Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Dasar Kecemasan

2.1.1

Pengertian
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental

yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu


masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada
umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai
perubahan fisiologis dan psikologis (Kholil Lur Rochman, 2010).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widuri, 2007)
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan
hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau
yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang
berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi
seseorang dalam kehidupannya.
2.1.2

Jenis kecemasan
Adapun jenis-jenis kecemasan menurut Feist, 2010 adalah :

1.

Kecemasan Neurosis (neurotic axiety) adalah rasa cemas akibat bahaya yang
tidak diketahui. Perasaan itu sendiri berada pada ego, tetapi muncul dari

dorongan-dorongan ide. Seseorang bisa merasakan kecemasan neurosis akibat


keberadaan guru, atasan atau figur otoritas lain karena sebelumnya mereka
merasakan adanya keinginan tidak sadar atau menghancurkan salah satu atau
kedua orang tua.
2. Kecemasan Moral (moral axiety) adalah berakar dari konflik antara ego dan
superego. Ketika anak membangun superego, biasanya di usia lima atau enam
tahun mereka mengalami kecemasan yang tumbuh dari konflik antara
kebutuhan realistik dan perintah superego. Misalnya, kecemasan moral bisa
muncul dari godaan seksual jika anak meyakini bahwa menerima godaan
tersebut adalah salah secara moral. Kecemasan ini juga bisa muncul karena
kegagalan bersikap konsisten dengan apa yang mereka yakini benar secara
moral. Misalnya, tidak mampu mengurusi orang tua yang memasuki usia
lanjut.
3.

Kecemasan Realistik (realistic axiety) terkait erat dengan rasa takut.


Kecemasan ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan
tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Misalnya kita
bisa mengalami kecemasan realistik pada saat berkendara dengan cepat dalam
lalu lintas yang padat dan di kota asing, yaitu situasi yang mencakup bahaya
yang objektif dan nyata. Akan tetapi, kecemasan realistik ini berbeda dari rasa
takut karena tidak mencakup objek spesifik yang ditakuti. Misalnya, kita

merasa takut pada saat kendaraan kita tiba-tiba tergelincir dan tidak bisa
dikontrol di jalan bebas hambatan yang licin akibat lapisan es.
2.1.3

Gejala-gejala Kecemasan
Kecemasan berasal dari perasaan tidak sadar yang berada didalam kepribadian

sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benarbenar ada. Kholil Lur Rochman, (2010) mengemukakan beberapa gejala-gejala dari
kecemasan antara lain :
1. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap kejadian
menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan bentuk
ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.
2. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah dan sering
dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat irritable, akan tetapi
sering juga dihinggapi depresi.
3. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of persecution
(delusi yang dikejar-kejar).
4. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah, banyak
berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare.
5. Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan tekanan
jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi.

2.1.4

Gangguan Kecemasan

Gangguan kecemasan merupakan suatu gangguan yang memiliki ciri


kecemasan atau ketakutan yang tidak realistik, juga irrasional, dan tidak dapat secara
intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas. Fitri Fauziah & Julianty Widuri
(2007) membagi gangguan kecemasan dalam beberapa jenis, yaitu :
1. Fobia Spesifik
Yaitu suatu ketakutan yang tidak diinginkan karena kehadiran atau antisipasi
terhadap obyek atau situasi yang spesifik.
2. Fobia Sosial
Merupakan suatu ketakutan yang tidak rasional dan menetap, biasanya
berhubungan dengan kehadiran orang lain. Individu menghindari situasi dimana
dirinya dievaluasi atau dikritik, yang membuatnya merasa terhina atau
dipermalukan, dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau menampilkan
perilaku lain yang memalukan.
3. Gangguan Panik
Gangguan panik memiliki karakteristik terjadinya serangan panik yang spontan
dan tidak terduga. Beberapa simtom yang dapat muncul pada gangguan panik
antara lain ; sulit bernafas, jantung berdetak kencang, mual, rasa sakit didada,
berkeringat dingin, dan gemetar. Hal lain yang penting dalam diagnosa
gangguan panik adalah bahwa individu merasa setiap serangan panik
merupakan pertanda datangnya kematian atau kecacatan.
4. Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
Generalized Anxiety Disorder (GAD) adalah kekhawatiran yang berlebihan dan
bersifat pervasif, disertai dengan berbagai simtom somatik, yang menyebabkan

gangguan signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada penderita, atau
menimbulkan stres yang nyata.
2.1.4 Tingkatan kecemasan

Klasifikasi tingkat kecemasan dibedakan menjadi empat (Stuart, 2007), yaitu :


1. Tingkat kecemasan ringan, ditandai dengan :
1)
Respon fisologis seperti ketegangan otot ringan.
2)
Respon kognitif seperti lapang pandang meluas, memotivasi untuk belajar,
3)

kesadaran yang pasif pada lingkungan.


