helena Bacha Lopes and Gileade Pereira Freitas. 2012.
Surgical Treatment of Fracture in Atrophic Jaw. J Biotechnol
Biomaterial
Kelley P, Crawford M, Higuera S, Hollier LH. 2005. Two hundred ninety-four
consecutive facial fractures in an urban trauma center: Lessons
learned. Plast Reconstr Surg. 2005; 116:42e49e.

21

Laith Hussein Al-Qamachi, Sean Laverick, D.C. Jones. 2009. A clinicodemographic analysis of maxillofacial trauma in the Elderly.
Department of General Surgery, Manchester Royal Infirmary,
Manchester, UK
Livia Aguiar Bregagnolo, Janete Cinira Bregagnolo, Fernando da Silveira, Andr
Luiz Brgamo, Liliane Nascimento de Santi, Marlvia Gonalves de
Carvalho Watanabe. 2013. Oral and Maxillofacial Trauma in
Brazilian Children and Adolescents. Brazilian Dental Journal (2013)
24(4): 397-401
Max J. Scheyerer, Robert Dring, Nina Fuchs, Philipp Metzler, Kai Sprengel,
Clement M. L. Werner, Hans-Peter Simmen, Klaus Grtz and Guido
A. Wanner1. 2015. Maxillofacial injuries in severely injured patients.
Journal of Trauma Management & Outcomes (2015) 9:4
McMullin BT, Rhee JS, Pintar FA, et al. 2009. Facial fractures in motor vehicle
collisions: epidemiological trends and risk factors. Arch Facial Plast
Surg 2009;11:165Y170
Morris LM, Kellman RM. 2013. Complications in facial trauma. Facial Plast Surg
Clin N Am 21 (2013) 605617.
Morrow BT, Samson TD, Schubert W, Mackay DR. 2014. Evidence-based
medicine: Mandible fractures. Plast Reconstr Surg. 2014
Dec;134(6):1381-90.
Ogundipe OK, Afolabi AO , Adebayo O. 2012. Maxillofacial Fractures in Owo,
South Western Nigeria. A 4 Year Retrospective Review of Pattern and
Treatment Outcome
Rudderman RH, Mullen RL. 1992. Biomechanics of the facial skeleton. Clin Plast
Surg. 1992;19:1129.
Reynolds JR. 1978. Late complications vs. method of treatment in a large series
of mid-facial fractures. Plast Reconstr Surg. 1978; 61:871875.
Sharabi SE, Koshy JC, Thornton JF, Hollier LH. 2011. Facial fractures. Plast
Reconstr Surg. 2011 Feb;127(2):25e-34e
Stacey DH, Doyle JF, Mount DL, Snyder MC, Gutowski KA. 2006. Management
of mandible fractures. Plast Reconstr Surg. 2006 Mar;117(3):48e-60e
Vijay ebenezer, r. Balakrishnan, anatha padmanabhan. 2014. Management of
Lefort Fractures. Biomedical & Pharmacology Journal Vol. 7(1), 179182 (2014)

22

Yeliz Guven, Sevgi Zorlu, Abdulkadir Burak Cankaya,Oya Aktoren, Koray


Gencay. 2015. Case Report A Complex Facial Trauma Case with
Multiple Mandibular Fractures and Dentoalveolar Injuries. Hindawi
Publishing Corporation

23

Anda mungkin juga menyukai