Respon tingkah laku dan emosi seperti suara melemah, otot-otot wajah
relaksasi, maupun melakukan kemampuan / keterampilan permainan secara

otomatis, ada perasaan aman dan nyaman.


2. Tingkat kecemasan sedang, ditandai dengan :
1) Respon fisiologis seperti peningkatan ketegangan dalam batas
toleransi, perhatian terfokus pada penglihatan dan pendengaran,
kewaspadaan meningkat.
2) Respon kognitif seperti

lapang

persepsi

menyempit,

mampu

memecahkan masalah, face yang baik untuk belajar, dapat fokus pada
hal-hal spesifik.
3) Respon tingkah laku dan emosi seperti perasaan tertantang dan perlu
utuk mengatasi situasi pada dirinya, mampu mempelajari keterampilan
baru.
3. Tingkat Kecemasan berat, ditandai dengan :
1)
Respon fisiologis seperti aktivitas sistem saraf simpatik (peningkatan
epinefrin, tekanan darah, pernafasan, nadi, vasokonstriksi, dan peningkatan
suhu tubuh), diaphoresis, mulut kering, ingin buang air kecil, hilang nafsu

makan karena penurunan aliran darah ke saluran pencernaan dan peningkatan


produk glukosa oleh hati, perubahan sensori seperti penurun kemampuan
2)

mendengar, nyeri, pupil, dilatasi , ketengangan otot dan kaku.


Respon kognitif seperti lapang persepsi sangat menyempit, sulit memecahkan

3)

masalah, fokus pada satu hal.


Respon tingkah laku dan emosi seperti lapang personal meluas, aktifitas fisik
meningkat dengan penurunan mengontrol, contoh meremas tangan, jalan
bolak-balik. Perasaan mual dan kecemasan mudah meningkat dengan stimulus
baru seperti suara. Bicara cepat dan mengalami blocking, menyangkal dan
depresi.

4. Tingkat panik, ditandai dengan :


1) Respon fisiologi seperti pucat, dapat terjadi hipotensi, berespon
terhadap nyeri, bising dan stimulus eksternal menurun. Koordinasi
motorik buruk. Penurunan aliran darah ke otot skeletal.
2) Respon kognitif seperti tidak terkontrol, gangguan berfikir secara
logis, tidak mampu memecahkan masalah.
3) Respon tingkah laku dan emosi seperti perasaan marah, takut dan
segan. Tingkah laku menjadi tidak biasa seperti menangis dan
menggigit. Suara menjadi lebih tinggi, lebih keras, bicara cepat dan
blocking.

Respon Maladaptif

Respon Adaftif

Antisipasi

Ringan

Sedang

Berat

Panik

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan ( G.W. Stuart, 2007)

2.1.5 Pengukuran Kecemasan

2.1.6

Etiologi

Menurut Nevid, et al (2005), faktor penyebab kecemasan adalah sebagai berikut :


1. Faktor biologis
1) Faktor genetis. Fakyor genetis mempunyai peran penting dalam
perkembangan kecemasan. Hal ini dikaitkan dengan suatu gen
neurotisisme, yaitu suatu trait kepribadian yang mungkin mendasari
kemudahan untuk berkembangnya kecemasan.
2) Neurotransmitter, Neurotransmitter yang berpengaruh terhadap reaksi
kecemasan adalah gamma aminobutric acid (GABA). GABA adalah
neurotransmitter yang meredakan aktivitas berlenih dari sistem saraf
dan membantu untuk meredam respon-respom stress. Aksi GABA
yang kurang adekuat dapat meningkatkan reaksi kecemasan. Disfungsi
reseptor serotonin dan norepinefrin di otak juga memegang peran
dalam meningkatnya kecemasan. Gen yang terlibat dalam regulasi
serotonin kemungkinan memegang peran dalam menentukan trait
yang terkait dengan kecemasan.

2. Faktor Sosial Lingkungan


1) Pemaparan terhdap peristiwa yang mengancam atau traumatis
2) Mengamati respon takut pada orang lain sehingga dirinya juga ikut
terpengaruh terhadap rasa takut yang dialami orang tersebut
3) Kurangnya dukungan sosial
3. Faktor Behavior (perilaku)
1) Kelegan dari kecemasan karena melakukan ritual komplusif atau
menghindari stimuli fobik
2) Kurangnya kesempatan untuk menghilangkan kecemasan karena
penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti
4. Faktor kognitif dan emosional
1) Konflik psikologis yang tidak terselesaikan
2) Faktor-faktor kognitif, seperti anggapan berlebih tentang ketakutan,
keyakinan-keyakinan yang irasional, sensitivitas berlebih terhadap
ancaman, sensitivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal
tubuh, dan selff-efficacy yang rendah
2.1.8 Akibat Kecemasan
Akibat kecemasan yang dapat timbul selama kehamilan dan persalinan
(Wiknjosastro, 2008) antara lain:
1. Partus Prematurus
Ini dapat disebabkan oleh ketegangan psikis/tekanan kehidupan
modern dan diikutsertakan wanita dalam industri. Hal ini dapat dibuktikan
bahwa frekuensi prematuritas di antara para wanita yang bekerja di kota-kota
besar semakin meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula yang tidak

kawin sering melahirkan sebelum waktunya sehingga kehamilan di luar


pernikahan dapat dianggap sebagai factor etiologi bagi prematuritas.
2. Nyeri persalinan
Ketakutan merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sakit atau
nyeri dalam persalinan
3. Partus
Partus lama disebabkan karena faktor-faktor yang mengakibatkan his
kurang baik dan pembukaan kurang lancar. Akibat ketakutan dan kecemasan
yang memanjang dapat digambarkan menjadi skema sebagai berikut:

Takut
Stress
Peningkatan sekresi
adrenalin

Vasokontriksi

Gangguan sirkulasi uterus

Hipoksia janin

Penurunan
kontraksi uterus

Gambar 2.2. Dampak Ketakutan/Kecemasan pada Persalinan


(Kartono, 2007)

2.1.9

Pentalaksanaan
Penatalaksanaan gangguan kecemasan harus memperhatikan prinsip holistik

(menyeluruh) dan eklitik (mendetail) yaitu meliputi aspek organo-biologik, aspek


psiko-edukatif dan aspek sosiokultural (Madjaddid, 2006).
Terapi psikofarmaka juga bisa digunakan. Obat yang bisa digunakan oleh
psikiater adalah obat anti cemas (anxyolitic) dan obat anti depresi (antidepressant)
yang juga berkhaisat sebagai obat anti stress (Hawari, 2006).

2.2

Konsep Persalinan

2.2.1

Definisi Persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat
hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. (Wiknjosastro, 2008)
Persalinan adalah proses dimana bayi, placenta dan selaput ketuban keluar
dari uterus ibu.(JNPK KR, 2008)
Persalinan adalah rangkaian peristiwa mulai dari kenceng-kenceng
teratur sampai dikeluarkannya produk konsepsi (janin, plesenta, ketuban, dan
cairan ketuban) dari uterus ke dunia luar melalui jalan lahir atau melalui jalan
lain, dengan bantuan atau dengan kekuatan sendiri (Sumarah, 2009).

2.2.2

Tanda dan gejala persalinan

1. Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan serviks (frekuensi minimal


dua kali dalam sepuluh menit) (JNPK-KR, 2008).
2. Pada pemeriksaan dalam, dijumpai perubahan serviks (perlunakan serviks,
pendataran serviks, terjadi pembukaan serviks) (Manuaba, 2010).
3. Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena robekanrobekan serviks (JNPK-KR, 2008).
4. Dapat disertai ketuban pecah (Manuaba, 2010).
2.2.3

Penyebab Mulainya Persalinan

2.2.3.1 Teori Keregangan


Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Setelah
melewati batas waktu tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat mulai.
Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia
otot-otot uterus. Hal ini mungkin merupakan faktor yang dapat mengganggu sirkulasi
uteroplasenter sehingga plasenta mengalami degenerasi (Manuaba, 2010).
2.1.3.2 Teori penurunan progesteron dan esterogen
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu, dimana
terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu
(Sumarah, 2009). Villi koriales mengalami perubahan-perubahan, sehingga kadar
esterogen dan progesteron menurun (Wiknjosastro, 2008)
2.1.3.3 Teori oksitosin internal

Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise parst posterior. Perubahan


keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim,
sehingga sering terjadi kontraksi braxton hicks. Menurunnya konsentrasi progesteron
akibat tuanya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga
persalinan dimulai (Manuaba, 2010).
2.1.3.4 Teori prostaglandin
Prostaglandin dianggap dapat memicu terjadinya persalinan. (Manuaba,2010)
Kadar prostaglandin dalam kehamilan dari minggu ke 15 hingga aterm meningkat,
lebih-lebih sewaktu partus (Winkjosastro, 2008) .
2.1.3.5 Teori hipotalamus-pituitari dan glandula suprarenalis
Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anensefalus sering terjadi
keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus. Teori ini dikemukakan
oleh Linggin (1973). Malpar tahun 1933 mengangkat otak kelinci percobaan, hasilnya
kehamilan kelinci menjadi lebih lama. Pemberian kortikosteroid yang dapat
menyebabkan maturitas janin, induksi persalinan. Dari beberapa percobaan tersebut
disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus-pituitari dengan mulainya persalinan.
Glandula suprarenal merupakan pemicu terjadinya persalinan (Manuaba, 2010).
2.1.3.6 Teori berkurangnya nutrisi
Berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh Hippokrates untuk
pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan segera
dikeluarkan (Wiknjosastro, 2008).

2.1.3.7 Faktor lain


Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser yang terletak
dibelakang serviks. Bila ganglion ini tertekan, maka kontraksi uterus dapat
dibangkitkan (Wiknjosastro, 2008)
2.2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Persalinan

2.2.4.1 Power (kekuatan)


Kekuatan terdiri dari kemampuan ibu melakukan kontraksi involunter dan
volunteer secara bersamaan untuk mengeluarkan janin dan plasenta dari uterus.
Kontraksi involunter disebut juga kekuatan primer, menandai dimulainya persalinan.
Apabila serviks berdilatasi, usaha volunteer dimulai untuk mendorong, yang disebut
kekuatan sekunder, dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan kontraksi involunter.
Kekuatan primer berasal dari titik pemicu tertentu yang terdapat pada penebalan
lapisan otot di segmen uterus bagian atas. Dari titik pemicu, kontraksi dihantarkan ke
uterus bagian bawah dalam bentuk gelombang, diselingi periode istirahat singkat.
Kekuatan sekunder terjadi segera setelah bagian presentasi mencapai dasar panggul,
sifat kontraksi berubah yakni bersifat mendorong keluar. Sehingga wanita merasa
ingin mengedan. Usaha mendorong ke bawah ini yang disebut kekuatan sekunder.
Kekuatan sekunder tidak mempengaruhi dilatasi serviks, tatapi setelah dilatasi serviks
lengkap. Kekuatan ini penting untuk mendorong bayi keluar dari uterus dan vagina.
Jika dalam persalinan seorang wanita melakukan usaha volunteer (mengedan) terlalu
dini, dilatasi serviks akan terhambat. Mengedan akan melelahkan ibu dan

menimbulkan trauma pada serviks (Sumarah, 2009). Kekuatan kontraksi otot rahim
yang normal mempunyai sifat kontraksi otot rahim mulai dari salah satu tanduk
rahim, fundus dominan menjalar ke seluruh otot rahim, kekuatannya sperti memeras
isi rahim (Manuaba, 2010) .
2.2.4.2 Passage (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar panggul,
vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan lunak, khususnya
lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul ibu
jauh lebih berperan dalam proses persalinan (Sumarah, 2009). Dalam proses
persalinan pervaginam janin harus melewati jalan lahir ini (Wiknjosastro, 2008).
2.2.4.3 Passenger (Janin dan Plasenta)
Passanger atau janin, bergerak sepanjang jalan lahir merupakan akibat
interaksi beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap, dan
posisi janin. Karena plasenta juga harus melewati jalan lahir, maka ia dianggap juga
sebagai bagian dari passenger yang menyertai janin. Namun plasenta jarang
menghambat proses persalinan pada kehamilan normal (Sumarah, 2009). Janin dapat
mempengaruhi jalannya persalinan karena besar dan posisinya (Wiknjosastro, 2005).
2.2.4.4 Pshycology (Psikologi Ibu)
Tingkat kecemasan wanita selama bersalin akan meningkat jika ia tidak
memahami apa yang terjadi pada dirinya atau yang disampaikan kepadanya. Wanita
bersalin biasanya akan mengutarakan kekhawatirannya jika ditanyai. Perilaku dan

penampilan wanita serta pasangannya merupakan petunjuk berharga tentang jenis


dukungan yang akan diperlukannya. Membantu wanita berpartisipasi sejauh yang
diinginkan dalam melahirkan, memenuhi harapan wanita akan hasil akhir
mengendalikan rasa nyeri merupakan suatu upaya dukungan dalam mengurangi
kecemasan pasien. Dukungan psikologis dari orang-orang terdekat akan membantu
memperlancar proses persalinan yang sedang berlangsung. Tindakan mengupayakan
rasa nyaman dengan menciptakan suasana yang nyaman dalam kamar bersalin,
memberi sentuhan, memberi penenangan nyeri non farmakologi, memberi analgesia
jika diperlukan dan yang paling penting berada disisi pasien adalah bentuk-bentuk
dukungan psikologis. Dengan kondisi psikologis yang positif proses persalinan akan
berjalan lebih mudah (Sumarah, 2009).
Psikologi ibu yang cemas dapat mempengaruhi power ibu, dalam hal ini
kontraksi uterus. Kecemasan yang timbul pada ibu jika tidak ditangani dengan tepat
akan memicu hormon stress pada hipotalamus yang dapat menyebabkan ketegangan
otot tubuh termasuk ketegangan pada otot uterus sehingga kontraksi uterus menjadi
inadekuat. Ketakutan, kecemasan, kesendirian, stres dan kemarahan yang berlebihan
dapat menyebabkan pembentukan katekolamin dan menimbulkan kemajuan
persalinan yang melambat. Efek kecemasan ibu dalam persalinan adalah
diproduksinya kadar ketekolamin yang berlebihan pada kala I yang menyebabkan
penurunan aliran darah ke rahim, penurunan kontraksi rahim, lamanya kala I yang
lebih panjang, turunnya aliran darah ke plasenta, turunnya oksigen yang tersedia

untuk janin (Ancheta, 2005). Bila ibu yang sedang melahirkan merasa cemas dan
takut menghadapi lingkungan baru atau wajah baru, mereka akan mengeluarkan
adrenalin. Adrenalin menghambat pelepasan oksitosin yang diperlukan untuk
kemajuan persalinan (Chapman, 2006).
2.2.4.5 Psycian (Penolong)
Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan menangani
komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu atau janin. Bila diambil keputusan untuk
melakukan campur tangan, ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati, tiap campur
tangan bukan saja membawa keuntungan potensial, tetapi juga risiko potensial. Pada
sebagian besar kasus, penanganan yang terbaik dapat berupa observasi yang cermat
(Herlina, 2009).
2.2.5

Tahapan Persalinan
Tahapan persalinan dibagi menjadi 4 tahapan (Sumarah, 2009) adalah sebagai

berikut :
2.2.5.1 Kala I ( kala pembukaan )
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan
serviks, hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm). Persalinan kala I dibagi
menjadi dua fase, yaitu fase laten dan fase aktif.
1. Fase laten, dimana pembukaan serviks berlangsung lambat dimulai sejak awal
kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan secara bertahap sampai
pembukaan 3 cm, berlangsung dalam 7-8 jam.

2. Fase aktif (pembukaan serviks 4-10 cm), berlangsung selama 6 jam dan dibagi
dalam 3 subfase.
1) Periode akselerasi : berlangsung selama 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm.
2) Periode dilatasi maksimal : berlangsung selama 2 jam, pembukaan berlangsung
cepat menjadi 9 cm.
3) Periode deselerasi : berlangsung lambat, dalam 2 jam pembukaan jadi 10 cm atau
lengkap.
Pada fase aktif persalinan, frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya
meningkat dan terjadi penurunan bagian terbawah janin. Berdasarkan kurve friedman,
diperhitungkan pembukaan pada primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida
2 cm/jam.
Mekanisme

membukanya

serviks

berbeda

antara

primigravida

dan

multigravida. Pada primigravida, ostium uteri internum akan membuka lebih dulu,
sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium internum sudah
sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran
serviks terjadi dalam waktu yang sama.
2.2.5.2 Kala II (kala pengeluaran janin)
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm)
dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II pada primipara berlangsung selama 2 jam
dan pada multipara 1 jam.
Tanda dan gejala kala II itu meliputi :
1. His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit

2. Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi


3. Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum dan/atau vagina
4. Perineum terlihat menonjol
5. Vulva-vagina dan sfingter ani terlihat membuka
6. Peningkatan pengeluaran lendir dan darah.
Diagnosis kala II ditegakkan atas dasar pemeriksaan dalam yang menunjukkan :
1. Pembukaan serviks telah lengkap
2. Terlihat bagian kepala bayi pada introitus vagina
2.2.5.3 Kala III
Setelah bayi lahir dengan fundus uteri agak di atas pusat. Beberapa menit
kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta. Biasanya plasenta
lepas 6-15 menit setelah bayi lahir dan keluar spontan
2.2.5.4 Kala IV
Kala ini penting menilai keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan
postpartum dan juga menilai baik tidaknya kontraksi uterus. Observasi dilakukan
mulai lahirnya plasenta selama 1 jam, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
perdarahan postpartum. Observasi yang dilakukan melihat tingkat kesadaran
penderita, pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi dan pernapasan),
kontraksi uterus dan terjadinya pendarahan.

2.3

Psikologi Selama Persalinan

Pada setiap fase persalinan terdapat kebutuhan emosional yang muncul akibat
rasa cemas, ketakutan, kesepian, nyeri, ketegangan dan kegembiraan. Bahkan pada
persalinan yang normal sekalipun, kebutuhan-kebutuhan ini akan muncul. Jika semua
kebutuhan tersebut tidak dipenuhi paling tidak sama seperti kebutuhan jasmaninya,
prognosis keseluruhan wanita tersebut yang berkenaan dengan kelahiran anaknya dan
mungkin pula dengan kehidupan seksual selanjutnya dapat terkena akibat yang
merugikan.
2.3.1

Psikologi ibu pada kala I


1.

Ketakutan, kecemasan, kesendirian, stress/kemarahan yang berlebihan


dapat menimbulkan kemajuan persalinan lambat, wanita yang tidak
didukung secara emosional mengalami kesulitan dalam persalinan.
Kelelahan, ketakutan dan perasaan putus asa adalah akibat dari

2.

prapersalinan, kemajuan pembukaan serviks berkurang dan nyeri semakin


berat.
Rasa nyeri dalam persalinan tentunya akan menimbulkan rasa gelisah

3.

pada sang ibu. (Simkin, 2005) Bahkan bagi wanita sehat sekalipun,
kondisi menjelang kelahiran bayi dirasakan sangat berat dan tidak
menyenangkan. Sering timbul rasa jengkel, tidak nyaman badan, selalu
kegerahan, duduk-berdiri-tidur serasa salah dan tidak menyenangkan,
tidak sabaran, cepat menjadi letih, lesu dan xxiii identifikasi serta
harmoni antara ibu dan janin yang dikandungnya jadi terganggu (Kartono,
2007).

2.3.2

Psikologi ibu pada kala II


Transisi ke fase ekspulsif persalinan terkadang digambarkan oleh perubahan

dalam tingkah laku ibu, baik dengan ekspresi, perkataan maupun tindakan. Dukungan
yang besar mungkin dibutuhkan pada kala ini karena perasaan seringkali berlebihan
dan suasana hati ibu mungkin dalam keadaan terendah (Henderson, 2006).

2.4

Konsep Persalinan Lama

2.4.1

Pengertian
Persalinan lama adalah fase terakhir dari suatu partus yang macet dan

berlangsung terlalu lama sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti dehidrasi,


infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin dalam kandungan. Bila
persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi baik
terhadap ibu maupun janin dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
(Mochtar, 2012)
2.4.2

Faktor penyebab persalinan lama


Faktor-faktor yang menyebabkan persalinan lama, antara lain kelainan letak

janin, kelainan-kelainan panggul, kelainan his, pimpinan partus yang salah, janin
besar atau kelainan kongenital, primigraviditas, perut gantung (grademulti), dan
ketuban pecah dini (Mohctar, 2012). Namun, Oxron dan Forte (2010) menyatakan
bahwa aspek psikoemosional (kecemasan dan ketakutan ) pada fase laten bisa
menyebabkan hambatan kemajuan persalinan.

2.4.3

Masalah yang ada pada persalinan lama (AB Syaifuddin, 2008)

1. Fase laten lebih dari 8 jam


2. Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran bayi
3. Dilatsi serviks di kanan garis waspada pada partograf
2.4.4

Penatalaksanaan
Penanganan umum untuk persalinan lama, antara lain :

1. Menilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (terasuk tanda vital
dan tingkat hidrasinya)
2. Mengkaji kembali partograf dan menentukan apakah pasien berada dalam
persalinan (menilai lama dan frekuensi his)
3. Memperbaiki keadaan umum dengan memberikan dukungan emosi,
perubahan posisi sesuai dengan penanganan persalinan normal dan memeriksa
keton dalam urin serta memberikan cairan baik oral maupun parenteral.
4. Memberikan analgesia
Beberapa pertolongan yang dilakukan untuk penanganan lanjutan dari kasus
persalinan lama, antara lain cakum ekstrasi, forceps ekstralsi, manual aid pada
letak sungsang, embriotomi bila janin mati dan seksio sesarea (Mochtar,
2011).

2.5

Konsep Persalinan dengan Kala I Fase Aktif Memanjang

2.5.1

Pengertian
Istilah persalinan aktif memanjang mengacu pada laju pembukaan yang tidak

adekuat setelah persalinan aktif didiagnosis. Diagnosis laju pembukaan tidak


adekuat bervariasi kurang dari 1 cm setiap jam selama sekurang-kurangnya 2 jam

setelah kemajuan persalinan, kurang dari 1,2 cm perjam pada primigravida dan
kurang dari 1,5 cm perjam pada multigravida, lebih dari 12 jam sejak pembukaaan 4
cm sampai pembukaan lengkap 10 cm (rata-rata 0,5 cm per jam) (Simpkin dan
Ancheta, 2008).
Fase aktif yang lambat, < 1,2 cm per jam pada primigravida, dan < 1,5 cm per
jam pada multigravida membuktikan adanya abnormalitas dan harus menimbulkan
kewaspadaan penolong persalinan tersebut (Oxron dan Forte, 2010). Fase aktif
berjalan sangat lambat bila pembukaan per jam kurang dari 1-2 cm untuk ibu dengan
kelahiran pertama dan 1,5 untuk ibu yang pernah melahirkan (Indiarti, 2008). Dilatasi
serviks yang kurang dari 1,2 cm per jam pada nullipara dan 1,5 cm pada multipara
merupakan suatu kelainan protaksi pada fase aktif persalinan (Hacker dan Moore,
2008). Kelainan fase aktif didefinisikan sebagai pembukaan serviks yang kurang dari
1 cm per jam selama minimal 4 jam (Cunningham, dkk, 2009).
2.5.2

Karakteristik Persalinan Aktif Memanjang


Menurut (Simpkin dan Ancheta, 2008) karakterstik persalainan fase aktif

memanjang antara lain :


1. Kontraksi melemah, sehingga menjadi kurnag kuat, lebih singkat dan atau
lebih jarang
2. Kualitas kontraksi tetap sama seperti semula, tidak mengalami kemajuan
ataupun melemah
3. Wanita terus mengkoping dengan cara yang sama selama berjam jam, atau
menyadari persalinan lebih mudah untuk dikendalikan.

4. Pada pemeriksaan vaginal, servik tidak mengalami perubahan


2.5.3

Etiologi Fase Aktif Memanjang


Penyebab tersering dari persalinan fase aktif memanjang menurut (Simpkin

dan Ancheta, 2008) adalah :


1. Malposisi

: oksiput posterior, posisi oksiput tranversal menetap atau

asinklitisme menetap
2. Makrosomia (janin besar) atau diproporsi kepala panggul Cephalo Pelvic
Disproportion (CPD), ketidaksamaan antara kepala janin dan panggul ibu.
Makrosomia kadang-kadang berkaitan dengan CPD, namun CPD lebih sering
terjadi jika kepala janin yang besarnya rata-rata atau realtive kecil tidak pas di
panggul karena terdapat ketidaksesuain antara bentuk, posisi, dan sikap kepala
3.
4.
5.
6.
7.

janin dengan dimensi panggul.


Intesitas kontraksi tidak adekuat
Bibir serviks yang tidak menetap
Dsitosia emosional, rasa takut, cemas, tegangatau bermusuhan
Kelelahan, dehidrasi pada ibu
Faktor-faktir fisik ibu : pinggang pendek, lordosis lumbal berat (khususnya
jika digabungkan dengan kurangnya pergerakanspina lumbal), atau perut
menggantung, akibat kurang tobus otot dinding perut

2.5.4

Penanganan
Penatalaksanaan klinis dari persalin aktif memanjang menurut (Simpkin dan

Ancheta 2008) bervariasi, bergantung pada falsafah perawatan persalinan dan


harapan wanita, misalnya :

1. Pendekatan yang paling umum dilakukan, setelah diagnosis dibuat, adalah


melakukan rupture membrane buatan ( jika belum dilakukan) dan mulai
memberikan dosis oksitosin intravena yang semakin dinaikkan. Jika langkah
ini tidak berhasil merangsang kemajuan, maka operasi SC dilakukan
2. Dengan menggunakan asuhan kebidanan atau model intervensi dasar asuhan
kebidanan, pemberi perawatan mengkaji laju pembukaan, tetapi laju
pembukaan yang lambat pada peralihan aktif menjadi indikasi untuk
melakukan evaluasi bukan untuk membuat kelonggaran yang lebih luas bagi
individu dengan kemajuan pembukaan yang bervariasi, mempertimbangkan
toleransi janin dan ibu dalam perlambatan dan menilai tanda-tanda dari
kemajuan suatu prekusor untuk kemajuan selanjutnya.
Pendekatan ini berlangsung pada tindakan pencegahan dan waktu, kesabaran,
dukungan dan intervensi primer. Tujuannya adalah mendukung wanita
melewati kelambatan tersebut dan mendorong kemajuan persalinan. Oksitosis
dan ruptere membrane buatan ditunda untuk kemudian digunakan jika
diperlukan.
2.4.3

Komplikasi
Menurut Mochtar (2012), komplikasi timbul karena persalinan lama, yaitu :

1. Pada ibu
1) Dehidrasi
2) Tampak sakit, pucat, cekung, dan bekeringat
3) Nadi meningkat, tensi turun, dan temperatur meningkat
4) His mulai melemah dan perut nampak kembung

5) Karena manipulasi berlebihan pada pemeriksaan dalam maka terdapat


infeksi intrauterin
6) Meteorisus (perut kembung) karena tekanan bagian terendah janin
2. Pada janin
1) Asfiksia ringan hingga kematian dalam rahim
2) Air ketuban keruh dan bercampur dengan mekonium karena terjadi
asfiksia dalam rahim
3) Pada beberapa keadaan terjadi kelainan letak janin (letak sungsang,
letak lintang, kelainan letak kepala)
2.6

Hubungan Kecemasan dengan Lama Persalinan


Gangguan

akibat

kecemasan

yang

dialami

ibu

akan

meningkat menjadi kegawatdaruratan baik pada ibu sendiri maupun


pada janin dalam proses persalinannya, yang dapat menyebabkan
lepasnya hormon stress antara lain Adreno Cortico Tropin Hormon
(ACTH), kortisol, katekolamin, -Endorphin, Growth Hormon (GH),
prolaktin dan Lutenizing Hormon (LH) / Folicle Stimuating Hormon
(FSH). Lepasnya hormon-hormon stress tersebut mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi sistemik, termasuk diantaranya konstriksi
vasa utero plasenta yang menyebabkan gangguan aliran darah ke
rahim, sehingga penyampaian oksigen ke dalam miometrium
terganggu dan mengakibatkan lemahnya kontraksi otot rahim.
Selain itu, meningkatnya plasma kortisol, berakibat menurunnya
respon imun ibu dan janin. Kondisi tersebut bisa mengarah pada

kematian ibu dan janin. Jika kondisi ini dibiarkan maka angka
mortalitas

dan

morbiditas

pada

ibu

bersalin

akan

semakin

meningkat (Suliswati, 2005).


Sebagai respon terhadap kecemasan, neuron tertentu di hipotalamus
mengekskresikan suatu substansi yang dinamakan Corticitrophin-Releasing Factor
(CRF). CRF menstimulasi hipofisis untuk melepaskan adenocorticotrophin hormone
(ACTH), yang merupakan hormon stres utama tubuh. ACTH selanjutnya dibawa oleh
aliran darah ke kelenjar adrenal dan ke berbagai organ tubuh lainnya, yang
menyebabkan pelepasan sekitar 30 hormon, yang masing masing memiliki peranan
tertentu dalam penyesuaian tubuh terhadap situasi darurat (Saputra, 2008). Kelenjar
adrenal akan mensekresi epinefrin (adrenalin) dan kotisol yang akan meningkatkan
tekanan darah dan kadar gula darah untuk memenuhi kebutuhan ke otak, jantung,
otot, dan tulang untuk mengatasi krisis (Pick, 2005).
Menurut Simkin dan Archeta (2005), dan Salmah (2006), ibu hamil pertama
tidak jarang memiliki pikiran yang mengganggu, sebagai pengembangan reaksi
kecemasan terhadap cerita yang diperolehnya. Oleh karena itu, muncul ketakutanketakutan pada primigravida yang belum memiliki pengalaman bersalin, adanya
pikiran-pikiran seperti melahirkan yang akan selalu diikuti dengan nyeri kemudian
akan menyebabkan suatu respon melawan atau menghindar (fight or flight). Ffight or
Flight yaitu suatu proses fisiologis yang meningkatkan kemampuan menyelamatkan
diri dari bahaya atau ketakutan. Respon ini mengakibatkan disregulasi biokimia tubuh

yaitu sistem endrokin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar, seperti adrenal, tiroid, dan
pituitari (pusat pengendalian kelenjar), melepaskan pengeluaran hormon masingmasing ke aliran darah dalam rangka mempersiapkan bdan pada situasi darurat.
Akibatnya, sistem saraf otonom mengaktifkan kelenjar adrenal yang memengaruhi
sistem pada hormon epinefrin. Hormon yang juga dikenal sebagai hormon adrenalin
ini memberi tenaga pada individu serta mempersiapkan secara fisik dan psikis.
Adanya peningkatan hormon epinefrin menimbulkan ketegangan fisik pada diri ibu
hamil. Di samping itu, kadar hormon epinefrin yang tinggi pada sirkulasi darah
menyebabkan beralihkan aliran darah dari uterus dan plasenta ke organ-organ lain
yang penting dalam reaksi fight or flight, seperti jantung, paru-paru, otak dan otot
rangka. Penurunan darah ke uterus dan plasenta memperlambat kontraksi uterus dan
mengurangi pasokan oksigen janin. Hal ini berpotensi untuk memperlambat
kemajuan persalinan.
Penurunan kontraksi uterus juga bisa disebabkan peningkatan produksi
kortisol oleh kelenjar adrenal. Hal ini terjadi sebagai respon dari kecemasan yang
berlebihan (distress). Kortisol akan menyebakan penurunan sintesis protein miosit
sehingga tenaga yang timbul pada miosit juga menurun. Akibatnya kontraksi
miometrium melemah dan persalinan berlangsung lama (Soetrisno, 2009)

Anda mungkin juga menyukai